Dokumen tersebut membahas sejarah, pola istinbath, dan penyebaran empat mazhab utama dalam fiqih Islam, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Dokumen menjelaskan dasar-dasar istinbath hukum menurut keempat mazhab tersebut serta wilayah penyebaran masing-masing mazhab.
2. Manhaj & Penyebaran Mazhab
• Manhaj Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbath hukum: Al-Quran, Sunnah,
Pendapat Sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan ‘Urf. Mazhab Hanafi mulai tersebar
di Kufah, kemudian Baghdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India, China,
Bukhara, Kaukasus, Afghanistan, Turkistan.
• Dasar Mazhab Imam Maliki: Al-Quran, Sunnah, Amalan penduduk Madinah, Fatwa
Sahabat, Qiyas, Mashalih Mursalah, Istihsan, Sadd al-dzarai’, ‘Urf. Mazhab Imam
Malik tersebar di negeri Hijaz, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Tripoli, Sudan,
Bashrah dan Baghdad.
• Sumber hukum Imam Syafi’i: Nash-nash (Al-Quran dan Sunnah), Ijma’, Pendapat
para sahabat, Qiyas. Penyebaran mazhab Syafi’i di Irak, Mesir, kawasan Khurasan,
Palestina, Hadramaut (Yaman), Persia, Pakistan, Srilanka, India, Indonesia,
Australia.
• Dasar mazhab Hanbali: Nash Al-Quran dan sunnah, Fatwa sahabat yang tidak ada
penentangnya (belia tidak menamakannya sebagai ijma’, tapi belaiu
menamakannya wara’), jika sahabat berbeda pendapat maka beliau memilih salah
satunya jika sesuai dengan Quran dan Sunnah, kemudian menggunakan hadis
mursal dan hadis dha’if jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya dan
didahulukan daripada qiyas (Hadis Dha’if yang diterima adalah jika orang/rawi
yang belum mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai dituduh berdusta). Sumber
lainnya adalah qiyas. Penyebaran mazhab Hanbali: Irak, Mesir, Semenanjung Arab
dan Syam, dan menjadi mazhab resmi Kerajaan Saudi Arabia.
3. Ahmad Shafe‘i Malik Abu Hanifah
أحمد الشافعي مالك أبو حنيفة
Quran Quran Quran Quran
القرآن القرآن القرآن القرآن
Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
السنة السنة السنة السنة
Sahaba Agreement Sahaba Sahaba
قول الصحابي الجماع قول الصحابي قول الصحابي
Agreement Comparison Agreement Agreement
الجماع القياس الجماع الجماع
Practice in
Comparison Sahaba Comparison
Medina
القياس قول الصحابي عمل أهل المدينة القياس
Preserving
Status Quo
Comparison Preference
الستصحاب القياس الستحسان
Common
General Benefit Preference Practice
المصالح المرسلة الستحسان العرف
5. Istilah-istilah Fiqh
• FARDHU dan WAJIB mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain
kalangan Hanafiyyah. Menurut mazhab Hanafi, pengertian FARDHU adalah
kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qath’i (pasti), semisal shalat, haji dan
zakat. Sedangkan WAJIB adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil zhanni (ada
kesamaran) seperti khitan, akikah dll.
• Jumhur ulama selain kalangan Malikiyyah menyamakan istilah SUNNAH
dengan mandub, nafilah,mustahab, tathawu’, murghab fih, ihsan, dan husn.
SUNNAH menurut istilah Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dilakukan oleh
Rasulullah saw. Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa uzur. Mandub
dan mustahab adalah sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya,
meskipun beliau tidak mengerjakannya sesudah menggemarkannya pada orang lain.
• Menurut Mazhab Hanafi, MAKRUH terbagi menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan
makruh tanzih. Makruh tahrim yaitu makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak
pasti, contohnya : bertunangan dengan tunangan orang lain. Sedangkan makruh
tanzih yaitu larangan melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan
adanya hukuman, seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana.
Sedangkan jumhur ulama memandang makruh hanya satu jenis saja.
• RUKUN menurut ulama Hanafi adalah sesuatu yang kewujudan sesuatu yang lain
adalah bergantung pada kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu.
Menurut jumhur, RUKUN ialah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan sesuatu,
meskipun ia berada diluar hakikat sesuatu itu.
