Tulisan ini membahas sikap para imam terhadap perbedaan pendapat dalam hal-hal fiqih (khilafiyah). Para imam seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal tidak pernah memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat mereka atau menuduh orang lain sesat karena berbeda pendapat. Mereka menghargai perbedaan pendapat sebagai keragaman ijtihad.
Build Business Web Applications with PHPOpenbiz Framework and Cubi Platform
Sikap Para Imam Terhadap Khilafiyah
1. Mawqiful A’immah minal Khilafiyah
(Sikap Para Imam Terhadap Khilafiyah)
Oleh: Farid Nu’man
2. Daftar Isi
1. Muqadimah............................................................................................................................................2
2. Pandangan Khalifatur Rasyid Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu............................................5
3. Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu........................................................................5
4. Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu..........................................................................................6
5. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu....................................................................6
6. Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah........................................................................................6
7. Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah........................................................................7
8. Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah....................................................................................7
8. Imam Hasan al Banna Rahimahullah.....................................................................................................8
1. Muqadimah
Saat ini kita hidup pada zaman penuh fitnah, di antaranya fitnah iftiraqul ummah (perpecahan umat). Di
antara banyak penyebab perpecahan itu adalah perselisihan mereka dalam hal pemahahaman
keagamaan. Hanya yang mendapat rahmat dari Allah Ta’ala semata, yang tidak menjadikan khilafiyah
furu’iyah (perbedaan cabang) sebagai ajang perpecahan di antara mereka. Namun, yang seperti itu
tidak banyak. Kebanyakan umat ini, termasuk didukung oleh sebagian ahli ilmu yang tergelincir dalam
bersikap, mereka larut dalam keributan perselisihan fiqih yang berkepanjangan. Mereka tanpa sadar
‘dipermainkan’ oleh emosi dan hawa nafsu. Untuk itulah tulisan ini kami susun. Mudah-mudahan kita
bisa meneladani para Imam kaum muslimin, mengetahui kedewasaan mereka, dan sikap bijak dan arif
mereka dalam menyikapi perselisihan di antara mereka.
Perlu ditegaskan, yang dimaksud khilafiyah di sini adalah perselisihan fiqih yang termasuk kategori
ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan variatif), bukan perselisihan aqidah yang termasuk ikhtilaf tadhadh
(perselisihan kontradiktif). Untuk perkara aqidah, hanya satu yang kita yakini sebagai ahlul haq dan
firqah an najiyah yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak yang lainnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka”
(QS. Hud: 118-119)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini,
“Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam
keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya
berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali
yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang
agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka
berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling
memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat
Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang
3. dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan
seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya,
membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan
akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang
diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu
sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan,
dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka
bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada
di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah
lin Nasyr wat Tauzi’. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Katsir juga memaparkan perbedaan para ulama dalam memaknai firmanNya “untuk itulah
Dia menciptakan mereka”. Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk perbedaanlah mereka diciptakan.
pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan Thawus bin Kaisan mengatakan untuk rahmat-lah mereka
diciptakan.
Dalam tafsir At Thabari disebutkan:
ى ملة واحدة ، ن واحد
ودي عة واحدةعلل أبوجعفر : ي ل ى ذكره: ولوشاء ك ، يا محمد ، ل س كلهاجما
لجع النا رب قو تعال قا
نقتادة،قوله:)ولوشاء ك ل س أمة واحدة( ، ل: ج ه سلن
يقو لعلمم مي رب لجع النا ل ،حدثناسعيد،ع حدثنا ب ل ،حدثنا يزيدقا
شرقا
.كلم
ه
Berkata Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari: Allah Ta’ala berfirman: “Dan seandainya
Tuhanmu berkehendak, wahai Muhammad, benar-benar seluruh manusia akan dijadikan jamaah yang
satu, di atas millah yang satu, dan agama yang satu.”
