1. KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO
PASTURAL AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL
YOGYAKARTA
Makalah Hasil
Program Studi Ilmu Peternakan
Diajukan oleh :
Marhen Harjono
11/323555/PPT/00791
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADAH
YOGYAKARTA
Desember, 2012
1
2. Seminar Hasil
KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO PASTURAL
AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA
Diajukan oleh :
Marhen Harjono
11/323555/PPT/00791
Telah disetujui oleh :
Pembimbing Utama
Bambang Suwignyo. S.Pt., M.P., Ph.,D Tanggal………………….
Pembimbing Pendamping
Prof. Dr. Ir. Ristianto Utomo. SU Tanggal…………………..
2
3. KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO PASTURAL
AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA
Oleh :
Marhen Harjono
011/323555/PPT/791
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas tanaman
sorgum (Sorghum bicolor) yang di tanam pada sistem silvo pastural
agroforestri. Sorgum yang telah ditanam ada tiga jenis varietas, yaitu
varietas sorgum Manis, sorgum varietas CTY dan varietas Numbu. Sistem
silvo pastural agrofoerstri menggunakan tiga fase yaitu fase awal, fase
menengah dan fase lanjut. Jenis hutan agroforestrinya adalah tanaman
pohon jati, pohon mahoni, akasia serta pohon kakao. Penelitian ini
menggunakan rancangan faktorial. Faktor utamanya adalah fase silvo
pastural agroforestri yang terdiri dari fase awal (F1), fase menengah (F2)
dan fase lanjut (F3) dan faktor interaksinya adalah varietas Manis (S1),
CTY (S2) dan varietas Numbu (S3). Penelitian ini telah dilakukan di Desa
Klanggeran Gunung Kidul Daerah Istimewah Yogyakarta, waktu
pelaksanaannya dimulai dari April sampai September 2012. Dari
penelitian yang telah dilakukan rata-rata produksi berat segar tanaman
yang di panen pada umur 70 hari adalah fase pertama sebanyak 23,69
ton/ha, fase menengah sebanyak 8,09 ton/ha dan fase lanjut 10,16 ton/ha.
Dari segi varietas, varietas Manis menghasilkan 12,05 ton/ha, CTY 13,91
ton/ha dan Numbu sebanyak 15,99 ton/ha. Jika dilihat dari rata-rata
kandungan nutrien protein kasar pada tiga fase agroforestri maka fase
awal sebanyak 6,29% fase menengah 7,43% dan fase lanjut 7,87%.
Kandungan protein kasar dari tiga varietas yang ditanam, varietas sorgum
Manis sebanyak 6,86% varietas CTY 7,35% dan varietas Numbu 7,39%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produksi pada fase awal
memiliki hasil lebih banyak jika dibandingkan pada fase menengah dan
lanjut sedangkan untuk kandungan untuk kandungan protein kasar fase
lanjut memiliki kandungan protein lebih tinggi jika dibandingkan pada fase
awal dan menengah.
Kata Kunci : Produktivitas, Varietas Manis, CTY, Numbu, Silvo Fastural
Agroforestri, Fase Awal, Fase Menengah dan Fase Lanjut.
3
4. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upaya pengembangan produksi ternak ruminansia menuntut
adanya ketersediaan pakan yang stabil dan berkualitas, karena pakan
merupakan faktor penentu keberhasilan dan kelangsungan usaha
produksi. Ternak sapi dan kerbau secara langsung membutuhkan pakan
hijauan walaupun tersedia pula pakan tambahan (konsentrat) guna
memenuhi kebutuhan nutrisi (Malik, 2011), namun penyataan tersebut
tidak semua dimiliki oleh setiap Provinsi atau Kabupaten yang berada di
Indonesia.
Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY), yang merupakan sentra peternakan
dimana hampir setiap rumah tangga memelihara ternak baik ternak besar
seperti sapi dan kerbau maupun ternak kecil, kambing dan domba.
Menurut data Badan Pusat Statistik Gunung Kidul (2010), jumlah
populasi ternak sapi sebanyak 126.461 ekor. Suatu permasalahan sangat
mendasar yang dimilki Kabupaten Gunung Kidul ini adalah karena daerah
ini merupakan dataran tinggi pegunungan kapur, jika terjadi musim
kemarau sumber air sangat minim sekali sehingga tanaman pakan baik
yang dibudidayakan ataupun belum dikelola secara intensif rata-rata mati
akibat kekeringan sehingga peternak sangat kesulitan dalam
mendatangkan bahan pakan khususnya Hijauan Makanan Ternak (HMT).
Permasalahan lain yang dimiliki sebagian masyarakat peternak Gunung
Kidul adalah lahan kosong yang selama ini dimanfaatkan untuk budidaya
pakan ataupun pangan, saat ini dijadikan tanaman perkebunan kayu jati,
mahoni dan jenis pohon tahunan lainnya.
Tanaman perkebunan yang telah dilakukan oleh masyarakat
Gunung Kidul, dapat dikategorikan dalam tiga fase, fase pertama adalah
masa penaman, dimana lahan tempat pertanian tanaman pangan tadi
baru ditanami dengan bibit jati, mahoni dan jenis lainnya. Fase yang
4
5. kedua adalah fase menengah dimana tanaman pohon mulai membesar
sehingga kanopi tanaman perkebunan sudah mulai menutupi sinar
matahari menembus permukaan tanah, dan fase yang ketiga
dikategorikan fase lanjut, tanaman perkebunan telah besar dan kanopi
sudah menutupi permukaan dan sampai menunggu pemanenan hasil
hutan.
Desa Klanggeran merupakan desa yang berada di Kabupaten
Gunung Kidul, yang mana mata pencaharian penduduknya adalah
disektor peternakan, pertanian dan perkebunan. Permasalahan dalam
bidang peternakan yaitu tanaman pakan akan mati dimusim kemarau dan
sebagian lahan lain dijadikan untuk tanaman perkebunan, sehingga mata
pencaharian yang terfokus pada sektor peternakan akan sangat kesulitan
dalam mencari bahan pakan, bahkan peternak harus mendatangkan
bahan pakan dari luar kabupaten.
Permasalahan tersebut di atas perlu dicarikan solusinya agar
peternakan tetap menjadi suatu mata pencaharian, pangan tetap tersedia
dan lahan perkebunan menjadi sumber pendapatan dalam jangka
panjang. Dalam memecahkan masalah ini perlu diadakan penelitian
dimana masyarakat tetap bisa mengadakan hijauan pakan ternak dari
lahan sendiri walaupun saat musim kemarau, juga masyarakat tetap bisa
menanam hijauan pakan dilahan yang telah ditanam dengan tanaman
perkebunan.