6. Imam Abu Hanifah (80 – 150 H.)
Dilahirkan di Kuffah, pada tahun 80 H (699 M). Nama aslinya Nu’mam
bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, digelari dengan Abu Hanifah karena
diantara putra beliau bernama Hanifah. Dalam riwayat yang lain gelar
tersebut muncul karena ketaatan beliau dalam beribadah, yaitu berasal
dari bahasa Arab Hanif yang berarti condong kepada yang benar. Ada
riwayat pula, gelar Abu Hanifah diberikan karena beliau adalah penulis.
Hanifah menurut bahasa Irak berarti tinta.
Ayahnya keturunan bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang menetap di
Kuffah. Tsabit, ayah dari Abu Hanifah seorang muslim berasal dari
bangsa Anbar. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat
beragama, pernah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, lalu sang imam
mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
Abu Hanifah lahir pada masa pemerintahan Islam di tangan Abdul Malik
bin Marwan, raja Bani Umayyah yang kelima.
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang
paling dahulu lahir juga wafatnya, ia dijuluki Imam A’zham (pemimpin
terbesar), ia juga dikenal sebagai faqih Irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam
Aliran Rasional).
7. Pendidikan Abu Hanifah
Pada masa Abu Hanifah terdapat empat sahabat, mereka
adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad
dan Abu Thufail. Mereka adalah sahabat-sahabat yang paling
akhir wafat, namun Abu Hanifah tidak berguru kepada mereka.
8. Murid-murid Abu Hanifah)80-150
)H
Abu Yusuf (113-182 H)
Muhammad bin Al-Hasan (132-189 H)
Zufar bin Huthayl (110-158 H)
9. Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah
Sesungguhnya aku mencari hukum di dalam Kitabullah, bila tidak aku
dapati aku mencarinya dalam hadis yang sahih yang berasal dari orang
atau perawi-perawi yang tsiqaat. Kalau aku tidak memperolehnya, aku
berpegang kepada perkataan sahabat, siapa saja di antaranya yang aku
pilih, dan bila belum kudapati juga, meskipun telah sampai kajianku pada
perkataan Ibrahim Nakh’iy, Sya’by , Ibnu Sirin, Hasan, ‘Atha’, Sa’id bin
Musayyab dan beberapa yang lain, maka aku akan berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad”.
Jadi, jika tidak ada dalil dari al-Quran dan Sunnah, Abu Hanifah melihat
perkataan sahabat yang kemudian diambil pendapat mereka yang sejalan
dengan pikiran beliau dan ditinggalkan mana yang tidak sesuai. Apabila
semua sahabat sependapat dalam menetapkan suatu hukum, beliau akan
mengikuti pendapat itu sepenuhnya.
Akan tetapi, jika pendapat itu dikemukakan oleh Ibrahim Nakh’iy, Sya’by ,
Ibnu Sirin, Hasan, ‘Atha’, Sa’id bin Musayyab dan beberapa yang lain, dalam
hal ini Abu Haifah akan berijtihad seperti para imam mujtahid tersebut.
Artinya, beliau tidak mengambil pendapat tabi’in dan ulama yang sezaman
dengannya. Dalam berijtihad, Abu Hanifah melakukan dengan metode qiyas,
istihsan dan ‘urf.
10. Prinsip-prinsip Ijtihad Imam Abu Hanifah
Lafaz ‘am dalalahnya adalah qath’iy;
Mazhab sahabi dapat men-takhshis yang ‘am bila bertentangan;
Banyak perawi tidak menjamin terhadap kesahihan hadis;
Tidak menerima HADIS AHAD;
Amar sudah pasti menunjukkan wajib selama tidak ada penyanggah;
Bila bertentangan riwayat dan perbuatan seorang perawi, maka yang
dipegang adalah perbuatan perawi;
Berpegang kepada Istihsan;
Meninggalkan Qiyas jika diperlukan
Abu Hanifah menyatakan :” Istihsan itu sembilan sepersepuluh
ilmu”. Oleh sebab itulah istihsan mendominasi dalam ijtihad mazhab
Hanafi.
12. Terminologi ISTIHSAN ((إستحسان
• Istihsan berasal dari kata إس تحسن – يس تحسن – إستحساناyang
berarti “mencari kebaikan”. Istihsan juga berarti “sesuatu
yang dianggap baik”, diambil dari kata al-husnu (baik).