Berkata kepada kami Bisyr, dia berkata, berkata kepada kami Yazid, dia berkata, berkata kepada kami
Sa’id, dari Qatadah, tentang firmanNya: “Dan seandainya Tuhanmu bekehendak, manusia benar-benar
dijadikan umat yang satu,” dia berkata: Mereka seluruhnya benar-benar dijadikan sebagai muslim.
(Imam Abu Ja’far ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 15, hal. 531. Cet. 1,
2000M/1420H, Mu’asasah ar Risalah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ayat di atas telah dijelaskan oleh para Imam kita bahwa perbedaan di antara manusia adalah hal yang
niscaya, bahkan Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk itulah mereka diciptakan. Hanya ahlul haq
yakni Ahlus Sunnah wal jamaah yang tetap bersatu, perbedaan di antara mereka tidaklah membuat
mereka berpecah hati dan bercerai berai barisan. Sedangkan yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah,
namun senantiasa memusuhi saudaranya yang berbeda pemahaman fiqihnya, padahal itu hanyalah
khilaf ijtihadiyah belaka, pada hakikatnya bukanlah Ahlus Sunnah.
Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam
bersabda:
من يعمِش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بما عرفتم من سنت ي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عُضوا عليها بالنواجذ
ِْفَ ْفَ م ْ ْفَ مِ ْفَّ ْفَ مِ م ُّم ْ مِ ْفَ اً ْفَ مِ اً ْفَ ْفَ ْفَ م ْ ْمُ م ْ مِ ْفَ ْفَ ْفَ م ْ ْمُ م ْ مِ م ْ ْمُ ْفَّ مِ ْفَ ْمُ ْفَّ مِ م ْ ْمُ ْفَ ْفَ مِ ْفَّ مِ مِ ْفَ م ْ ْفَ م ْ مِ مِّ ْفَ ْفَ ْم َْفَ م ْ ْفَ م ْ مِ م ْ ْمُ م ْ ْفَ ْفَ ْفَ ْف
“Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka
hendaknya kalian tetap di atas sunnahku, dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang telah mendapat
petunjuk dan gigit dengan geraham kalian.” (HR. Sunan Ibnu Majah, Juz. 1, Bab Ittiba’ as Sunnah
4. al Khulafa’ ar Rasyidin al Mahdiyin, hal. 50, no. 43. Musnad Ahmad, Juz. 35, hal. 7, no. 16519. Al
Hakim, Mustadrak ‘ ash Shahihain, Juz.1, hal. 321, no. 303)
Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan pasti terjadi. Solusinya adalah tetap pada sunah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Khulafa’us Rasyidin Ridhwanullah ‘Alaihim, yakni Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang sebenar-benarnya..
Bercermin Kepada Para Imam Ahlus Sunnah
لقد كان الخل ف موجودا ف ي عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أب ي حنيفة ومالك والشافع ي وأحمد والثوري والأوزاع ي وغيرهم
ًا
. . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الخرين على رأيه أو يتهمهم ف ي علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم
“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy
Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk
mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau
terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar
wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)
Kita akan dapati, ternyata para Imam Ahlus Sunnah sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah
ijtihadiyah, khususnya dalam keragaman amal syariat. Kenyataan ini sangat berbeda dengan sebagian
manusia yang sangat ingin mengikuti mereka, tetapi tidak mampu meneladani akhlak mereka. Mencela
dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap mereka, cuma karena perbedaan furu’.
Lucunya lagi adalah mereka bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di
satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar
dan ahli fatwa. Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah
lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi
mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak
dikasihani ...
Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka
menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang
keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.
