SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 61
Descargar para leer sin conexión
Asimetri dental dan wajah
Surwandi Walianto
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Orthodontic treatment has been associated with dental and facial esthetics. In orthodontic diagnosis and
treatment planning, it is important to recognize asymmetry. Undiagnosed asymmetry may cause treatment time to
be prolonged due to in change in treatment plan. The cause of facial asymmetry fall into three main categories:
trauma related, development defect, or pathology. Asymmetry can be classified into dental, skeletal, muscular,
functional, or combination. In diagnosing facial and dental asymmetry, clinical examination and radiographic
assessment are necessary to determine the extent of the soft tissue, skeletal and muscle involvement. Clinical
evaluation is most important in the diagnosis of asymmetry to assess optimal relationship between dental and
skeletal. It is necessary to supplemented diagnostic records by photographs, PA radiograps, study models, face-
bow transfers.
Key words: asymmetry, dental, facial.
Korespondensi: Surwandi Walianto, Bagian Ortodonsia. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jl. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax.(0361) 261278
PENDAHULUAN
Saat merawat pasien ortodontik, sering ditemukan adanya ketidaksimetrisan pada dental atau wajah dari
penderita yang merupakan keluhan dari pasien, maupun yang tidak disadari oleh pasien yang datang. Perawatan
ortodontik adalah perawatan yang berhubungan dengan estetika dental dan wajah, oleh karenanya pada saat
mendiagnosis dan membuat rencana perawatan harus diketahui adanya asimetri pada dental dan wajah sehingga
didapatkan hasil perawatan yang simetris dengan berimpitnya garis tengah dental rahang atas dan rahang bawah
serta garis tengah wajah. Hal ini penting karena pasien datang ke dokter gigi adalah untuk memperbaiki susunan
gigi atau penampilan wajahnya. Bila saat melakukan perawatan ortodontik kita tidak menyadari adanya asimetri,
akan membuat jangka waktu perawatan menjadi lebih lama karena harus melakukan perubahan pada rencana
perawatan.
Relasi oklusi asimetri dapat diakibatkan oleh asimetri pada lengkung gigi atau asimetri relasi skeletal
antara maksila dan mandibula. Bila dilakukan pengamatan yang teliti pada wajah, dapat ditemukan beberapa
tingkatan asimetri pada seluruh wajah. Asimetri terutama terlihat pada jaringan lunak, dan jaringan keras
mempunyai peran yang besar terjadinya asimetri. Banyak metode digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai
besarnya asimetri, termasuk evaluasi proporsi vertikal dan horisontal wajah dengan menggunakan foto wajah,
analisis radiografik atau pemeriksaan klinis secara langsung.1
ASIMETRI
Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk dan susunan pada bidang, titik atau garis pada
sisi yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksimetrisan/asimetri dentofasial adalah kompleks yaitu
tidak terbatas pada gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi juga seluruh komponen wajah dan seluruh struktur di
sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks dapat terjadi unilateral atau bilateral, jurusan anteroposterior,
superoinferior dan mediolateral. Asimetri wajah dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang baik, sedangkan
asimetri dental dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat pula terjadi pada individu
yang sama.2
Untuk menentukan wajah seseorang asimetri atau tidak seimbang, pertama-tama harus diketahui konsep
wajah yang simetri dan seimbang. Pada Gambar 1 terlihat gambaran wajah seorang wanita yang simetris dan
seimbang. Garis A adalah garis tengah wajah yang membagi wajah menjadi dua bagian sama besar, garis B
merupakan garis vertikal dari pupil ke sudut mulut, garis C membagi wajah secara horisontal menjadi tiga bagian
sama besar, dan garis D membagi jarak vertikal dasar hidung ke dagu paling bawah menjadi 1/3 bagian atas dan
2/3 bagian bawah. Wajah wanita ini juga memenuhi kriteria lebar wajah yang sempurna menurut orang Yunani
kuno yaitu lima kali lebar mata yang ditunjukkan oleh garis E.3
Gambarnya di scan.......
Gambar 1. Proporsi wajah yang simetris dan seimbang.3
A. Garis tengah wajah; B. Garis vertikal dari pupil ke sudut mulut; C. Garis
membagi wajah vertikal menjadi tiga bagian; D. Garis membagi jarak dasar hidung ke dasar dagu menjadi 1/3 atas dan 2/3
bawah; E. Garis membagi lebar wajah menjadi lima bagian
PREVALENSI
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui prevalensi asimetri pada remaja yang
dirawat ortodontik, memperlihatkan hasil bahwa asimetri yang terbanyak adalah deviasi garis tengah mandibula
terhadap wajah (62%), diikuti tidak berimpitnya garis tengah kedua rahang (46%), deviasi garis tengah rahang
atas terhadap garis tengah wajah (47% pada geligi campuran dan 33% pada geligi permanen), asimetri gigi molar
kiri dan kanan pada bidang anteroposterior (22%), asimetri oklusal rahang atas (20%) dan asimetri oklusal rahang
bawah (18%).4
Hal ini memperlihatkan bahwa asimetri merupakan hal yang sering ditemui pada kasus-kasus
ortodontik.
Sedangkan prevalensi pada remaja yang tidak dirawat ortodontik memperlihatkan hasil sebagai berikut :
asimetri molar (30%), garis tengah yang tidak berimpit ( 21%), wajah yang asimetris (12%) dan terlihat
hubungan yang bermakna secara statistisk antara asimetri molar dengan asimetri wajah, garis tengah yang
berimpit, dan ras.4
ETIOLOGI
Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu. Pada beberapa pasien
disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal terlalu dini, atau akibat pencabutan
gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal yang meliputi maksila atau mandibula.5
Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
yaitu defek perkembangan, trauma, patologi.6
ASIMETRI WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog pada wajah
dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang asimetri sering disertai
ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu
maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah merupakan fenomena alami dan bukanlah
merupakan hal yang abnormal. Asimetri keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan
bagian yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan karena luka atau
penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah, ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak dapat dirawat
dengan perawatan ortodontik.2
Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik tampak menyenangkan
ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram.7
Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan lunak bagian bawah lebih
banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri
pada maksila biasanya merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat
diklasifikasikan sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional.8
ASIMETRI DENTAL
Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan lengkung gigi yang
tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas dan bawah pada segmen yang sama,
ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian.2
Deviasi garis
tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus
tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II. Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang
posterior karena pergeseran mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke lateral mandibula
(tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas.9
DIAGNOSIS
Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah menentukan ketidaksimetrisan yang terjadi akibat kelainan
skeletal atau dental. Untuk mendiagnosis asimetri dental atau skeletal, dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis
dan radiografik yang menyeluruh pada skeletal, gigi, fungsional dan pola jaringan lunak wajah.5,10
A. Pemeriksaan Klinis
1).Pemeriksaan kesimetrisan wajah pada pasien dengan posisi natural head, mandibula dalam keadaan relasi
sentrik, dan jaringan lunak dalam keadaan istirahat.8
Pasien duduk di kursi dan pemeriksa berdiri tepat di
depannya. Langkah pertama adalah membuat garis tengah wajah, dapat dilakukan dengan bantuan dental
floss yang ditarik pada bidang sagital mulai dari atas kepala sampai bagian terbawah dari dagu. Garis yang
terbentuk membagi dua alis mata, mata, zygoma, lubang hidung, bibir, philtrum, sudut gonial.11
;
2).Evaluasi garis tengah dental pada posisi mulut terbuka, relasi sentrik, kontak dini, oklusi sentrik.5
;
3).Evaluasi pergeseran anteroposterior unilateral: kelainan yang terjadi karena perbedaan dalam ukuran,
bentuk, posisi dari kedua sisi wajah dalam jurusan anteroposterior horisontal. Gambar 2 memperlihatkan
pandangan frontal dan lateral pasien dengan kelainan asimetri karena pergeseran posterior unilateral.
Pandangan inferior memperlihatkan jarak sudut gonial kanan ke ujung dagu pasien lebih pendek
dibandingkan sisi kiri. Pada pemeriksaan maksila, tidak tampak adanya perbedaan panjang maksila kiri dan
kanan. Relasi oklusi gigi memperlihatkan relasi molar Klas I Angle pada sisi kanan, dan Klas II Angle pada
sisi kiri. Relasi ini tetap saat posisi istirahat. Pada pandangan oklusal, gigi molar kanan dan kiri tidak
memperlihatkan perbedaan antero- posterior, sedangkan pada mandibula, terlihat gigi molar permanen
pertama, gigi molar sulung pertama, kedua dan kaninus sulung lebih ke anterior dibandingkan sisi kiri.12
Gambar 2. Asimetri yang disebabkan oleh pergeseran
posterior unilateral mandibula sebelah kiri.12
4). Evaluasi pergeseran vertikal : asimetri yang diakibatkan perbedaan tinggi dalam ukuran, bentuk, posisi
bagian–bagian dentofasial pada kedua sisi wajah. Gambar 3 memperlihatkan pasien dengan gigi dan bibir
dalam keadaan berkontak. Garis terputus–putus menggambarkan ramus mandibula sebelah kanan lebih tinggi
dibandingkan sebelah kiri. Gambaran intra oral memperlihatkan pengaruh asimetri terhadap bidang oklusal.
Pada sisi kanan pasien, terlihat bagian maksila lebih besar dan ramus mandibula lebih panjang, bidang
oklusalnya lebih rendah. Pada sisi kiri, maksila lebih kecil, ramus mandibula lebih kecil, dan bidang oklusal
lebih tinggi.
Gambar 3. Asimetri karena pergeseran vertical.12
Pasien dengan pergeseran dalam jurusan vertikal (Gambar 4), terlihat mata kiri lebih tinggi
dibandingkan mata kanan. Tulang pipi dan telinga sebelah kiri juga tampak lebih tinggi dibandingkan yang
kanan. Maksila sebelah kiri lebih besar dibandingkan yang kanan, dan ramus sebelah kiri lebih panjang
dibandingkan sebelah kanan. Gambaran oklusi intra oral memperlihatkan perbedaan tinggi bidang oklusi pada
sisi kiri dan kanan.12
Gambar 4. Gambaran klinis asimetri karena pergeseran
vertikal.12
5). Evaluasi pergeseran dalam jurusan lateral: merupakan asimetri yang diakibatkan adanya perbedaan pada
jurusan lateral horisontal dalam ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada sisi kiri dibandingkan
dengan yang kanan. Pasien dengan kelainan ini (Gambar 5), pada pandangan inferior terlihat ujung dagu
bergeser ke arah kanan terhadap bidang tengah sagital. Mata kiri tampak lebih tinggi. Muka bagian bawah
memperlihatkan sudut gonial kanan lebih ke lateral terhadap bidang tengah sagital dibandingkan sisi kiri.
Telinga sebelah kanan lebih posterior dibandingkan dengan sisi lawannya. Intra oral memperlihatkan gigitan
silang pada gigi molar permanen , molar sulung dan kaninus sulung. Pada sisi kiri terlihat perkembangan yang
normal. Garis tengah dental mandibula yang bergeser ke kanan saat oklusi dan relasi bukolingual yang
merupakan gigitan silang, tetap dalam posisi tersebut saat posisi istirahat.12
Gambar 5. Asimetri karena pergeseran horizontal.12
6). Evaluasi pergeseran rotasi: pergeseran rotasi adalah suatu asimetri yang disebabkan pergeseran seluruh bagian
maksila atau mandibula. Pada Gambar 6 terlihat seorang wanita dengan pergeseran rotasi pada mandibula dan
pergeseran anterior unilateral pada maksila kiri. Pergeseran rotasi pada mandibula dilihat pada pandangan
inferior mandibula. Ujung dagu dan sudut gonial menentukan adanya rotasi pada mandibula. Pada kelainan
tersebut, seluruh mandibula berputar ke arah kanan akibatnya sudut gonial kiri lebih ke anterior dari sebelah
kanan, dagu akan tampak lebih ke kanan terhadap bidang tengah sagital.12
Gambar 6. Pergeseran berputar keseluruhan mandibula ke
kanan, dan pergeseran ke anterior maksila kiri.12
B. Pemeriksaan radiografik
1). Panoramik radiografik: pemeriksaan ini berguna untuk melihat gigi dan struktur tulang, bentuk kondil dan
ramus mandibula kiri dan kanan dapat diperbandingkan.10
;
2). Posterior-anterior sefalogram: teknik ini sangat berguna untuk mempelajari struktur bagian kiri dan kanan
wajah, dapat digunakan dengan oklusi sentrik maupun dengan mulut terbuka untuk melihat adanya deviasi
fungsional.10
;
3). Submental vertex radiografik: melihat asimetri pada mandibula, zygoma, zygomatic arches.8
DISKUSI
Asimetri dental dan wajah secara struktural dapat diklasifikasikan sebagai kelainan dental, skeletal, otot,
dan fungsional. Asimetri dental dapat disebabkan oleh kehilangan gigi sulung secara dini, kehilangan gigi secara
kongenital, kebiasaan jelek seperti mengisap ibu jari, dan bentuk lengkung gigi yang tidak simetris. Asimetri
skeletal dapat pula disebabkan oleh kelainan pada maksila atau mandibula atau meliputi kedua rahang. Kelainan
hemifasial atrophy dan cerebral palsy dapat menyebabkan asimetri wajah dan dental karena pengaruh otot-otot
yang terlibat. Asimetri karena fungsional biasanya disebabkan oleh karena adanya gangguan yang menghalangi
terjadinya intercuspation yang benar pada relasi sentrik. Penyebabnya dapat berupa kontriksi rahang atas atau
posisi gigi yang salah. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kontak dini saat relasi sentrik yang mengakibatkan
terjadinya pergeseran mandibula.10
Kelainan-kelainan tersebut di atas dapat terjadi secara bersamaan, sehingga kita harus dapat
mendiagnosis dengan benar supaya dapat membuat rencana perawatan yang tepat. Diagnosis adanya asimetri
pada dental dan wajah dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografik atau dapat pula
dengan menggunakan foto pasien. Teknik pemeriksaan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Radiografik Panoramik mempunyai kelemahan yaitu distorsi geometrik karena karakteristik dari
