1. TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT
BAB I
RINGKASAN MATERI
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha ―memeluk‖ suatu kebenaran.
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,
diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1. Teori Corespondence menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti
benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
2. Teori Consistency Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran.
Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
2. penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.
3. Teori Pragmatisme Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra
pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang
ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia
harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia,
karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama
untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha ―memeluk‖ suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa
melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran
illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan
kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.
3. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
6. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,
diolah pula dengan rasio
7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada
tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :
- Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran
- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
- Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran
Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
4. manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal
dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran
ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki
status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh
tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada
puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup
manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide
atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka
sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan
lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel
pada abad moderen.
5. Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah
merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai
moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan
dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin
sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di
dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti
dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran.
Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap
benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A
= B dan B = C maka A = C
6. Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar
dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan
teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu
benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu
ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang
dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil
itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan
(workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu
tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.
Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya
adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
7. Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak
di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi)
atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi).
Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah,
kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Agama sebagai teori kebenaran
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran
melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab
suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu
itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai
(norma dan hukum) yang bersifat umum.
8. Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r
asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
BAB IV
DAFTAR BACAAN
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
http://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
(Pendekatan Teoritik)
Oleh Imam Mawardi
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri
sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk
mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada.
Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan
mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang
mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan
dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri
sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa
ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak
diteliti(begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata
cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982).
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan
9. pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau
tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran
manusia.
Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah
berkata: ―Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley
menjawab; ―Kebenaran itu adalah kenyataan‖, tetapi bukanlah kenyataan(dos sollen) itu tidak selalu yang
seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan
kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).
Dalam bahasan ini, makna ―kebenaran‖ dibatasi pada kekhususan makna ―kebenaran keilmuan
(ilmiah)‖. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif),
sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual
yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara
netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap
berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).
Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara
pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan
aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal
ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu
bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran
yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Teori-Teori kebenaran
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar
kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori
koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok
realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective
reality).Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara
pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang
sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah
benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan
10. obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa
mengatakan ―kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa‖ maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan
itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau
Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa ―kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra‖ maka
pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut.
Dalam hal ini maka secara faktual ―kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau
Jawa‖.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap
kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah
ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar,
jika tidak, maka pertimbangan itu salah(Jujun, 1990:237).
Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan
adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa ―semua manusia pasti akan mati‖ adalah suatu pernyataan yang
benar, maka pernyataan bahwa ―si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati‖ adalah benar
pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa
koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat
dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik,
dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan
sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita
menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang
menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas
prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan
tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan
memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan
dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
situasi lingkungan tertentu.
Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada
tahun 1878 yangberjudul ―How to Make Ideals Clear‖. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa
ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910),
John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
11. Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian
kebenaran adalah manfaat (utility),kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan
(Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-
akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana
kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam
prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin
tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama
pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria
kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang
memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran
(koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran
adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam
seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah
pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap
sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).
DAFTAR PUSTAKA
Awing, A.C., The Fundamental Questions of Philosophy, London: Routledge and Kegan Paul, 1951.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and
Brothers, 1951.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara.1987.
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
———-, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Koento Wibisono, Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada
Univercity Press, cet. ke 2, 1982.
———–, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah Pengantar kuliah Filsafat Ilmu, (t.t., t.tp.).
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1996
12. http://mawardiumm.wordpress.com/2008/06/02/kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-ilmu/
PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukankebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk
memperoleh kebenaran, antara laindengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atauempiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkanprinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-
kejadianyang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Struktur pengetahuan manusiamenunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkatpengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda.Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang terendah.
Tingkat pengetahuan yanglebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat
yang lebihrendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan
padaumumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebabitulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.Pada tingkat
pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataanpengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Metode ilmiah yang dipakai dalamsuatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang
bersangkutan. Macam-macam objek ilmuantara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio
politis, humanistis danreligius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu
ontologi,epistemologi dan aksiologi.
Ontologimembahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek
ilmupengetahuan. Epistemologis membahasmasalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam
ilmu pengetahuan modern, jalan bagidiperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah
dengan pilar utamanyarasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmupengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Kerangka filsafatdi atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai
ilmu dalammencari kebenaran.
Apakah Kebenaran?
Tentangkebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktuyang
tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran ituadalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yangseharusnya (dos
sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentukketidakbenaran (keburukan). Jadi
ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaranyang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak,
dan kebenaran dalam arti lawandari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).
Dalamteori keilmuan (ilmiah) kebenaran tidak bersifat mutlak ataupun langgeng,melainkan
bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakanpendekatan (Wilardo,
1985:238-239).
Selarasdengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian
antarapengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan
ituharus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar
adalahpengetahuan obyektif.
13. Meskipundemikian, apa yang dewasa ini kita yakini sebagai suatu kebenaran mungkin
suatusaat akan hanya merupakan pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebihsejati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaanmanusia yang transenden, dengan kata lain, pencarian kebenaran suatu
ilmubertalian erat dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari siniterdapat
petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti darikebenaran itu
terdapat diluar jangkauanmanusia.
KESIMPULAN
Bahwa kebenaran itu sangatditentukan oleh potensi subyek serta tingkatan
validitasnya. Kebenaranditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam
penghayatan atassesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman
(comprehension)subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar
subyekitu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwakebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pulayang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupapenghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkanpemahaman potensi subjek
(mental, rasio, intelektual).
Bahwasubstansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan
alamsemesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek
yangmenjangkaunya. Semua teori kebenarn itu ada dan dipraktekkan manusia di
dalamkehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam
kehidupanmanusia.
DaftarPustaka
JujunS. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
I.R.Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta:Bina
Aksara.1987.
SumantriSurya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
SinarHarapan
www.filsafat-ilmu.blogspot.com
www.kabarindonesia.com