سفيان الثوري، يقول: إنما العلم عندنا الرخص عن الثقة، فإما التشديد فكل إنسان يحسنه
Berkata Imam Sufyan ats Tsauri, “Bagi kami ilmu hanyalah keringanan dari orang yang bisa dipercaya,
adapun bersikap keras, maka setiap manusia mana pun bisa melakukannya.” (Abu Nu’aim al
Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ذاحم احامُ َجتَ د م أ َ بفه ج َنوذاحم َجتَ د م أ َطَأ َفه أ َ ر
إ ِ َ ك َ َ لْ َكِ فا ْه َ ثُ ّ صا َ َلَ ُ أ َ را ِ َإ ِ َ ك َ َ فا ْه َ ثُ ّ خ َلَ ُ ج
ْ ْ َ َ ْ َ َ َ
“Jika seorang hakim menetapkan hukum dan benar maka baginya dua pahala, dan jika dia menetapkan
hukum dan bersungguh-sungguh (ijtihad), kemudian salah maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari,
Juz. 22, hal. 335, no. 6805, dari jalur Amr bin al Ash. Muslim, Juz. 9, hal. 114, no. 3240, dari jalur
Abu Qais. Sunan Abu Daud, Juz. 9, hal. 464, no. 3103. Sunan At Tirmidzi, Juz. 5, hal. 160, no.
1248, dari jalur Abu Hurairah. Sunan An Nasa’i, Juz. 16, hal. 212, no. 5286, dari jalur Abu
Hurairah. Sunan Ibnu Majah, Juz. 7, hal. 103, no. 2305, dari jalur Amr bin al Ash. Musnad
Ahmad, Juz. 36, hal. 175, 227, 232, no. 17106, 17148, 17153, dari jalur Amr bin al Ash)
5. Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
ً
فالجتهاد إذا كان وفقا لصول الجتهاد ومناهج الستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم النكار
. عليه ، ول ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ول ينكر مقلد على مقلد آخر وإل أدى ذلك إلى فتنة
“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan
kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap
pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh
seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi
fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al
Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ya, fitnah dan kekacauan sudah terjadi. Lantaran sikap tidak sopan para muqallidin terhadap adab
khilafiyah, dengan cara menyerang pihak lain yang berbeda anutan hasil ijtihad. Padahal mereka hanya
pengekor, bukan peneliti.
2. Pandangan Khalifatur Rasyid Umar bin Abdul ‘Aziz
Radhiallahu ‘Anhu
Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian tentang hal ini.
عمر بن عبد العزيز يقول عن اختلف الصحابة رضي الله عنهم : "ما يسرني أن أصحاب رسول الله
. "صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة
Umar bin Abdul Aziz berkata tentang perbedaan pendapat yang dialami para sahabat, “Tidaklah
membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda
pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhshah
(keringanan/kemudahan).” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, ,hal. 38. Mauqi’ Al Islam. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Dalam Majmu’ al Fatawa-nya Imam Ibnu Taimiyah, ucapan Umar bin Abdul Aziz agak lebih panjang,
yakni ada tambahan:
ِ ََف ل َ ِ َأ َ َ َج ٌ ب ِ َو ِ َ َج ٌ ب ِ َو
لن ّ م إذا جمعُواعىق لفَخاف م ر ل كاَن َ ل وإذا خت َفُوافخَذ ر ل ق لهَذا وَر ل ق لهَذا كاَن ي ا ْمْرسَعَة
ٌ ِ ْ ُ ْ ُ َ َل َ َو ٍ َ ل َ َه ْ َج ٌ َضا ّ َ ِ َ ا ْ ل
ُ ُ ْ َ َ ِ َه ْ َ ا ْت
ُ
“Karena mereka jika bersepakat atas suatu pendapat, maka orang yang berbeda dengan mereka akan
tersesat. Jika mereka berbeda pendpat, maka ada orang yang mengambil pendapat ini, ada orang lain
yang mengambil pendapat yang lain. Ini adalah urusan yang sangat luas.” (Imam Ibnu Taimiyah,
Majmu’ al Fatawa, Juz. 7, hal. 250. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ya, jika para sahabat selalu sepakat dalam segala hal, maka tidak tersisa peluang bagi generasi
selanjutnya untuk berfikir sesuai zamannya. Sebab, mereka adalah teladan, namun kita akan kesulitan
jika harus sama dengan mereka dalam segala hal. Dengan adanya perbedaan di antara sahabat, maka
mereka telah menanamkan dan mencontohkan pemikiran dinamis bagi generasi selanjutnya.
3. Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri, sebagai berikut:
.سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فل تنهه
6. “Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya
pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul
Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)
4. Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu
Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada
Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah
berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa
mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy
Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At
Taufiqiyah)
5. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:
. وقد قال أحمد في رواية المروذي ل ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه
ول يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده
.
“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi, tidak seharusnya seorang ahli fiqih
membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada
mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum
nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya,
maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan
bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap,
bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.
6. Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
َ ِ ْ ُ َ َ رو
ومما ي َت َع ق بالجتهاد م ي َ ن ل ِل ْعوام مدْخَل فيه ، ول لهُم إ ِن ْكاره ، ل ذَ ك ل ِل ْعلماء . ثم ال ْعلماء إ ِنما ي ُن ْك ِ ُ ن ما أجمع
َ ّ َ َ ُ ّ ُ ِ َ َ ُ َ ِبَ ْ ل َ ْ َ ََ ِ ِ َ ّ َ َ ْ ُ َل ّ ِ ِ ْ ِ َ ِ ل َ ْ ك ّ ِ َ
ْ َ ِ ري ِْ َ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َ
ّ َل َ حد ا م هب َن ل مُج هد م ِ ب . وهذا هو المختار عند ك َثي ِ ن مِن
ٌ َ ل ْ َذ َ ي ْ ِ ك ُ ّ ْت َ ِ ٍ صي
ُ ْ َ عل َيه أما ا مُخت َف فيه فَل إ ِنكار فيه ِن عى أ
َِ ِ َ ْ َ ِ ِ ل َّ لْ ْ ل َ ِْ َ
ُ َ ّ ِ َ ْ ك ْثرهم . وع ى المذْ ب الخر الم ِ ب واحد والمخ ئ غير مت َع ن ل َنا ، وال ِم مرفوع عن ْه
ُ َ ُ ْ َ َْ ْ ث َ ّ ْ َ ْ صي َ ِ َ ْ ُ ْطِ َ ْ ُ َي ُ ْ َه
َ َ ْ َ َل َ َ ال ْمحققين أ َو أ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke
dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama
hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang
masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan
dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas
para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar
hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.”
7. (Syarah an Nawawi ‘ala Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a
minkum munkaran …..’ Al Maktabah Asy Syamilah)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’.
Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.
7. Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah
Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An
Nazhair:
ال ْقاعدَةُ ال ْخامسة والث ّلثون "ل ينْر الْخف ِه ،وإنِّما ينْرُ ال ْمجمع عل َي ْه
ِ َ ُ َ ْ ُ َ َ ِ َ ُ َ َ ُ َ َ ُك َ ُ م ْتلَ ُ في ِ َ َ ُك
َ ُ ِ َ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan.
Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’
(kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Al
Maktabah Asy Syamilah)
8. Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Dia adalah imam yang sangat keras terhadap bid’ah, khurafat, dan syirik. Namun, ia sangat bijak
terhadap perselisihan fiqih. Beliau berkata:
َ و ذلِ َ لْ ُو ُ ف لْج ِ نّ َ زا ُ َ ْه ْ ف ا ْتِ ْ َبِ ِ أ َ ْ را ِ ِ ِ س و ِ ال ه ِ َ ْكِ ِ أ َ ْ ف ْلِ ِ َإ ِ ّ عا ّه ْ ُف و َ علَ ح ِص ِ م ْ ر َ لْ ُو
ك َك اقنُت ي اف ر إما النّ َع بينَم ي سحباه و ك َ َهيتَه و ج د س و لتِره و عه ولف َمتُم متّقن ىص ة لَة ن تَك اقنُت
َ َ َ ِّ َ ُِ ُ َ ِ ّْ ُُ َ ِ ُ َْ ِ َ َ
وأنَه س وا ب و ذك ن فَعه
ُ ََ ّ ُ لَيْ َ بِ َج ِ َك َ َلِ َ م ْ َل
َ ِ
“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada
istihbab-nya (disukai) atau makruh (dibenci). Begitu pula sujud sahwi karena
meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak, maka kebanyakan mereka sepakat atas
sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang
yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah,
Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, hal. 185. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)
Inilah bijaknya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, walau di akhir pembahasannya ia menguatkan pendapat
TIDAK BERQUNUT, tetapi dia tidak mencap sesat atau marah-marah dengan yang melakukannya.