proyeksinya membuat pembesaran yang terjadi tidak merata. Posterior-anterior sefalogram mempunyai
keuntungan dibandingkan panoramik yaitu pembesarannya lebih merata karena jaraknya dari sumber sinar relatif
sama, lebih akurat membandingkan bagian kiri dan kanan wajah karena dapat dibuat garis tengah wajah dan gigi-
geligi. 10
Pemeriksaan menggunakan foto dan radiografik tidaklah sebaik pemeriksaan klinis karena mereka
mempresentasikan rekaman yang statis pada satu posisi saat gambar tersebut dibuat. Jika pasien salah dalam
posisi mandibula atau posisi kepala miring akan menyebabkan foto atau posterior-anterior sefalogram tidak
akurat.11
Analisis frontal sefalogram dalam pelaksanaannya sulit mendapatkan postur kepala yang tepat, dan
terjadinya superimpos juga menyebabkan kesulitan dalam identifikasi landmark. Akan tetapi posterior-anterior
sefalogram mempunyai kelebihan yaitu dapat mengukur bermacam-macam lebar dental dan skeletal serta
asimetri skeletal.13
Pemeriksaan secara klinis sangat penting dalam mendiagnosis asimetri karena bisa memeriksa
pasien dalam relasi sentrik, oklusi sentrik, dan dapat dilakukan penyesuaian pada saat itu juga bila posisi pasien
tidak benar. Pemeriksaan klinis memerlukan pemeriksaan tambahan seperti foto, model, facebow transfer, agar
lebih akurat.8,10
Asimetri wajah dan dental dapat disebabkan karena kelainan pada struktur dental, skeletal, otot, dan
fungsional, serta dapat terjadi secara bersama-sama pada individu yang sama. Oleh sebab itu dalam mendiagnosis
asimetri dental dan wajah memerlukan pemeriksaan yang teliti dan hati-hati. Pemeriksaan klinis memegang
peranan yang sangat penting dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah pada pasien ortodontik karena posisi
pasien dapat diatur dan disesuaikan pada posisi yang benar. Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan
juga pemeriksaan lain seperti posterior –anterior sefalogram, panoramik dan submental vertex radiografik untuk
menganalis kelainan skeletalnya, sedangkan model dan facebow transfer untuk melihat oklusi di luar mulut pada
model.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kronmiller JE. Development of asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 134.
2. Fischer B. Asymmetries of the dentofacial complex. Angle Orthod 1954; 24(4): 79-183.
3. Goldstein RE. Change your smile. 3ed
. HongKong: Quintessence Publishing. 1997: 4-5.
4. Sheats RD, McCorray SP, Musmar Q, Wheeler TT, King GJ. Prevalence of orthodontic asymmetries. Semin
Orthod 1998; 4(3):144.
5. Burstone CJ. Diagnosis and treatment planning of patient with asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 153.
6. Burke PH. Serial observation of asymmetry in the growing face. Br J Orthod 1992; 19(4): 273.
7. Peck S, Peck L, Kataja, M. Skeletal asymmetry in esthetically pleasing faces. Angle Orthod 1991; 61(1): 47.
8. Legan HL. Surgical correction of patients with asymmetris. Semin Orthod 1998; 4(3): 190-3.
9. Lewis PD. The deviated midline. Am J Orthod 1976; 70(6): 601.
10. Bishara SE, Burkey PS, Kharouf JG. Dental and facial asymmetries: a review. Angle Orthod 1994; 64(2): 92-
5.
11. Margolis MJ. Esthetic consideration in orthodontic treatment of adult. Dent Clin North Am 1997; 41(1):31-4.
12. Cheney EA. Dentofacial asymmetries and their clinical significance. Am J Orthod 1961; 47(11): 814-25.
13. Grummon DC, van de Coppelo MAK. A Frontal asymmetry analysis. J Clin Orthod 1987; 21(7): 448.
1
Perawatan gigitan silang posterior dengan rapid maxillary expansion
Dwis Syahrul, Wiwekowati dan Ursula Lucia Tjandra
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Gigitan silang posterior biasanya terjadi akibat penyempitan maksila bilateral, yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik ataupun kebiasaan buruk mengisap ibu jari. Salah satu cara mengoreksi
kelainan ini dapat dilakukan dengan ekspansi maksila untuk membuka sutura palatina mediana
menggunakan teknik Rapid Maxillary Expansion (RME). Alat RME berupa alat cekat yang didesain kaku
dan kuat, pada umumnya berupa sekrup, dengan band yang disemen pada gigi molar pertama dan gigi
premolar pertama atau molar pertama sulung. Alat ini dapat menghasilkan pelebaran pada sutura palatina
mediana dalam waktu yang cepat dan dengan kekuatan yang besar. Tahap perawatan RME meliputi tahap
aktivasi, stabilisasi dan retensi.
Kata kunci: gigitan silang posterior, rapid maxillary expansion.
Korespondensi: Dwis Syahrul, Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Gigitan silang posterior merupakan salah satu jenis maloklusi yang sering ditemukan. Beberapa
penyebab terjadinya gigitan silang posterior antara lain adalah persistensi, kebiasaan mengisap ibu jari,
bernafas lewat mulut, defisiensi maksila akibat genetik, maupun tekanan postural pada daerah dentofasial. 1,2,3
Pada anak-anak, perawatan gigitan silang posterior harus dilakukan sedini mungkin sebelum masa
pertumbuhan selesai.1
Gigitan silang posterior pada fase gigi sulung atau gigi pergantian yang tidak dirawat
akan tetap melanjut pada fase gigi permanen4
dan mengakibatkan gangguan perkembangan artikulasi
temporomandibula dan asimetri wajah.5
Salah satu jenis gigitan silang posterior adalah tipe skeletal.6
Perawatan untuk memperbaiki gigitan silang skeletal adalah dengan ekspansi maksila secara ortopedik, yang
dapat dilakukan dengan teknik Rapid Maxillary Expansion (RME).2
Teknik RME pertama kali diperkenalkan oleh Angell pada tahun 1860.7,8
Teknik ini semakin
populer setelah dipublikasikan oleh Haas pada tahun 1961.9
Keuntungan yang diperoleh dari mengoreksi
gigitan silang posterior dengan ekspansi maksila adalah terjadinya pelebaran jalan nafas melalui hidung,
perkembangan TMJ yang sehat, dan pertumbuhan mandibula yang lebih baik.1
GIGITAN SILANG POSTERIOR
Gigitan silang posterior adalah hubungan bukolingual yang abnormal antara satu atau lebih gigi
rahang atas dengan satu atau lebih gigi rahang bawah, ketika kedua rahang berada dalam relasi sentrik.1,6
Variasi hubungan bukolingual gigi posterior yang dapat terjadi adalah gigitan silang bukal dan gigitan
silang lingual. Gigitan silang lingual lebih sering ditemukan daripada gigitan silang bukal.2,6
Gigitan silang
lingual adalah satu atau beberapa gigi atas berada di sebelah lingual dari gigi bawah, sedangkan gigitan
silang bukal adalah tonjol lingual gigi posterior atas seluruhnya berada di sebelah bukal tonjol bukal gigi
bawah (gambar 1).
Gambar 1. Hubungan transversal gigi molar pertama.
A. Hubungan buko-lingual molar yang normal;
B. Gigitan silang bukal; C. Gigitan silang lingual;
D. Gigitan silang lingual total (Moyers 1973).
Gigitan silang posterior bisa melibatkan satu gigi atas dan satu gigi bawah ataupun melibatkan
seluruh gigi posterior pada satu sisi atau kedua sisi pada kedua rahang. Jumlah gigi yang terlibat
menunjukkan tingkat keparahan kelainan yang terjadi. Jumlah gigi yang sedikit biasanya dihubungkan
dengan tingkat keparahan yang lebih rendah dan sebaliknya.2
Bukal Lingual
2
Dari pengamatan saat oklusi sentrik, gigitan silang posterior dapat dibedakan menjadi dua kategori
yaitu unilateral dan bilateral.2,6,10
Gigitan silang posterior unilateral biasanya disebabkan oleh lengkung
rahang atas yang sedikit lebih sempit daripada lengkung rahang bawah.10
Pada kondisi ini, seringkali terjadi
penyimpangan mandibula ke arah lateral pada saat menutup2,7,11,12
, sehingga terjadi pergeseran garis median
mandibula ke sisi rahang yang mengalami gigitan silang.12
Adanya penyimpangan fungsional mandibula ke
arah lateral tersebut menunjukkan bahwa gigitan silang posterior yang terjadi sebenarnya adalah gigitan
silang posterior bilateral. Gigitan silang posterior unilateral yang tidak disertai penyimpangan fungsional
mandibula saat menutup dari relasi sentrik ke oklusi sentrik adalah gigitan silang posterior unilateral sejati.2
Gigitan silang posterior bilateral adalah suatu gigitan silang posterior yang terjadi simetris pada sisi
kiri dan kanan. Biasanya disebabkan oleh lengkung basal rahang atas lebih sempit daripada lengkung rahang
bawah. Lintasan penutupan mandibula dari istirahat ke keadaan oklusi tidak disertai penyimpangan ke arah
lateral sehingga juga tidak disertai adanya pergeseran garis median.10,11
Gigitan silang posterior dapat juga diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu tipe dental, muskuler,
dan skeletal.6,11
Pada tipe dental, terjadi tipping lokal pada satu atau beberapa gigi. Gigitan silang yang
terjadi tidak berhubungan dengan ukuran atau bentuk tulang basal dan biasanya disertai penyimpangan
fungsional mandibula untuk mencapai oklusi sentrik. Pada tipe muskuler/fungsional, terjadi posisi adaptif
muskuler dari mandibula akibat adanya hambatan oklusal. Tipe ini mempunyai gambaran klinis yang mirip
dengan tipe dental, tetapi gigi tidak tipping pada tulang alveolar. Penyesuaian muskuler lebih berperan
daripada malposisi gigi. Tipe skeletal disebabkan oleh perkembangan tulang maksila atau mandibula yang
asimetris, ataupun akibat disharmoni lebar lengkung maksila dan mandibula.
Etiologi gigitan silang posterior bermacam-macam sesuai dengan tipenya. Gigitan silang posterior
tipe dental seringkali disebabkan oleh kurangnya ruang pada lengkung gigi.11
Bisa juga disebabkan oleh
adanya persistensi gigi molar sulung, yang membelokkan arah erupsi premolar sehingga lebih ke bukal atau
ke lingual.6
Gigitan silang posterior tipe muskuler terjadi karena adanya penyimpangan fungsional
mandibula ke lateral pada saat oklusi sentrik,2
gigi berdesakan, dan erupsi gigi yang tidak teratur.10
Pada tipe
skeletal, terjadi karena pertumbuhan tulang maksila atau mandibula yang asimetris. Penyebabnya adalah
keturunan ataupun trauma yang mengganggu perkembangan normal pada sisi rahang yang terkena trauma.
Disharmoni lengkung maksila dan mandibula biasanya akibat adanya penyempitan maksila bilateral.
Penyempitan maksila bisa terjadi oleh karena faktor genetik, kebiasaan mengisap ibu jari dan bernafas
melalui mulut.6
Secara umum, etiologi, klasifikasi dan usia pasien merupakan faktor yang saling berkaitan dalam
menentukan perawatan maloklusi.13
Perawatan yang dilakukan pada gigitan silang posterior tipe dental
adalah mendapatkan ruang pada lengkung geligi. Caranya dengan ekspansi ataupun stripping interproksimal,
sehingga gigi dapat kembali ke posisi yang benar11
. Cara tersebut dapat dikombinasikan dengan penggunaan
elastik ataupun dengan pegas yang ditanam pada plat akrilik.6
Gigitan silang posterior tipe muskuler pada fase gigi sulung ataupun pergantian, dapat dikoreksi
dengan cara grinding oklusal. Pada fase gigi permanen, grinding oklusal cukup efektif, namun untuk
mencapai hasil yang lebih baik perlu dilakukan perawatan dengan alat.11
Perawatan gigitan silang posterior
akibat penyempitan maksila bilateral diperlukan ekspansi maksila. Pada kasus yang ringan, dapat digunakan
alat Hawley yang ditambahi sekrup ekspansi ataupun dengan quad helix, terutama bagi pasien muda dalam
fase gigi sulung dan pergantian.2
Pada kasus yang lebih berat, perawatan dilakukan dengan teknik RME.11
Gigitan silang posterior yang disebabkan oleh pertumbuhan asimetris tulang merupakan kasus yang
paling sulit dirawat.2,6
Pada gigitan silang unilateral sejati, bila dilakukan ekspansi maksila untuk melebarkan
lengkung atas secara bilateral, maka sisi rahang yang normal akan berubah menjadi gigitan silang bukal.
Perawatan yang lebih tepat pada kasus tersebut adalah dengan menggunakan cross elastik unilateral ataupun
dilakukan ekspansi unilateral dengan tindakan bedah.2
RAPID MAXILLARY EXPANSION
Rapid Maxillary Expansion (RME) atau Rapid Palatal Expansion adalah suatu prosedur ortopedik
untuk melebarkan maksila dengan cara membuka sutura palatina mediana.2
RME menggunakan alat cekat
dan kaku dengan retensi yang kuat, menghasilkan kekuatan lateral yang besar.2,14
Kekuatan yang dihasilkan
adalah sebesar 3-10 pon, atau setara dengan 1,5-5 kg.11
Kekuatan yang terjadi bukan ditujukan pada gigi,
tetapi pada sutura yang menghubungkan dua lengkung tulang palatum sehingga akan menyebabkan
terbelahnya sutura palatina dan dua lengkung maksila akan terpisah dengan cepat.14
Menurut Bishara (2001), RME dapat dilakukan pada keadaan-keadaan berikut:2
gigitan silang
posterior akibat penyempitan maksila, gigi berdesakan, palatum tinggi dan sempit, bila diperlukan ekspansi
sebesar 4-12 mm, pasien masih dalam masa pertumbuhan (sampai usia 16 tahun), penderita bernafas melalui
mulut dengan palatum tinggi dan sempit.15
RME merupakan kontra indikasi pada keadaan sebagai berikut:15
3
tidak kooperatif, gigitan terbuka dan bidang mandibula yang tinggi, rahang atau maksila yang asimetris,
inklinasi gigi molar ke arah bukal, disertai kelainan skeletal dengan indikasi perawatan bedah.
Alat-alat RME telah banyak mengalami perkembangan dan modifikasi hingga saat ini (gambar 2).
Beberapa tipe alat RME yang umum digunakan, yaitu:14
tipe Haas, menggunakan gabungan sekrup ekspansi
dan plat akrilik pada palatum. Di bagian lingual terdapat kawat yang disolder pada band yang dipasang pada
premolar pertama dan molar pertama. Desain ini memberikan tekanan yang lebih merata pada jaringan
palatum dan gigi; tipe Hyrax, adalah sekrup yang terbuat seluruhnya dari logam dengan 4 lengan disolder
pada band yang dipasang pada premolar pertama dan molar pertama; disertai dengan kawat lingual yang
menghubungkan kedua band; Bonded expander, sekrup ekspansi yang retensinya tidak menggunakan band
tetapi menggunakan akrilik yang menutupi gigi posterior dengan cara direkatkan pada permukaan bukal dan
lingual gigi; Two-banded RME, RME dengan menggunakan 2 gigi sebagai retensi. Digunakan bila menemui
kesulitan menempatkan band pada premolar.
a b c d
Gambar 2. Berbagai tipe alat RME. a. Tipe Haas; b. Tipe Hyrax; c. Bonded
expander; d. Two-banded expander (Accutech Orthodontic Lab 2004).17
Menurut Silverstein (2004), perlu beberapa tahap kunjungan pasien agar mendapatkan alat yang
sesuai dengan mulut pasien, yaitu:16
pada kunjungan pertama, dilakukan pemasangan separator pada gigi
yang akan dipasangi band; pada kunjungan kedua, mencoba band dan dilakukan pencetakan kemudian
dibuat model. Dari model dapat dibuat alat RME; pada kunjungan berikutnya, dilakukan pemasangan alat
RME dan pemberian instruksi pada pasien.
Perawatan dengan RME meliputi beberapa tahap, yaitu: aktivasi, dilakukan oleh pasien sendiri atau