Sorgum atau dalam bahasa jawa disebut dengan chantel
merupakan tanaman pangan, pakan dan juga bahan bioethanol yang
tahan terhadap kekeringan dan memberikan hasil produksi yang tinggi
baik untuk pangan ataupun pakan (Sumantri et al., 1996). Tanaman ini
akan dicoba untuk diteliti di lahan kering dan yang telah ditanami dengan
tanaman perkebunan dalam beberapa fase, dengan harapan tetap
memberikan produksi yang banyak, kualitas yang baik walaupun ditanam
di daerah kering dan di bawah naungan tanaman perkebunan.
5
6. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berguna untuk mengetahui produksi tanaman
sorgum yang ditanam di daerah 3 fase agroforestri di Kabupaten Gunung
Kidul khususnya di Desa Klanggeran.
Manfaat Penelitian
Apabila penelitian ini berhasil dan sesuai yang diharapkan maka dapat
memberikan informasi baru bagi petani ataupun peternak tentang
penanaman sorgum di area sistem silvo pastural agroforestri sebagai
pakan ternak
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor) adalah tanaman serealia yang potensial
untuk dikembangkan dan dibudidayakan, khususnya pada daerah-daerah
marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya
adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi
tinggi, input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit
dibandingkan tanaman pangan lain. Selain itu, tanaman sorgum memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai
sumber pangan maupun pakan ternak alternatif (OISAT, 2011).
Zelaya (1996) yang dikutip oleh Yoku (2010), mengklasifikasikan
sorgum sebagai berikut :
Divisi : Anthophyta (angiospermae)
Kelas : monocotyledone
Ordo : poales
Famili : poaceace
Subfamili : panicoideae
Genus : sorgum
6
7. Spesies : Sorghum bicolor
FAO (2011), menyatakan bahwa tanaman sorgum tergolong
graminae atau rerumputan yang tumbuh semusim atau perenial dalam
jangka pendek. Lebih lanjut Suprapto dan Mujisono (1987) menjelaskan
bahwa secara morfologi tanaman ini mempunyai karakteristik membentuk
akar lateral yang mencapai 1,3-1,8 m dan panjang akar total dapat
mencapai 10,8 m. Tinggi tanaman mencapai 2,5 m dan dapat membentuk
tunas atau anakan baru. Sorgum juga dapat membentuk anakan yang
tumbuh di atas akar, daun berjumlah sekitar 6-12 helai dan permukaan
daun dilapisi oleh lilin yang tebal sehingga dapat mengurangi transpirasi.
Bunga berbentuk malai bertangkai panjang dan dapat melakukan
penyerbukan sendiri, biji tertutup oleh sekam, ada yang tertutup sebagian
atau tidak tertutup sama sekali. Warna biji ada yang putih abu-abu, merah
hingga coklat tua, kuning dan kehitam-hitaman.
Sorgum (Sorghum bicolor) merupakan salah satu tanaman bahan
pangan penting di dunia. Kebanyakan produksinya digunakan sebagai
bahan makanan, minuman, makanan ternak, dan kepentingan industri.
Tanaman sorgum merupakan sumber karbohidrat yang mudah
dibudidayakan. Dalam setiap 100 gram sorgum, terkandung 73,0 gram
karbohidrat dan 332 kcal, serta nutrisi lainnya, seperti protein, lemak,
kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B1 dan air (Rukmana dan Usman, 2005).
Selain memiliki potensi sebagai sumber karbohidrat, tanaman sorgum,
mempunyai keistimewaan lebih yaitu tahan terhadap kekeringan dan
genangan bila dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya serta dapat
tumbuh hampir di setiap jenis tanah, mudah dibudidayakan dengan daya
hasil yang cukup tinggi, sedikit membutuhkan air, resiko kegagalannya
kecil, daya adaptasi luas baik ditanam secara monokultur maupun dalam
pola tanam ganda, dapat diratun sehingga bisa menghemat waktu, tenaga
dan pupuk.
Pertumbuhan Tanaman
7
8. Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses pertambahan ukuran, baik
volume, bobot, dan jumlah sel yang bersifat irreversible (tidak dapat kembali ke
asal) yang mencerminkan bertambahnya protoplasma akibat bertambahnya
ukuran dan jumlah sel, sedangkan pertumbuhan tinggi tanaman merupakan
pertambahan ukuran tinggi tanaman dimulai dari awal pertunasan sampai
tanaman menjadi tua (Harjadi, 1991). Menurut Sitompul dan Gorito (1995)
disitasi oleh Saputro (2006) menyatakan pertumbuhan merupakan pertambahan
ukuran tanaman secara keseluruhan dari organ-organ akibat pertambahan
jaringan sel yang mengalami pertambahan ukuran sel, jumlah sel yang semakin
besar dan semakin banyaknya bahan organik atau unsur-unsur yang diambil dari
lingkungan, seperti CO2, unsur hara, air dan radiasi matahari.
Menurut Gardiner et al. (1985) disitasi Saputro (2006), faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan dikategorikan sebagai faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi iklim (cahaya, temperatur, air,
angin, panjang hari), tanah (bahan organik, tekstur, ketersediaan nutrien,
pH) dan biologis (gulma, serangga, bakteri), sedangkan faktor internal
antara lain meliputi laju fotosintesis, respirasi, aktivitas enzim, pengaruh
gen dan defrensiasi. Van Soest (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah faktor
lingkungan yang terdiri cahaya temperatur, panjang hari ketinggian tempat
air, kesuburan tanah dan faktor genetik yaitu spesies dan morfologi.
Produksi dan Nutisi Tanaman Sorgum
Sebagai pakan ternak ruminansia, hijauan sorgum biasanya
dimanfaatkan sebagai pakan bagi ternak sapi perah dan ternak sapi yang
digemukkan. Hijauan sorgum ini sangat palatabel terutama tanaman yang
masih muda dan yang sedang berbunga. Nilai nutrisi yang dikandung
sorgum yang menjelang berbunga adalah 21% bahan kering, 12,8%
protein kasar, 2,0% lemak, 31,5 serat kasar, dan 44,6% BETN (Legel
1990).
Supriyanto (2010), menjelaskan bahwa batang dan daun sorgum
dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, terutama sapi, batangnya renyah
8
9. dan manis. Di Australia dikembangkan forage sorgum dan sweet sorgum
untuk pakan ternak. Potensi batang dan daun sorgum dapat mencapai 30-
40 ton/ha berat basah. Dijelaskan oleh Sirappa (2003), Limbah sorgum
(daun dan batang segar) dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan
ternak. Potensi daun sorgum manis sekitar 14−16% dari bobot segar
batang atau sekitar 3 ton daun segar/ha dari total produksi 20 ton/ha.
