SlideShare a Scribd company logo
1 of 35
Download to read offline
WANITA
(ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA)

MAKALAH
Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan
Mata Kuliah Islamic Worldview

Oleh:

MIFTAQURROHMAN, S.H.I
NIM. 2121 1 2020

Dosen Pengampu:

DR. AHMAD MUNIR, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun forum
diskusi, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam
masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari isu-isu tentang perempuan (wanita) itu sendiri,
baik tentang historitas asal-usul kejadiannya, perannya dalam menjerumuskan nenek
moyang manusia (ab al-basyar, Adam) sehingga menyebabkan diusir dari surga, maupun
segala ketimpangan dalam realitas sosial dewasa ini yang kesemuanya ditujukan kepada
wanita sebagai faktor utamanya.
Hadis-hadis seperti ‚Lan yuflih} qawm wallaw amrahum imra’ah‛ (tidak akan

sukses suatu kaum yang meyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang wanita ),1
‚Al-nisa>’ h}aba>’il al-shayt}a>n wa lawla> hadzih al-shahwah lamma> ka>nat kadza>lik‛
(wanita-wanita adalah umpan penjerat setan, seandainya tidak ada nafsu ini tentu

mereka tidak akan seperti itu),2 dan ‚Ya> bunayy imsyi khalf al-asad wa al-aswad wa la>
tamsy khalf al-mar’ah‛ (wahai anakku, berjalanlah dibelakang singa ataupun ular, dan
jangan berjalan di belakang wanita);3 dan ayat semisal ‚Al-rija>l qawwa>mu>n ‘ala> al-nisa>’‛
(laki-laki adalah pemimpin bagi wanita-wanita),4 ‚Li al-dzakar mithl h}adzdzi al-

unthayaynI‛ (Bagi laki-laki bagian dua kali lipat dari perempuan ),5 ataupun ‚Fa ankih}u>
ma> t}a>ba lakum min al-nisa>’ mathna> wa thula>tha wa ruba>‘ ‛ (maka kawinilah wanita1

H.R. Abu> Tha’labah. Lihat Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl al-Suyûthî, al-Jami‘ al-Saghi>r
fi Ah}a>di>th al-bashi>r al-nazhi>r, cet. ke-4, vol. II (Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 453.
2
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, cet. Ke-1
(Beirut: Da>r al-fikr, 1993), 153.
3
Perkataan Nabi Dawd kepada putranya Nabi Sulayman. Ibid., 154.
4
Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 34.
5
Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 11.

2
wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat )6 oleh mayoritas kaum Muslim
sendiri

malah

dijadikan

perangkat

untuk

melegitimasi

pandangan-pandangan

subordinatif, inferioritif, marginalitif maupun diskriminatif terhadap perempuan.
Islam sesungguhnya adalah agama yang rah}mah li al-‘a>lami>n (menjadi kasih
sayang bagi alam semesta) dan sekaligus ramah terhadap perempuan.7 Hal itu bisa
diamati terhadap sikap, perlakuan, dan hak yang diterima oleh perempuan-perempuan di
sekitar Nabi SAW., baik istri-istri beliau maupun yang lain.8 Nabi tidak pernah
mendiskriminasi perempuan dalam hak-hak maupun kewajibannya, bahkan beliau –baik
secara revolusi maupun gradual- mempunyai misi besar mengentaskan keterpurukan
perempuan yang terjadi sejak masa-masa sebelumnya, mengangkat mereka pada posisi
terhormat, setara dan terbebaskan dari belenggu doktrin dan budaya.9 Walaupun ayatayat maupun hadis-hadis di atas bersumber dari beliau.
Memahami posisi perempuan dalam Islam harus mengacu kepada sumber-sumber
Islam yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap
kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan tekstual, melainkan
memperhatikan juga segi kontekstualnya, baik konteks makro berupa tradisi masyarakat
Arab, kondisi sosio-politik dan sosio-historis ketika itu maupun konteks mikro dalam
wujud asba>b al-nuzu>l ayat dan asba>b al-wuru>d hadis. Pemaknaan non-literal terhadap
teks-teks suci agama dalam al-Qur’an dan al-Sunnah mengacu kepada tujuan-tujuan
hakiki syari’at atau yang lazim disebut dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.10

6
7

3.

Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 3.
Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi kesetaraan Gender, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Kibar Press, 2007),

8

Lihat Jamal Ma’mur Asmani, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi ,
cet. ke-1 (Surabaya: Khalistha, 2007), 156-157.
9
Ibid., 149. Lihat juga, H{amdu>n Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m, cet. ke-1 (Villach: Ligh of
Life, 1994), 12.
10
Ibid., 7.

3
Berdasarkan latarbelakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas
tentang wanita dalam perspektif Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahannya
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah asal-usul kejadian wanita?
2. Bagaimanakah posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial?
3. Tema apa saja yang menjadi diskursus tafsir wanita versus pria?

4
BAB II
WANITA
(ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA)

1.

Asal-Usul Kejadian Wanita
a.

Definisi wanita dan perempuan
i. Definisi wanita
Sejarah kontemporer bahasa Indonesia dewasa ini, mencatat bahwa kata

wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses
ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih
tinggi daripada arti dahulu.11
Kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Kata

kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-sifat khas
wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan
masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang
senantiasa

lemah

gemulai,

sabar,

halus,

tunduk,

patuh,

mendukung,

mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benarbenar

dihindari

nuansa

memprotes,

memimpin,

menuntut,

menyaingi,

memberontak, menentang, melawan.12
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988: 1007), wanita
berarti perempuan dewasa.13 Berdasarkan Old Javanese English Dictionary
(Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan
11

Sudarwati dan D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik
Artikel. http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html. diakses oleh
Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012.

Historis,

Pragmatik,

12
13

Ibid.
Ibid.

5
dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa
wanita adalah sesuatu yang diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena
(dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu dari sudut pandang
pria. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. 14
ii. Definisi perempuan
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami
degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih
rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).15 Menurut KBBI, keperempuanan
berarti kehormatan sebagai perempuan. Di sini sudah mulai muncul kesadaran
menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin.16
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi.
 Secara etimologis, kata

perempuan berasal dari kata empu yang berarti

tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang
paling besar; maka kita kenal kata empu jari yang berarti ibu jari, empu

gending yang berarti orang yang mahir mencipta tembang.
 Kata

perempuan juga berhubungan dengan kata ampu yang berarti

sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali;
kata mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar
tidak runtuh; kata mengampukan berarti memerintah (negeri); ada lagi

pengampu yang berarti penahan, penyangga, penyelamat.
 Kata

perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini

mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya sapaan hormat

14

Ibid.
Ibid.
16
Ibid.
15

6
pada perempuan, sebagai pasangan kata tuan yaitu sapaan hormat pada
lelaki.
Prof. Slamet Muljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang
sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan
makna kehormatan atau orang terhormat.17
b.

Asal kejadian wanita
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan
diciptakan oleh tuhan dari kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis
(kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya
perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari
surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh
sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar
pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan
beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara
lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
                  
                

‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.‛ (Q.S. Al-Nisa': 1).
17

Ibid.

7
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan
(lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis
yang

sama

dan

bahwa

dari

keduanya

secara

bersama-sama

Tuhan

mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai S{ah{i>h{ yang berbunyi:

‚Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena
mereka diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan yang paling
bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. (Diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).‛18
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian maja>zi>
(kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar
menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan
kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari
akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan
mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha
akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsi>r Al-Mana>r, menulis: ‚Seandainya

tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama
(Kejadian II;21)19 dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas,
niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang
Muslim.‛
18

Lihat Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j ibn Muslim al-Naysa>bu>ri>, S{ah}ih} Muslim, vol. 1
>
(Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t.), 625. Lihat juga Abu> Zakari>ya Yah}ya> ibn Syaraf al-Nawawi>,
S{ah}ih} Muslim bi Syarh{ al-Nawawi>, cet. Ke-4, vol. V (Kairo: Dar al-H{adith, 2001), 313-314. No. Hadith
>
62/1468.
19
"Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah
satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.(21). Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah
dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu (22)."

8
Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan asal-usul kejadian lakilaki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok Abrahamic
religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan
bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan. Di Dalam Bibel
ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva) diciptakan dari tulang rusuk Adam,
seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi
Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah
Kitab Kejadian 2:21-23.20
Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an menerangkan asal-usul kejadian tersebut di
dalam satu ayat pendek (Q.S. al-Nisa': 1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut.
Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits.
Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist,
mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan berbagai karya. Karya-karya tersebut
dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia, terutama laki-laki,
secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk
biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Tafsir tentang al-nafs al-wa>h{idah

c.

Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan adalah
Q.S. al-Nisa>' ayat 1. Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk
didiskusikan (debatable), karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap.
Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud
dengan diri yang satu (nafs al-wa>h}idah), siapa yang ditunjuk pada d}a>mi>r dari
padanya (minha>), dan apa yang dimaksud pasangan (zawj) pada ayat tersebut?
20

Lihat Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina.
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html. diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4
Desember 2012.

9
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhu>r seperti Tafsi>r al-Qurthu>bi>,
Tafsi>r al-Mi>za>n, Tafsi>r Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>th, Tafsi>r Ru>h} al-Baya>n,
Tafsi>r al-Kasysya>f, Tafsi>r al-Sa‘u>d, Tafsi>r Jami al-Baya>n dan Tafsi>r al-Mara>ghi>,
semuanya menafsirkan kata nafs al-wa>h}idah dengan Adam, dan d}ami>r minha >
ditafsirkan dengan dari bagian tubuh Adam, dan kata zawj ditafsirkan dengan
Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfaha>ni>, sebagaimana
dikutip al-Ra>zi> dalam tafsirnya (Tafsi>r al-Ra>zi>) , mengatakan bahwa da>mi>r ha> pada
kata minha> bukan dari bagian tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk
Adam. Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan nafs al-

wa>h}idah dengan roh (soul).21
Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhu>r ulama cukup
beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295
kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas
menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti jiwa (Q.S. al-Ma'idah:
32), nafsu (Q.S. al-Fajr: 27), nyawa/roh (Q.S. al-'Ankabut: 57). Kata al-nafs al-

wa>h}idah sebagai asal-usul kejadian terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti
berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q.S. al-Syu'ra: 11, nafs itu juga menjadi
asal-usul binatang.22
Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite (min

nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan
kekhususan (yufi>d al-takhsi>s) lalu diperkuat (ta'ki>d) dengan kata yang satu
(wa>h}idah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada
substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan

21
22

Ibid.
Ibid.

10
Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang
dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin
dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah
dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafsmasuk
kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an
sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke
hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si
Pembicara (Mukhathab).23
Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu
speciesnya ialah Adam dan pasangannya (zawj) (Q.S. al-A'raf: 189), sedangkan
species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q.S. al-Syura: 11) serta tumbuhtumbuhan dan pasangannya (Q.S. Thaha: 53). Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang
relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara
biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang
tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat
lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari
air/al-ma>'’(Q.S. al-Furqan: 54), air hina/ma>'in mahi>n (Q.S. al-Mursalat: 20), dan air
yang terpancar/ma>'in da>fiq (Q.S. al-Thariq: 6), darah/‘alaq (Q.S. al-'Alaq :2),
saripati tanah/sula>latin min thi>n (Q.S. al-Mu'minun: 12), tanah liat yang
kering/shalshalin min hama'in mahi>n (Q.S. al—Hijr: 28), tanah yang kering seperti
tembikar/shalsha>lin ka al-fakhkha>r (Q.S. al-Rahman:15), dari tanah/min thi>n (Q.S.
al-Sajdah: 7), dan diri yang satu (nafs al-Wa>h}idah (Q.S. al-Nisa': 1). Akan tetapi
asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul

23

Ibid.

11
dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan
(reproduction).
Konsep teologi yang menganggap Hawa berasal usul dari tulang rusuk Adam
membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari
sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa
dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan
Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu
diberikan muatan makna lain. Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi
cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat ( sanad), materi hadis (matan),
asal-usul (asba>b al-wuru>d) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum
perempuan, yang diistilahkannya dengan hadis-hadis misogyny, disamping
melakukan kajian semantik dan asba>b al-nuzu>l terhadap beberapa ayat al-Qur'an
yang berhubungan dengan perempuan.24
Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa
melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk
berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki
tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak,
keberadaannya sebagai perempuan sa>leh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan
dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional
tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini
tidak mendukung terwujudnya khali>fah fi al-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini
perlu diadakan klarifikasi. 25

24
25

Ibid.
Ibid.