• Secara terminologi, Imam Abu Hasan al-Karkhi mengatakan
bahwa istihsan ialah “penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari
ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah
yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.”
• DASAR ISTIHSAN: QS. al-Zumar: 17-18 disebutkan:
* • َاّ ِينَ اجْ َ َ ُوا ال ّا ُوتَ َنْ َعْ ُ ُوهَا ََ َا ُوا ِلَى ا ِّ َ ُ ُ الْ ُشْ َى َ َ ّر ِ َا ِي
وأن ب إ ل لهم ب ر فبش ْ عب د أ ي بد تنب ط غ و لذ
بب
ِ اّ ِي َ َسْ َ ِ ُو َ الْ َو َ َ َ ّ ِ ُو َ أَحْ َ َ ُ ُو َ ِ َ اّ ِي َ َ َا ُم ا ُ َُو َ ِ َ ُمْ ُوُو اللْ َا
لذ ن ي تمع ن ق ْل فيتبع ن سنه أ لئك لذ ن هد ه ُ ّ وأ لئك ه أ ل
ل
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan
kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk, mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
• Rasul Saw juga bersabda: مارءاه المسلمون حسن ً فهو عند ال حسن
ا
13. Ikhtilaf Mengenai Istihsan
• Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa istihsan
dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum, dengan
menggunakan dalil-dalil yang menjadi dasar istihsan.
• Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai landasan hukum. Menurut
beliau, menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan
membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. QS. Al-Maidah: 49.
• ََ ِ احْ ُمْ َيْ َ ُمْ ِ َا َنْ َ َ ا ُ َل َ ّ ِعْ َهْ َا َ ُمْ َاحْ َرْ ُمْ َنْ َفْ ِ ُو َ َنْ َعْ ِ َا َنْ َ َ ال
ّ
ُ وأن ك ب نه بم أ زل ّ و تتب أ و ءه و ذ ه أ ي تن ك ع ب ض م أ زل ل
إل ك فإ تول ف ل أنم ير د ّ أ يص به بب ض ذن به وإن كث ر من ن س لف سق ن
َ َِيْ َ َ ِنْ َ َّوْا َاعَْمْ َ ّ َا ُ ِي ُ ا ُ َنْ ُ ِي َ ُمْ ِ َعْ ِ ُ ُو ِ ِمْ َِ ّ َ ِي ًا ِ َ ال ّا ِ َ َا ِ ُو
ل
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.
Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah Swt
dan RasulNya, dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum
yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, jadi
tidak sah dijadikan landasan hukum.
14. ISTISHHAB
• Kata istishhab secara etimologi berarti “meminta ikut serta
secara terus-menerus”. Secara terminologi, istishhab ialah
“menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya
semula, selama belum terbukti ada sesuatu yang
mengubahnya.
• Contoh istishhab: Seseorang yang diketahui masih hidup
pada masa tertentu, tetap dianggap hidup pada masa
sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat.
Begitupula seseorang yang telah berwudhu’, jika ia ragu,
dianggap tetap wudhu’nya selama belum terjadi hal yang
membuktikan batal wudhu’nya.
15. Ikhtilaf Ulama Mengenai Istishhab
• Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa tiga macam istishhab (point
pertama hingga ketiga) adalah sah dijadikan landasan hukum.
• Mereka berbeda pendapat pada jenis istishhab al-washf:
3. Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhab al-
washf dapat dijadikan landasan hukum secara penuh, baik dalam
menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan
haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak
ketahuan rimbanya, tetap dianggap hidup sampai ada bukti bahwa
ia telah wafat. Jadi harta dan istrinya masih dianggap
kepunyaannya, dan jika ahli warisnya wafat, dia turut mewarisi harta
peninggalan dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai
hak miliknya.
4. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishhab al-
washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah
ada, bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh orang
hilang tsb meskipun harta dan istrinya masih dianggap sebagai
kepunyaannya, tapi jika ada hali waris yang wafat maka khusus
kadar bagiannya disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai
haknya sampai terbukti ia hidup.
16. MASHLAHAH MURSALAH
• Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”. Kata mursalah
berarti “lepas”. Secara istilah, menurut Abdul Wahab Khalaf,
mashlahah mursalah berarti “sesuatu yang dianggap mashlahat
namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan
tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang
menolaknya”, sehingga disebut mashlahat yang lepas.