Bahkan, beliau tidak mengatakannya bid’ah sebagaimana yang biasa dikira sebagian orang
terhadapnya. Memang, kalangan hanafiyah membid’ahkannya.
Di kitabnya yang sama, dalam tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:
“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki
oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yg masuk ke dalamnya
maka ia tergolong kepada ahli Islam yg murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun
bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-
masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara
yg sunnah.”
Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak
mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para
8. sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal.
56)
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka
sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing
pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)
Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh
sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan,
dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di
saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah
merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing
mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)
Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hokum itu seperti ijtihadnya orang yang
menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea
rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka
shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang
mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)
Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang
benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau
dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Ibnu
Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu
memaksakan pendapatnya kepada orang lain..
Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i)
bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu
dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari
Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang
belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz,1. hal. 383-384)
Jadi, setelah anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan
paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera
yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)
9. Imam Hasan al Banna Rahimahullah
Al Ustadz Hasan al Banna mengomentari perselisihan fiqih dalam umat Islam,:“Dalam hal ini, kami
meyakini bahwa perselisihan dalam cabang (furu’) agama adalah hal yang niscaya, tidak mungkin kita
bisa menyatukan pandangan dan madzhab dalam masalah furu’, disebabkan beberapa hal:
Di antaranya adalah perbedaan kemampuan akal dalam mengistimbath dan dalam memahami dalalah
hadits. Dan juga perbedaan dalam kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu
dengan yang lainnya.
Juga perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasn yang tidak dimiliki orang lain.
Berkata Imam Malik kepada Abu Ja’far: Sesungguhnya sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar
tempatnya. Masing-masing kaum memiliki ahli ilmu. Karena itu, jika dipaksakan dengan satu pendapat
maka akn timbul fitnah.
Juga perbedaan lingkungan. Hal ini menjadikan praktek hukum di satu wilayah berbeda dengan
wilayah lainnya. Kita lihat bagaimana Imam Asy Syafi’i berfatwa dengan qaul qadim di Irak, ketika
9. pindah ke Mesir beliau berfatwa dengan qaul jadid. Masing-masing fatwa itu disampaikan berdasarkan
pada apa yang mereka ketahui sampai saat fatwa itu dikeluarkan.
Hal lain adalah perbedaan kepuasan terhadap suatu riwayat hadits ketika diterima. Kita kadang
mendapatkan suatu hadits dianggap tsiqah oleh seorang imam dan dia merasa puas dengannya
sementara yang lain tidak melihat demikian karena sebab-sebab yang dia ketahui.
Bisa juga karena perbedaan dalam menakar kadar dalalah. Misalnya, yang satu mengatakan perbuatan
orang didahulukan atas khabar ahad, sementara yang lain tidak mengatakan demikian, dan demikian
seterusnya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Bab Da’watuna, hal. 25-
26. Al Maktabah at Taufiqiyah)
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam
masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini.
Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dapat mengiringi kemajuan
zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur,
tidak jumud atau keras.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Idem, hal. 26)
Dalam kesempatan lain beliau berkata:
“Adapun mengenai penghindaran Ikhwan dari khilaf masalah fiqih, karena Ikhwan meyakini
bahwa khilaf dalam masalah furu’ merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena
dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami
beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat tetap terjadi pada masa
sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya
Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala “Ia ingin memaksa semua orang
berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): Ingatlah bahwa para
sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli
ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah
fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah
sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir
manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai
kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan
seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu. (Al
Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Ibid, Mu’tamar Khamis, hal. 187)
Demikian. Kami kira pandangan jernih dari para imam ini sudah cukup mengajarkan kita agar
dewasa, elegan, dan bijak dalam menghadapi khilafiyah fiqhiyah. Para imam adalah
pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita ikuti. Emosi dan hawa
nafsu?
Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah