Tulisan ini membahas tentang bahaya limbah tambang arsenik yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Arsenik berasal dari bebatuan yang mengandung deposit emas dan dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker. Kegiatan penambangan emas skala besar berisiko meningkatkan konsentrasi arsenik di lingkungan karena membuka akses ke bebatuan yang mengandung arsenik. Proses pengolahan bijih emas primer yang mengandung senyawa ar
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Arsenik; Limbah Tambang Berbahaya
1. Arsenik; Limbah Tambang Berbahaya
Oleh:
Dr. Ir. Markus T. Lasut, M.Sc
(Dosen & Peneliti di Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT)
Tulisan ini disajikan sebagai bagian dari paket pembelajaran tentang lingkungan yang diramu
berdasarkan beberapa kajian pustakan dan tinjauan secara ilmiah.
Pada dasarnya, habitat manusia di alam ini (lingkungan hidup) merupakan tempat yang secara
kimiawi aman untuk dihuni, di mana baik komponen biotik (misalnya: tumbuhan dan hewan)
maupun abiotik (misalnya: bebatuan) tidak memberikan dampak yang merugikan bagi tubuh
manusia, baik secara langsung ataupun tidak. Namun, kadang-kadang lingkungan hidup
manusia berubah menjadi tidak aman (berbahaya) oleh karena 2 hal, yaitu: Pertama, bencana
alam (misalnya: letusan gunung api yang mengeluarkan bahan-bahan berbahaya). Kedua, ulah
manusia (misalnya: membuat, menggunakan, dan/atau mengolah bahan berbahaya kemudian
membuang bahan berbahaya tersebut, atau sisa-sisanya, atau bahan sampingannya ke
lingkungan hidup).
Semua yang merugikan dan membahayakan lingkungan hidup dan manusia yang hidup di
dalamnya sebagai akibat dari 'ulah manusia' disebut pencemaran. Salah satu 'ulah manusia' yang
dapat menimbulkan pencemaran adalah kegiatan penambangan emas, karena kegiatan ini bisa
menyebabkan bahan-bahan yang berbahaya hadir di lingkungan hidup dan konsentrasinya
berada pada tingkat yang merugikan bagi manusia. Salah satu bahan sisa tambang yang
berbahaya adalah Arsenik (As).
Arsenik merupakan polutan (bahan pencemar) yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia.
Menurut NIOSH (National Institute for Ocupational Safety and Health) bahwa bahaya senyawa
arsenik (bentuk inorganik) terhadap manusia adalah dapat merusak hati, ginjal, kulit, paru-paru,
dan sistem limfa, karena organ tubuh manusia tersebut adalah organ sasaran (target organ)
apabila terkontaminasi arsenik. Selain itu, arsenik adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan
kanker (karsinogen).
Pencemaran arsenik pernah terjadi di Bangladesh pada tahun 1998. Dalam kasus ini, oleh
karena ulah manusia, arsenik yang berada di dalam bebatuan bumi mengkontaminasi
masyarakat dan menimnulkan berbagai dampak terhadap kesehatan, misalnya: melanosis,
keratosis, gangrene, kanker kulit, dll. Kurang lebih 7000 (tujuh ribu) pasien yang mengalami
dampak dari arsenik dalam kasus tersebut. Oleh karena itu, WHO menetapkan batas arsenik
dalam air minum tidak melebih 0,01 ppm (1 bagian dalam 100 juta bagian).
Oleh karena telah tebukti sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia di mana dapat
merusak kesehatan maka arsenik digolongkan ke dalam kelompok logam berat (heavy metals).
Bahan kimia lain yang tergabung dalam kelompok logam berat dan sama berbahayanya dengan
arsenik, di antaranya, adalah merkuri dan kadmium.
Mungkin tidak banyak orang tahu dari mana bahan berbahaya arsenik itu berasal. Logam berat
arsenik secara alamiah berasal dari bebatuan di dalam perut bumi. Menurut GESAMP (1988),
konsentrasi rata-rata arsenik di alam adalah berkisar antara 1,5 - 2 ppm (1,5 - 2 bagian dalam 1
juta bagian). Namun, pada daerah-daerah tertentu, misalnya daerah yang mengandung deposit
biji emas, arsenik berada pada konsentrasi yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena bebatuan
yang membungkus biji emas adalah bebatuan yang mengandung arsenik, misalnya: arsenopyrit.
1
2. Sebagai contoh, di daerah Buyat-Ratatotok, berdasarkan Laporan Akhir Studi ANDAL PT
Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) tahun 1994, arsenik terukur dari padatan tailing sebesar
840 ppm. Tailing tersebut merupakan sisa olahan biji emas. Di Pegunungan Toka Tindung juga
demikian, di mana berdasarkan Studi ANDAL PT Maeres Soputan Mining (PT. MSM) tahun
2006 yang tertulis dalam Lampiran, arsenik terukur dalam 'master composite' dari deposit biji
emas adalah mencapai 84 ppm.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi arsenik di kedua daerah yang mengandung
emas tersebut relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata dalam bebatuan
bumi yang diberikan oleh GESAMP (1988). Oleh karena itu, PT NMR melakukan proses
detoksifikasi (menurunan kadar racun) arsenik dalam tailingnya. Namun, untuk PT. MSM,
sejauh informasi yang ditelusuri, belum ketahui.
Sebenarnya konsentrasi arsenik yang tinggi (seperti di daerah-daerah tersebut di atas) tidak
berada di biosfir (lingkungan hidup) sebagai habitat manusia, melainkan berada pada bebatuan
di dalam perut bumi di mana tidak ada kehidupan. Sehingga, keberadaan arsenik di dalam perut
bumi tersebut tidak pernah memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan hidup dan
kesehatan manusia.