Jerami sorgum merupakan limbah tanaman sorgum yang sering
digunakan sebagai pakan sapi dipedesaan. Jerami sorgum relatif sama
komposisi zat nutrisinya dengan jerami padi. Protein jerami padi 4,8%
demikian pula jerami sorgum. Kecernaan jerami sorgum 53,5%
sedangkan jerami padi adalah 42,5%. Pada fase vegetatif, lignin jerami
sorgum sebesar 7% dan HCN yang terkandung cukup tinggi. Lignin, HCN
dan rendahnya protein kasar merupakan kendala pengunaan jerami
sorgum. Upaya untuk meningkatkan pemanfaatan jerami sorgum dapat
dilakukan dengan amoniasi. Sapi lebih toleran terhadap tanin. Tanin pada
sapi juga dapat mencegah penyakit kembung (Gunawan dan Zainudin,
1995)
Soebarinoto dan Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar
tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami lebih kurang 2,62 ton bahan
kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 1996). Daun sorgum tidak dapat
diberikan secara langsung kepada ternak, tetapi harus dilayukan dahulu
sekitar 2−3 jam.
Hijauan sorgum juga dimanfaatkan sebagai hay. Hay sorgum yang
berasal dari hijauan yang dipanen pada umur 50 hari mengandung 16,2%
protein kasar dalam bahan kering. Kandungan gula dan sari buah yang
terdapat pada tangkainya menyebabkan sorgum menjadi salah satu dari
tanaman yang terbaik untuk dijadikan silase ( FAO, 2011). Keskin et al.
(2005) melaporkan bahwa nilai nutrisi yang ada dalam silase hijauan
sorgum adalah 29,29% bahan kering, 92,21% bahan organik, 11, 45%
protein kasar, 63,50% NDF dan 39,65% ADF.
9
10. Agroforestri
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem dan teknologi
penggunaan lahan, secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan
dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem,
bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan /atau hewan (ternak) dan /atau
ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga
terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang
ada (Rianse dan Abdi, 2010). Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestri
dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya
adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Agroforestri merupakan
gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha
kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan
keselarasan antara intensifikasi pertanian, peternakan dan pelestarian
hutan (King, 1979).
Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat
dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana
dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah
suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari
dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam
sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak
dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan
sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga
sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet,
cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni
atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra.
Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu
padi (gogo), jagung, sorgum, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur
sayuran dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem
agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja
10
11. ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan
dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di
dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman
perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan
dalam jumlah besar.
Ciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah
kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem
hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu
sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforestri (Icraf dalam Hairiah et
al., 2003).
Pertanaman Ganda
Pertanaman ganda didefinisikan sebagai penanaman dua atau
lebih jenis tanaman pada suatu lahan dalam satu tahun atau didefinsikan
penanaman dalam dimensi ruang dan atau waktu (Palaniappan, 1985).
Pertanaman ganda mempunyai berbagai macam bentuk secara garis
besar dibedakan menjadi tanaman berurutan dan tumpang sari.
Pertanaman berurutan adalah penanaman dua atau lebih tanaman secara
berurutan pada suatu lahan selama satu tahun, biasanya tanaman kedua
ditanam setelah tanaman pertamanya dipanen. Tumpang sari merupakan
bentuk penanaman dua atau lebih tanaman secara bersamaan pada
lahan yang sama (Plucknett dan Smith, 1986). Pada masa sekarang ini,
pola tanaman tumpang sari dilakukan karena berbagai alasan fisioteknik
maupun sosial ekonomi antara lain pemanfaatan faktor lingkungan yang
lebih baik, stabilitas hasil yang lebih tinggi pada berbagai lingkungan,
perlindungan terhadap tanah, menjaga keseimbangan antara masukan
dan keluaran serta penyediaan bahan pangan (Beets, 1982).
11
12. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
Landasan Teori
Sorgum merupakan jenis tanaman biji-bijian yang telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sorgum termasuk dalam kategori
bahan pangan namun sorgum juga dapat menjadi bahan pakan alteratif
dan sumber bahan industri untuk pembuatan energi bioetanol. Dilihat dari
sudut pandang sebagai bahan pakan, sorgum mempunyai beberapa
kelebihan diantaranya adalah dapat tumbuh di daerah curah hujan yang
rendah dan daerah kering. Batang dan daunnya memiliki komposisi kimia
yang tinggi seperti protein kasar (PK), energi dan lemak kasar. Suatu hal
yang tidak kalah pentingnya adalah sorgum mempunyai daya kesukaan
(palatabel), apalagi diberikan ke ternak pada saat biji mulai megeras atau
sekitar umur 50-70 hari setelah tanam, sehingga bahan pakan alternatif ini
sangat cocok sebagai bahan pakan ruminansia besar dan dibudidayakan
di daerah kering.
Tanaman sorgum dapat menghasilkan anakan baru/ratun yang
tumbuh pada bagian akarnya, apabila jumlah produksi sangat melimpah
maka sorgum dapat dibuat silase sebagai bahan pakan ternak. Silase
sorgum juga disukai oleh ternak dan kandungan protein kasarnya juga
tinggi mencapai 11,45%. Disamping itu hijauan sorgum ketika dalam
jumlah yang cukup banyak dapat dibuat hay sebagai bahan pakan awetan
untuk diberikan keternak pada saat persediaan sudah berkurang.
Sistem agroforestri dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama
adalah tanaman perkebunan baru ditanam, dimana lahan masih sangat
cocok untuk ditanam tanaman pangan ataupun pakan seperti sorgum.
Fase menengah adalah tanaman perkebunan mulai membesar tapi
cahaya matahari masih menembus bagian bawah pohon dan fase lanjut
adalah tanaman perkebunan suda siap untuk dipanen dan sinar matahari
suda tertutupi oleh pepohonan perkebunan.
12
13. Dalam memanfaatkan lahan secara optimal, tanaman sorgum
dapat ditanam di area agroforestri, dimana harapannya adalah tanaman
sorgum dapat menghasilkan produksi yang tinggi baik dari sudut pandang
sebagai hijauan makanan ternak (HMT) maupun sebagai bahan pangan
untuk diambil bijinya. Namun suatu permasalahan yang dihadapi pada
penanaman sistem tumpang sari agroforestri adalah apabila tanaman
perkebunan sudah mulai membesar dan kanopi daun menutupi bagian
bawah maka tanaman bagian bawah akan kekurangan cahaya dan
menyebabkan produksi akan berkurang apabila dibandingkan dengan
penanaman pada fase awal atau tanaman perkebunan baru tanam.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ;
1. Produksi berat segar ataupun bahan kering tanaman sorgum tidak
akan sama dalam tiap fase.