12
2.

posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial
a.

Posisi wanita
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah
persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa,
suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian
meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan
ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.

              
          

‚Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.‛ (Q.S. al-H}ujurat: 13)
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana
diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya
memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada
perempuan. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer
berkebangsaan Mesir, menulis:

‚Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun,
maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan
dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuanperempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik
dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini,
asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan
bahan perbandingan.‛26

26

Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah,
1964), 138. Lihat http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#Asal diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012.

13
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembagalembaga Al-Azhar di Mesir, menulis:

‚Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua
dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin
ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum
maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian,
dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan
dihukum serta menuntut dan menyaksikan.‛27
Di antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun
forum diskusi, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif
dalam masyarakat. Dalam masyarakat (adat) Indonesia misalnya, kedudukan wanita
berbeda-beda. Perbedaan itu setidaknya disebabkan oleh dua faktor: Pertama,
bentuk dan susunan masyarakat tempat wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai
yang dianut masyarakat bersangkutan. Sebab, sistem nilai adalah konsep yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar warga dari masyarakat bersangkutan mengenai
apa yang mereka anggap berharga dalam kehidupan mereka. Sistem nilai ini
sekaligus berfungsi sebagai pedoman kehidupan mereka. Sementara itu, dalam suatu
masyarakat yang dibina berdasarkan ajaran Islam, otomatis kedudukan wanita
sejatinya lebih ditentukan ajaran tersebut. 28
Ajaran Islam sendiri memberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi
kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Dalam kenyataan, jika

27

Mahmud Syaltut, Min Taujihat Al-Islam (Kairo: Al-Idarat Al-'Amat li al-Azhar, 1959), 193. Lihat
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#Asal diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa,
4 Desember 2012.
28
Lihat Kedudukan Wanita dalam Islam http://muslimahui.my-php.net/?p=7, diakses oleh Miftaqur
rohman pada selasa, 4 Desember 2012.

14
kedudukan tersebut tidak seperti yang diajarkan ajaran Islam maka itu adalah soal
lain. Sebab, struktur, adat, kebiasaan dan budaya masyarakat juga memberikan
pengaruh yang signifikan. Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran
Islam memberikan kedudukan tinggi kepada wanita, dapat dilihat pada banyaknya
ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjukkan betapa
pentingnya kedudukan wanita, dalam al-Qur’an terdapat surah bernama al-Nisa,
artinya wanita. Selain al-Qur’an, terdapat berpuluh hadits (sunnah) Nabi
Muhammad SAW. yang membicarakan tentang kedudukan wanita dalam hukum
dan masyarakat. Pada masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi wanita
hidup-hidup (wa‘d al-bana>t), ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW
sangat revolusioner, yakni: ‚Yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik

sikap dan prilakunya terhadap kaum wanita‛. Atau pula: ‚Barangsiapa yang
membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk
sorga". Kemudian: "Sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu ‛ (hadits).29
Menurut ajaran Islam, wanita diposisikan secara istimewa dan sejajar dengan
laki-laki.30 Hal itu dapat diamati point-point berikut:
1.

Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (Q.S. Al-Ahzab:
35, Muhammad: 19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal
saleh atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya.

2.

Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh,
memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (Q.S. AlNisa>’: 4 dan 32).

29
30

Ibid.
Mah{mu>d Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah (t.t.: Da>r al-Qalam, 1966), 14-15.

15
3.

Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan
memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan. (Q.S. Al-Nisa’: 7).

4.

Kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu
pengetahuan: ‚Mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim pria dan

wanita‛ (al-Hadits).
5.

Kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan
ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu
terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui
lembaga fasakh dan khulu‘, seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah,
gila, berpenyakit yang

mengakibatkan

suami tak

dapat memenuhi

kewajibannya dan lain-lain.
6.

Wanita

adalah

pasangan pria, hubungan mereka

adalah kemitraan,

kebersamaan dan saling ketergantungan (Q.S. Al-Nisa’:1, Al-Tawbah: 71, AlRu>m: 21, Al-Hujura>t: 13). Q.S. Al-Baqarah: 2 menyimbolkan hubungan saling
ketergantungan itu dengan istilah pakaian; ‚Wanita adalah pakaian pria, dan

pria adalah pakaian wanita‛.
7.

Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala
(kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah di
dunia (Q.S. Ali ‘Imra>n:195, Al-Nisa>’ : 124, Al-Tawbah: 72 dan Al-Mu'min:40).

8.

Hak dan kewajiban wanita-pria dalam hal tertentu sama (Q.S. Al-Baqarah:
228, Al-Tawbah: 71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang
sama dan berbeda pula (Q.S. Al-Baqarah: 228, Al-Nisa>’:11 dan 43). Kodratnya
yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka
dalam kehidupan sehari-hari -misalnya sebagai suami-isteri- fungsi mereka

16
pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga,
sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga.
Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggungjawab untuk
mencari nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada
urusan kehidupan rumahtangga, mendidik anak dan membesarkan mereka. Walau
demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau melakukan
aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan kewajiban) terhadap apa
yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya. Sebagai anak (belum dewasa),
wanita berhak mendapat perlindungan, kasih sayang dan pengawasan dari
orangtuanya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala rumah tangga, ibu, mendapat
kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga masyarakat dan warga negara,
posisi wanita pun sangat menentukan.31
b.

Eksistensi wanita
Will Durant, seorang sejarawan Barat terkemuka, mengakui jasa Muhammad
dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita. Menurutnya, perlakuan
yang ditunjukkan oleh Nabi terhadap kaum perempuan sungguh-sungguh berbeda
dengan perlakuan masyarakat Arab saat itu menempatkan perempuan pada strata
sosial urutan paling bawah. Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami
mobilitas vertikal. Gerak dan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam
berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan terbuka luas. Sumbangan perempuan
bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih

31

Ibid.

17
egaliter. Dalam seting sosial-kultur Arab yang sangat paternalistik, apa yang
dilakukan Muhammad adalah sangat revolusionar dan sangat modern.32
Islam telah membawa semangat reformasi, transformasi dan liberasi yang
membebaskan perempuan dari praktek-praktek dehumanisme dan feodalisme.
Ketika eksistensi perempauan sama sekali tidak mendapat tempat di masyarakat,
Muhammad telah menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang
ekuivalin (Lihat Q.S. al-Taubat: 71 dan al-Nisa: 124).33
Dengan fakta sejarah tersebut, pandangan modernis meyakini bahwa spirit
Islam yang dibawa Muhammad adalam membebaskan perempuan. Secara historis
dikatakan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah berjalan secara gradual
disesuaikan dengan kondisi masyarakat Arab pada waktu itu. Meski demikian
perubahan gradual itu dalam konteks historis dan kultural mestinya berjalan terus
dan tidak berhenti ketika Muhammad wafat. Karena menurut pandangan ini, pola
dialektika ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap ( relatifering process),
karenanya di dalam memposisikan perempuan, dalam prakteknya tidak dapat
sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. 34
Wanita Arab -dalam ini Islam- jauh lebih dahulu daripada Eropa dan
Amerika dalam mengkritisi budaya patriarkhis. 15 abad yang lalu Ummu Salamah
telah mengajukan pertanyaan begitu cerdas, dia mengadu: ‚Kami masuk Islam

sebagaimana laki-laki masuk Islam Kami mengerjakan apa yang mereka kerjakan,
tapi mengapa mereka disebut di dalam al-Qur’an sedangkan kami tidak?‛ maka
turunlah ayat yang berbunyi ‚kaum beriman laki-laki dan kaum beriman

32

Nasyithotul Jannah, Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendekatan
Autokritik, Artikel. Hal. 8-9. Lihat http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf.
33
Ibid., 9.
34
Ibid., 9.

18
perempuan...‛ Begitu juga pengaduan Khawlah bint Tha’lab tentang dzihar
suaminya yang akhirnya menjadi sebab turunnya Q.S. al-Muja>dalah: 1. 35
Berbeda dengan paradigma patriarkhi yang acap meredusir perempuan hanya
sekedar menjadi the body, Islam sering mendeskripsikan eksistensi perempuan
dalam konteks kekuatan moralitas, intelektualitas dan spiritualitas. Hal ini
tercermin pada ungkapan seperti al-umm madrasah (Ibu adalah universitas

kehidupan) dan al-Jannah tah{ta aqda>m al-ummaha>t (Surga itu berada di bawah
naungan telapak kaki Ibu ). Teks-teks ini bukti pengakuan bahwa derajat perempuan
memang sangat dimuliakan dalam Islam. Bahkan, perempuan kemudian diakui
sebagai yang paling berpengaruh dalam pembentukan peradaban sebuah generasi, 36
Dalam al-Taubah ayat 72 Allah berfirman: ‚Dan orang-orang yang beriman,

laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.
Mereka menyuruh berbuat yang makruf (amar makruf ) dan mencegah dari yang
mungkar (nahi mungkar ), melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada
Allah dan Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh Allah Maha
perkasa dan Bijaksana.‛
Dari ayat ini, dalam konteks gender, secara deskriptif perempuan
diperintahkan dapat berperan pertama sebagai mitra yang kompetitif dan aspiratif
sebagai personifikasi dari amar ma’ruf dan sekaligus -meminjam istilah Nurcholis
Madjid- oposan loyal sebagai personifikasi nahi mungkar bagi laki-laki.
i. Sebagai Mitra Sejajar
Penindasan

terhadap

etnis

perempuan

adalah

penindasan

terpanjang sepanjang sejarah, lebih lama dari penindasan terhadap etnis
35
36

Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 235.

Ibid., 11-12.

19
manapun.37 Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan
di sektor manapun ia berada, semestinya tak akan pernah terjadi jika saja
perempuan mampu memposisikan diri sebagai mitra yang dapat dipercaya
dan dapat diandalkan bagi kaum laki-laki dalam penyelesaian tugastugasnya. Mitra yang memiliki hubungan sinergi berimbang, harmonis,
jauh dari semangat rivalitas yang saling menaklukan, menguasai dan
mendominasi satu sama lain.
Menurut Ami>nah Wadud, hal yang harus dilakukan perempuan
modern saat ini adalah membangun relasi fungsional antara laki-laki dan
perempuan dalam interaksi sosial yang didasarkan pada semangat Al
Qur’an.

Dalam

membangun

relasi

fungsional

dalam

kehidupan

masyarakat, Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi
kemajuan hidup manusia. Kesetaraan individu merupakan kunci dalam
mencapai kemajuan tersebut. Bagi Wadud ada beberapa aspek penting
dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama,
perspektif yang lebih adil dalam hak dan kewajiban individu baik laki-laki
ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran
tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur'an tentang
keadilan sosial, penghargaan atau martabat manusia, persamaan hak di
hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender
hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi
manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menjadi prinsip utama sebuah

37

Nasyithotul Jannah, Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendekatan
Autokritik, makalah. Hal. 12. Lihat http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf.

20
‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi
penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.38
ii. Sebagai Oposan Loyal
Perempuan adalah oposan loyal yang melaksanakan peran
korektif-konstruktif atau nahi mungkar terhadap kaum laki-laki. Artinya
perempuan harus bisa memaknai bahwa eksistensinya di dunia ini adalah
sebagai bentuk oposisi dialektis - dalam arti positif - untuk laki-laki guna
mewujudkan equilibrium.39
Keberhasilan perempuan di ranah publik, bukan saja mereka telah
berhasil memasuki dunia maskulin, tetapi juga mengadopsi nilai-nilai
maskulin yang dikritiknya serta meninggalkan sikap kepedulian terhadap
pengasuhan dan pemeliharaan. Banyak perempuan yang telah menjadi

male clone (tiruan laki-laki) di peradaban modern, yaitu peradaban
ekonomi pasar berdasarkan untung rugi, kompetisi, kekuasaan, materi dan
eksploitasi. Status dan kekuasaan harus diperebutkan karena kesuksesan
di dunia maskulin diukur oleh itu semua.
Fenomena seperti itu terjadi disebabkan kaum perempuan tidak
mengfungsikan peran oposannya (nahi mungkar) terhadap laki-laki,
namun justru menjadi ‚sekutu‛nya atau bahkan menyediakan diri menjadi
‚korban‛nya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam setiap
kejatuhan sebuah masyarakat, perempuan selalu punya peran. Dalam
konteks inilah paradigma ‛ ‚ Wanita adalah pilar negara, jika ia baik maka

negara akan menjadi baik dan bila ia buruk negara akan menjadi buruk ‚
38
39

Ibid., 14.
Ibid.