Namun, oleh karena 'ulah' manusia yang menyebabkan pencemaran, misalnya: menambang
bebatuan bumi untuk mendapatkan biji emas (khusunya dalam skala besar), maka arsenik yang
sangat berbahaya tersebut dapat hadir di habitat manusia dalam konsentrasi yang tinggi. Proses
alamiah juga dapat membawa arsenik 'hadir' di lingkungan hidup, tetapi hal tersebut jarang
terjadi.
Pada umumnya, kegiatan penambangan emas terbuka skala besar akan menghadirkan arsenik
pada tingkat konsentrasi yang tinggi di lingkungan hidup. Hal ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu:
Pertama, pada tambang emas terbuka skala besar, lubang (open pit) digali dengan ukuran yang
besar dan kedalaman yang sangat dalam. Open pit akan membuka (ekspose) bebatuan yang
mengandung arsenik untuk teroksidasi menjadi aliran asam tambang yang sangat beracun.
Apabila hujan, aliran air dari daaerah tersebut dapat mengairi aliran sungai dan menuju ke
pantai. Dampak merugikan akan semakin besar apabila sungai yang dialiri air limpasan dari
tambang terbuka tersebut digunakan oleh masyarkat untuk kegiatan sehari-hari. Sehingga
daerah wilayah yang luas, dari daerah di mana tambang terbuka tersebut berada sampai di
daerah pesisir di mana muara sungai berada akan terkontaminasi dengan asam tambang. Oleh
karena itu, mengkaji dampak lingkungan kegiatan pertambangan harus mencakup daerah
sampai di daerah pesisir dan laut (Opini, Manado Post, Januari 2008).
Kedua, oleh karena jenis biji emas yang diolah maka penambangan emas skala besar dapat
menyebabkan pencemaran arsenik. Dr. A.R. Ginting (1999) dalam kajiannya mengenai
"perkimiaan pada ekstraksi emas dan detoksifikasi limbah" menjelaskan bahwa sumber logam
mulia (emas) adalah berasal dari deposit biji, biasa dikenal dengan 'ore', khususnya biji 'primer'.
Kalau ada biji 'primer' maka ada biji 'sekunder'.
Mengenai kedua jenis deposit biji ini dapat dijelaskan sebagai berikut: deposit biji sekunder
adalah deposit yang telah mengalami berbagai beristiwa alamiah (misalnya: oksidasi, pelapukan
batuan induk, transportasi, dan lain-lain). Dengan demikian, deposit biji sekunder umumnya
ditemukan di lapisan dekat permukaan bumi, terdapat di aliran atau bekas aliran sungai berupa
endapan aluvial. Pada biji sekunder, derajat pelepasan butiran emas cukup tinggi dan ukuran
butiran relatif kasar.
2
3. Dengan kondisi dan sifat deposit biji sekunder demikian maka dapat dipahami bahwa baik
teknik penambangan maupun sistem ekstraksi tidak memerlukan metode yang rumit. Pada
umumnya, kegiatan penambangan emas yang menggunakan deposit biji sekunder ini, misalnya,
adalah penambangan skala-kecil (penambangan rakyat).
Deposit biji primer umumnya terdapat pada lapisan bebatuan dalam perut bumi yang jauh lebih
dalam dibandingkan dengan deposit bijih sekunder. Untuk menggali bijih primer ini diperlukan
teknik penambangan dengan teknologi dan peralatan yang canggih. Umumnya, penambangan
deposit biji primer dilakukan melalui tenaga terampil dengan alat modern dan modal yang
relatif besar.
Dari informasi di atas, mudah-mudahan, kita dapat membedakan antara deposit biji sekunder
dan primer, dan kegiatan penambangan mana yang mengolah masing-masing jenis deposit biji
ini. Atau, dengan kata lain bahwa penambang skala kecil, karena dengan peralatan yang
'tradisional' menambang bijih sekunder, sedangkan penambang skala besar, dengan kecanggihan
teknologi yang dimiliki, menambang deposit biji primer.
Sudah umum diketahui bahwa butiran emas pada deposit biji primer umumnya terbungkus
secara alamiah dengan mineral sulfida membentuk senyawa induk. Sebagai contoh jenis Sinabar
(mengandung unsur merkuri), Arsenopirit (mengandung unsur arsenik). Unsur-unsur ikutan
tersebut (merkuri dan arsenik) merupakan bahan yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan
manusia. Untuk memperoleh butiran emas lebih efektif dari senyawa induk maka diperlukan
berbagai proses kimiawi. Dari proses tersebut, selain biji emas yang diperoleh, diperoleh juga
unsur-unsur ikutan yang merupakan bahan beracun dan berbahaya, yaitu arsenik dan merkuri,
yang umumnya dikenal sebagai aliran asam tambang (acid mine drainage). Karena tidak
digunakan maka bahan-bahan ikutan yang berbahaya tersebut dibuang atau ditempatkan sebagai
limbah (tailing). Oleh karena sangat berbahaya maka kegiatan pertambangan 'harus' melakukan
proses detoksifikasi (penurunan kadar racun) terhadap tailing tersebut sebelum dibuang atau
ditempatkan di lingkungan hidup.
Untuk mencegah pencemaran arsenik dalam lingkungan hidup kita, janganlah kita melihat
kecil-besarnya konsentrasi arsenik yang dilepaskan karena sekecil apapun konsentrasi arsenik
yang ada dilingkungan hidup sebagai habitat kita maka ia akan tetap berbaya karena unsur
kimia ini secara alamiah dapat terakumulasi dan dapat memberikan dampak kumulatif bagi
lingkungan hidup dan merugikan kesehatan manusia@
3