2. Produksi fase awal lebih banyak jika dibandingkan dengan fase
menengah dan fase lanjut.
3. Nilai nutrien komposisi kimia sorgum tidak akan sama setiap
varietas maupun fase agroforestri.
13
14. MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian lapangan ini telah dilaksanakan di Desa Klanggeran
Kecamatan Patuk Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta
(DIY). Desa Klanggeran berada 640 m di atas permukaan laut
(BAKOSURTANAL, 1996). Analisis laboratorium akan dilaksanakan di
Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, dimulai dari awal
bulan April 2012 sampai akhir Agustus 2012. Jenis tanah Desa
Klanggeran adalah tanah ultisol. Sebelum penelitian ini dimulai, terlebih
dahulu melakukan pengamatan untuk data pendukung seperti
mengidentifikasi jenis dan nama pohon naungan pada lahan yang telah
digunakan sebai faktor naungan dalam penelitian ini dan juga menghitung
jumlah naungan pada masing-masing fase perlakuan.
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Sorgum.
Benih sorgum disini ada tiga varietas yaitu varietas sorgum Manis, CTY
(varietas sorgum jenis penghasil pati) dan Numbu (varietas sorgum
penghasil biomasa). Ketiga jenis varietas sorgum ini diperoleh di balai
Pembibitan Benih Dinas Pertanian Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bahan-bahan lain yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk
kandang, pupuk KCL dan pupuk Urea serta furadan
Alat penelitian
Peralatan yang telah digunakan dalam penelitian ini dari awal
sampai akhir penelitian adalah, cangkul, garu manual, tali rapiah, meter
ukur untuk mengukur tinggi tanaman , timbangan gantung yang berfungsi
untuk mengukur kebutuhan pupuk kandang yang ditebar, serta timbangan
analitik yang berfungsi untuk menimbang sampel yang dianalisis.
Metode Penelitian
14
15. Metode penelitian ini menggunakan rancangan faktorial, dengan
faktor utama adalah tanaman sorgum yang terdiri atas tiga varietas yaitu
varietas Manis, varietas sorgum CTY dan varietas Numbu, sedangkan
faktor interaksinya adalah fase agroforestri yang terdiri dari fase awal,
menengah dan lanjut. Simbol dan kombinasi antara varietas sorgum dan
fase silvopastura agroforestri dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan antara varietas dan fase agroforestri
Perlakuan
No Kombinasi
Fase Agroforestri Varietas sorgum
1 S1 = Manis F1S1
2 F1 = Awal S2 = CTY F1S2
3 S3 = Numbu F1S3
4 S1 = Manis F2S1
5 F2 = Tengah S2 = CTY F2S2
6 S3 =Numbu F2S3
7 S1 = Manis F3S1
8 F3 = Lanjut S2 = CTY F3S2
9 S3 = Numbu F3S3
Secara keseluruhan terdapat 9 kombinasi perlakuan dengan 3
ulangan sebagai blok. Masing-masing kombinasi perlakuan disetiap
ulangan menggunakan sebuah petak percobaan, sehingga secara
keseluruhan terdapat 27 petak percobaan. Ukuran petak perlakuan adalah
6 m x 10 m.
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan tanah dan penanaman
Sebelum penanaman terlebih dahulu tanah dicangkul dan
digemburkan menggunakan cangkul dan garu. Setelah tanah selesai
dicangkul lalu pemberian pupuk kandang ke lahan yang telah dicangkul
dengan dosis 10 ha (Lana, 2009). Kemudian dilanjutkan pembuatan petak
bedengan dengan ukuran 6 m X 10 m dan jarak antar petak bedengan 1
m, jarak petak bedengan ini disamping pembatas juga sebagai drainase.
Gambar bedengan dapat dilihat pada Lampiran 1.
15
16. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal kemudian ditutup
dengan tanah ringan pada kedalaman 1-2 cm degan jarak tanam 60 x 20
cm. tiap lubang tanam diisi 2-3 butir benih biji sorgum.
Penyulaman. Penyulaman dilakukan apabila ada benih yang
ditanam dilahan penelitian tidak tumbuh atau ada yang mati. Penyulaman
pertama kali dilakukan satu minggu setelah tanam, alat yang digunakan
berupa sabit yang berfungsi untuk menggali tanah.
Penyiangan. Penyiangan dilakukan 2 minggu setelah tanam, yaitu
dilakukan dengan cara mencabut gulma yang tumbuh dan untuk gulma
yang masih kecil dibersihkan dengan sabit.
Pemupukan. Tanaman sorgum banyak membutuhkan pupuk N
(Nitrogen), pupuk anorganik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pupuk adalah 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha TSP atau SP36 dan 50 kg/ha
KCl. Pemberian pupuk urea diberikan dua kali, yaitu 1/3 bagian diberikan
pada waktu tanam sebagai pupuk dasar bersama-sama dengan
pemberian pupuk TSP/SP36 dan KCl, sisanya (2/3 bagian) diberikan
setelah umur satu bulan setelah tanam. Pemupukan dasar dilakukan saat
tanam dengan cara di tugal sejauh 7 cm dari lubang tanam. Urea dan
TSP/SP36 dimasukkan dalam satu lubang, sedang KCl dalam lubang di
sisi yang lain
Panen. Dalam setiap ulangan penelitian, akan dilakukan dua
tahap pemanenan, sampel pemanen akan diamabil 2 m 2. Pemanenan
pertama akan dilakukan pada umur 70 hari dan pemanenan kedua pada
umur 130 hari. Sampel tanaman pada umur 70 hari akan dihitung analisis
proksimatnya serta kandungan kadar HCN dan pemanenan kedua hanya
dihitung produksi berat segar daun sorgum.
Variabel Pengamatan Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa variabel pengamatan dan
analisis, variabel tersebut adalah :
Tinggi tanaman. Selama penelitian berlangsung dilakukan
pengamatan terhadap parameter pertumbuhan tinggi tanaman. Tanaman
16
17. sampel diambil 5 lubang tanaman perpetak penelitian yaitu pada bagian
empat sudut bagian tepi diambil secara acak dan bagian tengah juga
diambil secara acak dan kelima lubang ini akan ditetapkan untuk diukur
selama penelitian berlangsung.