• MACAM-MACAM MASHLAHAH:
• Al-mashlalah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas
diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan2 hukum untuk
merealisasikannya. Misal: Diwajibkan hukum qishash untuk
menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman zina bertujuan untuk
memelihara kehormatan dan keturunan, dsb.
• Al-mashlahah al-mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah
oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya
bertentang dengan ketentuan syariat. Misal: ada asumsi
menyamakan pembagian warisan anak laki-laki dan wanita adalah
mashlahah, padahal itu bertentang dengan QS. Al-Nisa`: 11.
• Al-Mashlahah al-mursalah. Banyak terdapat dalam masalah-
masalah muamalah. Misal: Peraturan dan rambu lalu lintas.
17. Ikhtilaf Ulama pada Mashlahah
• Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah
tidak sah menjadi landasan hukum dalam BIDANG IBADAH,
karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya
diwariskan oleh Rasul Saw, makanya bidang ibadah tidak
berkembang.
• Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalah.
3. Kalangan Zahiriyah, sebagian Syafi’iyah dan hanafiyah tidak
mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan
hukum, karena menganggap syariat Islam tidak lengkap dengan
asumsi ada mashlalah yang belum tertampung dalam hukum-
hukumnya.
4. Kalangan hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian Syafi’iyah
berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat
dijadikan landasan penetapan hukum. Alasannya, kebutuhan
manusia selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya
dirinci Quran dan sunnah, selama tidak bertentangan dengan
Quran dan sunnah maka mashlahah mursalah dapat diterima.
18. • Al-’Urf al-’am yaitu adat
Macam-macam kebiasaan mayoritas dari
berbagai negeri di satu masa.
Seperti ucapan engkau telah
‘Urf (Adat) haram aku gauli sebagai ucapan
talak kepada istri.
• Al-’Urf al-Khash yaitu adat yang
العرف berlaku pada masyarakat atau
negeri tertentu. Seperti kebiasaan
masyarakat Irak menggunakan
kata al-dabbah hanya kepada
kuda.
العرف العام العرف الخاص • Adat yang benar (shahih) yaitu
suatu hal baik yg menjadi
kebiasaan suatu masyarakat,
seperti anggapan bahwa apa yg
diberikan pihak laki-laki kepada
calon istri ketika khitbah dianggap
العرف hadiah, bukan mahar.
• Adat yang salah (fasid) yaitu
sesuatu yang menjadi adat yang
sampai menghalalkan yang
العرف الصحيح العرف الفاسد diharamkan Allah atau
sebaliknya. Seperti tari perut di
Mesir saat pesta perkawinan.
19. IJMA‘
Secara etimologi, ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu
persoalan”, atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Secara
terminologi, menurut ‘Abdul Karim Zaidan, ijma’ adalah
“kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang
hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
Para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai dalil
hukum. Ada ikhtilaf mengenai jumlah pelaku kesepakatan
sehingga dapat dianggap ijma’. Menurut mazhab Maliki,
kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk Madinah (ijma’ ahl al-madinah). Menurut
Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka.
Menurut jumhur, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
Presented by Marhamah Saleh
20. Macam-macam Ijma‘ IJMA’
IJMA’ SHARIH IJMA’ SUKUTI
(TEGAS) (DIAM)
Ijma’ sharih adalah kesepakatan tegas dari para ulama mujtahid dimana
masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap
kesimpulan hukum.
Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama menyatakan pendapatnya,
sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Mailikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum. Karena diamnya sebagian ulama belum tentu
menandakan setuju, bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana
pendapat itu telah didukung penguasa, atau boleh jadi disebabkan merasa
sungkan menentang pendapat mujtahid karena dianggap lebih senior.
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum,
karena diamnya sebagian ulam dipahami sebagai persetujuan. Jika mereka
tidak setuju dan memandangnya keliru, pasti secara tegas menentangnya.
Presented by Marhamah Saleh
21. QIYAS (ANALOGI)
Secara bahasa, qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan
sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan
antara keduanya”.
Secara istilah, DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan:
فى علة الحكم
Qiyas adalah: Menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya, dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya, karena ada
persamaan ‘illat antara keduanya.