orang tuanya dengan memutar sekrup 2 kali sehari selama 2 minggu, atau sesuai dengan ekspansi yang
dibutuhkan. Ekspansi yang dihasilkan adalah sebesar 0,5 mm/hari. Stabilisasi, alat dibiarkan dalam mulut
dalam keadaan tidak aktif selama 3 bulan, untuk menstabilkan hasil ekspansi yang telah dicapai. Retensi,
menggunakan Hawley Retainer atau alat lain yang sesuai setelah alat RME dilepas, untuk mencegah
terjadinya relaps.
Biasanya prosedur perawatan dengan RME tidak menimbulkan rasa sakit. Namun tekanan yang
timbul akibat terbukanya sekrup akan menyebabkan rasa gatal pada langit-langit mulut dan atau rasa tertekan
pada gigi.17
Tekanan seringkali terasa pada daerah frontal dan tulang nasal, juga dapat terasa pada daerah
zygomatik dan sutura zygomatico-temporal.13
Dalam praktek, mungkin ada beberapa variasi dan perbedaan
pada tiap-tiap pasien, dipengaruhi jenis alat yang digunakan, banyaknya aktivasi, lamanya waktu perawatan
atau besarnya ekspansi yang diperlukan.16
Pada saat RME dipasang, sekrup harus terletak tegak lurus
terhadap garis median dan paralel dengan bidang oklusal. Tanda panah pada sekrup diletakkan menghadap ke
posterior. Tanda panah tersebut menunjukkan arah aktivasi sekrup, yaitu ke arah posterior (gambar 3).14
a b c
Gambar 3. Bagian dari alat RME dan Cara aktivasinya. a. Sekrup ekspansi;
b. Kunci; c. Aktivasi alat (Silverstein 2004).
Besar aktivasi adalah ¼ putaran, yaitu sampai lubang berikutnya terlihat. Dilakukan sebanyak 3 kali
bertahap setiap 5 menit. Aktivasi berikutnya dilakukan oleh pasien sendiri atau orang tuanya, 2 kali sehari, di
pagi hari dan di malam hari.12
Setiap putaran menghasilkan pelebaran sekitar 0,25 mm. Jadi pelebaran yang
dihasilkan adalah sekitar 0,5 mm setiap hari. Pelebaran dilakukan sedikit berlebih sebagai kompensasi
terjadinya relaps.
Dalam masa aktivasi, timbul diastema sentral sebagai tanda terbukanya sutura palatina mediana.
Pada foto rontgen terlihat adanya daerah radiolusen berbentuk V. Tanda tersebut menunjukkan adanya
4
pembukaan sutura pada daerah anterior lebih banyak daripada posterior. Selama masa aktivasi, pasien
melakukan kunjungan ke dokter seminggu sekali (gambar 4).2
a. b.
Gambar 4. Foto rontgen pada perawatan RME; a. terbukanya
sutura palatina pada saat perawatan; b. terbentuk
tulang baru pada sutura palatina, 6 bulan setelah
perawatan (Stuart dan Wiltshire 2003).20
Aktivasi dilakukan selama kira-kira 2 minggu atau sampai besar ekspansi yang diperlukan tercapai,
yaitu sampai tonjol lingual gigi posterior rahang atas berkontak dengan tonjol bukal gigi posterior rahang
bawah. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah
terbentuk.2
Setelah aktivasi selesai, alat dibiarkan berada di dalam mulut dalam keadaan tidak aktif selama 3
bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi terbentuknya tulang pada ruang sutura palatina
yang membelah, di samping itu juga untuk menghilangkan pengaruh sisa-sisa kekuatan pada jaringan.
Diastema sentral yang terjadi dalam masa aktivasi akan menutup dengan bergeraknya insisif sentral ke arah
garis median. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah
terbentuk. Setelah alat dilepas, dilanjutkan dengan pemakaian Hawley Retainer untuk mempertahankan hasil
ekspansi yang telah dicapai, atau dengan alat lain yang sesuai.2
Pada beberapa hari pertama pemakaian, pasien mungkin merasa tidak nyaman dan mengalami
kesulitan menelan dan berbicara, hal ini biasanya akan membaik dalam waktu 3-5 hari setelah pasien terbiasa
dengan adanya alat RME dalam mulutnya.18
RME berpengaruh pada struktur dentofasial dan mengakibatkan
perubahan skeletal, dental, dan alveolar.2
Pada saat ekspansi, tulang palatal tidak sepenuhnya bergerak secara
translasi ke arah lateral, tetapi mengalami rotasi atau pembengkokan ke arah bukal. Gigi posterior mengalami
rotasi dan tipping ke arah bukal serta juga mengalami ekstrusi.2
Pembengkokan tulang palatal dan tipping
gigi posterior ke arah bukal menyebabkan pergerakan mandibula ke bawah dan ke belakang, terjadinya
gigitan terbuka, dan bertambahnya dimensi vertikal wajah.19
Pemeriksaan pada model, didapati adanya
pelebaran jarak interkaninus dan intermolar; sedangkan pada pemeriksaan sefalogram postero-anterior dapat
dilihat adanya pelebaran maksila dan pelebaran rongga hidung. Pada pemeriksaan sefalometrik lateral,
terlihat adanya pergerakan maksila ke depan, pergerakan mandibula ke belakang dan pertambahan dimensi
vertikal.20
Selama pemakaian alat RME, pasien perlu menjaga kebersihan rongga mulut maupun alatnya
dengan cara menyikat gigi secara benar, menggunakan dental floss dan berkumur-kumur untuk
menghilangkan sisa-sisa makanan. Pasien tidak dianjurkan mengonsumsi makanan yang keras dan lengket.18
RME merupakan suatu alat cekat, kaku dan kuat, pada umumnya berupa sekrup dengan retensi pada
gigi molar dan premolar. Teknik RME dapat digunakan untuk mengoreksi gigitan silang posterior tipe
skeletal dengan penyempitan maksila bilateral yang menghasilkan ekspansi skeletal dengan cara membuka
sutura palatina mediana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Echols M. Orthodontic crossbites and palatal constriction [Homepage of braceface], 2004. [Online].
Available from: http://www.braceface.com/info2.htm# crossbite. Accessed July 14, 2004.
2. Bishara SE. Textbook of orthodontics, Philadelphia: WB. Saunders Company. 2001: 83, 109-11, 160-1,
179, 226, 431, 435-37, 299-300.
3. Graber T M. Orthodontics: principles and practice, 3ed
. Philadelphia: WB. Saunders Company. 1972:
848.
4. Allen D, Rebellato J, Sheats R, Ceron A M. Skeletal and dental contributions to posterior crossbites. The
Angle Orthodontist 2002; 73(5): 515-24.
5. Salzmann JA. Practice of orthodontics, volume one. Philadelphia: JB Lippincot Company. 1966: 251-87,
403-9.
6. Moyers RE. Handbooks of orthodontics for the student and general practitioner, 3ed
. Chicago: Year Book
Medical Publisher. 1973: 243-44, 313, 532-33, 538-40.
7. Graber TM, Swain BF. Current orthodontic concepts and techniques. Philadelphia: WB. Saunders
Company. 1975: 55-9, 371.
5
8. Iseri H, Özsoy S. Semirapid maxillary expansion-a study of long-term transverse effects in older
adolescents and adults. The Angle Orthodontist 2003; 74(1): 71-8.
9. Pearson LE, Pearson BL. Rapid maxillary expansion with incisor intrusion: a study of vertical control.
Am J Orthod Dentofacial Orthop 1999. 115(5): 576-82.
10. Foster TD. Buku ajar ortodonsi, Lilian Yuwono (penterjemah). 3ed
. Jakarta: EGC; 1993: 30, 38, 156-7.
11. Dale BG, Aschheim KW. Esthetic dentistry: A Clinical Approach to techniques and materials.
Philadelphia: Lea & Febiger. 1993: 352-53.
12. Johns Dental Laboratories. Standard instructions for using rapid palatal expander [Home page of Johns
Dental Laboratories], 2004 [Online]. Available from: http://www.johnsdental.com/articles
/ortho/fixed/rpeadj.htm Accessed July 14, 2004.
13. Salzmann JA. Practice of orthodontics, 2ed
. Philadelphia: JB Lippincot Company. 1966: 585, 932.
14. McOrmond A. Bonded Hyrax [Homepage of McO Dental], 2002 [Online]. Available from:
http://www.mcodental.com/articles/ bd-hyrax.htm Accessed Jan 5, 2005.
15. Germa’n Door DO. Fast expansion to maxilar. Report of a case. Colomb Med 2001; 32: 136-9.
16. Silverstein R. General information about the rapid palatal expander [Homepage of Dr Silverstein]. 2004
[Online]. Available from: http://www.orthonj. com/ rpe.html Accessed Jan 4 2005.
17. Fine M. RME (RPE) [Homepage of Martin Fine Orthodontics]. 2003 [Online]. Available from:
http://www.fine.com.au/ rme.asp. Accessed jan 4, 2005.
18. Arias F. The Rapid palatal expander appliance [Homepage of Dr. Arias pediatris dentistry of the treasure
coast], 1998, [Online]. Available from: http://www. drarias.com/LIBRARY/RPE.htm Accessed jan 4,
2005.
19. Doruk C, Bicakci AA, Basciftci FA, Agar U, Babacan H. A comparison of the effects of rapid maxillary
expansion and fan-type rapid maxillary expansion on dentofacial structures. The Angle Orthodontist
2003; 74(2): 184-94.
20. Sari Z, Uysal T, Usumez S, Basciftci FA. Rapid maxillary expansion. Is it better in the mixed or in the
permanent dentition?’ The Angle Orthodontist 2003; 73(6): 654-61.
Pengaruh konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan terhadap kekuatan perlekatan
sealant pada gigi sulung
(Uji laboratoris kekuatan tarik)
Ni Putu Widani Astuti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Pit and fissure sealant is one of the most effective efforts in preventing occlusal surface caries. Aim of
the in vitro research is conducted to obtain the effect of phosphoric acid concentration and time of application
towards tensile bond strength in primary teeth the sealant. Forty five primary molars were divided into 9 groups,
each group consisting of 5 molars. The surface of occlusal primary molars were applied variation of phosphoric
acid concentration 27%, 37% and 47%, prepared with time application set for 40 second, 60 second and 80
second. After eat process completed, helioseal (vivadent) was applied to the enamel surface and light cured for
20 seconds. Afterwards, it is soaked in aquadest solution and kept in the incubator for 24 hours at 37C before
treated on a tensile bond strength test. The result shows the lowest average bond tensile strength is obtained with
phosphoric acid 27% with 40 seconds application time ( 54.0640 kg/cm2
), and the highest is obtained with
phosphoric acid 47% with 80 seconds application time ( 143.8840 kg/cm2
). Statistic analysis with ANOVA
shows different significantly between variation of phosphoric acid concentration and application time toward
tensile bond strength test, LSD0,05 test result shows significant average tensile bond strength between groups (p<
0.05) except in the 27% 40 second, and the 27% 60 second, 27% 80 second and the 37% 40 second groups. Also,
the 47% 40 second group shows not different significantly (p< 0.05). The conclusion of the research on the effect
of phosphoric acid concentration an time of application toward sealant tensile bond strength on primary teeth
due different significantly ( p< 0.05 ).
Key words: Phosphoric acid, sealant, primary teeth
Korespondensi: Ni Putu Widani Astuti, Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361)
261278
PENDAHULUAN
Karies gigi merupakan penyakit yang paling umum pada jaringan keras gigi manusia yang ditandai
dengan adanya kerusakan jaringan gigi, dimulai dari permukaan gigi yaitu pit, fisura, dan daerah interproksimal,
hingga meluas kearah pulpa.1
Permukaaan geligi posterior sulung dan permanen sering ditemukan adanya karies
karena morfologi pit dan fisura yang dinyatakan sebagai daerah yang ideal untuk terjadinya retensi sisa makanan
dan bakteri penyebab karies. Karies pit dan fisura pada anak umur 5 – 17 tahun di Amerika Serikat mencapai
84%.2,3
Fissure sealant merupakan salah satu tindakan pencegahan untuk menghilangkan faktor predisposisi
terjadinya karies pit dan fisura pada gigi sulung maupun gigi permanen. Menurut Crawford4
, Fisure sealant dapat
mencegah karies hingga 100% setelah dievaluasi 1 tahun aplikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan fissure sealant adalah proses pengetsaan permukaan email. Email dietsa dengan larutan asam,
menghasilkan energi permukaaan bebas yang tinggi dan menunjukan kelarutan email yang berbeda-beda
tergantung sifat asam yang digunakan, konsentrasi asam, waktu pengetsaan serta komposisi dan struktur gigi.5,6
Email gigi geligi sulung memiliki struktur email yang kurang padat dan lebih tipis dari pada gigi
permanen. Secara fisik maupun kimiawi permukaan terluar email berbeda dengan lapisan email di bawahnya,
email terluar lebih keras dan padat karena mengandung lebih banyak mineral dan bahan-bahan organik.7
Menurut Craig dan Power2
, asam fosfat dengan konsentrasi 37% efektifitasnya dapat diandalkan sebagai
bahan etsa. Anusavice menyatakan bahwa konsentrasi asam fosfat 30% - 50%, khususnya 37% merupakan bahan
etsa yang banyak digunakan dan banyak dipasarkan. Permukaan email yang dietsa akan meningkatkan
kemampuan permukaan untuk perekatan dengan resin dan membentuk resin tag, yang merupakan mekanisme
perlekatan utama resin komposit pada email yang dietsa.8
Emut9
, pada penelitiannya menggunakan bahan sealant
light curing dan asam fosfat dengan konsentrasi 16%; 37%; 58%; dan 85% serta lama pengulasan 60 detik,
mendapatkan kekuatan perlekatan tarik antara resin komposit dengan email meningkat (16% dan 37%) tetapi
terjadi penurunan dengan makin meningkatnya konsentrasi asam fosfat yaitu pada konsentrasi 58% dan 85%.
Efektivitas asam akan berkurang pada email gigi sulung dengan struktur prisma tidak ada atau pada gigi
permanen dengan kandungan fluor yang tinggi. Jenis komposit resin yang digunakan sebagai bahan fissure
sealant, yaitu yang berpolimerisasi dengan cahaya maupun secara kimiawi.11
Fissure sealant yang berpolimerisasi
dengan cahaya mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan yang berpolimerisasi secara kimia, yaitu:
mempunyai waktu kerja yang panjang, penggunaan lebih mudah, pengerasannya dapat dikendalikan, porositas
lebih sedikit serta lebih tahan terhadap abrasi.12
Penelitian eksperimental laboratoris ini bertujuan untuk
mengetahui variasi konsentrasi dan lama waktu pengetsaan asam fosfat terhadap kekuatan tarik perlekatan sealant
pada gigi sulung dalam fissure sealant secara in-vitro.
Pada pit dan fisura gigi sulung sering kali ditemukan adanya karies menurut Kennedy (1992) urutan
permukaan gigi sulung yang terkena karies sebagai berikut:
Gigi Maksila Mandibula
molar pertama oklusal-palatal oklusal lingual
molar kedua oklusal oklusal lingual
kaninus bukal bukal
Insisivus lateral mesial mesial
Insisivivus sentral mesial mesial
Kerusakan pada pit dan fisura merupakan lesi karies yang paling tinggi (93,4%). Prevalensi yang tinggi
dikarenakan anatominya yang ideal bagi retensi bakteri dan sisa makanan. Perubahan dalam prevalensi karies
dalam dekade abad 20 an telah memperluas pemahaman kegunaan fissure sealant. Survai Nasional di AS selama
abad 20 an terjadi adanya peningkatan presentase karies pada permukaan oklusal dari 49% pada tahun 1971
menjadi 58% ditahun 1986 hingga 1987.13
Anatomi dan struktur gigi sangat mempengaruhi resistensi gigi terhadap karies. Permukaan oklusal gigi
sulung relatif tinggi sehingga lekukan menunjukkan gambaran curam dan relatif dalam.14,15
Email gigi
merupakan jaringan yang mengalami mineralisasi paling besar pada tubuh manusia. Komposisi email adalah 96%
bahan organik dan 4% bahan organik.16
Fasa mineral memiliki struktur apatit terutama dalam bentuk
hidroksiapatit dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Hidroksiapatit pada email berbentuk unit menyerupai
batang atau prisma email dengan diameter 4 -5 µm. Prisma email bagian dalam mengikuti suatu bentuk
gelombang sedangkan bagian luar bentuk prisma lebih beraturan dan mencapai permukaan email dengan sudut
siku atau tegak lurus terhadap permukaan email. Didalam prisma terdapat kristal hidroksiapatit bentuk batang
heksagonal yang pipih.16,17
Tepi prisma nampak hampir berbentuk sepatu kuda (ladam) yang merupakan prism
interlock menurut pola lubang kunci.
Prisma email pada gigi permanen berbeda dengan prisma pada gigi sulung. Menurut Kennedy (1992),
prisma pada sepertiga gingiva gigi permanen berinklinasi horizontal atau kearah apeks sedangkan inklinasi
prisma email pada gigi sulung sepertiga gingival berinklinasi ke arah oklusal. Ketebalan email juga bervariasi,
Steven14,18
mengatakan bahwa ketebalan email gigi orang dewasa berkisar antara 2 – 2,5 mm. Email gigi sulung
hanya setengah tebal email gigi permanen dan memiliki struktur email yang kurang padat dan lebih tipis.
Pit dan Fisura pada permukaan oklusal menunjukkan gambaran khas dan relatif dalam ini menyebabkan
tingginya insidensi karies karena tak dapat dibersihkan secara mekanis oleh bulu sikat.14,15
Salah satu tindakan pencegahan karies pit dan fisura adalah fissure sealant, merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi material yang diletakkan kedalam pit dan fisura pada permukaan
oklusal gigi, membentuk lapisan proteksi secara fisik dan mekanis serta melindungi permukaan oklusal gigi dari
aksi bakteri gigi.15,19
Tindakan fissure sealant diindikasikan pada gigi posterior sulung dan permanen yang
mempunyai pit dan fisura yang dalam dan membentuk retensi, pasien yang memiliki karies tinggi pada gigi
sulung dengan diperkirakan gigi permanen akan karies, pada pemeriksaan klinis atau radiografi tidak terdapat
karies interproximal yang perlu direstorasi.2,20
Menurut Govani, indikasi fissure sealant dilakukan pada gigi yang
antagonisnya terdapat karies yang mempunyai bentuk morfologi hampir sama, gigi yang telah erupsi 3 tahun dan
gigi posterior terdapat karies oklusal pada gigi sebelahnya. Adanya karies permukaan oklusal merupakan kontra
indikasi dalam fissure sealant sebagai upaya pencegahan terhadap karies, bukti ini menunjukkan bahwa fissure
sealant merupakan kontra indikasi pada gigi yang mempunyai banyak lesi atau restorasi pada daerah proksimal,
permukaan oklusal datar sehingga daerah pit dan fisura tidak ada, pada pemeriksaan klinis dan radiografi terdapat
karies interproximal yang perlu dilakukan restorasi, pasien dengan oral hygiene buruk tidak pernah
memeriksakan kesehatan giginya secara teratur, serta rampan karies pada gigi sulung.2,21
Dengan berkembangnya ilmu bahan kedokteran gigi, bis-GMA (Bowen’s resin) dipergunakan sebagai
bahan dasar sealant dan terbentuk dari reaksi antara bis (4-hydroxyphenyl) dimetylmethane dan glycidyl
methacrylate.22
Komposisi kimiawi bis-GMA dalam sealant hampir sama dengan komposisi resin, dengan
perbedaan pada sealant bis-GMA lebih bersifat cair, lebih mudah mengalir kedalam pit dan fisura sehingga lebih
melekat pada permukaan gigi yang dietsa untuk menambah retensi. Penggolongan resin komposit berdasarkan
mekanisme polimerisasi ada dua macam yaitu polimerisasi kimiawi dan sinar-tampak.22,23
Buonocore (1995, cit Soetopo, 1980) memperkenalkan sealant dengan teknik etsa asam menggunakan
asam fosfat. Dengan menggunakan teknik etsa asam akan terbentuk mikropit pada email dan memudahkan bahan
mengalir serta masuk kedaerah fisura hingga dapat meningkatkan retensi bahan restorasi terhadap gigi. Etsa asam
fosfat pada permukaan email dapat menyebabkan demineralisasi prisma email membentuk mikropit pada
permukaan email. Email yang telah dietsa memiliki permukaan bebas energi yang tinggi sehingga memudahkan
adaptasi resin kedalam pori-pori email kemudian berpolimerisasi dan membentuk resin tag yang berfungsi
sebagai retensi mekanis.6,19,24
Retensi mekanis yang terjadi antara bahan dengan email yang dietsa dengan asam fosfat berperan dalam
mekanisme kekuatan perlekatan. Kekuatan perlekatan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain konsentrasi asam
fosfat, lamanya waktu pengetsaan dan kedalaman mikropit email yang terbentuk pada struktur email gigi.25
Efektivitas asam akan berkurang pada email gigi sulung dengan struktur prisma sedikit dan pada gigi permanen
dengan kandungan fluor yang tinggi.2,25
Reaksi gigi sulung terhadap etsa berbeda, setelah dietsa dengan asam
fosfat 50% selama 60 detik, mikropit yang terbentuk lebih kecil dan lebih halus sehingga efek retensi yang
dihasilkan berkurang, diduga bahwa lapisan email luar yang tidak berprisma menyebabkan berkurangnya
penetrasi resin kepermukaan email yang telah dietsa. Permukaan email gigi sulung, agar diperoleh etsa yang
sebanding dengan pola etsa gigi permanen, waktu yang diperlukan pengetsaan permukaan email gigi sulung 120
detik.26
Kekuatan tarik diukur dengan cara menarik spesimen sampai perlekatan antara sealant dan email terlepas
atau patah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan gigi molar pertama bawah sulung dengan ketentuan tidak ada kelainan
mikroskopis. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 45 gigi molar sulung, dikelompokan
menjadi 9 kelompok, masing-masing berjumlah 5 buah lalu dilakukan pengulasan etsa asam fosfat dengan
konsentrasi 27%, 37% dan 47% dengan waktu pengulasan 40 detik, 60 detik, dan 80 detik, kemudian aplikasi
heliosel (light cured sealant). Permukaan gigi dibersihkan dengan pumis tanpa flour dan air bebas minyak
menggunakan sikat dengan bulu keras (pointed bristle brush). Daerah preparasi berdiameter 3 mm yang berpusat
pada pit dan fisura didapatkan dengan cara menutup permukaan oklusal menggunakan adhesive tape berdiameter
3 mm, sebelumnya ditutup dulu dengan malam merah sehingga mendapatkan permukaan yang rata. Untuk
mendapatkan ketebalan 3 mm sebagai pegangan pada plunger saat dilakukan uji tarik maka diletakkan ring
dengan ketebalan 3 mm dan diameter 3 mm. Gigi ditanam dalam pipa kuningan (cincin bantu) dengan permukaan
email menghadap keatas dan posisi ditengah pipa cetakan kuning. Kekuatan tarik perlekatan diukur dengan cara
menarik spesimen sampai perlekatan antara resin dengan email terlepas atau patah, dengan menggunakan alat uji
tarik Torsee’s Universal Testing Machine.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian pada gambar 1 menunjukkan nilai rerata kekuatan perlekatan sealant yang terkecil
diperoleh pada pengetsaan dengan asam fosfat konsentrasi 27% dengan waktu pengulasan 40 detik, sedangkan
nilai rerata kekuatan tarik perlekatan sealant terbesar diperoleh pada konsentrasi 47% dengan waktu pengulasan
80 detik. Nilai rerata pada konsentrasi asam fosfat 37% dengan pengulasan 60 detik yang merupakan perlakuan
standar atau yang dianjurkan para pakar untuk etsa email, pada penelitian ini mempunyai rerata kekuatan
perlekatan 99,0760 ± 9,4434 kg/cm². Secara deskritif terdapat kecenderungan kenaikan rerata kekuatan tarik
perlekatan tiap kelompok variasi konsentrasi dan lama waktu pengulasan, hal ini berarti dengan kenaikan
konsentrasi asam fosfat dan lama waktu pengulasan sebagai etsa maka diikuti dengan kenaikan kekuatan tarik
perlekatan.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
27% 37% 47%
Konsentrasi asam fosfat
Waktupengulasanasamfosfat
40 detik
60 detik
80 detik
Gambar 1. Grafik rerata kekuatan tarik perlekatan sealant
dengan email gigi (kg/cm²)
Hasil analisis Anava dua jalur menunjukkan adanya pengaruh bermakna akibat variasi konsentrasi asam
fosfat dan waktu pengulasan terhadap kekuatan tarik perlekatan, seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rangkuman Anava dua jalur tentang kekuatan tarik
antar konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan
Sumber Variasi F Sig
Konsentrasi asam fosfat 138,025 ,000
Waktu pengulasan 135,122 ,000
Interaksi antara Konsentrasi dan
Waktu
31,718 ,000
Analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna rerata kekuatan tarik perlekatan antar
kelompok perlakuan konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulsan (p<0,005) kecuali antara kelompok 27% 40
detik, 27% 60 detik, 27% 80 detik dan 37% 40 detik serta 47% 40 detik menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna (p<0,005).
Dari gambar histologi preparat gosok kedalaman mikropit sesudah pengetsaan dengan asam fosfat dapat
diukur menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 135x dan membandingkan foto kawat pembanding yang
mempunyai diameter 180 µm. Hasil pengukuran panjang tag pada permukaan email yang dietsa dengan asam
fosfat konsentrasi 27% dan lama waktu pengulasan 40 detik didapatkan panjang tag 49,5 µm, permukaan email
yang dietsa dengan konsentrasi asam fosfat 37% dengan waktu pengulasan 40 detik didapatkan panjang tag 53,6
µm sedangkan permukaan email yang dietsa dengan asam fosfat konsentrasi 37% dengan waktu pengulasan 60
detik didapatkan panjang tag 72,7 µm.
Gigi yang dietsa dengan larutan asam fosfat 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik didapatkan
perbedaan persentase sebesar 8,33%. Pada konsentrasi 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik dan
konsentrasi 37% dengan lama waktu pengulasan 80 detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 46,8%.
Konsentrasi 37% dengan lama waktu pemulasan 40 detik dan konsentrasi 37% dengan lama waktu pengulasan 80
detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 35,6%. Perbedaan persentase panjang tag 35,6% — 46,8%
menyebabkan perbedaan kekuatan tarik perlekatan yang bermakna. Pada sampel yang dietsa menggunakan
konsentrasi 47% dengan waktu pengulasan 80 detik mempunyai kekuatan tarik perlekatan 5x lebih besar
dibandingkan dengan menggunakan asam fosfat 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa etsa pada permukaan oklusal gigi sulung dengan
konsentrasi asam fosfat 37% dengan waktu pengulasan 60 detik dapat dipertimbangkan dalam penggunaan di
klinik karena mempunyai kekuatan tarik perlekatan dianjurkan, ini diharapkan efisien dan membantu untuk
mengurangi waktu perawatan. Hal ini akan sangat berguna untuk menangani pasien-pasien pediatrik, terutama
jika perlu dilakukan aplikasi sealant dalam satu kali kunjungan.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi asam fosfat 27%, 37%, 47% untuk etsa
permukaan email gigi sulung menghasilkan kekuatan tarik perlekatan makin besar dan lama waktu pengulasan
asam fosfat 40 detik, 60 detik, 80 detik untuk etsa email gigi sulung menghasilkan kekuatan tarik perlekatan
makin besar. Saran pada penelitian ini, perawatan pencegahan dengan tindakan fissure sealant pada gigi sulung
menggunakan etsa asam 37% dengan waktu pengulasan selama 60 detik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sturdevant JR, Lundeen TF dan Sluder. Clinical significance of dental anatomy, hystology, and occlusion:
The art and science of operative dentistry, ed 3. St Louis: Mosby Year Book Inc. 1995.
2. Martheson RJ, Primosch R. Sealant and preventive resin restorations. Dalam: Fundamentals of pediatric
dentistry. ed. 3. St. Louise: Quintenssence Publishing Co. Inc. 1995: 119-35
3. Craig RG, Powers JM. Restorative dental material. 11th
ed., St louis: Mosby Inc. 2002: 234-76
4. Crawford PJM. Sealant restorative (Preventive resin restoration ). Br. Dent, J 1988; 165(7): 250-53
5. Soetopo. Adhesi komposit resin dengan Teknik etsa asam untuk restorasi kerusakan gigi, Disertasi,
Penelitian Laboratoris, 1980; Surabaya: Airlangga University, Press.
6. Anusavice KJ. Phillips science of dental materials. 11 th
Ed., 2003. Philadelpia: Saunders Co.
7. Kennedy DB. Paediatric operative dentistry. A Dental practitioner handbook. 1992; Canada: Vancouver,
British Columbia. 70-181
8. Marzouk MA, Simonton Al. Operative dentistry modern theory and pratice. 1st
ed. 1985; St Louise: Ishiyaku
Euro America, Inc.
9. Emut-Lukito, Bambang-Priyono dan Sri-Pramestri. Kandungan bahan sealant light cured dan
autopolimerisasi asam fosfat pada lapisan email. Laporan Penelitian. 1991.
10. Charbeneau GT and Dennison JB. Clinical success and potential failure after single application of a pit and
fissure sealant: a four-years report, JADA 1979; 99(9): 559-64
11. Rock WP, Weatherill S, Anderson RJ. Retension of three fisure sealant resins. The effect of etching agent
and curing method. Result over 3 year, 1990.
12. Br. Pollack B. Composite resin fundamental and direct techniques restoration. Dalam: BG Dale KW,
Aschheim. Esthetic dentistry a clinical approach to techniques and material. Philadelphia: Lea and Febiger.
Dent., J., 1993; 168 (2) :323-5
13. Steven AM. The role of sealant in caries prevention program. Journal of The California Dental Association.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/enteez/countries/Indonesia/trends.html Accessed 2003.
14. Finn SA. Clinical pedodontics, 4th
ed., 1973; Toronto: W.B. Sounders Co.
15. Mc.Donald RE and Avery DR. Oral development and histology. Second edition, 2003; New York: Thime
Medical Publishers, Inc.
16. Ivar AM dan Fejerrkov O. Embriologi dan histology rongga mulut. Fazwishini Siregar (penterjemah). Ed 1.
1991; Jakarta: Widya Medika.
17. Fawcet DW. A Textbook of Histology. 12th
ed. 1994; New York: Chapman & Hall, 210-13
18. Itjingningsih WH. Anatomi Gigi. 1995. Jakarta: Penerbit EGC. 92-137
19. Gillet D, Nancy J, Dupuis V. Microleakage and penetration depth of three types of material in fissure sealant.
J.Clin Pediatr Dent 2002; 26(20): 175-78
20. Govani M. Morphologi effect of the type, concentration and etching time of acid solution on enamel and
dentin surface. Braz Dent J 2002; 9(1): 3-10
21. Craig RG. Restorative Dental Material, 10th
ed. 1997; St Louis: The CV. Mosby Co. 41-57
22. Ferracane JL Material in Dentistry Principles and Application, 2 nd ed. .2001.
23. Pitt Ford TR. Restorasi Gigi (terj), edisi ke 2, 1992; Jakarta: Penerbit EGC. 92
24. Hicks MJ. The Acid-etch technique in caries prevention; pit and fissure sealants and preventive resin
restorative. Dalam: Pinkham JR Pediatric Dentistry, Infancy Through Adolesence, 1st
ed. 1998; Philadelphia:
WB Sounders. 380-96
25. Kennedy DB. Konservasi Gigi Anak ( terj). ed 3. 1986. Jakarta: Penerbit EGC.
26. Kennedy DB. Paediatric operative dentistry. A dental practitioner handbook. Canada: British Columbia..
1
Penatalaksanaan kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting
Putu Sulistiawati Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstrak
Kerusakan tulang pasca pencabutan merupakan kondisi patologis hilangnya struktur tulang setelah
pencabutan akibat tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya. Untuk mengatasi masalah
itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang rusak tersebut. Bone grafting merupakan
teknik pembedahan untuk menempatkan serbuk tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau
menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang
sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor
atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graft setelah pencabutan
diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan.
Kata Kunci: kerusakan tulang, bone graft
Korespodensi: Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278.
PENDAHULUAN
Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang tersusun oleh kristal mikroskopik
kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang merupakan suatu kondisi
patologis hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor lokal maupun faktor sistemik.1
Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang dilakukan dengan tekanan yang berlebihan
atau tidak terkontrol atau kedua-duanya. Pada tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk
melakukan secara ideal dengan teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan selama pencabutan dan
mencegah kemungkinan terjadi komplikasi pencabutan gigi.2
Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat di bidang kedokteran gigi telah memacu perkembangan
transplantasi jaringan. Transplantasi bertujuan untuk melakukan rekonstruksi bagian tubuh yang mengalami
kerusakan oleh karena penyakit maupun trauma. Dalam melakukan rekonstruksi dibutuhkan jaringan
pengganti (graft) yang dapat berasal dari diri sendiri, species yang sama, maupun species yang berbeda.1
Pencabutan gigi yang melibatkan pengambilan tulang tanpa penanganan lebih lanjut akan menimbulkan
kerusakan pada tulang. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu, adalah
dengan penempatan bone graft pada tulang tersebut.3
Hampir 90 persen pencabutan gigi mengakibatkan
kerusakan tulang rahang dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan lebih lanjut, sehingga rahang
tidak berfungsi baik dan kadang diperlukan penggantian tulang rahang.4
Dalam pelaksanaannya, pemilihan pasien pada kasus kerusakan tulang merupakan hal yang sangat
penting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.5,6
Perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan
memberikan bahan yang dapat merekonstruksi kerusakan tulang dengan cara merangsang pembentukan
tulang baru.1
PENCABUTAN GIGI
Trauma pada gigi atau tulang dapat menyebabkan berubahnya posisi gigi dari tempatnya, fraktur
mahkota maupun akar gigi. Semua keadaan ini merupakan salah satu penyebab gigi harus dicabut. Trauma
yang lebih berat dapat menyebabkan fraktur tulang rahang dan bila terdapat gigi yang terletak pada garis
fraktur, harus dicabut.
Pencabutan gigi yang ideal adalah mengeluarkan gigi atau akar gigi secara utuh, dengan trauma
jaringan pendukung gigi yang minimal dan tidak menimbulkan rasa sakit. Kondisi ini membuat luka bekas
pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak menyebabkan masalah prostetik pasca operasi dimasa
mendatang. Stabilisasi gigi di dalam lengkung gigi tergantung pada keutuhan prosesus alveolaris, ligamen
periodontal, serta perlekatan gingiva. Ekspansi alveolus terjadi akibat penggoyangan gigi, dan biasanya
diikuti dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung. Keberhasilan pencabutan dengan elevator dan
tang tergantung bagaimana kita melonggarkan alveolus, memutus ligamen periodontal, dan memisahkan
perlekatan gingiva, oleh karena itu diperlukan tekanan yang terkontrol, pada penggunaan alat tersebut.7
2
KERUSAKAN TULANG
Cacat tulang merupakan suatu kondisi patologik hilangnya struktur tulang yang dapat disebabkan
oleh peningkatan reabsorpsi secara normal, penurunan formasi tulang pada saat terjadi reabsorpsi secara
normal dan peningkatan reabsorpsi dikombinasikan dengan penurunan formasi tulang.8
Kerusakan tulang
dapat disebabkan oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal penyebab kerusakan tulang adalah
terjadinya inflamasi dan traumatik oklusi yang menyebabkan penurunan tinggi tulang alveolar bagian lateral
hingga permukaan akar.8
Menurut Sudarto, penyebab utama kerusakan tulang adalah pencabutan gigi,
trauma dan penyakit rahang seperti kista atau tumor rahang. Kerusakan tersebut sebagian besar (90%)
disebabkan karena tindakan pencabutan gigi, terutama yang tidak mendapat penanganan lebih lanjut.3
Reaksi pemulihan setelah pencabutan gigi akan berlangsung lama dan tidak akan dapat pulih seperti
semula. Gusi cenderung mengempis karena semakin jarang digunakan atau beraktivitas. Hal ini akan
berpengaruh pada kondisi tulang gigi, dan selanjutnya akan mengganggu dan menyulitkan pergerakan
rahang. Kehilangan gigi dapat diatasi dengan memakai gigi tiruan, namun kerusakan tulang dan pengempisan
gusi tidak dapat diatasi sehingga terkadang pasien mengeluhkan gigi tiruannya tanggal. Bone grafting
dilakukan untuk merekonstruksi kerusakan-kerusakan tulang yang terjadi.
PERAWATAN CACAT TULANG
Prognosis keberhasilan perawatan suatu cacat tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu:
banyaknya dinding tulang yang tersisa, luasnya daerah cacat tulang, banyaknya permukaan akar yang terlibat,
luasnya destruksi tulang, kemampuan untuk melakukan detoksifikasi dan debridemen pada daerah cacat.
Semakin banyak jumlah dinding tulang dan semakin sempit daerah cacat semakin baik pula prognosisnya.9
Menurut Manson dan Eley, kegagalan suatu perawatan kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor
pemilihan kerusakan yang keliru, kegagalan untuk menutup flap dengan sempurna di atas kerusakan tulang
serta adanya infeksi dan disintegrasi dari bekuan darah.10
Menurut Yukna, perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu : 1)
Flap/kuretage/ debridement : beberapa laporan menunjuk- kan bahwa pembedahan seperti ini dapat
menghasilkan peninggian tulang pada daerah kerusakan dan perawatan ini sangat baik pada kerusakan tulang
pada 3 dinding yang sempit, 2) Regenerasi jaringan terpadu: sebagian besar kerusakan infraboni, kelainan
furkasi derajat II dan dehiscense menunjukkan hasil yang baik terhadap terapi ini. Pemilihan pasien dan jenis
kerusakan yang akan dirawat berperan penting bila biaya yang harus dikeluarkan merupakan suatu
pertimbangan, 3)Ekstraksi selektif dan pergerakan gigi minor: bertujuan untuk memberikan prognosis
pada gigi sebelahnya, sehingga daerah soket bekas pencabutan akan terisi dan dapat memberikan dukungan
yang lebih baik.5,6
BONE GRAFT
Bone graft adalah tulang yang sudah mati, tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk rehabilitas
kerusakan tulang setelah melalui proses tertentu.3
Bone grafting merupakan pembedahan untuk menempatkan
tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau di antara lubang dan tulang mati. Tulang yang baru dapat
berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft), atau berasal dari proses pembekuan tulang
orang lain atau donor atau species yang sama tetapi beda genetik (allograft) .Graft dapat berupa bubuk,
bentuk pipih, batangan, dan kubus. Bahan bone graft merupakan suatu biomaterial yang memiliki sifat
biokompatibilitas sehingga dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempunyai pengaruh toksik atau
menimbulkan jejas terhadap fungsi biologis.3
Bone graft dapat dipergunakan untuk memperbaiki tulang yang
rusak (fraktur) yang disertai kehilangan tulang, memperbaki tulang yang rusak yang sudah tidak dapat
disembuhkan dan tidak dapat digerakkan lagi atau dapat digerakkan tapi tidak normal, dan sebagai
penyambung untuk mencegah pergeseran tulang.4
Beberapa aplikasi bone grafting di dalam mulut adalah: menumbuhkan tulang yang hilang akibat
penyakit gusi, membentuk tulang rahang yang tidak memadai (defisiensi) untuk melakukan dental implant
(hal ini dilakukan jika gigi asli yang hilang pada daerah tersebut terjadi pengurangan massa tulang),
menempatkan graft pada daerah sinus untuk pemasangan implant (kehilangan gigi dalam jangka waktu yang
panjang akan menyebabkan kehilangan dasar dari tulang rahang atas, sehingga perlu dilakukan grafting
untuk penempatan implant) dan memperbaiki kerusakan tulang rahang akibat infeksi gigi atau gigi impaksi.
Jenis-Jenis Bone Graft
Persyaratan dasar bahan graft adalah harus dapat diterima secara imunologis dan harus mempunyai
potensi osteogenik serta harus mempunyai sifat osteokonduksi dan osteoinduksi.5,6,8
Bone graft dapat
dikelompokkan menjadi empat tipe umum yaitu autograft apabila tulang diambil dari individu yang sama,
3
allograft apabila tulang diambil dari individu yang beda dengan spesies yang sama, xenograft, apabila tulang
diambil dari spesies yang berbeda serta graft bahan sintetis.10
Autograft
Bahan autograft terdiri dari tulang kortikel, konselus, atau kombinasi keduanya dan bisa didapatkan
dari ekstra oral ataupun intra oral. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tulang konselus memiliki
kemungkinan keberhasilan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tulang konselus memiliki komposisi yang
kurang padat. Walaupun demikian tulang ini lebih sulit diambil dan biasanya tersedia dalam jumlah yang
terbatas. Oleh karena itu sebagian besar kasus kerusakan tulang diisi dengan kombinasi tulang kortikol dan
konselus dengan prosentase tulang kortikol yang lebih besar.5,6
Tulang yang berasal dari intra oral dapat
diambil dari koagulum tulang, tuberositas maksila, soket bekas pencabutan atau linggir tak bergigi.10
Penggunaan sumsum tulang dari daerah ekstra oral memiliki beberapa kerugian seperti prosedur
pengambilannya yang memakan waktu lama, biaya mahal serta sering berefek traumatik terhadap pasien.
Bahan dari luar mulut dapat diambil dari tulang Ilium.5,6
Allograft
Bahan Allograft merupakan bahan yang diambil dari individu yang berbeda sehingga dapat
menimbulkan respon jaringan yang merugikan dan respon penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus.
Berbagai usaha yang dilakukan untuk menekan reaksi antigenik adalah dengan proses radiasi, pembekuan
atau kimia.8
Xenograft
Bahan Xenograft biasanya diambil dari lembu atau babi untuk digunakan pada manusia. Graft
hidroksiapatit yang berasal dari lembu dibuat melaui proses kimia (Bio-oss) atau pemanasan tinggi
(osteograft/N) untuk menghilangkan bahan organik. Proses ini menghasilkan suatu hidroksiapatit alami
tulang manusia. Bentuk lain dari xenograft adalah emdogain, suatu kelompok protein matrik email yang
diambil dari babi. Bahan ini nampaknya dapat mendorong pembentukan cementum yang kemudian diikuti
oleh deposisi tulang.5,6
Teknik Bone Grafting
Bone graft ditempatkan dengan pasak, papan berlapis besi atau skrup kemudian dijahit tertutup.
Splin atau cast biasanya dipergunakan untuk mencegah kerusakan. Untuk perawatan kerusakan tulang
dilakukan dengan teknik full thickness flap yaitu pembersihan jaringan granulasi, kemudian lakukan
detoksifikasi permukaan akar untuk memudahkan masuknya pembuluh darah dan sel yang baru, lalu
tempatkan bahan bone graft ke bagian tulang yang rusak, padatkan dengan tekanan ringan hingga sedikit
lebih ke koronal dan pasang dressing, kemudian berikan instruksi pada pasien baik secara lisan maupun
tertulis untuk memperkecil kemungkinan komplikasi.5,6
PENATALAKSANAAN BONE GRAFTING
Tahapan bone grafting pada kerusakan tulang pasca pencabutan adalah sebagai berikut: 1) Setelah
gigi dicabut, soket ditekan dengan tampon untuk mengontrol perdarahan sehingga daerah bekas pencabutan
terlihat jelas. 2) Dilakukan asepsis dan debridemen (pengambilan jaringan granulomatous). Sebelum
penempatan bahan bone graft ke dalam soket, semua jaringan granulomatous harus dibersihkan dengan alat
kuret atau alat bedah lain yang mempunyai fungsi seperti kuret. Apabila jaringan nekrotik tidak diangkat,
maka kemungkinan infeksi dapat terjadi dan pembentukan tulang baru tidak akan terjadi meskipun diisi
dengan bahan bone graft. 3) Evaluasi dinding tulang yang masih ada setelah pencabutan dan ukuran
kerusakannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sisa dinding tulang pada soket. Faktor
yang menentukan banyaknya sisa dinding tulang antara lain adalah parahnya infeksi pada gigi, variasi
anatomi dan teknik pencabutan. Apabila dinding tulang fasial rusak, barrier membran digunakan untuk
mengisi bahan bone graft. Kegunaan barrier dapat menjaga perkembangan jaringan fibrus. Membran yang
dipakai dapat resorbable atau non resorbable. Membran resobable mempunyai banyak keuntungan untuk
grafting pada tempat pencabutan. Jika garis incisi terbuka selama penyembuhan, membran non resorbable
akan terinfeksi dan mengurangi jumlah regenerasi tulang. 4) Menjamin suplai darah yang adekuat ke daerah
sel osteoprogenitor dan sebagai faktor pertumbuhan tulang. Tanpa adanya suplai darah yang adekuat, proses
grafting tidak akan berhasil. Jaringan lunak akan mensuplai darah ke daerah graft, sel osteoprogenitor hanya
memperoleh suplai darah dari tulang yang berdekatan. Jika dinding tulang mengalami perdarahan setelah
pencabutan, suplay vaskuler ke graft akan terjamin. 5)Memilih bahan graft yang akan ditempatkan pada
tulang yang rusak. Walaupun sulit didapat tulang autogenus dapat memberikan hasil yang baik karena
4
terdapat elemen-elemen sel-sel yang hidup dan masih aktif sehingga memungkinkan pertumbuhan tulang.
Bahan graft dari tulang sintetis atau bahan graft lainnya (PepGen P-15) merupakan bahan graft yang baik
dan banyak digunakan sebagai bahan pengganti. 6)Penempatan bahan graft sintetis ke dalam soket bekas
pencabutan, kemudian dilakukan penjahitan pada jaringan gusi yang bertujuan untuk penyembuhan di sekitar
jaringan lunak. Setelah beberapa waktu diharapkan bahan graft akan mulai meresorbsi dan merangsang
pertumbuhan tulang yang baru.12,13
Gambar 1. Penempatan bahan graft sintetis ke soket gigi
PEMBAHASAN