Pengukuran tinggi tanaman akan dimulai dari minggu kedua
setelah tanam (Mst) dengan interval dua minggu sampai menjelang panen
(Biji mulai mengeras). Cara pengukuran dimulai dari permukaan tanah
sampai ujung daun yang paling tinggi.
Produksi hijauan berat segar. Dalam setiap tahap pemanenan
akan dilakukan penghitungan terhadap produksi berat segar. Cara
pengukuran terhadap produksi segar yaitu tanaman sorgum dipanen 2 m 2
setiap perlakuan lalu ditimbang berat segar dan dikonversikan dalam
satuan hektar. Produksi berat segar ini terdiri dari batang daun dan semua
yang terpotong pada saat panen.
Produksi berat kering. Hasil produksi bahan kering tanaman
sorgum ini akan dihitung dalam bentuk satuan kilogram per hektar (kg/ha)
cara mendapatkannya yaitu dihitung dengan cara mengalikan jumlah
produksi berat segar perpetak penelitian ke dalam satuan hektar dengan
persentase kadar bahan kering perpetak peneltian.
Nilai nutirisi hijauan sorgum. Nilai nutrisi hijauan sorgum akan
diperoleh melalui analisis proksimat (AOAC, 2005) yang meliputi kadar
abu, kadar serat kasar dan kadar protein kasar,
Kandungan HCN. Dalam penelitian ini, juga akan dilakukan
analisis kandungan asam siandia (HCN), untuk analisis kandungan HCN
hanya pada panen tahap pertama (70 hari), karena diperkirakan
kandungan HCNnya masih sangat banyak.
Analisis Data
Analisis data menggunakan SAS 9. Data hasil pengukuran setiap
variabel perlakuan dianalisis dengan anova. Apabila uji F menunjukkan
adanya pengaruh nyata dari masing-masing perlakuan maupun
17
18. interaksinya, dilanjutkan degan uji duncan (Duncan’s multiple ranges test)
pada tingkat ketelitian 5% (Gomez dan Gomez, 1995).
18
19. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini ada beberapa parameter yang diamati dan
kemudian data tersebut diambil dan dianalisis, parameter tersebut antara
lain sebagai berikut :
Produksi Berat Segar
Produksi berat segar tanaman sorgum diambil pada umur 70 hari
dimana pada umur ini tanaman telah berbuah, jumlah batang dan daun
masih sangat bagus untuk digunakan sebagai pakan ternak. Rata-rata
produksi berat segar hijauan tanaman sorgum terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi dan rata-rata hijauan segar tanaman sorgum umur 70
hari, (ton/ha)
Varietas Fase
Rata-ratans
F1 F2 F3
S1 16,03 6,44 13,67 12,05
S2 27,08 7,93 6,72 13,91
S3 27,97 9,89 10,09 15,99
Rata-rata 23,69a 8,09b 10,16b
Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY,
S3= Numbu. ns = non significant
a,b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata
(P<0,01)
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan statistical analysis system 9 ( SAS 9). Dari Tabel 2 di atas
dapat dilihat bahwa rata-rata produksi berat segar antar fase menunjukan
bahwa tiap fase terdapat perbedaan yang nyata, dimana pada fase awal
rata-rata produksinya adalah 23,69 ton/ha, produksi berat segar pada fase
menengah adalah 8,09 ton/ha dan pada fase akhir adalah 10,16 ton/ha.
Dari produksi hijauan sorgum yang dipotong pada umur 70 hari ini
dimana antara jumlah rata-rata produksi fase awal dengan fase menengah
terdapat selisih yang sangat signifikan yaitu 15,60 ton/ha, perbedaan yang
besar sekali apabila dibandingkan dengan fase menengah dan fase akhir
yaitu 2,07 ton/ha. Uji lanjut DMRT menggunakan SAS 9, menunjukan
19
20. bahwa fase awal dengan produksi 23,69 ton/ha sangat berbeda nyata dan
untuk fase menengah dan fase lanjut tidak terjadi perbedaan dalam hal
jumlah produksi, Tabel Anova dan Tabel DMRT menggunakan SAS 9
dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.
Perbedaan jumlah produksi yang sangat berbeda antara fase awal
dengan fase menengah dan lanjut adalah disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya adalah karena jumlah intensitas sinar yang diterima pada
fase awal masih sangat optimal yaitu sinar matahari dapat menyinari
tanaman dari pagi sampai sore hari jika dibandingkan dengan fase
menengah dan fase lanjut, sehingga dengan intensitas cahaya matahari
yang masih optimal maka sistem fotosintesis berjalan dengan sempurna
yang akhirnya akan menghasil produksi yang lebih cepat, juga dijelaskan
oleh Utomo (2003), tanaman C4 akan cepat beproduksi dan akan cepat
mengalami penuaan.
Apabila dilihat dari jumlah naugan yang berada pada lahan
penelitian maka jumlah naungan pada fase lanjut sistem agroforestri lebih
banyak naungannya jika dibandingkan dengan fase menengah, fase
menengah jumlah naungannya lebih banyak jika dibandingkan pada fase
awal, sehingga jumlah produksi berat segar tanaman jika melihat jumlah
naungan yang terdapat pada area penlitian adalah jumlah produksi akhir
akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan fase menengah dan jumlah
produksi fase menengah akan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
fase awal.
Dari penelitian yang telah dilakukan juga dapat diketahui seperti
yang yang terdapat pada Tabel 2 bahwa setiap varietas menunjukan
jumlah produksi yang hampir sama yaitu varietas sorgum manis
sebanyak 12, 05 ton/ha, sorgum varietas CTY dengan hasil rata-rata
sesbanyak 13,91 ton/ha dan varietas Numbu dengan rata-rata hasil
produksi berat segar sebanyak 15, 99 ton/ha. Dari uji analisis statistik
menggunakan SAS bahawa hasil antar varietas dari ketiga varietas yang
ditanam tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Tidak adanya
20
21. perbedaan hasil produksi dari tiga varietas karena tanaman sorgum
merupakan tanaman tropis yang banyak membutuhkan sinar matahari
sehingga dengan kurangnya sinar maka akan terhambatnya sistem
fotosintesis dan asimilasinya.
Hasil produksi berat segar dari penelitian ini telah menjawab dari
tujuan utama penelitian yaitu untuk mengetahui hasil dari masing-masing
verietas yang ditanam pada fase lahan penelitian dan produksi rata-rata
tiap fase dari ke tiga varietas tanaman sorgum. Pada fase awal lahan
agrforestri memberikan hasil yang lebih bagus dibandingan pada fase
menengah dan fase lanjut sedangkan untuk produksi dari ketiga varietas
tidak memberikan hasil yang signifikan.