21
menjadi menemukan relevansinya. Padahal menjadi pilar Negara berarti
menjadi subyek aktif yang bermanfaat untuk menentukan nasib bangsa
seperti ungkapan sang pionir, Kartini, ‚Perempuan itu adalah pembawa

peradaban.‛ ‚Saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu
mungkin timbul pengaruh yang besar, dalam hal membaikkan maupun
memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak membantu
memajukan kesusilaan manusia.‛ Nah, untuk mewujudkan sebuah tatanan
kehidupan yang beradab, kaum perempuan harus berani mengambil peran
strategis sebagai oposan loyal. Oposan loyal bukan bermakna asal tampil
beda atau mengambil posisi diametral dan kontraversial yang menjadikan
laki-laki sebagai musuh atau lawan yang vis a vis dengan dirinya.
Melainkan menfungsikan kefemininitasan sebagai simbol nilai-nilai
kelembutan yang persuasif untuk kepentingan nahi mungkar agar kaum
laki-laki tidak menggunakan energi kemaskulinannya (kekuatannya)
untuk membuat kerusakan (fasad) tetapi justru untuk melindungi nilainilai humanisme dan kebenaran. Karenanya kualitas feminine harus dapat
ditingkatkan agar bisa menjadi penyeimbang (oposisi) agar semua
kerusakan dapat dikurangi. Perempuan hendaknya menyadari bahwa sifat
dan kualitas feminin bukan sesuatu yang rendah, justru sebaliknya Allah
menciptakan kualitas kefemininan ini sebagi potensi keperempuanan yang
perlu dijaga dalam arti yang aktif positif serta kreatif. Kualitas feminin
bukanlah bentukan kultur dan struktur melainkan kodrat keperempuanan;
kodrat yang harus diterima sebagai sebuah keniscayaan adanya. Dan
justru dalam diri keperempuananlah keseimbangan dualitas di muka bumi
ini tercipta. Di bumi ini tidak hanya hadir prinsip berjuangan dan
22
memberi yang tersimbolkan dalam maskulinitas namun juga menerima
dan memelihara sebagai simbol femininitas. Agar kekuatan tidak
menjelma menjadi kekerasan, maka harus pula berbarengan dengan
kelembutan dan kasih. Dalam kosmologi Islam, bumi adalah lambang
menerima, penuh kasih, pasif dan damai. Inilah sifat-sifat feminin. Kodrat
tentu tidak bisa dilawan melainkan dikembangkan. Kemampuan manusia
merekonstruksi gender feminin dan maskulin tak akan merubah substansi
kualitas gender: kodrat. Bagaimanapun Islam tidak mengenal paradigma
gender yang strukturalis yang melihat relasi pria dan perempuan sebagai
hubungan atas dan bawah, antara inferior dan superior yang saling
menguasai, tetapi sebagai hubungan fungsional ekuivalen yang saling
melengkapi.40

3. Diskursus Tafsir Wanita Versus Pria
Di dalam pembahasan ini penulis ingin mengemukakan isu-isu tentang perempuan
perspektif tafsir al-Qur’an, yaitu:
a.

Kepemimpinan Perempuan (Q.S. Al-Nisa>’: 34).
Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 34:
                 
            
              
     

‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
40

Ibid., 17.

23
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.‛
Di antara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini
sebabnya, peperangan hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada kaum
perempuan. Begitu pula tugas menafkahi keluarga. Peperangan merupakan suatu
urusan melindungi bangsa dan negara. Inilah yang menjadi dasar, mengapa kaum
laki-laki memperoleh bagian yang lebih banyak dalam harta warisan. tetapi diluar
hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan, menuntut, dan memimpin) maka
dalam masalah hak atau kewajiban yang lain, laki-laki dan perempuan adalah sama.
Derajat yang dimiliki laki-laki adalah memimpin dan mengurus rumah
tangga. Isteri mengurus rumah tangga dengan bebas, asal dalam batas-batas yang
ditetapkan syara’ dan diridhai (disetujui) oleh suami. Isteri memelihara rumah,
mengendalikannya

dan

memelihara

serta

mendidik

anak-anak,

termasuk

membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan. Di bawah naungan
suami, isteri bisa menjalankan tugasnya, mengandung dan mengyusui bayinya. 41
Al-Thabari>,

al-Ra>zi>

dan

Muh}ammad

‘Abduh-Rasyi>d

Rid}a>

sepakat

menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap istrinya dalam rumah tangga.
Argumentasinya adalah pernyataan al-Qur’an al-rija>l qawwa>mun ‘ala> al-Nisa>’. Kata

qawwa>mun dalam kalimat tersebut diartikan sebagai pemimpin. Al-Qur’an
mengemukakan dua alasan mengapa suami menjadi pemimpin: pertama, karena
kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka; kedua, kewajiban mereka

41

Lihat H{amdu>n Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m, cet. ke-1 (Villach: Ligh of Life, 1994), 13-15.

24
memberi nafkah keluarganya. Namun demikian para mufassir di atas berbeda
pendapat dalam menerangkan apa kelebihan suami atas istri. Apakah kelebihan
fisik, intelektual, agama, atau semuanya sekaligus. 42
Menurut Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a>, kepemimpinan laki-laki dalam
rumah tangga bukan menunjukkan derajat perempuan lebih rendah dibanding lakilaki, tapi karena kepemimpinan itu didasarkan pada kelebihan yang dimiliki lakilaki dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Di samping itu, kepemimpinan lakilaki terhadap perempuan dalam rumah tangga harus bersifat demokratis, bukan
kepemimpinan absolute yang membatasi kebebasan perempuan.43
Sementara itu, Asghar Ali Engineer mengakui keunggulan laki-laki adalah
sebagai keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu
diturunkan, laki-laki itu bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah
menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran social perempuan waktu itu masih
rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai keunggulan. Oleh karena itu,
kepemimpinan laki-laki dan perempuan bersifat kontekstual, bukan normatif.
Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan sendirinya juga akan
berubah. Sedangkan Amina menerima kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga,
asal laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kelebihan itu digunakan
untuk mendukung perempuan. Kelebihan laki-laki yang diakui Amina hanyalah
kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh Al-Qur’an.44
b.

Konsep Kewarisan Perempuan (Q.S. Al-Nisa>’ : 11).
Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 34:
42

Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1,
(Yogyakarta: Lkis, 2003), 325. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Kedudukan Perempuan
dalam Islam, pdf.
43
Ibid., 326.
44

Ibid.

25
                 
                    
                     
                 
         

‚Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.‛
Para mufassir (Al-Thabari>, dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a> ) juga feminis muslim (Asghar Ali Engineer) sepakat menyatakan bahwa formula kewarisan
2:1 (bagian laki-laki dua banding satu dengan perempuan) tidaklah bersifat
diskriminatif terhadap kaum perempuan, bahkan juga tidak menunjukkan
inferioritas perempuan dibanding laki-laki. Menurut mereka, formula kewarisan 2:1
berdasarkan asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban.45
Sementara al-Ra>zi>, sekalipun menyebutkan juga asas keadilan berimbang
antara hak dan kewajiban, ia menambahkan alasan lain tentang hikmah mengapa
laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. Menurutnya, karena
45

Ibid.; Lihat Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 242.

26
kaum laki-laki lebih sempurna akhlaknya, akalnya, dan agamanya disbanding kaum
perempuan.46 Bahkan ia mengatakan lagi perempuan itu sedikit akal dan banyak
nafsu (keinginannya), sehingga apabila perempuan diberi banyak harta bisa
menyebabkan ia lebih banyak terjerumus dalam kerusakan (fasad).47
Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa pewarisan sangat tergantung pada
struktur sosial, ekonomi, dan fungsi jenis kelamin masing-masing dalam
masyarakat. Perempuan mempunyai peranan yang berbeda dengan laki-laki pada
saat turunnya al-Qur’an. Tanpa mengingat fakta semacam itu, maka sulit sekali
memahami secara tepat ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan waris. Jadi,
pembagian warisan semacam itu harus dilihat dari konteks sosiologi dan
ekonomisnya, demi terciptanya asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban.
Sedangkan Amina Wadud Muhsin secara implisit tidak setuju dengan
formula pewarisan semacam itu. Pembagian waris harus dilihat dari berbagai faktor
yang lain, seperti keadaan orang yang meninggal dan orang-orang yang ditinggal.
Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang berhak,
kombinasinya dan kemanfaatannya.
Menurut Syahrur, ayat-ayat tentang warisan hanyalah merupakan ayat

h{udu>di>yah yang memberikan prinsip-prinsip tentang batas maksimum ( al-h{add ala‘la>) dan batas minimum (al-h{add al-adna>). Di antara dua batas tersebut, para
ulama’ dipersilakan berijtihad sesuai dengan kondisi ekonomi, tanggungjawab
keluarga, dan keterlibatan kaum perempuan dalam memikul tanggung jawab
keluarga yang berkembang, sesuai dengan tempat dan waktu tertentu. Yang penting

46
47

Lihat Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah, 17.
Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 327.

27
tidak, tidak lebih tinggi dari batas maksimum dan tidak lebih rendah dari batas
minimum. 48
c.

Poligami (Q.S. Al-Nisa>’ : 3).
Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 3:
                  
             

‚Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.‛
Poligami adalah sistem yang telah lahir sebelum Islam.49 Islam muncul di
tengah-tengah sistem yang memratekkan poligami. Poligami menjadi sebuah sistem
yang melekat di Arab, yang dilaksanakan semata-mata untuk kebutuhan biologis
dan beberapa aspek masyarakat.50 Islam tidak melarang umatnya berpoligami dan
tidak pula mengajaknya secara mutlak tanpa batasan. Tetapi Islam membatasinya
dengan ikatan keimanan yang terkandung dalam nash. 51
Al-Thabari>, al-Ra>z i> dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a memahami ayat 3
dari al-Nisa>’ yang biasanya dijadikan sebagai dasar kebolehan berpoligami itu,
dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim atau perempuan-perempuan
yang dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama dari ayat tersebut adalah berbuat
adil terhadap hak-hak anak yatim dan kepentingan perempuan-perempuan yang
dinikahi. Sangat penting bagi laki-laki berlaku adil terhadap pasangannya. Tanpa
48

Ibid., 328.
Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 186.
50
Karim Hilmi Farhat Ahmad, Poligami: Berkah atau Musibah? (ter.) Munirul Abidin dan Farhan. Cet.
49

Ke-1 (Jakarta: Senayan Publishing, 2007), 17.
51

Ibid.

28
mampu berlaku adil, maka kawin dengan seorang perempuan lebih baik. Jadi ayat di
atas menegaskan bahwa keadilan adalah konsep utamanya, bukan terletak pada
poligaminya yang diperlakukan sebagai hak istimewa, seperti yang terjadi pada
masyarakat patriarkal. 52
Dalam kaitannya dengan ayat di atas, al-Thaba>ri> dengan tegas mengatakan,
jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga
terhadap perempuan-perempuan lain yang disenangi, maka janganlah kamu kawini
mereka walaupun hanya satu orang, cukuplah kamu bersenang-senang dengan budak
yang kamu miliki. Karena yang demikian itu lebih selamat dari perbuatan dosa atau
dari penyelewengan terhadap perempuan. Berbeda dengan Al-Thabari>, al-Ra>zi
membolehkan poligami asal saja tidak lebih dari empat orang (batas maksimal), dan
harus berlaku adil terhadap semuanya. Jika khawatir tidak bisa berlaku adil, maka
nikahilah satu orang istri saja (batas minimal), sedangkan di antara dua batas
tersebut (maksimal dan minimal) boleh-boleh saja.53
Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin mengatakan, sebenarnya ayat
di atas lebih menekankan pada berbuat adil terhadap anak-anak yatim, bukan
mengawini lebih dari seorang perempuan. Karena konteks ayat ini adalah tentang
kondisi pada masa itu di mana mereka yang memelihara anak yatim sering berbuat
tidak semestinya, dan terkadang mengawini mereka tanpa mas kawin. 54
Bahkan Amina Wadud berkesimpulan bahwa monogami merupakan bentuk
perkawinan yang lebih disukai oleh al-Qur’an. Dengan monogami, tujuan
perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tenteram dapat
terpenuhi. Sementara itu, dalam poligami hal itu tidak mungkin tercapai, karena
52
53
54

Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 328.
Ibid., 329.

Ibid.