Komplikasi pencabutan gigi bervariasi dan dapat terjadi meskipun sudah dilakukan tindakan sebaik
mungkin. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah kerusakan tulang alveolar. Untuk mengetahui
adanya kerusakan tulang adalah dengan melihat ada tidaknya fragmen tulang alveolar yang menempel pada
akar gigi tersebut. Hal ini dapat terjadi bila tulang alveolar terjepit secara tidak sengaja di antara ujung tang
pencabut gigi atau adanya kelainan, misalnya ada infeksi pada tulang. Pencabutan gigi kaninus terkadang
disertai komplikasi fraktur tulang labial khususnya bila tulang alveolar diperlemah dengan pencabutan gigi
incicivus kedua atau dari gigi premolar pertama sebelum pencabutan gigi kaninus. Bila ketiga gigi ini hendak
dicabut pada satu kali kunjungan, insiden fraktur tulang alveolar dapat bertambah.2
Gigi yang mengalami infeksi biasanya dikelilingi oleh tulang yang telah rusak atau hancur. Setelah
gigi dicabut, akan terjadi resorbsi tulang sehingga selanjutnya menyebabkan terganggunya estetik, prostetik
dan struktur tulang. Untuk mengkoreksi kerusakan tulang tersebut dapat dilakukan penambahan bahan
dengan teknik Bone grafting yaitu prosedur pembedahan untuk menempatkan bahan tulang pengganti ke
dalam tulang yang rusak sehingga dapat menggantikan/menyambung tulang yang hilang atau menempatkan
bahan graft ke dalam soket gigi setelah pencabutan. Penggunaan Bone graft bertujuan untuk mengembalikan
kehilangan atau kerusakan tulang yang disebabkan oleh penyakit periodontal, trauma atau sakit akibat
pemakaian gigi tiruan lepasan. Bone graft juga digunakan untuk menambah tulang untuk penempatan
implant, untuk meningkatkan estetik daerah-daerah pada gusi yang hilang di daerah senyum dan
mempercepat proses penyembuhan . Ketika satu gigi dicabut, tulang di sekitar akan kolaps sehingga bone
graft merupakan indikasi.11
Kerusakan tulang pasca pencabutan dapat menimbulkan dampak negatif dari segi estetik, prostetik
dan struktur tulang. Kerusakan tersebut dapat dikoreksi dengan teknik bone grafting, yang berfungsi
mengembalikan kerusakan tulang atau merangsang pembentukan tulang baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Munadziroh, Rubianto M, Meizarini A. Penggunaan bone gaft pada perawatan kerusakan tulang
periodontal. Indonesian Journal of Dentistry 2003; 10 (edisi khusus): 520-25.
2. Howe GL. Pencabutan gigi-geligi (The Extraction of teeth), Johan Arief Budiman (penterjemah). 2ed
Jakarta: EGC. 1999.
3. Sudarto W. Cabut gigi tanpa penanganan lanjut. Kompas. 2006
4. Ashman A, Pinto JL. Placement of implant into ridges grafted with bioplant HTR syntetic bone:
histological long-term case history report. Journal of oral implantology 2000; 26(4): 276-90
5. Yukna RA. Pelaksanaan cacat tulang: Graft pengganti tulang. In: Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus
Periodonti 2000. 4ed
Jakarta: EGC: 125-33.
6. Yukna RA, Evans GH, Aichelmann-Reidy MB. Clinical comparison of bioactive glass bone replacement
graft material and expanded poly tetrafluoroethylene barrier membrane in treating human mandibular
molar class II furcations. J Periodonto 2001; 72(2): 125-33
7. Pedersen GW. Buku ajar praktis : Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno (penterjemah). Jakarta: EGC.
1996.
5
8. Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman, Takei, Carranza,
Carranza’s clinical periodontology. 9ed
Philadelphia: WB Saunders Co. 2002.
9. Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus periodonti 2005 (The Periodontic syllabus), Amaliya
(penterjemah). 4ed
Jakarta: EGC.
10. Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti, Anastasia S (penterjemah). Jakarta: Hipokrates. 1993.
11. Winter R, Nemeth JR. Dental health directory: bone and tissue grafting 1999-2007.Available from:
URL:http://www.dental-health.com. Accessed May 12, 2006.
12. Tischler M, Misch CE. Extraction site bone grafting in general dentistry: review of application and
principle. Available from : URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd Den Today; 23(5): 108-
Accessed May 30, 2004.
13. Artistic Dental Associates. Bone resorbtion occurs after tooth extraction. Available from:
URL:http://artisticteeth.com/Pt_edu/bone_grafting. Accessed sept 12, 2006.
Efektifitas irigasi povidon iodin 1% pascaskeling dalam penurunan perdarahan gingiva
Hervina, Dwis Syahriel, I.G.N. Bagus Tista
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Marginal periodontitis is a damage of periodontal tissue caused by bacteria or microorganisms in
dental plaque. In marginal periodontitis, a chronic gingival inflammation may be found characterized by
gingival bleeding on probing. To reduce gingival bleeding, therapy is focused to removing the plaque bacteria
by scaling and irrigation procedures. The irrigation can be more advantageous when using antiseptic agents
such as Povidone iodine. The present study designed a clinical trial with purpose to know the effectiveness of
post scaling irrigation using 1% Povidone iodine in reducing gingival bleeding. This study was conducted by
split mouth method, which each in the right and left quadrant is randomly taken as an experimental group and
the control group. The sample consist of 30 interdental papillas which are devided into an experimental group
consisting of 15 interdental papillas irrigated with 1% Povidone iodine and a control group consisting of 15
interdental papillas irrigated with sterile aquadest. The initial measurement of gingival bleeding were conducted
in all sample available using Papillary Bleeding Index (PBI), followed by scaling and irrigation procedures. Re-
measurement was conducted in the first week. The result showed a reduction of gingival bleeding, either in
treatment group and control group. In the first week, the reduction averaged by 1,8667 for the treatment group,
greater than the control group averaged by 1,5333. It showed that there is no significant difference found
between the both groups in gingival bleeding reduction by using Mann Whitney test (p>0,05). It is conclude that
post scaling irrigation of 1% Povidone iodine is noneffective to reduce gingival bleeding.
Key words: Irrigation of 1% Povidone iodine, gingival bleeding
Korespondensi: Hervina, Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar,
Jln. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Penelitian tentang prevalensi penyakit periodontal telah sering dilakukan pada berbagai komunitas di
seluruh dunia. Dalam laporan WHO tahun 1978, disebutkan bahwa penyakit periodontal merupakan salah satu
penyakit yang paling luas penyebarannya pada manusia. Prevalensi penyakit periodontal pada usia 15 tahun
hampir mencapai 46%, pada kelompok usia 19 – 25 tahun berkisar 10 – 29% dan pada usia 45 tahun hampir
100% populasi pernah mengalami kerusakan periodontal.1
Etiologi primer penyakit periodontal adalah iritasi
bakteri plak. Bakteri tersebut berkolonisasi, menyerang pertahanan inang dan merangsang inflamasi serta
kerusakan jaringan. Adapun etiologi sekunder bisa berupa faktor lokal dan sistemik. Faktor lokal pada
lingkungan gingiva dapat sebagai predisposisi akumulasi plak karena menghalangi pembersihan plak, misalkan
tumpatan overhanging. Demikian pula penyakit sistemik berperan memodifikasi respon gingiva terhadap iritasi
lokal.1
Periodontitis merupakan penyakit periodontal yang umum dijumpai dan terjadi akibat perluasan proses
keradangan yang dimulai dari gingiva (Gingivitis) ke jaringan periodontal (Periodontitis). Gambaran klinis
periodontitis marginalis berupa keradangan kronis gingiva, pembentukan poket, dan kerusakan tulang alveolar,
serta kegoyangan gigi dan migrasi patologis pada kasus periodontitis fase lanjut.2
Perdarahan gingiva merupakan salah satu tanda adanya keradangan gingiva. Gingiva yang mudah
berdarah hanya dengan sentuhan ringan probe merupakan tanda obyektif peradangan. Keadaan ini umumnya
disebabkan oleh faktor lokal, yaitu bakteri pada plak dan disebut sebagai perdarahan kronis.3
Periodontitis
maupun gingivitis disebabkan oleh bakteri patogen pada plak. Perawatan terhadap penyakit tersebut ditujukan
untuk mengeliminasi atau menekan pertumbuhan mikroorganisme plak. Demikian pula perawatan gingiva
berdarah ditujukan untuk membersihkan bakteri plak. Salah satu cara pembuangan bakteri plak adalah
melakukan skeling dan irigasi dengan air atau obat antiseptik. Hasil penelitian menyebutkan bahwa skeling dapat
mengurangi jumlah mikroorganisme, mengurangi keradangan gingiva, kedalaman poket dan menambah
perlekatan gingiva.4
Irigasi selain dapat membuang partikel makanan juga dapat membuang produk bakteri,
karena dapat menjangkau sulkus maupun poket, terlebih bila digunakan antiseptik. Irigasi dengan antiseptik
dikatakan dapat mereduksi gingiva berdarah hingga 42%.3
Povidon iodin merupakan bahan antiseptik lokal yang mampu menghambat/membunuh
mikroorganisme, membatasi dan mencegah infeksi agar tidak parah.4
Salah satu sediaan povidon iodin 1%
berbentuk obat kumur. Secara umum penggunaan obat kumur povidon iodin 1% secara rutin efektif
2
menghilangkan bau mulut tak sedap5
, mengobati infeksi rongga mulut, tenggorokan, serta mengobati keradangan
gingiva dan jaringan periodontal.6
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan uji klinis efek irigasi povidon iodin 1% sebagai terapi
penunjang skeling pada periodontitis marginalis untuk mendapatkan bahan irigasi yang murah, mudah diperoleh,
mudah digunakan, efektif, serta berguna untuk mencegah perdarahan gingiva pascaskeling.
PERIODONTITIS MARGINALIS
Periodontitis merupakan keradangan jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme
tertentu atau kelompok mikroorganisme tertentu yang mengakibatkan kerusakan ligamen periodontal, tulang
alveolar serta pembentukan poket dan resesi gingiva.7
Periodontitis terjadi sebagai akibat perluasan proses
peradangan yang dimulai dari gingiva (gingivitis) meluas ke jaringan periodontal (periodontitis). Periodontitis
marginalis lebih tepat lagi dikatakan sebagai periodontitis kronis destruktif.2
Etiologi periodontitis marginalis
dibedakan menjadi faktor lokal dan sistemik.2
Etiologi lokal adalah penyebab yang ditemukan di sekitar gigi dan
jaringan periodonsium, baik pada gigi yang bersangkutan maupun gigi antagonisnya, serta dikelompokkan dalam
faktor iritasi lokal. Walaupun etiologi penyakit periodontitis marginalis adalah multifaktorial, akan tetapi plak
dianggap sebagai iritan penyebab utama. Faktor predisposisi seperti kalkulus, malposisi, impaksi makanan,
kelainan bentuk anatomi dan restorasi yang tidak baik juga berperan penting dalam proses peradangan karena
mempermudah plak berakumulasi. Efek tekanan oklusal pada jaringan periodonsium dipengaruhi oleh besar,
arah, lama, dan frekuensi tekanan. Apabila tekanan oklusal yang diterima gigi bertambah besar, maka jaringan
periodonsium akan merespon dengan penebalan ligamen periodontal, pertambahan jumlah serat-serat ligamen
periodontal serta peningkatan kepadatan tulang. Apabila tekanan oklusal yang diterima melebihi kapasitas
jaringan untuk menahannya maka jaringan tersebut akan mengalami kerusakan.8
Faktor sistemik dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan termasuk jaringan
periodonsium. Contohnya pada penderita Diabetes mellitus.8
Anak-anak dengan penyakit Diabetes mellitus
umumnya menderita gingivitis lebih parah dibandingkan dengan anak-anak sehat dengan skor plak yang sama.1
Pada orang dewasa dengan Diabetes mellitus yang berlangsung lama akan mengalami kerusakan periodontal
yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak menderita Diabetes mellitus.8
Kolonisasi bakteri pada servik gingiva dan permukaan gigi merupakan penyebab utama penyakit
tersebut. Invasi bakteri pada jaringan periodonsium berinfiltrasi secara pasif yaitu jika terdapat trauma pada
gingiva seperti trauma sikat gigi, mengunyah benda keras.9
Bakteri menyebabkan destruksi jaringan secara tidak
langsung dengan mengaktifkan berbagai sistem pertahanan inang. Bakteri dalam servik gingiva dan pada
permukaan gigi melakukan mekanisme menghindari dan memanipulasi pertahanan inang. Ekosistem bakteri
menjadi kompleks, sedangkan inang mengeluarkan berbagai molekul seperti antibodi, sitokin, dan mediator-
mediator lain untuk mengatasi bakteri. Keadaan kronis ini akan melemah dengan adanya pengaruh seperti
merokok, genetika dan lain-lain. Diperkirakan keberadaan bakteri patogen tertentu dan respon inang tersebut
menyebabkan perubahan status gingivitis kronis menjadi periodontitis destruktif. Bakteri penyebab periodontitis
antara lain Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus, Fusobacterium nukleatum, Prevotella intermedia,
Actinobacillus actinomycetemcomitans, Peptostreptococcus micros, Campylobacter rectus, Eikonella corrodens,
dan T denticola.10,11,12
Periodontitis marginalis umumnya ditandai dengan keradangan kronis gingiva, pembentukan poket, dan
kehilangan tulang. Pada kasus-kasus lanjut dapat juga dijumpai kegoyangan gigi dan migrasi patologis.
Keradangan dan derajad kerusakan yang terjadi sangat bervariasi, baik antar individu maupun pada daerah yang
berbeda pada individu yang sama.2
PERDARAHAN GINGIVA
Perdarahan gingiva merupakan indikator diagnostik obyektif adanya keradangan pada jaringan
periodonsium. Perdarahan gingiva saat probing atau dengan stimulasi alat lainnya dapat dilihat dari perubahan
warna gingiva atau tanda-tanda klinis peradangan lainnya.13
Perdarahan gingiva saat probing merupakan
parameter yang dengan cepat dan mudah dapat dinilai secara obyektif karena hanya didasarkan pada ada atau
tidaknya perdarahan.3,14
Di samping sebagai indikator adanya penyakit periodontal, perdarahan gingiva
digunakan untuk mengevaluasi penyembuhan pascaperawatan dan menentukan perlu atau tidaknya perawatan
lanjutan. Perubahan keadaan dari adanya perdarahan praperawatan menjadi keadaan tanpa perdarahan pada
papila interdental pascaskeling menunjukkan adanya perbaikan/penyembuhan keradangan.14
Stimulasi
perdarahan gingiva sebaiknya dilakukan dengan menggunakan prob periodontal yang halus dan berujung
tumpul, misalnya prob WHO, yaitu dengan menyelipkan ujung prob pada sulkus gingiva (kira-kira sedalam 1 – 2
mm) membentuk sudut 600
terhadap sumbu panjang gigi dan dengan tekanan ringan (< 0,25 Newton) agar tidak
mencederai jaringan gingiva yang sehat. Prob WHO menghasilkan tekanan sekitar 25 gram. Besarnya tekanan
yang demikian adalah setara dengan besarnya tekanan untuk menyelipkan probe WHO di bawah kuku tanpa
3
menimbulkan rasa nyeri.14
Perdarahan gingiva bervariasi tergantung beratnya perdarahan, durasi serta mudahnya
perdarahan, dan penyebab lokal atau sistemik.15
Perdarahan kronis dan rekuren umumnya disebabkan faktor
lokal bakteri plak. Pada peradangan gingiva, kapiler-kapiler mengalami dilatasi dan membengkak, epitel sulkus
menipis bahkan terjadi ulserasi. Karena kapiler berada di dekat permukaan yang tipis dan mengalami degenerasi
tanpa adanya proteksi, maka stimulus yang ringan sudah dapat menyebabkan kapiler robek sehingga terjadi
perdarahan.15
Perdarahan akut gingiva dapat terjadi karena jejas (luka) atau terjadi secara spontan pada penyakit
gingiva akut, contohnya ANUG. Perdarahan akut juga dapat terjadi tanpa adanya penyakit gingiva, misalnya
gingiva robek karena sikat gigi yang keras, atau saat mengunyah makanan keras. Gingiva yang terbakar oleh
makanan panas atau bahan kimiawi meningkatkan kemudahan gingiva berdarah.15
Perdarahan gingiva juga
terjadi akibat faktor sistemik.
Beberapa kelainan sistemik dapat menyebabkan perdarahan spontan gingiva serta sulit dikontrol, seperti
pubertas, siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi. Contoh kelainan sistemik lainnya adalah
kegagalan mekanisme hemostatik, gangguan vaskular (akibat defisiensi vitamin C, alergi (schonlein henoch
purpura), gangguan platelet (trombositopenik purpura), hipoprotrombinemia (defisiensi vitamin K), gangguan
koagulasi (hemofilia, leukemia, penyakit chrismast), defisiensi faktor platelet tromboplastik akibat uremia,
mieloma multipel, dan postrubela purpura, serta diabetes mellitus, memperberat perdarahan karena perubahan
respon inflamatori gingiva terhadap plak.15
Perawatan perdarahan gingiva adalah dengan pembuangan plak
bakteri, serta mencegah pembentukannya atau kontrol plak. Cara terbaik untuk mengontrol plak adalah dengan
prosedur mekanik seperti menyikat gigi dengan pasta gigi, flossing, berkumur dengan obat, irigasi gingiva, serta
tindakan profilaksis profesional. Tindakan profilaksis untuk plak dan kalkulus seperti skeling dan root planing
supra/sub gingiva dianjurkan 2-4 kali setahun.3
Perdarahan gingiva mempunyai kemungkinan penyembuhan
yang cepat, karena keradangan gingiva yang menyebabkan terjadinya perdarahan bersifat reversibel dan dapat
sembuh dengan dengan pembuangan plak sehari-hari secara efektif. Dalam 1 minggu keradangan gingiva serta
perdarahan gingiva akan menyembuh. Kesembuhannya sangat tergantung pada motivasi penderitanya untuk
melakukan hygiene mulut secara ketat karena penyebab utamanya adalah bakteri pada plak.3
SKELING
Skeling merupakan suatu proses pengangkatan plak dan kalkulus pada permukaan gigi baik
supragingival maupun subgingival. Tujuan utama skeling adalah untuk memulihkan kesehatan gingiva dengan
menghilangkan semua elemen seperti plak dan kalkulus yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan
gingiva.16
Skeling dapat membersihkan semua deposit pada gigi, kalkulus supragingiva dan sub gingiva, plak,
serta noda. Skeling harus dilakukan secara menyeluruh, apabila deposit gigi tidak dibersihkan seluruhnya maka
keradangan akan menetap.1
Setelah dilakukan skeling akan terlihat penurunan organisme spirochetes, motile
rods, dan putative pathogen seperti Actinobacillus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis, dan
Prevotella intermedia.16
IRIGASI POVIDON IODIN 1%
Irigasi yang dilakukan pascaskeling selain berhasil membuang partikel makanan, juga dapat membuang
produk bakteri. Irigasi ini bermanfaat karena dapat dilakukan ke dalam sulkus maupun poket. Akibatnya
ditemukan jumlah spesies Actinomyces maupun Bacteroides dapat berkurang.3
Irigasi gingiva merupakan salah
satu cara pembuangan plak bakteri. Air yang digunakan untuk irigasi selain berhasil membuang partikel
makanan, juga dapat membuang produk bakteri. Irigasi ini bermanfaat karena dapat dilakukan ke dalam sulkus
maupun poket. Dalam pengobatan penyakit periodontal, irigasi gingiva berperan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang terdapat pada jaringan periodontal. Irigasi gingiva dengan menggunakan bahan-bahan
antiseptik menunjukkan penyembuhan keradangan gingiva yang lebih berarti dibandingkan dengan
menggunakan air.17
Povidon iodin adalah disinfektan, antiseptik dan bahan antiseptik golongan halogen yang merupakan
persenyawaan dari polivinil pirolidon dan yodium. Persenyawaan ini merupakan zat antibakteri lokal yang
efektif, membunuh tidak hanya bentuk vegetatif tetapi juga bentuk spora.18
Povidon iodin merupakan bahan
antiseptik yang digunakan secara setempat untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme,
sehingga dapat membatasi dan mencegah bertambah parahnya infeksi yang terjadi. Povidon iodin efektif
melawan bakteri periodontal patogen seperti A. actinomycetemcomitans, P. gingivalis, P. intermedia, F.
nukleatum, E. corrodens dan S. intermedius.4
Povidon iodin tersedia dalam beberapa bentuk, yaitu obat kumur, larutan, salep, aerosol, surgical scrub,
shampoo, dan pembersih kulit. Povidon iodin 1% terkandung pada sediaan obat kumur. Penggunaan obat kumur
yang mengandung povidon iodin 1% secara rutin efektif menghilangkan bau mulut tak sedap.5
Obat kumur
dengan povidon iodin 1% digunakan untuk mengobati infeksi rongga mulut dan tenggorokan serta mengobati
keradangan pada jaringan periodontal seperti gingivitis.6
4
BAHAN DAN METODE
Uji klinis dilakukan di RSGM FKG Unmas Denpasar untuk menguji efek irigasi povidon iodin 1%
pascaskeling terhadap perdarahan gingiva pada periodontitis marginalis. Sampel sejumlah 30 buah papila
interdental yang dibagi menjadi 2, yaitu 15 sebagai perlakuan dan 15 sebagai kontrol. Subyek adalah pria atau
wanita berumur 20 – 50 tahun dengan diagnosis periodontitis marginalis, terdapat keradangan gingiva disertai
perdarahan saat probing, tidak menderita penyakit sistemik, tidak sedang menggunakan obat antibiotika atau
obat antiseptik lokal (obat kumur), bila wanita tidak sedang menggunakan obat kontrasepsi oral, tidak hamil
serta tidak menyusui. Penelitian dilakukan secara split mouth, masing-masing pada gigi-gigi kwadran kiri atau
kanan dipilih secara acak sebagai sisi perlakuan dan sisi kontrol. Sebelum dilakukan skeling, semua sample
diukur perdarahan gingiva dengan Papillary Bleeding Index (PBI) (Muhlemann, 1977). Kemudian dilakukan
skeling pada semua regio dan setelahnya dilakukan irigasi 2 ml povidon iodin 1% setiap gigi pada sisi percobaan
dan 2ml akuades steril setiap gigi pada sisi kontrol. Pasien diinstruksikan untuk tidak kumur-kumur sampai 2
jam. Pengukuran indeks perdarahan (PBI) dilakukan kembali pada minggu pertama.
HASIL PENELITIAN
Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov (KS) didapatkan data yang tidak terdistribusi normal
(p<0,05), maka dilakukan Uji Mann-Whitney. Dari tabel 2 didapatkan nilai p>0,05, maka antara kelompok
perlakuan irigasi povidon iodin 1% dengan kelompok kontrol pada minggu pertama, dalam penurunan
perdarahan gingiva tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa irigasi povidon
iodin 1% pascaskeling tidak efektif terhadap penurunan perdarahan gingiva.
Tabel 1. Rerata dan simpang baku penurunan perdarahan
gingiva pada kelompok perlakuan dan kontrol
pada minggu pertama
Tabel 2. Hasil Uji Mann-Whitney selisih data antar
perlakuan dengan kontrol (0—1 minggu)
N Rerata
Rangking
Z p
Perlakuan 15 16,27
Kontrol 15 14,73
Jumlah 30 -
-0,521 0,653
DISKUSI
Banyak laporan mengenai penggunaan bahan antiseptik untuk mengontrol penyakit periodontal. Bahan
antiseptik dapat mengurangi atau mengeliminasi bakteri yang tidak dapat dihilangkan dengan tindakan skeling
saja. Pemberian obat antiseptik dapat dilakukan secara lokal maupun sistemik. Pemberian obat antiseptik lokal
secara langsung pada daerah setempat dapat mengurangi resistensi bakteri serta dapat meminimalkan efek
samping obat.4
Pemberian obat antiseptik lokal diantaranya adalah pemberian povidon iodin dengan hasil yang
berbeda-beda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan (irigasi povidon iodin
1%) dan kontrol (irigasi akuades steril) menunjukkan penurunan perdarahan, dengan hasil penurunan perdarahan
tidak berbeda bermakna (p=0,653). Hal tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Ervina dkk (2003) yang
menyebutkan bahwa aplikasi povidon iodin 10% menunjukkan penurunan perdarahan yang bermakna
dibandingkan akuabides.4
Kedua kelompok pada penelitian ini terjadi penurunan perdarahan gingiva. Hal
tersebut karena kedua kelompok dilakukan skeling. Skeling merupakan terapi standar penyakit periodontal,
bilamana dilakukan dengan baik dan akan menghasilkan penyembuhan. Skeling dapat membersihkan semua
deposit gigi, kalkulus supragingiva dan subgingiva, plak serta noda.1
Secara klinis skeling memberikan makna
penting dalam hal menurunkan keradangan gingiva karena elemen-elemen penyebab keradangan dihilangkan
dari permukaan gigi.16
Penurunan perdarahan gingiva pada kedua kelompok selain disebabkan karena skeling,
juga disebabkan oleh irigasi yang dilakukan pascaskeling. Irigasi gingiva selain berhasil membuang partikel
makanan juga dapat membuang produk bakteri.3
N Rerata SD
Perlakuan 15 1,8667 0,99043
Kontrol 15 1,5333 0,83381
Jumlah 30 - -
5
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa, tidak ada perbedaan bermakna penurunan perdarahan
gingiva. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Ervina dkk (2003)4
, yang disebabkan oleh perbedaan
konsentrasi yang digunakan. Pada penelitian ini, konsentrasi povidon iodin yang digunakan adalah 1%, yaitu
yang terdapat dalam obat kumur.
Penggunaan obat kumur yang mengandung povidon iodin 1% secara rutin mampu mengobati infeksi
rongga mulut dan tenggorokan, serta mengobati keradangan pada jaringan periodontal seperti gingivitis.5
Menurut Mustaqimah, irigasi gingiva lebih bermanfaat dari pada berkumur karena dapat dilakukan ke dalam
sulkus maupun poket.3
Tidak efektifnya irigasi povidon iodin 1% pascaskeling terhadap penurunan perdarahan
gingiva pada penelitian ini kemungkinan disebabkan aplikasi povidon iodin 1% hanya dilakukan satu kali.
Berbeda dengan hasil penelitian Ervina dkk, dimana aplikasi povidon iodin 10% dilakukan pascaskeling
kemudian dilakukan lagi pada hari ketujuh, dan pengukuran indeks perdarahan dilakukan pada hari keempat
belas.4
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa berkumur dengan obat kumur povidon iodin 5% dua kali sehari
selama dua minggu menunjukkan penurunan keradangan gingiva yang bermakna.19
Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemakaian povidon iodin berulang lebih efektif mengurangi keradangan dan perdarahan gingiva.
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa irigasi povidon iodin 1% pascaskeling tidak efektif
terhadap penurunan perdarahan gingiva. Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas
irigasi povidon iodin 1% dengan irigasi berulang atau dengan konsentrasi yang lebih besar daripada 1%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Manson JD. dan Eley BM. Buku ajar periodontia, Anastasia S (penterjemah), Jakarta : Hipokrates, 1993.
2. Carranza FA. Classification of periodontal diseases. In: Carranza. Glickman’s clinical periodontology, 7ed
.
Philadelphia: W.B Saunders Co, 1990,
3. Mustaqimah DN. Gingiva yang mudah berdarah dan pengelolaannya. Indonesian Dental Journal 2003; 10
(1): 50-6.
4. Ervina I, Prayitno SW dan Supit EL. Efektifitas skeling-penghalusan akar dengan dan tanpa aplikasi
subgingival Povidone-Iodine 10% pada poket 5-7 mm. Indonesian Dental Journal 2003; 10 (edisi khusus):
558-63.
5. Frederick P. Betadine topical preparations [Homepage of: The comprehensive Resource For Physicians,
Drug, and Illness Information], [Online]. Available from: http://www.rxmed.com/b.main/b2.pharmaceutical
/b2.1.monographs/CPS-%20Monographs/CPS-%20%28General%20Monographs-%20B29/BETADINE
TOPICAL.html. Accesed September 18, 2004.
6. Anonim. Betadine gargle and mouthwash, [Online]. 2004, Agustus 7-last update, Available from:
http://www. netdoctor.co.uk/medicine/100002965. html. Accesed September 18, 2004.
7. Novak MJ. Classification of Disease and conditions affecting the periodontium, In: Newman, Takei,
Carranza. Carranza’s clinical periodontology, 9ed
. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002.
8. Syahriel D dan Santoso B. Imobilisasi gigi goyang akibat periodontitis marginalis. J Kedokteran Gigi
Mahasaraswati 2003; 1(2): 42-6.
9. Newman MG, Sanz M, Nisengard R. Host bacteria interaction in periodontal diseases. In: Carranza,
Glickman’s Clinical Periodontology. 7ed
, Philadelphia: W.B Saunders Co. 1990.
10. Haake SK, Nisengard RJ, Newman MG, Miyasaki KT. Microbial interactions with the host in periodontal
disease, In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s Clinical Periodontology, 9ed
. Philadelphia: W.B.
Saunders Co. 2002.
11. Nurul D. Infeksi dalam bidang periodonsia. Indonesian Dental Journal 2002; 9 (1): 14-6.
12. Chapple ILC dan Gilbert AD. Understanding periodontal diseases assessment and diagnostic prosedures in
practice. London: Quintessence Publishing Co. Ltd. 2002.
13. Sanz M dan Newman MG. Advance diagnostic tehniques. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s
clinical periodontology, 9ed
. Philadelphia: W.B Saunders Co. 2002.
14. Deliemunthe SH. Perdarahan gingiva untuk mendeteksi penyakit periodontal secara dini dan memotivasi
pasien. Dentika Dental Journal 2001; 6 (2) 278-83.
15. Carranza FA dan Rapley JW. Clinical feature of gingivitis. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s
clinical periodontology, 9ed
. Philadelphia: W.B Saunders Co. 2002.
16. Pattison GL dan Pattison AM. Scaling and root planing. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s clinical
periodontology, 9ed
. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002.
17. Flemmig FT. Supragingival and Subgingival Irrigation. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s Clinical
periodontology, 9ed
. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002.
18. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology, Agoes-Azwar (penterjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. 1995.
19. Greenstein G. Povidone-iodine’s effects and role in management of periodontal disease: A review’, J of
Periodontol, 1999; 70 (11): 1397-1405.
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI
ASIMETRI