21
22. Produksi Bahan Kering Hijauan Sorgum
Hasil produksi bahan kering tanaman sorgum dalam penelitian ini
dihitung dalam bentuk satuan ton per hektar (ton/ha), Cara
mendapatkannya adalah dengan mengalikan jumlah produksi berat segar
perhektar ( lampiran 4) tiap-tiap perlakuan dengan persentase bahan
kering dari dari perlakuan tersebut (Lampiran 5). Persentase dan produksi
rata-rata bahan kering tanaman sorgum dapat dilihat pada Tabel 3
danTabel 4.
Tabel 3. Persentase bahan kering tanaman sorgum yang dipanen pada
umur 70 hari (%)
Varietas Fase
Rata-rata
F1 F2 F3
S1 22,19 23,57 27,95 24,57
S2 21,31 23,91 20,51 21,91
S3 24,77 25,10 26,00 25,29
Rata-rata 22,75 24,19 24,82
Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY,
S3= Numbu
Tabel 4. Rata-rata produksi bahan kering tanaman sorgum yang dipanen
pada umur 70 hari (Ton/ha)
Varietas Fase
Rata-ratans
F1 F2 F3
S1 3,72 1,56 3,86 3,05
S2 6,30 1,93 1,37 3,20
S3 6,92 2,50 2,61 4,01
Rata-rata 5,65a 1,99b 2,62b
Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY,
S3= Numbu. ns = non significant
a,b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata
(P<0,01)
Penelitian ini selain menjawab tujuan utama dari penelitian ini
adalah untuk membuktikan hipotesis yang diajukan, yaitu bahwa tanaman
sorgum dapat hidup dilahan yang kering dan curah hujan rendah, ada hal
yang menarik selama penelitian di lapangan, yakni tentang kondisi iklim
wilayah penelitian. Mulai awal sampai berakhirnya penelitian (4 bulan), di
daerah penelitian tidak terjadi turun hujan, sehingga penelitian ini juga
22
23. dapat melihat secara langsung ketahanan tanaman hijauan sorgum
terhadap kondisi kekeringan karena tidak adanya hujan. Apabila dilihat
dari Tabel 3 persentase kandungan bahan kering tanaman sorgum maka
persentase rata-rata bahan kering tertinggi terdapat pada fase lanjut yaitu
sebesar 24,82% kemudian fase menengah dan disusul fase awal yaitu
24,19% dan 22, 75%. Persentase bahan kering fase lanjut lebih tinggi
dibandingkan dengan fase menengah dan awal disebabkan karena
dengan iklim yang sama , tidak adanya hujan sebagai sumber air
sedangkan ketersediaan air tanah banyak diserap oleh pohon naungan
maka sorgum yang difase lanjut akan mengeluarkan respon fisiologis yaitu
tanaman akan berusaha mempertahankan proses metabolisme dalam
tubuhnya dengan cara melakukan transpirasi, sehingga kadar air yang
terkandung pada tanaman tidak begitu banyak, dan akan menurunkan
produksi karbohidrat nonstruktural. Karakteristik morfologi juga akan
mempengaruhi kandungan bahan kering hijauan tanaman pakan. Pada
tanaman yang lebih banyak mempunyai batang akan lebih banyak
mempunyai kandungan bahan kering tanaman (Mansyur et al., 2005)
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa produksi perhektar
tanaman sorgum yang ditanam pada fase agroforestri pada Tabel 4
terdapat adanya perbedaan yang signifikan namun untuk masing-masing
varietas tidak adanya perbedaan yang signifikan (Lampiran 6). Produksi
bahan kering tertinggi tiap fase masih terdapat pada fase awal kemudian
disusul pada fase lanjut dan menengah.
Kandungan Protein Kasar
Kadar protein kasar ditentukan dengan prosedur Kjeldahl, metode
ini untuk mengukur nitrogen (N) total dalam bahan makananan.
Persentase protein kasar yang terdapat pada suatu bahan pakan
ditentukan dengan mengalikan % N dengan faktor protein yaitu 100/16 =
6, 25 ( umumnya protein mengandung 16% N) sehingga protein kasar = 6,
25 X % N (Tilman et al., 1998).
23
24. Dari penelitian yang telah dilakuan, persentase kandungan protein
kasar hijauan tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase kandungan protein kasar tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari (%)
Varietas Fase
Rata-rata
F1 F2 F3
S1 6,30 7,03 7,25 6,86a
S2 6,63 7,17 8,24 7,35b
S3 5,94 8,10 8,12 7,39b
Rata-ratans 6.29 7,43 7,87
Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY,
S3= Numbu. ns = non significant
a,b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan sangat
nyata (P<0,01)
Hasil penelitian yang telah dilakuan, pada tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari menujukan bahwa persentase rata-rata
protein tertinggi terdapat pada tanaman sorgum varietas CTY yang
ditanam pada fase lanjut (F3S2) yaitu sebesar 8,24 % dan yang kedua
juga terdapat pada varietas sorgum Numbu juga pada fase lanjut (F3S3)
yaitu sebesar 8,12%. Dari Tabel 5 juga dapat diketahui bahwa rata-rata
persentase terendah kandungan protein kasar terdapat pada sorgum
varietas Numbu fase pertama (F1S3) yaitu 5,9% dan yang kedua
persentase terendah terdapat pada sorgum varietas Manis pada lahan
agroforestri awal (F1S1) yaitu 6,30 %.
Apabila dilihat rata-rata persentase kadar protein kasar sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari dari sudut fase agroforestri bahwa dari fase awal (F1)
sampai ke fase lanjut (F3) menunjukan adanya peningkatan kadar protein kasar
yaitu fase awal 6, 29 % fase menengah 7, 43% dan fase lanjut 7,89%. Adanya
24
25. perbedaan ini dapat disebabkan beberapa kemungkinan diantaranya adalah
karena jumlah intensitas sinar matahari yang diterima oleh tanaman, seperti yang
dijelaskan oleh Norton et al., (1990) tanaman pakan yang ditanam di bawah
naungan mempunyai kandungan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman yang ditanam pada lahan terbuka. Tingginya kandungan nitrogen
disebabkan kondisi naungan yang membuat ketersediaan nitrogen dalam tanah
mudah diserap oleh tanaman yang pada akhirnya akan meningkatkan
kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman (Wilson dan Ludlow, 1990; Wong
dan Wilson, 1980). Dari hasil analisis statistik, walaupun terjadi peningkatan
kadar protein kasar dari fase awal sampai ke fase akhir tidak menunjukan
adanya perbedaan yang signifikan antar fase, tabel anova dapat dilihat pada
Lampiran 7.