29
seorang suami akan membagi cintanya kepada lebih dari satu keluarga. Sementara
dalam membagi cinta, laki-laki sulit sekali –untuk tidak mengatakan mustahil- bisa
berlaku adil.55
Dalam Tafsir al-Manar, secara eksplisit Muhammad Abduh-Rasyid Ridha
tidak setuju terhadap praktik poligami yang ada dalam masyarakat. Poligami
walaupun secara normatif diperbolehkan, namun mengingat persyaratan yang sulit
untuk diwujudkan (keadilan di antara para istri), maka poligami sebetulnya tidak
dikehendaki oleh al-Qur’an. Bentuk perkawinan monogamilah sebenarnya yang
menjadi tujuan perkawinan, karena perkawinan monogami akan tercipta suasana
tenteram dan kasih sayang dalam keluarga.56
Senada dengan pendapat al-Razi, Syahrur juga memandang ayat itu sebagai
ayat h{udu>di>yah, yang mengandung makna ‚batas-batas penetapan hukum‛, baik
yang bersifat kuantitatif (h}udu>d al-kamm) maupun yang bersifat kualitatif (h}udu>d

al-kayf). Dari segi kuantitatif, ayat itu menetapkan ‚batas minimal‛ ( al-h}add aladna>) laki-laki disyari’atkan untuk menikah dengan seorang perempuan (istri), dan
‚batas maksimal‛ (al-h}add al-a‘la>) membolehkan laki-laki untuk menikahi empat
orang istri. Dari segi kualitatif, Syahrur menegaskan bahwa pembolehan praktik
poligami itu dikaitkan dengan persyaratan istri kedua, ketiga dan keempat haruslah
‚perempuan-perempuan janda yang mempunyai anak yatim‛. Sebab, pada dasarnya
poligami itu bertujuan untuk mengatasi problem kemanusiaan, yaitu dengan
menolong para janda dan anak-anak yatim, bukan sebagai satu bentuk sistem
pernikahan untuk menuruti hawa nafsu.57

55

Ibid., 330.
Ibid.
57
Ibid.
56

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan tentang wanita, baik tentang asal-usul kejadian
wanita, posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial, diskursus tafsir wanita
versus pria, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa tentang asal-usul kejadian wanita yang disinggung oleh surat al-Nisa’ ayat 1,
para ulama’ masih berbeda pendapat, hal itu dikarenakan mereka masih berselisih
pendapat di dalam menafsirkan kata ‚diri yang satu‛ (al-nafs al-wa>h{idah), siapa yang
ditunjuk pada kata ganti (d{ami>r) ‚dari padanya‛ (minha>), dan apa yang dimaksud
‚pasangan‛ (zawj). Ada beberapa pendapat:
a. Perempuan diciptakan berasal dari bagian tubuh (tulang rusuk) laki-laki
(Adam). Karena al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai Adam, min pada minha>
bermakna tab’idiyah, dan zawj di tafsiri sebagai hawa.
b. Perempuan diciptakan berasal dari jenis dan unsur genetika yang sama dengan
laki-laki. Karena al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai Adam, min pada minha>
bermakna jinsiyah. Ataupun al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai jenis yang
sama, yang mana nafs dan zauj masih netral.
2. Adapun posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial dalah bahwasanya:
a.

Dalam segala aspek sosialnya, Islam memposisikan wanita sejajar dan sama
dengan posisi laki-laki. Adapun perbedaan peran dan fungsi dalam kehidupan
masyarakat adalah dalam rangka pembagian tugas dalam lingkup keluarga
dalam rangka menjaga keadilan berimbang antara hak dan kewajiban. Dan hal
31
ini samgat dipengaruhi oleh pertama, bentuk dan susunan masyarakat tempat
wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai yang dianut masyarakat
bersangkutan.
b.

Di dalam aspek fungsi dan perannya dalam kehidupan sosial, Islam
menjadikan wanita sebagai patner dan mitra perjuanganlaki-laki, sebagai
tempat saring intelektual, moral dan spiritual yang saling berbagai tugas
dalam memenangkan dakwah. Di samping itu wanita juga di jadikan sebagai
oposan loyal yang melaksanakan peran korektif-konstruktif atau nahi mungkar
terhadap kaum laki-laki sebagai bentuk oposisi dialektis -dalam arti positifuntuk laki-laki guna mewujudkan equilibrium.

3. Di antara diskursus tafsir wanita versus laki-laki adalah sebagai berikut:
a. Kepemimpinan perempuan (Q.S. Al-Nisa: 34). Para pakar tafsir baik klasik
maupun kontemporer sepakat bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin

pertama, karena kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka; kedua,
kewajiban mereka memberi nafkah keluarganya. Tetapi tafsir ini tidak
menegasikan kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah keahliannya.
b. Konsep kewarisan perempuan (Q.S. Al-Nisa: 11). Para mufassir sepakat
menyatakan bahwa formula kewarisan 2:1 (bagian laki-laki dua banding satu
dengan perempuan) tidaklah bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan,
bahkan juga tidak menunjukkan inferioritas perempuan atas superioritas lakilaki. Menurut mereka, formula kewarisan tersebut berdasarkan asas keadilan
berimbang antara hak dan kewajiban
c. Poligami (Q.S. Al-Nisa: 11). Para mufassir lebih cenderung pada bahwa asas
perkawinan

dalam

Islam

adalah monogami. Adapun

yang

menjadi

pertimbangan utama poligami dalam ayat tersebut adalah berbuat adil
32
terhadap hak-hak anak yatim dan kepentingan perempuan-perempuan yang
dinikahi. Ketika dimungkinkan berbuat adil terhadap beberapa istri, dapat
menciptakan suasana tenteram dan kasih sayang dalam keluarga, poligami
menjadi sah-sah saja. Akan tetapi potensi ke arah tersebut sangat minim.
Adapun menurut Syahrur, ayat tersebut termasuk ke dalam cakupan ayat-ayat

h{udu>di>yah.

B. Saran-saran
1. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah SWT. sudah seharusnya kita saling
menghormati dan memulyakan atas nama sama-sama sebagai hamba-Nya dan

khalifah-Nya di bumi ini dengan tanpa memandang suku, ras, golongan, dan jenis
kelamin. Masing-masing kita dibekali dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing untuk saling melengkapi. Hanya kadar ketakwaan yang bisa dibuat pembeda
terhadap kedudukan seseorang di sisi-Nya.
2. Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu saran
dan

kritik

konstruktif

dari

pembaca

penyempurnaannya.

33

sangat

penulis

harapkan

untuk
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Karim Hilmi Farhat. Poligami: Berkah atau Musibah? (ter.) Munirul Abidin dan
Farhan. Cet. Ke-1. Jakarta: Senayan Publishing, 2007.
Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi ,
cet. ke-1. Surabaya: Khalistha, 2007.
Da>ghir, H{amdu>n. Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m . Cet. Ke-1. Villach: Ligh of Life, 1994.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, cet.
Ke-1. Beirut: Da>r al-fikr, 1993.
Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1.
Yogyakarta: Lkis, 2003.
Mulia, Siti Musdah. Islam & Inspirasi kesetaraan Gender , cet. Ke-1. Yogyakarta: Kibar
Press, 2007.
Al-Naysa>bu>ri>, Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j ibn Muslim. S{ah}i>h} Muslim . vol. 1.
Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t.
Al-Nawawi>, Abu> Zakari>ya Yah}ya> ibn Syaraf. S{ah}i>h} Muslim bi Syarh{ al-Nawawi>. cet. Ke-4,
vol. V .Kairo: Dar al-H{adith, 2001.
Shalt{u>t, Mah{mu>d. Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah . t.t.: Da>r al-Qalam, 1966.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Kedudukan Perempuan dalam Islam , pdf.
Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl. al-Jami‘ al-Saghi>r fi Ah}a>di>th albashi>r al-nazhi>r, cet. ke-4, vol. II. Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.
Sudarwati dan D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Seman
tik Historis, Pragmatik, Artikel.
http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html.
Umar, Nasaruddin. Perspektif Jender Dalam Islam
dalam Jurnal Pemikiran Islam
Paramadina. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html.
Al-Ghazali, Muhammad. Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat. Kairo: Dar Al-Kutub AlHaditsah, 1964. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html# .

34
Syaltut, Mahmud. Min Taujihat Al-Islam. Kairo: Al-Idarat Al-'Amat li al-Azhar, 1959.
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html# .
Kedudukan Wanita dalam Islam http://muslimahui.my-php.net/?p=7
Jannah, Nasyithotul. Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendeka
tan Autokritik, Artikel.
http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf.

35

More Related Content

What's hot

INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf QordhowiINTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf QordhowiDadang Rohendi
 
Kontroversi hijab dalam al qur'an
Kontroversi hijab dalam al qur'anKontroversi hijab dalam al qur'an
Kontroversi hijab dalam al qur'anDodyk Fallen
 
Wanita dan kepemimpinannya part ii
Wanita dan kepemimpinannya part iiWanita dan kepemimpinannya part ii
Wanita dan kepemimpinannya part iiLusi Efrenti
 
Membongkar kedok sufi
Membongkar kedok sufiMembongkar kedok sufi
Membongkar kedok sufiHelmon Chan
 
Syarifudin, khutbah idul adha.
Syarifudin, khutbah idul adha.Syarifudin, khutbah idul adha.
Syarifudin, khutbah idul adha.Syarifudin Amq
 
Mengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab Mereka
Mengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab MerekaMengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab Mereka
Mengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab MerekaAbu Muhammad
 
apakah yang telah diseludup oleh syiah
apakah yang telah diseludup oleh syiahapakah yang telah diseludup oleh syiah
apakah yang telah diseludup oleh syiahR&R Darulkautsar
 
Id the book_of_tawheed
Id the book_of_tawheedId the book_of_tawheed
Id the book_of_tawheednovallich
 
PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...
PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...
PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...Sulistiowati Nur Faimi
 
Tafsir surat al maa’uun dan al 'ashr
Tafsir surat al maa’uun dan al 'ashrTafsir surat al maa’uun dan al 'ashr
Tafsir surat al maa’uun dan al 'ashrRizal Fuadi Muhammad
 

What's hot (19)

INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf QordhowiINTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
 
Kontroversi hijab dalam al qur'an
Kontroversi hijab dalam al qur'anKontroversi hijab dalam al qur'an
Kontroversi hijab dalam al qur'an
 
Wanita dan kepemimpinannya part ii
Wanita dan kepemimpinannya part iiWanita dan kepemimpinannya part ii
Wanita dan kepemimpinannya part ii
 
Pemuda
PemudaPemuda
Pemuda
 
Hakikat tasawuf
Hakikat tasawufHakikat tasawuf
Hakikat tasawuf
 
Mewaspadai sufi
Mewaspadai sufiMewaspadai sufi
Mewaspadai sufi
 
Runtuhnya Teori Evolusi Darwin Hanya Dengan 20 Pertanyaan
Runtuhnya Teori Evolusi Darwin Hanya Dengan 20 PertanyaanRuntuhnya Teori Evolusi Darwin Hanya Dengan 20 Pertanyaan
Runtuhnya Teori Evolusi Darwin Hanya Dengan 20 Pertanyaan
 
Membongkar kedok sufi
Membongkar kedok sufiMembongkar kedok sufi
Membongkar kedok sufi
 
TUGAS HADIS TEMATIK ALFIANA WARDANI. SM V MD-A FDK UINSU 2019
TUGAS HADIS TEMATIK ALFIANA WARDANI. SM V MD-A FDK UINSU 2019TUGAS HADIS TEMATIK ALFIANA WARDANI. SM V MD-A FDK UINSU 2019
TUGAS HADIS TEMATIK ALFIANA WARDANI. SM V MD-A FDK UINSU 2019
 
Syarifudin, khutbah idul adha.
Syarifudin, khutbah idul adha.Syarifudin, khutbah idul adha.
Syarifudin, khutbah idul adha.
 
Yesus di india
Yesus di indiaYesus di india
Yesus di india
 
makalah studi hadis
makalah studi hadismakalah studi hadis
makalah studi hadis
 
Manajemen Kehidupan Sepanjang Masa
Manajemen Kehidupan Sepanjang MasaManajemen Kehidupan Sepanjang Masa
Manajemen Kehidupan Sepanjang Masa
 
Mengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab Mereka
Mengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab MerekaMengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab Mereka
Mengenali Syiah Melalui Kitab-Kitab Mereka
 
apakah yang telah diseludup oleh syiah
apakah yang telah diseludup oleh syiahapakah yang telah diseludup oleh syiah
apakah yang telah diseludup oleh syiah
 
Id the book_of_tawheed
Id the book_of_tawheedId the book_of_tawheed
Id the book_of_tawheed
 
Makalah terbaru STUDI AL-HADIS
Makalah terbaru STUDI AL-HADISMakalah terbaru STUDI AL-HADIS
Makalah terbaru STUDI AL-HADIS
 
PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...
PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...
PPT Materi Agama Islam kelas 10 tentang kontrol diri, prasangka baik, dan Uhk...
 