Presented by Marhamah Saleh
22. Rukun Qiyas
Qiyas dianggap sah jika lengkap rukun-rukunnya. Ada 4 rukun qiyas:
( الصلpokok tempat meng-qiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah
ditetapkan hukumnya, baik dalam al-Quran atau dalam sunnah. الصل
disebut juga ( المقيس عليهyang menjadi ukuran). Misalnya khamer
ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 90
م ر س م عمل ش ط ن ف تنب ه
ُ َا َ ّ َا اّ ِي َ آ َ ُوا ِ ّ َا الْخمْ ُ َالْ َيْ ِ ُ َالنْ َا ُ َالزْل ُ ِجْ ٌ ِنْ َ َ ِ ال ّيْ َا ِ َاجْ َ ِ ُو
ي أيه لذ ن من إنم َ ر و م سر و ص ب و
4. Adanya حكم الصلyaitu hukum syara’ yang terdapat pada الصلyang
hendak ditetapkan pada ( الفرعcabang) dengan jalan qiyas. Misalnya
hukum haramnya khamer.
5. Adanya cabang ( (الفرعyaitu sesutau yang tidak ada ketegasan
hukumnya dalam Quran, sunnah atau ijma’, yang hendak ditemukan
hukumnya melalui qiyas. Misalnya hukum wisky, bir.
6. ‘illat ( (علةyang merupakan inti bagi praktik qiyas, yaitu suatu sifat yang
ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat
ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Presented by Marhamah Saleh
23. Imam Malik (93 – 179 H.)
Imam Malik dilahirkan dikota Dzu al-Muruwah di selatan kota
Madinah, lalu pindah ke Aqiq dan kemudian pindah ke Madinah,
menurut riwayat beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H .
Beliau bernama asli Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr
bin Ghaimah bin Khutsail bin Amr bi Harits. Ia termasuk dari bani
Taim bin Murrah.
Kakek keduanya, Abu Amir bin Amr adalah seorang sahabat
Rasulullah SAW, sedangkan kakek pertamanya, Malik bin Abu Amir
adalah salah satu tokoh Tabi’in.
Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di berbagai wilayah seperti
Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir.
24. Guru Imam Malik
Imam Malik berguru kepada banyak guru diantaranya adalah
Abdurrahman ibnu hurmuz, Rabi’ah bi Abdurrahman Farrukh, Ati’
budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin Muhammad Baqir,
Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya
bin Sa’id Al-Anshari, Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-
gurunya yang lain dari kalangan tabi’in, seperti yang di ungkapkan
oleh An-Nawawi.
Imam malik menurut riwayat An-Nawawi bahwa imam Malik
berguru kepada pada 900 guru, 300 dari kalangan tabi’in, dan 600
dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari ulama yang ia pilih, ia
akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban periwayatan dan
syarat-syaratnya, serta ia percaya.
25. Metode Ijtihad Imam Malik
Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran
dan al-hadis, Imam Malik menggunakan metode sebagai berikut:
a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima hadis. Jika Abu Hanifah
hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak
pada tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad
bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya orang yang
terpercaya. Hadis ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas,
sehingga ia lebih banyak menggunakan hadis daripada ra’yu;
b) ‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah), karena mereka
dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-
penjelasan Rasulullah;
c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam Malik, jika
tidak ada hadis sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu masalah, maka pernyataan sahabat dapat
dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada pandangan
bahwa para sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat
maupun tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya
al-Quran dan mendengar langsung penjelasan Rasulullah s.a.w.)
26. Metode Ijtihad Imam Malik
d) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan
umum terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit
tidak terdapat dalam al-Quran dan al-hadis baik yang mendukung
maupun yang menolak. Tujuannya adalah untuk menarik
kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat (daf’ al-
madharrah);
e) Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan perkataan dan perbuatan yang
menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan yang
mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang
perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga
halal;
f) Qiyas. Apabila suatu masalah tidak ditemukan ketentuannya dalam
al-Quran, al-hadis, perkataan sahabat atau ijma’ ahl al-Madinah
maka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu
menyemakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya
dengan sesuatu yang jelas hukumnya karena keduanya ada
persamaan illat.
27. الدلة الفقهية في المذهب المالكيSources of Maliki School
Quran
القرآن
Sunnah
السنة
Sahaba
قول الصحابي
Agreement
الجماع
Practice in
Medina
عمل أهل المدينة
Comparison
القياس
Common
General Benefit Practice Preference
المصالح المرسلة الستحسان
العرف