Analisis statistik rata-rata persentase kandungan protein kasar
ketiga varietas yang ditanam pada penelitian menunjukan adanya
perbedaan yang signifikan. Kandungan protein kasar tertinggi pada
varietas Numbu yaitu sebesar 7, 39% kemudian yang kedua terdapat
pada verietas CTY yaitu sebesar 7, 35 % dan yang terendah terdapat
pada sorgum varietas Manis yaitu sebesar 6, 86%. Perbedaan kandungan
disebabkan oleh genentik dari tanaman tersebut seperti yang dijelaskan
oleh Bogdan (1977) bahwa masing masing varietas maupun spesies yang
berbeda sifat genetis akan memengaruhi tanggapnya terhadap
pembentukan protein kasar. Selain faktor genetis, kadar protein kasar,
serat kasar, maupun HCN suatu tanaman dipengaruhi pula oleh iklim dan
kesuburan tanah tempat tumbuh, juga umur tanaman (Crowder dan
Chedda, 1982). Oleh sebab itu, kadar protein kasar dari hasil penelitian ini
tidak sama (lebih rendah) dari yang dilaporkan oleh Legel (1990).
Persentase Serat Kasar
Menurut Bogdan (1977) serat kasar merupakan dinding sel
tanaman terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang dilapisi lignin dan
silika. Semakin tua umur tanaman semakin tinggi kadar serat kasar yang
ditunjukkan oleh dinding sel tanaman yang semakin keras dan kuat
25
26. sebagai penopang tanaman. Dalam penelitian ini kandungan serat kasar
tanaman sorgum yang potong pada umur 70 hari dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6. Persentase kandungan serat kasar tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari (%)
Varietas Fase
Rata-ratans
F1 F2 F3
S1 28,15 26,09 24,69 26,31
S2 25,29 24,76 27,06 25,70
S3 30,58 25,12 23,92 26,54
Rata-ratans 28,01 25,33 25,23
Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY,
S3= Numbu. ns = non significant
Hasil analisis persentase kadar serat kasar tanaman sorgum tidak
menunjukan adanya perbedaan yang signifikan baik interaksi, fase
naungan maupun varietas sorgum yang dipanen umur 70 hari (Lampiran
8). Apabila dilihat antar fase menunjukan adanya perbedaan rata-rata
persentase serat kasar. Seperti yang terdapat pada Tabel 6, bahwa serat
kasar tertinggi terdapat pada fase awal yaitu 28,01 kemudian fase
menengah dan fase lanjut. Rata- rata fase pertama lebih tinggi
dibandingkan fase menegah dan lanjut karena jumlah sinar sinar matahari
lebih banyak diterima sehingga dengan banyaknya sinar matahari yang
diterima maka proses fotosentesis lebih efektif dan tanaman akan cepat
mengalami penebelan dinding sel karena cepat mengalami penuaan
(Wilson,1981).
26
27. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
hijauan tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari yang ditanam
pada fase awal menghasilkan produksi yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan fase menengah dan lanjut. Kandungan nutrien
protein kasar tiap varietas berbeda-beda, kandungan protein tertinggi
terdapat pada varietas Numbu kemudian varietas CTY dan varietas
sorgum Manis.
Saran
Penelitian yang telah dilakukan ini dilaksanakan pada musim
kemarau dan sumber air yang terdapat di daerah gunung kidul sangat
minim sekali, disarankan untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka
sebaiknya penelitian di Gunung Kidul seharusnya pada awal musim
Penghujan agar pertumbuhan tanaman sorgum tidak terhambat.
27
28. DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2005. Official Methods of Analyisis of the Association of Official
Analytical Chemists. Published by the Association of Official
Analytical Chemist. Marlyand
Badan Pusat Satistik Gunung Kidul. 2010. Data Pertanian 2010.
http://gunungkidulkab.bps.go.id/. Dibuka 12 April 2012.
Betts, W. C. 1982. Multiple Cropping and Tropical Farming System.
Grower Publishing Company Limited Hamphsire, England.
Bogdan AV, 1977. Nutritive Value. Tropical Pasture and Fodder Plans.
Longman Inc., London and New York; 14-18.
Crowder L dan Chedda HR, 1982. Tropical Grassland Husbandry. 1st
edition. Longman, New York, London, 308−370.
De Foresta, H. and G. Michon. 1997. The Agroforestri Alternative to
Imperata Grasslands: When Small Holder Agriculture and Forestry
Reach Sustainability. Agroforestri Systems. Published by ICRAF,
ORSTOM,CIRAD-CP and the Ford Foundation.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Sorgum Manis Komoditi Harapan
di Provinsi Kawasan Timur Indonesia. Risalah Simposium Prospek
Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18
Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang
kacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 6−12.
Gomez, K. A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian
Pertanian. Edisi kedua. Terjemahan E. Sjamsudin dan J. S.
Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Gunawan dan D. Zainudin. 1995. Komposisi Zat Nutrisi Dan Anti Nutrisi
Beberapa Jenis Sorgum Sebagai Faktor Utama Dalam Penyusunan
Ransum Ternak. Dalam Buku, Risalah Symposium, Prospek
Tanaman Sorgum Untuk Pengembangan Agro-Industri. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Malang. Edisi
Khusus Baliktabi No.4-1996.
Hairiah, K., M. A. Sardjono dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar
Agroforestri. Indonesia World Agroforestri Centre (ICRAF),
Southeast Asia Regional Office. PO Box 161. Bogor, Indonesia.
Harjadi, M. M. 1991. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia, Jakarta.
Keskin, B., I H Yilmaz., M Aktif Karsli., H.Nursoy. 2005. Effects of Urea
Plus Molasses Supplementation to Silage With Different Sorghum
28
29. Varietas Harvested At the Milk Stage on the Quality in Vitro Dry
Matter Digestibility of Silages. Turk J. Vet. Anim Sci. 29.
King, K. F. S., 1979. Agroforestri. Proceeding of the Fiftieth Symposium on
Tropical Agriculture. Royal Tropical Institute, Amsterdam, The
Netherlands.
Lana, W. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Tanah di Lahan
Kering. Majalah Ilmia Untab. Vol 6. No. 1 Februari 2009. Tabana.
Legel, S. 1990. Tropical Forage Legums And Grasses. Institute of Tropical
Agriculture of The Karl-Mark-University.Leipzig.
Malik, R. J. 2011. Alternatif Menjaga Ketersediaan Pakan Ternak. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Banten. Jl. Ciptayasa km 01
Ciruas, Serang, Banten. 42182.