Tafsir surat al maa’uun dan al 'ashr
Tafsir surat al maa’uun dan al 'ashrTafsir surat al maa’uun dan al 'ashr
Tafsir surat al maa’uun dan al 'ashr
 

Similar to Wanita miftaqurrohman el qudsy

GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSIGERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSIKuliahMandiri.org
 
Makalah Islam, Perempuan, dan Feminisme
Makalah Islam, Perempuan, dan FeminismeMakalah Islam, Perempuan, dan Feminisme
Makalah Islam, Perempuan, dan FeminismeAdiba Qonita
 
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam IslamKedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islamsiska sri asali
 
Islam, Perempuan, dan Feminisme
Islam, Perempuan, dan FeminismeIslam, Perempuan, dan Feminisme
Islam, Perempuan, dan FeminismeAdiba Qonita
 
Beberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islamBeberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islamAgus Muqtafiy
 
KEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptx
KEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptxKEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptx
KEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptxMiftah Iqtishoduna
 
Emansipasi wanita(new)
Emansipasi wanita(new)Emansipasi wanita(new)
Emansipasi wanita(new)Fajar Hidayat
 
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuan
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuanUSHUL FIQH : Kajian fiqh perempuan
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuanChusna anee
 
Korelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenial
Korelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenialKorelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenial
Korelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenialwidia wati
 
Implementasi konsep gender
Implementasi konsep genderImplementasi konsep gender
Implementasi konsep gendermbahfaqir
 
Hak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarah
Hak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarahHak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarah
Hak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarahApip Masykur
 
Hak hak wanita-sebuah tinjauan sejarah
Hak hak wanita-sebuah tinjauan sejarahHak hak wanita-sebuah tinjauan sejarah
Hak hak wanita-sebuah tinjauan sejarahMustakim S.Pd
 
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...Abdullah Baspren
 
MAKALAH kontroversi presiden wanita .docx
MAKALAH kontroversi presiden wanita .docxMAKALAH kontroversi presiden wanita .docx
MAKALAH kontroversi presiden wanita .docxYusYusrian
 
Tugas teologi feminis_olahan
Tugas teologi feminis_olahanTugas teologi feminis_olahan
Tugas teologi feminis_olahanirmafauzii
 
Peran wanita dalam politik islam
Peran wanita dalam politik islamPeran wanita dalam politik islam
Peran wanita dalam politik islammelly lydea
 
Makalah Pendekatan Gender dalam Islam
Makalah Pendekatan Gender dalam IslamMakalah Pendekatan Gender dalam Islam
Makalah Pendekatan Gender dalam IslamAlief Reza KC
 

Similar to Wanita miftaqurrohman el qudsy (20)

GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSIGERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
 
Makalah Islam, Perempuan, dan Feminisme
Makalah Islam, Perempuan, dan FeminismeMakalah Islam, Perempuan, dan Feminisme
Makalah Islam, Perempuan, dan Feminisme
 
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam IslamKedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islam
 
Islam, Perempuan, dan Feminisme
Islam, Perempuan, dan FeminismeIslam, Perempuan, dan Feminisme
Islam, Perempuan, dan Feminisme
 
Beberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islamBeberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islam
 
Kedudukan wanita
Kedudukan wanitaKedudukan wanita
Kedudukan wanita
 
KEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptx
KEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptxKEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptx
KEPEMIMPINAN DALAM KESETARAAN GENDER.pptx
 
Emansipasi wanita(new)
Emansipasi wanita(new)Emansipasi wanita(new)
Emansipasi wanita(new)
 
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuan
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuanUSHUL FIQH : Kajian fiqh perempuan
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuan
 
Korelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenial
Korelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenialKorelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenial
Korelasi feminisme terhadap krisis moral wanita era milenial
 
Implementasi konsep gender
Implementasi konsep genderImplementasi konsep gender
Implementasi konsep gender
 
Hak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarah
Hak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarahHak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarah
Hak hak wanita_ sebuah_tinjauan_sejarah
 
Hak hak wanita-sebuah tinjauan sejarah
Hak hak wanita-sebuah tinjauan sejarahHak hak wanita-sebuah tinjauan sejarah
Hak hak wanita-sebuah tinjauan sejarah
 
GENDER
GENDER GENDER
GENDER
 
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...
 
MAKALAH kontroversi presiden wanita .docx
MAKALAH kontroversi presiden wanita .docxMAKALAH kontroversi presiden wanita .docx
MAKALAH kontroversi presiden wanita .docx
 
Tugas teologi feminis_olahan
Tugas teologi feminis_olahanTugas teologi feminis_olahan
Tugas teologi feminis_olahan
 
Review buku mpki
Review buku mpkiReview buku mpki
Review buku mpki
 
Peran wanita dalam politik islam
Peran wanita dalam politik islamPeran wanita dalam politik islam
Peran wanita dalam politik islam
 
Makalah Pendekatan Gender dalam Islam
Makalah Pendekatan Gender dalam IslamMakalah Pendekatan Gender dalam Islam
Makalah Pendekatan Gender dalam Islam
 

More from Miftaqurrohman el-Qudsy

More from Miftaqurrohman el-Qudsy (14)

Babad tempurejo 1
Babad tempurejo  1Babad tempurejo  1
Babad tempurejo 1
 
Istihsan dalam madhhab Hanafi
Istihsan dalam madhhab HanafiIstihsan dalam madhhab Hanafi
Istihsan dalam madhhab Hanafi
 
Istihsan dalam madhhab Hanafi
Istihsan dalam madhhab HanafiIstihsan dalam madhhab Hanafi
Istihsan dalam madhhab Hanafi
 
Revisi biografi syaikh syarofuddin
Revisi biografi syaikh syarofuddinRevisi biografi syaikh syarofuddin
Revisi biografi syaikh syarofuddin
 
Perbankan islam miftaqurrohman el qudsy
Perbankan islam miftaqurrohman el qudsyPerbankan islam miftaqurrohman el qudsy
Perbankan islam miftaqurrohman el qudsy
 
Pasar modal syari'ah miftaqurrohman el qudsy
Pasar modal syari'ah miftaqurrohman el qudsyPasar modal syari'ah miftaqurrohman el qudsy
Pasar modal syari'ah miftaqurrohman el qudsy
 
Pasar uang syari'ah miftaqurrohman el qudsy
Pasar uang syari'ah miftaqurrohman el qudsyPasar uang syari'ah miftaqurrohman el qudsy
Pasar uang syari'ah miftaqurrohman el qudsy
 
Materi buku jurumiyah 2013 biru
Materi buku jurumiyah 2013 biruMateri buku jurumiyah 2013 biru
Materi buku jurumiyah 2013 biru
 
Fleksibelitas wakaf dalam madzhab hanafi miftaqurrohman el qudsy
Fleksibelitas wakaf dalam madzhab hanafi miftaqurrohman el qudsyFleksibelitas wakaf dalam madzhab hanafi miftaqurrohman el qudsy
Fleksibelitas wakaf dalam madzhab hanafi miftaqurrohman el qudsy
 
Cara berfikir kaum liberal dan fundamentalis dalam timbangan usul al fiqh mif...
Cara berfikir kaum liberal dan fundamentalis dalam timbangan usul al fiqh mif...Cara berfikir kaum liberal dan fundamentalis dalam timbangan usul al fiqh mif...
Cara berfikir kaum liberal dan fundamentalis dalam timbangan usul al fiqh mif...
 
Biografi shorof edit
Biografi shorof editBiografi shorof edit
Biografi shorof edit
 
Bedah kasus putusan ma 2337 k pdt_2009 miftaqurrohman el-qudsy
Bedah kasus putusan ma 2337 k pdt_2009 miftaqurrohman el-qudsyBedah kasus putusan ma 2337 k pdt_2009 miftaqurrohman el-qudsy
Bedah kasus putusan ma 2337 k pdt_2009 miftaqurrohman el-qudsy
 
Abstraksi fix
Abstraksi fixAbstraksi fix
Abstraksi fix
 
Biografi syekh syarofuddin yahya al-amrithy
Biografi syekh syarofuddin yahya al-amrithyBiografi syekh syarofuddin yahya al-amrithy
Biografi syekh syarofuddin yahya al-amrithy
 

Recently uploaded

Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxrahmaamaw03
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfPPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfNatasyaA11
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfGugunGunawan93
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfWahyudinST
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 

Recently uploaded (20)

Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfPPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 

Wanita miftaqurrohman el qudsy

  • 1. WANITA (ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA) MAKALAH Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan Mata Kuliah Islamic Worldview Oleh: MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020 Dosen Pengampu: DR. AHMAD MUNIR, M.Ag. PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO 2013 1
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun forum diskusi, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari isu-isu tentang perempuan (wanita) itu sendiri, baik tentang historitas asal-usul kejadiannya, perannya dalam menjerumuskan nenek moyang manusia (ab al-basyar, Adam) sehingga menyebabkan diusir dari surga, maupun segala ketimpangan dalam realitas sosial dewasa ini yang kesemuanya ditujukan kepada wanita sebagai faktor utamanya. Hadis-hadis seperti ‚Lan yuflih} qawm wallaw amrahum imra’ah‛ (tidak akan sukses suatu kaum yang meyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang wanita ),1 ‚Al-nisa>’ h}aba>’il al-shayt}a>n wa lawla> hadzih al-shahwah lamma> ka>nat kadza>lik‛ (wanita-wanita adalah umpan penjerat setan, seandainya tidak ada nafsu ini tentu mereka tidak akan seperti itu),2 dan ‚Ya> bunayy imsyi khalf al-asad wa al-aswad wa la> tamsy khalf al-mar’ah‛ (wahai anakku, berjalanlah dibelakang singa ataupun ular, dan jangan berjalan di belakang wanita);3 dan ayat semisal ‚Al-rija>l qawwa>mu>n ‘ala> al-nisa>’‛ (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita-wanita),4 ‚Li al-dzakar mithl h}adzdzi al- unthayaynI‛ (Bagi laki-laki bagian dua kali lipat dari perempuan ),5 ataupun ‚Fa ankih}u> ma> t}a>ba lakum min al-nisa>’ mathna> wa thula>tha wa ruba>‘ ‛ (maka kawinilah wanita1 H.R. Abu> Tha’labah. Lihat Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl al-Suyûthî, al-Jami‘ al-Saghi>r fi Ah}a>di>th al-bashi>r al-nazhi>r, cet. ke-4, vol. II (Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 453. 2 Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, cet. Ke-1 (Beirut: Da>r al-fikr, 1993), 153. 3 Perkataan Nabi Dawd kepada putranya Nabi Sulayman. Ibid., 154. 4 Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 34. 5 Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 11. 2
  • 3. wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat )6 oleh mayoritas kaum Muslim sendiri malah dijadikan perangkat untuk melegitimasi pandangan-pandangan subordinatif, inferioritif, marginalitif maupun diskriminatif terhadap perempuan. Islam sesungguhnya adalah agama yang rah}mah li al-‘a>lami>n (menjadi kasih sayang bagi alam semesta) dan sekaligus ramah terhadap perempuan.7 Hal itu bisa diamati terhadap sikap, perlakuan, dan hak yang diterima oleh perempuan-perempuan di sekitar Nabi SAW., baik istri-istri beliau maupun yang lain.8 Nabi tidak pernah mendiskriminasi perempuan dalam hak-hak maupun kewajibannya, bahkan beliau –baik secara revolusi maupun gradual- mempunyai misi besar mengentaskan keterpurukan perempuan yang terjadi sejak masa-masa sebelumnya, mengangkat mereka pada posisi terhormat, setara dan terbebaskan dari belenggu doktrin dan budaya.9 Walaupun ayatayat maupun hadis-hadis di atas bersumber dari beliau. Memahami posisi perempuan dalam Islam harus mengacu kepada sumber-sumber Islam yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan tekstual, melainkan memperhatikan juga segi kontekstualnya, baik konteks makro berupa tradisi masyarakat Arab, kondisi sosio-politik dan sosio-historis ketika itu maupun konteks mikro dalam wujud asba>b al-nuzu>l ayat dan asba>b al-wuru>d hadis. Pemaknaan non-literal terhadap teks-teks suci agama dalam al-Qur’an dan al-Sunnah mengacu kepada tujuan-tujuan hakiki syari’at atau yang lazim disebut dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.10 6 7 3. Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 3. Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi kesetaraan Gender, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), 8 Lihat Jamal Ma’mur Asmani, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi , cet. ke-1 (Surabaya: Khalistha, 2007), 156-157. 9 Ibid., 149. Lihat juga, H{amdu>n Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m, cet. ke-1 (Villach: Ligh of Life, 1994), 12. 10 Ibid., 7. 3
  • 4. Berdasarkan latarbelakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas tentang wanita dalam perspektif Islam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah asal-usul kejadian wanita? 2. Bagaimanakah posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial? 3. Tema apa saja yang menjadi diskursus tafsir wanita versus pria? 4
  • 5. BAB II WANITA (ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA) 1. Asal-Usul Kejadian Wanita a. Definisi wanita dan perempuan i. Definisi wanita Sejarah kontemporer bahasa Indonesia dewasa ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu.11 Kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-sifat khas wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benarbenar dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi, memberontak, menentang, melawan.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988: 1007), wanita berarti perempuan dewasa.13 Berdasarkan Old Javanese English Dictionary (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan 11 Sudarwati dan D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Artikel. http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html. diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012. Historis, Pragmatik, 12 13 Ibid. Ibid. 5
  • 6. dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah sesuatu yang diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu dari sudut pandang pria. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. 14 ii. Definisi perempuan Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).15 Menurut KBBI, keperempuanan berarti kehormatan sebagai perempuan. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin.16 Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi.  Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang paling besar; maka kita kenal kata empu jari yang berarti ibu jari, empu gending yang berarti orang yang mahir mencipta tembang.  Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu yang berarti sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali; kata mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar tidak runtuh; kata mengampukan berarti memerintah (negeri); ada lagi pengampu yang berarti penahan, penyangga, penyelamat.  Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya sapaan hormat 14 Ibid. Ibid. 16 Ibid. 15 6
  • 7. pada perempuan, sebagai pasangan kata tuan yaitu sapaan hormat pada lelaki. Prof. Slamet Muljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna kehormatan atau orang terhormat.17 b. Asal kejadian wanita Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan dari kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga? Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini. Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':                                     ‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.‛ (Q.S. Al-Nisa': 1). 17 Ibid. 7
  • 8. Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan. Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai S{ah{i>h{ yang berbunyi: ‚Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).‛18 Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian maja>zi> (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsi>r Al-Mana>r, menulis: ‚Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)19 dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim.‛ 18 Lihat Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j ibn Muslim al-Naysa>bu>ri>, S{ah}ih} Muslim, vol. 1 > (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t.), 625. Lihat juga Abu> Zakari>ya Yah}ya> ibn Syaraf al-Nawawi>, S{ah}ih} Muslim bi Syarh{ al-Nawawi>, cet. Ke-4, vol. V (Kairo: Dar al-H{adith, 2001), 313-314. No. Hadith > 62/1468. 19 "Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.(21). Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu (22)." 8
  • 9. Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan asal-usul kejadian lakilaki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok Abrahamic religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan. Di Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva) diciptakan dari tulang rusuk Adam, seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian 2:21-23.20 Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an menerangkan asal-usul kejadian tersebut di dalam satu ayat pendek (Q.S. al-Nisa': 1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits. Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan berbagai karya. Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia, terutama laki-laki, secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tafsir tentang al-nafs al-wa>h{idah c. Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan adalah Q.S. al-Nisa>' ayat 1. Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan (debatable), karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan diri yang satu (nafs al-wa>h}idah), siapa yang ditunjuk pada d}a>mi>r dari padanya (minha>), dan apa yang dimaksud pasangan (zawj) pada ayat tersebut? 20 Lihat Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html. diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012. 9
  • 10. Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhu>r seperti Tafsi>r al-Qurthu>bi>, Tafsi>r al-Mi>za>n, Tafsi>r Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>th, Tafsi>r Ru>h} al-Baya>n, Tafsi>r al-Kasysya>f, Tafsi>r al-Sa‘u>d, Tafsi>r Jami al-Baya>n dan Tafsi>r al-Mara>ghi>, semuanya menafsirkan kata nafs al-wa>h}idah dengan Adam, dan d}ami>r minha > ditafsirkan dengan dari bagian tubuh Adam, dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfaha>ni>, sebagaimana dikutip al-Ra>zi> dalam tafsirnya (Tafsi>r al-Ra>zi>) , mengatakan bahwa da>mi>r ha> pada kata minha> bukan dari bagian tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk Adam. Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan nafs al- wa>h}idah dengan roh (soul).21 Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhu>r ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti jiwa (Q.S. al-Ma'idah: 32), nafsu (Q.S. al-Fajr: 27), nyawa/roh (Q.S. al-'Ankabut: 57). Kata al-nafs al- wa>h}idah sebagai asal-usul kejadian terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q.S. al-Syu'ra: 11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang.22 Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufi>d al-takhsi>s) lalu diperkuat (ta'ki>d) dengan kata yang satu (wa>h}idah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan 21 22 Ibid. Ibid. 10
  • 11. Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafsmasuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).23 Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya (zawj) (Q.S. al-A'raf: 189), sedangkan species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q.S. al-Syura: 11) serta tumbuhtumbuhan dan pasangannya (Q.S. Thaha: 53). Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari air/al-ma>'’(Q.S. al-Furqan: 54), air hina/ma>'in mahi>n (Q.S. al-Mursalat: 20), dan air yang terpancar/ma>'in da>fiq (Q.S. al-Thariq: 6), darah/‘alaq (Q.S. al-'Alaq :2), saripati tanah/sula>latin min thi>n (Q.S. al-Mu'minun: 12), tanah liat yang kering/shalshalin min hama'in mahi>n (Q.S. al—Hijr: 28), tanah yang kering seperti tembikar/shalsha>lin ka al-fakhkha>r (Q.S. al-Rahman:15), dari tanah/min thi>n (Q.S. al-Sajdah: 7), dan diri yang satu (nafs al-Wa>h}idah (Q.S. al-Nisa': 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul 23 Ibid. 11
  • 12. dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction). Konsep teologi yang menganggap Hawa berasal usul dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna lain. Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat ( sanad), materi hadis (matan), asal-usul (asba>b al-wuru>d) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang diistilahkannya dengan hadis-hadis misogyny, disamping melakukan kajian semantik dan asba>b al-nuzu>l terhadap beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan perempuan.24 Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan sa>leh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung terwujudnya khali>fah fi al-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini perlu diadakan klarifikasi. 25 24 25 Ibid. Ibid. 12
  • 13. 2. posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial a. Posisi wanita Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.                           ‚Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.‛ (Q.S. al-H}ujurat: 13) Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: ‚Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuanperempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.‛26 26 Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964), 138. Lihat http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#Asal diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012. 13
  • 14. Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembagalembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: ‚Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.‛27 Di antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun forum diskusi, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam masyarakat. Dalam masyarakat (adat) Indonesia misalnya, kedudukan wanita berbeda-beda. Perbedaan itu setidaknya disebabkan oleh dua faktor: Pertama, bentuk dan susunan masyarakat tempat wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai yang dianut masyarakat bersangkutan. Sebab, sistem nilai adalah konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga dari masyarakat bersangkutan mengenai apa yang mereka anggap berharga dalam kehidupan mereka. Sistem nilai ini sekaligus berfungsi sebagai pedoman kehidupan mereka. Sementara itu, dalam suatu masyarakat yang dibina berdasarkan ajaran Islam, otomatis kedudukan wanita sejatinya lebih ditentukan ajaran tersebut. 28 Ajaran Islam sendiri memberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Dalam kenyataan, jika 27 Mahmud Syaltut, Min Taujihat Al-Islam (Kairo: Al-Idarat Al-'Amat li al-Azhar, 1959), 193. Lihat http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#Asal diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012. 28 Lihat Kedudukan Wanita dalam Islam http://muslimahui.my-php.net/?p=7, diakses oleh Miftaqur rohman pada selasa, 4 Desember 2012. 14
  • 15. kedudukan tersebut tidak seperti yang diajarkan ajaran Islam maka itu adalah soal lain. Sebab, struktur, adat, kebiasaan dan budaya masyarakat juga memberikan pengaruh yang signifikan. Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran Islam memberikan kedudukan tinggi kepada wanita, dapat dilihat pada banyaknya ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjukkan betapa pentingnya kedudukan wanita, dalam al-Qur’an terdapat surah bernama al-Nisa, artinya wanita. Selain al-Qur’an, terdapat berpuluh hadits (sunnah) Nabi Muhammad SAW. yang membicarakan tentang kedudukan wanita dalam hukum dan masyarakat. Pada masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi wanita hidup-hidup (wa‘d al-bana>t), ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sangat revolusioner, yakni: ‚Yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik sikap dan prilakunya terhadap kaum wanita‛. Atau pula: ‚Barangsiapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk sorga". Kemudian: "Sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu ‛ (hadits).29 Menurut ajaran Islam, wanita diposisikan secara istimewa dan sejajar dengan laki-laki.30 Hal itu dapat diamati point-point berikut: 1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (Q.S. Al-Ahzab: 35, Muhammad: 19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal saleh atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya. 2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (Q.S. AlNisa>’: 4 dan 32). 29 30 Ibid. Mah{mu>d Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah (t.t.: Da>r al-Qalam, 1966), 14-15. 15
  • 16. 3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan. (Q.S. Al-Nisa’: 7). 4. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan: ‚Mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim pria dan wanita‛ (al-Hadits). 5. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui lembaga fasakh dan khulu‘, seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah, gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi kewajibannya dan lain-lain. 6. Wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan, kebersamaan dan saling ketergantungan (Q.S. Al-Nisa’:1, Al-Tawbah: 71, AlRu>m: 21, Al-Hujura>t: 13). Q.S. Al-Baqarah: 2 menyimbolkan hubungan saling ketergantungan itu dengan istilah pakaian; ‚Wanita adalah pakaian pria, dan pria adalah pakaian wanita‛. 7. Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala (kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah di dunia (Q.S. Ali ‘Imra>n:195, Al-Nisa>’ : 124, Al-Tawbah: 72 dan Al-Mu'min:40). 8. Hak dan kewajiban wanita-pria dalam hal tertentu sama (Q.S. Al-Baqarah: 228, Al-Tawbah: 71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (Q.S. Al-Baqarah: 228, Al-Nisa>’:11 dan 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari -misalnya sebagai suami-isteri- fungsi mereka 16
  • 17. pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga. Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggungjawab untuk mencari nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada urusan kehidupan rumahtangga, mendidik anak dan membesarkan mereka. Walau demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau melakukan aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan kewajiban) terhadap apa yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya. Sebagai anak (belum dewasa), wanita berhak mendapat perlindungan, kasih sayang dan pengawasan dari orangtuanya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala rumah tangga, ibu, mendapat kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga masyarakat dan warga negara, posisi wanita pun sangat menentukan.31 b. Eksistensi wanita Will Durant, seorang sejarawan Barat terkemuka, mengakui jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita. Menurutnya, perlakuan yang ditunjukkan oleh Nabi terhadap kaum perempuan sungguh-sungguh berbeda dengan perlakuan masyarakat Arab saat itu menempatkan perempuan pada strata sosial urutan paling bawah. Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami mobilitas vertikal. Gerak dan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan terbuka luas. Sumbangan perempuan bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih 31 Ibid. 17
  • 18. egaliter. Dalam seting sosial-kultur Arab yang sangat paternalistik, apa yang dilakukan Muhammad adalah sangat revolusionar dan sangat modern.32 Islam telah membawa semangat reformasi, transformasi dan liberasi yang membebaskan perempuan dari praktek-praktek dehumanisme dan feodalisme. Ketika eksistensi perempauan sama sekali tidak mendapat tempat di masyarakat, Muhammad telah menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang ekuivalin (Lihat Q.S. al-Taubat: 71 dan al-Nisa: 124).33 Dengan fakta sejarah tersebut, pandangan modernis meyakini bahwa spirit Islam yang dibawa Muhammad adalam membebaskan perempuan. Secara historis dikatakan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah berjalan secara gradual disesuaikan dengan kondisi masyarakat Arab pada waktu itu. Meski demikian perubahan gradual itu dalam konteks historis dan kultural mestinya berjalan terus dan tidak berhenti ketika Muhammad wafat. Karena menurut pandangan ini, pola dialektika ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap ( relatifering process), karenanya di dalam memposisikan perempuan, dalam prakteknya tidak dapat sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. 34 Wanita Arab -dalam ini Islam- jauh lebih dahulu daripada Eropa dan Amerika dalam mengkritisi budaya patriarkhis. 15 abad yang lalu Ummu Salamah telah mengajukan pertanyaan begitu cerdas, dia mengadu: ‚Kami masuk Islam sebagaimana laki-laki masuk Islam Kami mengerjakan apa yang mereka kerjakan, tapi mengapa mereka disebut di dalam al-Qur’an sedangkan kami tidak?‛ maka turunlah ayat yang berbunyi ‚kaum beriman laki-laki dan kaum beriman 32 Nasyithotul Jannah, Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendekatan Autokritik, Artikel. Hal. 8-9. Lihat http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf. 33 Ibid., 9. 34 Ibid., 9. 18
  • 19. perempuan...‛ Begitu juga pengaduan Khawlah bint Tha’lab tentang dzihar suaminya yang akhirnya menjadi sebab turunnya Q.S. al-Muja>dalah: 1. 35 Berbeda dengan paradigma patriarkhi yang acap meredusir perempuan hanya sekedar menjadi the body, Islam sering mendeskripsikan eksistensi perempuan dalam konteks kekuatan moralitas, intelektualitas dan spiritualitas. Hal ini tercermin pada ungkapan seperti al-umm madrasah (Ibu adalah universitas kehidupan) dan al-Jannah tah{ta aqda>m al-ummaha>t (Surga itu berada di bawah naungan telapak kaki Ibu ). Teks-teks ini bukti pengakuan bahwa derajat perempuan memang sangat dimuliakan dalam Islam. Bahkan, perempuan kemudian diakui sebagai yang paling berpengaruh dalam pembentukan peradaban sebuah generasi, 36 Dalam al-Taubah ayat 72 Allah berfirman: ‚Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf (amar makruf ) dan mencegah dari yang mungkar (nahi mungkar ), melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh Allah Maha perkasa dan Bijaksana.‛ Dari ayat ini, dalam konteks gender, secara deskriptif perempuan diperintahkan dapat berperan pertama sebagai mitra yang kompetitif dan aspiratif sebagai personifikasi dari amar ma’ruf dan sekaligus -meminjam istilah Nurcholis Madjid- oposan loyal sebagai personifikasi nahi mungkar bagi laki-laki. i. Sebagai Mitra Sejajar Penindasan terhadap etnis perempuan adalah penindasan terpanjang sepanjang sejarah, lebih lama dari penindasan terhadap etnis 35 36 Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 235. Ibid., 11-12. 19
  • 20. manapun.37 Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di sektor manapun ia berada, semestinya tak akan pernah terjadi jika saja perempuan mampu memposisikan diri sebagai mitra yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan bagi kaum laki-laki dalam penyelesaian tugastugasnya. Mitra yang memiliki hubungan sinergi berimbang, harmonis, jauh dari semangat rivalitas yang saling menaklukan, menguasai dan mendominasi satu sama lain. Menurut Ami>nah Wadud, hal yang harus dilakukan perempuan modern saat ini adalah membangun relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial yang didasarkan pada semangat Al Qur’an. Dalam membangun relasi fungsional dalam kehidupan masyarakat, Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi kemajuan hidup manusia. Kesetaraan individu merupakan kunci dalam mencapai kemajuan tersebut. Bagi Wadud ada beberapa aspek penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama, perspektif yang lebih adil dalam hak dan kewajiban individu baik laki-laki ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur'an tentang keadilan sosial, penghargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menjadi prinsip utama sebuah 37 Nasyithotul Jannah, Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendekatan Autokritik, makalah. Hal. 12. Lihat http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf. 20
  • 21. ‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.38 ii. Sebagai Oposan Loyal Perempuan adalah oposan loyal yang melaksanakan peran korektif-konstruktif atau nahi mungkar terhadap kaum laki-laki. Artinya perempuan harus bisa memaknai bahwa eksistensinya di dunia ini adalah sebagai bentuk oposisi dialektis - dalam arti positif - untuk laki-laki guna mewujudkan equilibrium.39 Keberhasilan perempuan di ranah publik, bukan saja mereka telah berhasil memasuki dunia maskulin, tetapi juga mengadopsi nilai-nilai maskulin yang dikritiknya serta meninggalkan sikap kepedulian terhadap pengasuhan dan pemeliharaan. Banyak perempuan yang telah menjadi male clone (tiruan laki-laki) di peradaban modern, yaitu peradaban ekonomi pasar berdasarkan untung rugi, kompetisi, kekuasaan, materi dan eksploitasi. Status dan kekuasaan harus diperebutkan karena kesuksesan di dunia maskulin diukur oleh itu semua. Fenomena seperti itu terjadi disebabkan kaum perempuan tidak mengfungsikan peran oposannya (nahi mungkar) terhadap laki-laki, namun justru menjadi ‚sekutu‛nya atau bahkan menyediakan diri menjadi ‚korban‛nya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam setiap kejatuhan sebuah masyarakat, perempuan selalu punya peran. Dalam konteks inilah paradigma ‛ ‚ Wanita adalah pilar negara, jika ia baik maka negara akan menjadi baik dan bila ia buruk negara akan menjadi buruk ‚ 38 39 Ibid., 14. Ibid. 21
  • 22. menjadi menemukan relevansinya. Padahal menjadi pilar Negara berarti menjadi subyek aktif yang bermanfaat untuk menentukan nasib bangsa seperti ungkapan sang pionir, Kartini, ‚Perempuan itu adalah pembawa peradaban.‛ ‚Saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu mungkin timbul pengaruh yang besar, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak membantu memajukan kesusilaan manusia.‛ Nah, untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang beradab, kaum perempuan harus berani mengambil peran strategis sebagai oposan loyal. Oposan loyal bukan bermakna asal tampil beda atau mengambil posisi diametral dan kontraversial yang menjadikan laki-laki sebagai musuh atau lawan yang vis a vis dengan dirinya. Melainkan menfungsikan kefemininitasan sebagai simbol nilai-nilai kelembutan yang persuasif untuk kepentingan nahi mungkar agar kaum laki-laki tidak menggunakan energi kemaskulinannya (kekuatannya) untuk membuat kerusakan (fasad) tetapi justru untuk melindungi nilainilai humanisme dan kebenaran. Karenanya kualitas feminine harus dapat ditingkatkan agar bisa menjadi penyeimbang (oposisi) agar semua kerusakan dapat dikurangi. Perempuan hendaknya menyadari bahwa sifat dan kualitas feminin bukan sesuatu yang rendah, justru sebaliknya Allah menciptakan kualitas kefemininan ini sebagi potensi keperempuanan yang perlu dijaga dalam arti yang aktif positif serta kreatif. Kualitas feminin bukanlah bentukan kultur dan struktur melainkan kodrat keperempuanan; kodrat yang harus diterima sebagai sebuah keniscayaan adanya. Dan justru dalam diri keperempuananlah keseimbangan dualitas di muka bumi ini tercipta. Di bumi ini tidak hanya hadir prinsip berjuangan dan 22
  • 23. memberi yang tersimbolkan dalam maskulinitas namun juga menerima dan memelihara sebagai simbol femininitas. Agar kekuatan tidak menjelma menjadi kekerasan, maka harus pula berbarengan dengan kelembutan dan kasih. Dalam kosmologi Islam, bumi adalah lambang menerima, penuh kasih, pasif dan damai. Inilah sifat-sifat feminin. Kodrat tentu tidak bisa dilawan melainkan dikembangkan. Kemampuan manusia merekonstruksi gender feminin dan maskulin tak akan merubah substansi kualitas gender: kodrat. Bagaimanapun Islam tidak mengenal paradigma gender yang strukturalis yang melihat relasi pria dan perempuan sebagai hubungan atas dan bawah, antara inferior dan superior yang saling menguasai, tetapi sebagai hubungan fungsional ekuivalen yang saling melengkapi.40 3. Diskursus Tafsir Wanita Versus Pria Di dalam pembahasan ini penulis ingin mengemukakan isu-isu tentang perempuan perspektif tafsir al-Qur’an, yaitu: a. Kepemimpinan Perempuan (Q.S. Al-Nisa>’: 34). Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 34:                                                     ‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain 40 Ibid., 17. 23
  • 24. (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.‛ Di antara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini sebabnya, peperangan hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada kaum perempuan. Begitu pula tugas menafkahi keluarga. Peperangan merupakan suatu urusan melindungi bangsa dan negara. Inilah yang menjadi dasar, mengapa kaum laki-laki memperoleh bagian yang lebih banyak dalam harta warisan. tetapi diluar hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan, menuntut, dan memimpin) maka dalam masalah hak atau kewajiban yang lain, laki-laki dan perempuan adalah sama. Derajat yang dimiliki laki-laki adalah memimpin dan mengurus rumah tangga. Isteri mengurus rumah tangga dengan bebas, asal dalam batas-batas yang ditetapkan syara’ dan diridhai (disetujui) oleh suami. Isteri memelihara rumah, mengendalikannya dan memelihara serta mendidik anak-anak, termasuk membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan. Di bawah naungan suami, isteri bisa menjalankan tugasnya, mengandung dan mengyusui bayinya. 41 Al-Thabari>, al-Ra>zi> dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a> sepakat menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap istrinya dalam rumah tangga. Argumentasinya adalah pernyataan al-Qur’an al-rija>l qawwa>mun ‘ala> al-Nisa>’. Kata qawwa>mun dalam kalimat tersebut diartikan sebagai pemimpin. Al-Qur’an mengemukakan dua alasan mengapa suami menjadi pemimpin: pertama, karena kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka; kedua, kewajiban mereka 41 Lihat H{amdu>n Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m, cet. ke-1 (Villach: Ligh of Life, 1994), 13-15. 24
  • 25. memberi nafkah keluarganya. Namun demikian para mufassir di atas berbeda pendapat dalam menerangkan apa kelebihan suami atas istri. Apakah kelebihan fisik, intelektual, agama, atau semuanya sekaligus. 42 Menurut Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a>, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga bukan menunjukkan derajat perempuan lebih rendah dibanding lakilaki, tapi karena kepemimpinan itu didasarkan pada kelebihan yang dimiliki lakilaki dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Di samping itu, kepemimpinan lakilaki terhadap perempuan dalam rumah tangga harus bersifat demokratis, bukan kepemimpinan absolute yang membatasi kebebasan perempuan.43 Sementara itu, Asghar Ali Engineer mengakui keunggulan laki-laki adalah sebagai keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki itu bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran social perempuan waktu itu masih rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai keunggulan. Oleh karena itu, kepemimpinan laki-laki dan perempuan bersifat kontekstual, bukan normatif. Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan sendirinya juga akan berubah. Sedangkan Amina menerima kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, asal laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kelebihan itu digunakan untuk mendukung perempuan. Kelebihan laki-laki yang diakui Amina hanyalah kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh Al-Qur’an.44 b. Konsep Kewarisan Perempuan (Q.S. Al-Nisa>’ : 11). Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 34: 42 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Lkis, 2003), 325. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Kedudukan Perempuan dalam Islam, pdf. 43 Ibid., 326. 44 Ibid. 25
  • 26.                                                                                          ‚Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.‛ Para mufassir (Al-Thabari>, dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a> ) juga feminis muslim (Asghar Ali Engineer) sepakat menyatakan bahwa formula kewarisan 2:1 (bagian laki-laki dua banding satu dengan perempuan) tidaklah bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan, bahkan juga tidak menunjukkan inferioritas perempuan dibanding laki-laki. Menurut mereka, formula kewarisan 2:1 berdasarkan asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban.45 Sementara al-Ra>zi>, sekalipun menyebutkan juga asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban, ia menambahkan alasan lain tentang hikmah mengapa laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. Menurutnya, karena 45 Ibid.; Lihat Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 242. 26
  • 27. kaum laki-laki lebih sempurna akhlaknya, akalnya, dan agamanya disbanding kaum perempuan.46 Bahkan ia mengatakan lagi perempuan itu sedikit akal dan banyak nafsu (keinginannya), sehingga apabila perempuan diberi banyak harta bisa menyebabkan ia lebih banyak terjerumus dalam kerusakan (fasad).47 Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa pewarisan sangat tergantung pada struktur sosial, ekonomi, dan fungsi jenis kelamin masing-masing dalam masyarakat. Perempuan mempunyai peranan yang berbeda dengan laki-laki pada saat turunnya al-Qur’an. Tanpa mengingat fakta semacam itu, maka sulit sekali memahami secara tepat ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan waris. Jadi, pembagian warisan semacam itu harus dilihat dari konteks sosiologi dan ekonomisnya, demi terciptanya asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban. Sedangkan Amina Wadud Muhsin secara implisit tidak setuju dengan formula pewarisan semacam itu. Pembagian waris harus dilihat dari berbagai faktor yang lain, seperti keadaan orang yang meninggal dan orang-orang yang ditinggal. Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang berhak, kombinasinya dan kemanfaatannya. Menurut Syahrur, ayat-ayat tentang warisan hanyalah merupakan ayat h{udu>di>yah yang memberikan prinsip-prinsip tentang batas maksimum ( al-h{add ala‘la>) dan batas minimum (al-h{add al-adna>). Di antara dua batas tersebut, para ulama’ dipersilakan berijtihad sesuai dengan kondisi ekonomi, tanggungjawab keluarga, dan keterlibatan kaum perempuan dalam memikul tanggung jawab keluarga yang berkembang, sesuai dengan tempat dan waktu tertentu. Yang penting 46 47 Lihat Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah, 17. Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 327. 27
  • 28. tidak, tidak lebih tinggi dari batas maksimum dan tidak lebih rendah dari batas minimum. 48 c. Poligami (Q.S. Al-Nisa>’ : 3). Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 3:                                  ‚Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.‛ Poligami adalah sistem yang telah lahir sebelum Islam.49 Islam muncul di tengah-tengah sistem yang memratekkan poligami. Poligami menjadi sebuah sistem yang melekat di Arab, yang dilaksanakan semata-mata untuk kebutuhan biologis dan beberapa aspek masyarakat.50 Islam tidak melarang umatnya berpoligami dan tidak pula mengajaknya secara mutlak tanpa batasan. Tetapi Islam membatasinya dengan ikatan keimanan yang terkandung dalam nash. 51 Al-Thabari>, al-Ra>z i> dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a memahami ayat 3 dari al-Nisa>’ yang biasanya dijadikan sebagai dasar kebolehan berpoligami itu, dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim atau perempuan-perempuan yang dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama dari ayat tersebut adalah berbuat adil terhadap hak-hak anak yatim dan kepentingan perempuan-perempuan yang dinikahi. Sangat penting bagi laki-laki berlaku adil terhadap pasangannya. Tanpa 48 Ibid., 328. Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 186. 50 Karim Hilmi Farhat Ahmad, Poligami: Berkah atau Musibah? (ter.) Munirul Abidin dan Farhan. Cet. 49 Ke-1 (Jakarta: Senayan Publishing, 2007), 17. 51 Ibid. 28
  • 29. mampu berlaku adil, maka kawin dengan seorang perempuan lebih baik. Jadi ayat di atas menegaskan bahwa keadilan adalah konsep utamanya, bukan terletak pada poligaminya yang diperlakukan sebagai hak istimewa, seperti yang terjadi pada masyarakat patriarkal. 52 Dalam kaitannya dengan ayat di atas, al-Thaba>ri> dengan tegas mengatakan, jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga terhadap perempuan-perempuan lain yang disenangi, maka janganlah kamu kawini mereka walaupun hanya satu orang, cukuplah kamu bersenang-senang dengan budak yang kamu miliki. Karena yang demikian itu lebih selamat dari perbuatan dosa atau dari penyelewengan terhadap perempuan. Berbeda dengan Al-Thabari>, al-Ra>zi membolehkan poligami asal saja tidak lebih dari empat orang (batas maksimal), dan harus berlaku adil terhadap semuanya. Jika khawatir tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu orang istri saja (batas minimal), sedangkan di antara dua batas tersebut (maksimal dan minimal) boleh-boleh saja.53 Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin mengatakan, sebenarnya ayat di atas lebih menekankan pada berbuat adil terhadap anak-anak yatim, bukan mengawini lebih dari seorang perempuan. Karena konteks ayat ini adalah tentang kondisi pada masa itu di mana mereka yang memelihara anak yatim sering berbuat tidak semestinya, dan terkadang mengawini mereka tanpa mas kawin. 54 Bahkan Amina Wadud berkesimpulan bahwa monogami merupakan bentuk perkawinan yang lebih disukai oleh al-Qur’an. Dengan monogami, tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tenteram dapat terpenuhi. Sementara itu, dalam poligami hal itu tidak mungkin tercapai, karena 52 53 54 Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 328. Ibid., 329. Ibid. 29
  • 30. seorang suami akan membagi cintanya kepada lebih dari satu keluarga. Sementara dalam membagi cinta, laki-laki sulit sekali –untuk tidak mengatakan mustahil- bisa berlaku adil.55 Dalam Tafsir al-Manar, secara eksplisit Muhammad Abduh-Rasyid Ridha tidak setuju terhadap praktik poligami yang ada dalam masyarakat. Poligami walaupun secara normatif diperbolehkan, namun mengingat persyaratan yang sulit untuk diwujudkan (keadilan di antara para istri), maka poligami sebetulnya tidak dikehendaki oleh al-Qur’an. Bentuk perkawinan monogamilah sebenarnya yang menjadi tujuan perkawinan, karena perkawinan monogami akan tercipta suasana tenteram dan kasih sayang dalam keluarga.56 Senada dengan pendapat al-Razi, Syahrur juga memandang ayat itu sebagai ayat h{udu>di>yah, yang mengandung makna ‚batas-batas penetapan hukum‛, baik yang bersifat kuantitatif (h}udu>d al-kamm) maupun yang bersifat kualitatif (h}udu>d al-kayf). Dari segi kuantitatif, ayat itu menetapkan ‚batas minimal‛ ( al-h}add aladna>) laki-laki disyari’atkan untuk menikah dengan seorang perempuan (istri), dan ‚batas maksimal‛ (al-h}add al-a‘la>) membolehkan laki-laki untuk menikahi empat orang istri. Dari segi kualitatif, Syahrur menegaskan bahwa pembolehan praktik poligami itu dikaitkan dengan persyaratan istri kedua, ketiga dan keempat haruslah ‚perempuan-perempuan janda yang mempunyai anak yatim‛. Sebab, pada dasarnya poligami itu bertujuan untuk mengatasi problem kemanusiaan, yaitu dengan menolong para janda dan anak-anak yatim, bukan sebagai satu bentuk sistem pernikahan untuk menuruti hawa nafsu.57 55 Ibid., 330. Ibid. 57 Ibid. 56 30
  • 31. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan tentang wanita, baik tentang asal-usul kejadian wanita, posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial, diskursus tafsir wanita versus pria, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa tentang asal-usul kejadian wanita yang disinggung oleh surat al-Nisa’ ayat 1, para ulama’ masih berbeda pendapat, hal itu dikarenakan mereka masih berselisih pendapat di dalam menafsirkan kata ‚diri yang satu‛ (al-nafs al-wa>h{idah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (d{ami>r) ‚dari padanya‛ (minha>), dan apa yang dimaksud ‚pasangan‛ (zawj). Ada beberapa pendapat: a. Perempuan diciptakan berasal dari bagian tubuh (tulang rusuk) laki-laki (Adam). Karena al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai Adam, min pada minha> bermakna tab’idiyah, dan zawj di tafsiri sebagai hawa. b. Perempuan diciptakan berasal dari jenis dan unsur genetika yang sama dengan laki-laki. Karena al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai Adam, min pada minha> bermakna jinsiyah. Ataupun al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai jenis yang sama, yang mana nafs dan zauj masih netral. 2. Adapun posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial dalah bahwasanya: a. Dalam segala aspek sosialnya, Islam memposisikan wanita sejajar dan sama dengan posisi laki-laki. Adapun perbedaan peran dan fungsi dalam kehidupan masyarakat adalah dalam rangka pembagian tugas dalam lingkup keluarga dalam rangka menjaga keadilan berimbang antara hak dan kewajiban. Dan hal 31
  • 32. ini samgat dipengaruhi oleh pertama, bentuk dan susunan masyarakat tempat wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai yang dianut masyarakat bersangkutan. b. Di dalam aspek fungsi dan perannya dalam kehidupan sosial, Islam menjadikan wanita sebagai patner dan mitra perjuanganlaki-laki, sebagai tempat saring intelektual, moral dan spiritual yang saling berbagai tugas dalam memenangkan dakwah. Di samping itu wanita juga di jadikan sebagai oposan loyal yang melaksanakan peran korektif-konstruktif atau nahi mungkar terhadap kaum laki-laki sebagai bentuk oposisi dialektis -dalam arti positifuntuk laki-laki guna mewujudkan equilibrium. 3. Di antara diskursus tafsir wanita versus laki-laki adalah sebagai berikut: a. Kepemimpinan perempuan (Q.S. Al-Nisa: 34). Para pakar tafsir baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin pertama, karena kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka; kedua, kewajiban mereka memberi nafkah keluarganya. Tetapi tafsir ini tidak menegasikan kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah keahliannya. b. Konsep kewarisan perempuan (Q.S. Al-Nisa: 11). Para mufassir sepakat menyatakan bahwa formula kewarisan 2:1 (bagian laki-laki dua banding satu dengan perempuan) tidaklah bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan, bahkan juga tidak menunjukkan inferioritas perempuan atas superioritas lakilaki. Menurut mereka, formula kewarisan tersebut berdasarkan asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban c. Poligami (Q.S. Al-Nisa: 11). Para mufassir lebih cenderung pada bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Adapun yang menjadi pertimbangan utama poligami dalam ayat tersebut adalah berbuat adil 32
  • 33. terhadap hak-hak anak yatim dan kepentingan perempuan-perempuan yang dinikahi. Ketika dimungkinkan berbuat adil terhadap beberapa istri, dapat menciptakan suasana tenteram dan kasih sayang dalam keluarga, poligami menjadi sah-sah saja. Akan tetapi potensi ke arah tersebut sangat minim. Adapun menurut Syahrur, ayat tersebut termasuk ke dalam cakupan ayat-ayat h{udu>di>yah. B. Saran-saran 1. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah SWT. sudah seharusnya kita saling menghormati dan memulyakan atas nama sama-sama sebagai hamba-Nya dan khalifah-Nya di bumi ini dengan tanpa memandang suku, ras, golongan, dan jenis kelamin. Masing-masing kita dibekali dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing untuk saling melengkapi. Hanya kadar ketakwaan yang bisa dibuat pembeda terhadap kedudukan seseorang di sisi-Nya. 2. Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu saran dan kritik konstruktif dari pembaca penyempurnaannya. 33 sangat penulis harapkan untuk
  • 34. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Karim Hilmi Farhat. Poligami: Berkah atau Musibah? (ter.) Munirul Abidin dan Farhan. Cet. Ke-1. Jakarta: Senayan Publishing, 2007. Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi , cet. ke-1. Surabaya: Khalistha, 2007. Da>ghir, H{amdu>n. Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m . Cet. Ke-1. Villach: Ligh of Life, 1994. Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, cet. Ke-1. Beirut: Da>r al-fikr, 1993. Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1. Yogyakarta: Lkis, 2003. Mulia, Siti Musdah. Islam & Inspirasi kesetaraan Gender , cet. Ke-1. Yogyakarta: Kibar Press, 2007. Al-Naysa>bu>ri>, Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j ibn Muslim. S{ah}i>h} Muslim . vol. 1. Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t. Al-Nawawi>, Abu> Zakari>ya Yah}ya> ibn Syaraf. S{ah}i>h} Muslim bi Syarh{ al-Nawawi>. cet. Ke-4, vol. V .Kairo: Dar al-H{adith, 2001. Shalt{u>t, Mah{mu>d. Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah . t.t.: Da>r al-Qalam, 1966. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Kedudukan Perempuan dalam Islam , pdf. Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl. al-Jami‘ al-Saghi>r fi Ah}a>di>th albashi>r al-nazhi>r, cet. ke-4, vol. II. Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008. Sudarwati dan D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Seman tik Historis, Pragmatik, Artikel. http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html. Umar, Nasaruddin. Perspektif Jender Dalam Islam dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html. Al-Ghazali, Muhammad. Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat. Kairo: Dar Al-Kutub AlHaditsah, 1964. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html# . 34
  • 35. Syaltut, Mahmud. Min Taujihat Al-Islam. Kairo: Al-Idarat Al-'Amat li al-Azhar, 1959. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html# . Kedudukan Wanita dalam Islam http://muslimahui.my-php.net/?p=7 Jannah, Nasyithotul. Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendeka tan Autokritik, Artikel. http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf. 35