Mansyur., P. Nyimas, Susilawati, dan T. Dahlia. 2005. Pertumbuhan Dan
Produktivitas Tanaman Pakan Di Bawah Naungan Perkebunan
Pisang. Jurnal Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Bandung
Norton, B. W., J.R. Wilson, H.M.Shelton, and K.D. Hill, 1990. The Effect of
shade on forage quality. In: H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.).
Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop, Sanur, Bali,
Indonesia. 83 – 88.
OISAT. 2011. Sorghum. PAN Germany Pestizid Aktions-Netzwekk e.V.
PAN Germany.
Plucknet, D. L. and N. J .H. Smith. 1986. Historial Perspectives On
Multiple Cropping. In: Francis, C. A. Multiple Cropping Systems,
Macmillan Publishing Company, New YORK. Pp 20-29.
Rukmana dan Usman. 2005. Budidya Rumput Unggul. Kanisius.
Yogyakrta
Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri, Solusi Sosial dan Ekonomi
Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Alfabeta. Bandung
Saputro, K. 2006. Pengaruh Pemotongan Batang Terhadap Produksi dan
Komposisi Kimia Daun, Serta Produksi Ubi Ketela Pohon. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada.
Supriyanto. 2010. Pengembangan Sorgum Dilahan Kering Untuk
Memenuhi Kebutuhan Pangan, Pakan, Energi dan Industri.
SEAMEO-BIOTROP. IPB.BOGOR.
29
30. Sirappa, M. P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia
Sebagai Komoditas Alternatif untuk Pangan, Pakan, dan Industri.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.
Jurnal Litbang Pertanian. 22(4).
Soebarinoto dan Hermanto. 1996. Potensi Jerami Sorgum Sebagai Pakan
Ternak Ruminansia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum
untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi
Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian No. 4-1996: 217−221.
Utomo, R. 2003. Penyediaan Pakan Di daerah Tropik:Problematika,
Kontinuitas, dan Kualitas. Pengukuhan guru besar. Fakultas
Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Van Soest, P. J. 1985. Composition, fiber Quality and Nutritive Value of
Forage, In; M. E. Heat, R. F. Barnes and D. S. Metcalfe (Eds).
Forages. 4th Ed. Lowa State University, Ames Lowa.
Yoku, O. 2010. Produksi Hijauan Dan Nilai Nutrisi Rumput Sudan (Sorgum
Sudaneses) Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Disertasi.
Program Pasca Sarjana. Fakultas Peternakan.UGM.
Wilson, J. R. and M. M. Ludlow, 1990. The environment and potensial
growth of herbage under plantations. In: H.M. Shelton and W.W
Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop,
Sanur, Bali, Indonesia. 10 – 24.
Wilson, J. R. 1981. Plant structures: Their digestive and physical
breakdown. In: Ho et al., Eds.). Recent Advances on the Nutrition
of Herbivores. Proceeding of the Third International Symposium on
the Nutrition of Herbivores. (Malaysian society of Animal
Production. UPM., Serdang
Wong, C. C. and J.R. Wilson, 1980. Effect of shading on growth and
nitrogen content of green panic and siratro in pure and mixed
swards defoliated at two frequencies. Australian Journal of
Agriculture Research. 31: 269-285.
30
31. Lampiran 1. Desain Bedengan Untuk Tiap-tiap Fase
Fase awal (A)
Ulangan 1 1m Ulangan 2 Ulangan 3
10m 10m 10m
B1S1 B2S2 B3S3 6m B2S2 B3S3 B1S1 B3S3 B1S1 B2S2
Fase menengah (T)
10m 10m 10m
B1S1 B2S2 B3S3 6m B2S2 B3S3 B1S1 B3S3 B1S1 B2S2
Fase lanjut (L)
10m 10m 10m
B1S1 B2S2 B3S3 6m B2S2 B3S3 B1S1 B3S3 B1S1 B2S2
Keterangan
B1= blok ke 1, B2= blok ke 2, B3= Blok ke 3, S1= sorgum varietas manis, S2= sorgum varietas CTY, S3= sorgum varietas
numbu
31
33. Lampiran 2. Tabel Anova produksi berat segar tanaman sorgum
Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > F
Blok 2 109,27 54,63 1,41 0,272
Fase 2 1.292,77 646,38 16,68 0,001
Varietas 2 69,92 34,96 0,90 0,421
Interaksi 4 285,98 71,49 1,85 0,174
Lampiran 3. Tabel Uji Lanjut DMRT produksi segar tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)
Duncan Grouping Mean N Fase
A 23,69 9 Awal
Menenga
B 10,16 9 h
B 8,09 9 Lanjut
Duncan Grouping Mean N Varietas
A 15,98 9 Numbu
A 13,91 9 CTY
A 12,04 9 Manis
Lampiran 4. Produksi berat segar tanaman sorgum perhektar (ton/ha)
Fase
Varietas Ulangan
Awal Menengah Lanjut
U1 10,79 3,13 11,28
Manis U2 7,14 8,60 16,63
U3 30,16 7,60 13,09
U1 33,35 6,68 5,22
CTY U2 12,36 6,42 10,07
U3 35,53 10,71 4,87
U1 31,97 11,73 9,81
Numbu U2 25,17 7,49 10,78
U3 26,78 10,46 9,69
Lampiran 5. Persentase bahan kering tanaman sorgum (%)
Fase
Varietas Ulangan
Awal Menengah Lanjut
U1 21,70 21,08 28,98
Manis U2 20,43 24,96 31,53
U3 24,43 24,67 23,36
U1 23,99 27,13 21,27
CTY U2 14,19 18,71 20,23
U3 25,75 25,89 20,04
Numbu U1 25,25 26,72 25,63
33
34. U2 27,07 24,48 23,28
U3 21,98 24,08 29,09
Lampiran 6. Tabel Anova persentase berat kering tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)
Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > F
Blok 2 7, 286 3,643 1,08 0,362
Fase 2 68,880 34,404 10,17 0,001
Varietas 2 4,822 2,411 0,71 0,505
Interaksi 4 22,988 5, 747 1,70 0,199
Lampiran 7. Tabel Anova persentase protien kasar tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)
Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > F
Blok 2 3,47 1,73 1,76 0,20
Fase 2 1,54 0,77 0,78 0,47
Varietas 2 11,99 5,99 6,08 0,01
Interaksi 4 2,95 0,73 0,75 0,57
Lampiran 6. Tabel Anova persentase serat kasar tanaman sorgum yang
dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)
Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > F
Blok 2 56, 51 28,25 2, 42 0,12
Fase 2 44,76 22,38 1,92 0,17
Varietas 2 3, 76 1,68 0,14 0,86
Interaksi 4 57,57 14,39 1,23 0,33
34