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Endodontic 3
Endodontic 3Endodontic 3
Endodontic 3RSIGM
 
Prosedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti Lepasan
Prosedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti LepasanProsedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti Lepasan
Prosedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti LepasanAudree Geraldine Jonathan
 
Skenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras Gigi
Skenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras GigiSkenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras Gigi
Skenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras GigiFerdiana Agustin
 
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiAlat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiVina Widya Putri
 
Laporan lbm 2
Laporan lbm 2Laporan lbm 2
Laporan lbm 2RSIGM
 
Morfologi gigi sulung2
Morfologi gigi sulung2Morfologi gigi sulung2
Morfologi gigi sulung2Indri Yanti
 
57369433 dentin-hipersensitifiti
57369433 dentin-hipersensitifiti57369433 dentin-hipersensitifiti
57369433 dentin-hipersensitifitiADE IRAWAN
 
gigi-tiruan-lengkap
gigi-tiruan-lengkapgigi-tiruan-lengkap
gigi-tiruan-lengkapikaa388
 
karies gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitas
karies gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitaskaries gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitas
karies gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitasfirman putra sujai
 
Indikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psaIndikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psaChusna Wardani
 
Epidemiologi penyakit gingiva dan periodontal
Epidemiologi penyakit gingiva dan periodontalEpidemiologi penyakit gingiva dan periodontal
Epidemiologi penyakit gingiva dan periodontalDellery Usman
 
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia EnamelTutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia EnamelVina Widya Putri
 
Resorbsi Fisiologis Gigi
Resorbsi Fisiologis GigiResorbsi Fisiologis Gigi
Resorbsi Fisiologis Gigiwahyuni majid
 
Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...
Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...
Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...Tenri Ashari Wanahari
 
endodontic 2
endodontic 2endodontic 2
endodontic 2RSIGM
 

La actualidad más candente (20)

Endodontic 3
Endodontic 3Endodontic 3
Endodontic 3
 
Tugas ppt oklusi pada gtp
Tugas ppt oklusi pada gtpTugas ppt oklusi pada gtp
Tugas ppt oklusi pada gtp
 
Prosedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti Lepasan
Prosedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti LepasanProsedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti Lepasan
Prosedur Pasang-Lepas Alat Ortodonti Lepasan
 
Skenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras Gigi
Skenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras GigiSkenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras Gigi
Skenario 1 blok 8 Penyakit Jaringan Keras Gigi
 
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiAlat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
 
inlay
inlayinlay
inlay
 
Laporan lbm 2
Laporan lbm 2Laporan lbm 2
Laporan lbm 2
 
desain gtl
desain gtldesain gtl
desain gtl
 
Morfologi gigi sulung2
Morfologi gigi sulung2Morfologi gigi sulung2
Morfologi gigi sulung2
 
prinsip preparasi
prinsip preparasiprinsip preparasi
prinsip preparasi
 
57369433 dentin-hipersensitifiti
57369433 dentin-hipersensitifiti57369433 dentin-hipersensitifiti
57369433 dentin-hipersensitifiti
 
gigi-tiruan-lengkap
gigi-tiruan-lengkapgigi-tiruan-lengkap
gigi-tiruan-lengkap
 
Gigi dan mulut
Gigi dan mulutGigi dan mulut
Gigi dan mulut
 
karies gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitas
karies gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitaskaries gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitas
karies gigi. pemeriksaan penunjang dan tes vitalitas
 
Indikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psaIndikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psa
 
Epidemiologi penyakit gingiva dan periodontal
Epidemiologi penyakit gingiva dan periodontalEpidemiologi penyakit gingiva dan periodontal
Epidemiologi penyakit gingiva dan periodontal
 
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia EnamelTutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
 
Resorbsi Fisiologis Gigi
Resorbsi Fisiologis GigiResorbsi Fisiologis Gigi
Resorbsi Fisiologis Gigi
 
Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...
Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...
Makalah/Presentasi Kasus: Kepaniteraan Klinik Gigi & Mulut Universitas Sebela...
 
endodontic 2
endodontic 2endodontic 2
endodontic 2
 

Similar a ASIMETRI

PPT CRS ELSA.pptx
PPT CRS ELSA.pptxPPT CRS ELSA.pptx
PPT CRS ELSA.pptxNSIAk2
 
118052664 modul-1
118052664 modul-1118052664 modul-1
118052664 modul-1yes ican
 
Blok 17 lbm 3
Blok 17 lbm 3Blok 17 lbm 3
Blok 17 lbm 3RSIGM
 
Catatan tutor scenario 3
Catatan tutor scenario 3Catatan tutor scenario 3
Catatan tutor scenario 3cameliasenada
 
penatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulous
penatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulouspenatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulous
penatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulousMira Khairunnisa
 
Asuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaan
Asuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaanAsuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaan
Asuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaanAlex Susanto
 
Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2
Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2
Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2RSIGM
 
BUKU PETUNJUK SKILAB blok 13 FINAL.pdf
BUKU PETUNJUK SKILAB  blok 13 FINAL.pdfBUKU PETUNJUK SKILAB  blok 13 FINAL.pdf
BUKU PETUNJUK SKILAB blok 13 FINAL.pdfssusere15b7a
 
BAB II.docx
BAB II.docxBAB II.docx
BAB II.docxAGUSHARO
 
BAB II.docx
BAB II.docxBAB II.docx
BAB II.docxAGUSHARO
 
Tugas drg berlian
Tugas drg berlianTugas drg berlian
Tugas drg berliansaktiirdi19
 

Similar a ASIMETRI (20)

PPT CRS ELSA.pptx
PPT CRS ELSA.pptxPPT CRS ELSA.pptx
PPT CRS ELSA.pptx
 
118052664 modul-1
118052664 modul-1118052664 modul-1
118052664 modul-1
 
Blok 17 lbm 3
Blok 17 lbm 3Blok 17 lbm 3
Blok 17 lbm 3
 
Tumor mandibula
Tumor mandibulaTumor mandibula
Tumor mandibula
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Catatan tutor scenario 3
Catatan tutor scenario 3Catatan tutor scenario 3
Catatan tutor scenario 3
 
penatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulous
penatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulouspenatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulous
penatalaksanaan gigitiruan penuh lepasan pada pasien edentulous
 
Penetapan gigit-gtl1
Penetapan gigit-gtl1Penetapan gigit-gtl1
Penetapan gigit-gtl1
 
Asuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaan
Asuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaanAsuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaan
Asuhan keperawatan maloklusi - pemeriksaan dan penatalaksanaan
 
Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2
Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2
Laporan lbm 1 blok 19 sgd 2
 
Journal reading
Journal readingJournal reading
Journal reading
 
10453-25501-1-SM.pdf
10453-25501-1-SM.pdf10453-25501-1-SM.pdf
10453-25501-1-SM.pdf
 
BUKU PETUNJUK SKILAB blok 13 FINAL.pdf
BUKU PETUNJUK SKILAB  blok 13 FINAL.pdfBUKU PETUNJUK SKILAB  blok 13 FINAL.pdf
BUKU PETUNJUK SKILAB blok 13 FINAL.pdf
 
Lp ameloblastoma
Lp ameloblastomaLp ameloblastoma
Lp ameloblastoma
 
BAB II.docx
BAB II.docxBAB II.docx
BAB II.docx
 
BAB II.docx
BAB II.docxBAB II.docx
BAB II.docx
 
Makalah torus mandibula
Makalah torus mandibulaMakalah torus mandibula
Makalah torus mandibula
 
Tugas drg berlian
Tugas drg berlianTugas drg berlian
Tugas drg berlian
 
Jurding denrad deklay
Jurding denrad deklayJurding denrad deklay
Jurding denrad deklay
 

ASIMETRI

  • 1. Asimetri dental dan wajah Surwandi Walianto Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Orthodontic treatment has been associated with dental and facial esthetics. In orthodontic diagnosis and treatment planning, it is important to recognize asymmetry. Undiagnosed asymmetry may cause treatment time to be prolonged due to in change in treatment plan. The cause of facial asymmetry fall into three main categories: trauma related, development defect, or pathology. Asymmetry can be classified into dental, skeletal, muscular, functional, or combination. In diagnosing facial and dental asymmetry, clinical examination and radiographic assessment are necessary to determine the extent of the soft tissue, skeletal and muscle involvement. Clinical evaluation is most important in the diagnosis of asymmetry to assess optimal relationship between dental and skeletal. It is necessary to supplemented diagnostic records by photographs, PA radiograps, study models, face- bow transfers. Key words: asymmetry, dental, facial. Korespondensi: Surwandi Walianto, Bagian Ortodonsia. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax.(0361) 261278 PENDAHULUAN Saat merawat pasien ortodontik, sering ditemukan adanya ketidaksimetrisan pada dental atau wajah dari penderita yang merupakan keluhan dari pasien, maupun yang tidak disadari oleh pasien yang datang. Perawatan ortodontik adalah perawatan yang berhubungan dengan estetika dental dan wajah, oleh karenanya pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan harus diketahui adanya asimetri pada dental dan wajah sehingga didapatkan hasil perawatan yang simetris dengan berimpitnya garis tengah dental rahang atas dan rahang bawah serta garis tengah wajah. Hal ini penting karena pasien datang ke dokter gigi adalah untuk memperbaiki susunan gigi atau penampilan wajahnya. Bila saat melakukan perawatan ortodontik kita tidak menyadari adanya asimetri, akan membuat jangka waktu perawatan menjadi lebih lama karena harus melakukan perubahan pada rencana perawatan. Relasi oklusi asimetri dapat diakibatkan oleh asimetri pada lengkung gigi atau asimetri relasi skeletal antara maksila dan mandibula. Bila dilakukan pengamatan yang teliti pada wajah, dapat ditemukan beberapa tingkatan asimetri pada seluruh wajah. Asimetri terutama terlihat pada jaringan lunak, dan jaringan keras mempunyai peran yang besar terjadinya asimetri. Banyak metode digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai besarnya asimetri, termasuk evaluasi proporsi vertikal dan horisontal wajah dengan menggunakan foto wajah, analisis radiografik atau pemeriksaan klinis secara langsung.1 ASIMETRI Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk dan susunan pada bidang, titik atau garis pada sisi yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksimetrisan/asimetri dentofasial adalah kompleks yaitu tidak terbatas pada gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi juga seluruh komponen wajah dan seluruh struktur di sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks dapat terjadi unilateral atau bilateral, jurusan anteroposterior, superoinferior dan mediolateral. Asimetri wajah dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang baik, sedangkan asimetri dental dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat pula terjadi pada individu yang sama.2 Untuk menentukan wajah seseorang asimetri atau tidak seimbang, pertama-tama harus diketahui konsep wajah yang simetri dan seimbang. Pada Gambar 1 terlihat gambaran wajah seorang wanita yang simetris dan seimbang. Garis A adalah garis tengah wajah yang membagi wajah menjadi dua bagian sama besar, garis B merupakan garis vertikal dari pupil ke sudut mulut, garis C membagi wajah secara horisontal menjadi tiga bagian sama besar, dan garis D membagi jarak vertikal dasar hidung ke dagu paling bawah menjadi 1/3 bagian atas dan
  • 2. 2/3 bagian bawah. Wajah wanita ini juga memenuhi kriteria lebar wajah yang sempurna menurut orang Yunani kuno yaitu lima kali lebar mata yang ditunjukkan oleh garis E.3 Gambarnya di scan....... Gambar 1. Proporsi wajah yang simetris dan seimbang.3 A. Garis tengah wajah; B. Garis vertikal dari pupil ke sudut mulut; C. Garis membagi wajah vertikal menjadi tiga bagian; D. Garis membagi jarak dasar hidung ke dasar dagu menjadi 1/3 atas dan 2/3 bawah; E. Garis membagi lebar wajah menjadi lima bagian PREVALENSI Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui prevalensi asimetri pada remaja yang dirawat ortodontik, memperlihatkan hasil bahwa asimetri yang terbanyak adalah deviasi garis tengah mandibula terhadap wajah (62%), diikuti tidak berimpitnya garis tengah kedua rahang (46%), deviasi garis tengah rahang atas terhadap garis tengah wajah (47% pada geligi campuran dan 33% pada geligi permanen), asimetri gigi molar kiri dan kanan pada bidang anteroposterior (22%), asimetri oklusal rahang atas (20%) dan asimetri oklusal rahang bawah (18%).4 Hal ini memperlihatkan bahwa asimetri merupakan hal yang sering ditemui pada kasus-kasus ortodontik. Sedangkan prevalensi pada remaja yang tidak dirawat ortodontik memperlihatkan hasil sebagai berikut : asimetri molar (30%), garis tengah yang tidak berimpit ( 21%), wajah yang asimetris (12%) dan terlihat hubungan yang bermakna secara statistisk antara asimetri molar dengan asimetri wajah, garis tengah yang berimpit, dan ras.4 ETIOLOGI Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu. Pada beberapa pasien disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal terlalu dini, atau akibat pencabutan gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal yang meliputi maksila atau mandibula.5 Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu defek perkembangan, trauma, patologi.6 ASIMETRI WAJAH Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah merupakan fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal. Asimetri keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan karena luka atau penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah, ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak dapat dirawat dengan perawatan ortodontik.2 Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik tampak menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram.7 Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan lunak bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat diklasifikasikan sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional.8 ASIMETRI DENTAL Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan lengkung gigi yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas dan bawah pada segmen yang sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian.2 Deviasi garis
  • 3. tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II. Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang posterior karena pergeseran mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke lateral mandibula (tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas.9 DIAGNOSIS Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah menentukan ketidaksimetrisan yang terjadi akibat kelainan skeletal atau dental. Untuk mendiagnosis asimetri dental atau skeletal, dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografik yang menyeluruh pada skeletal, gigi, fungsional dan pola jaringan lunak wajah.5,10 A. Pemeriksaan Klinis 1).Pemeriksaan kesimetrisan wajah pada pasien dengan posisi natural head, mandibula dalam keadaan relasi sentrik, dan jaringan lunak dalam keadaan istirahat.8 Pasien duduk di kursi dan pemeriksa berdiri tepat di depannya. Langkah pertama adalah membuat garis tengah wajah, dapat dilakukan dengan bantuan dental floss yang ditarik pada bidang sagital mulai dari atas kepala sampai bagian terbawah dari dagu. Garis yang terbentuk membagi dua alis mata, mata, zygoma, lubang hidung, bibir, philtrum, sudut gonial.11 ; 2).Evaluasi garis tengah dental pada posisi mulut terbuka, relasi sentrik, kontak dini, oklusi sentrik.5 ; 3).Evaluasi pergeseran anteroposterior unilateral: kelainan yang terjadi karena perbedaan dalam ukuran, bentuk, posisi dari kedua sisi wajah dalam jurusan anteroposterior horisontal. Gambar 2 memperlihatkan pandangan frontal dan lateral pasien dengan kelainan asimetri karena pergeseran posterior unilateral. Pandangan inferior memperlihatkan jarak sudut gonial kanan ke ujung dagu pasien lebih pendek dibandingkan sisi kiri. Pada pemeriksaan maksila, tidak tampak adanya perbedaan panjang maksila kiri dan kanan. Relasi oklusi gigi memperlihatkan relasi molar Klas I Angle pada sisi kanan, dan Klas II Angle pada sisi kiri. Relasi ini tetap saat posisi istirahat. Pada pandangan oklusal, gigi molar kanan dan kiri tidak memperlihatkan perbedaan antero- posterior, sedangkan pada mandibula, terlihat gigi molar permanen pertama, gigi molar sulung pertama, kedua dan kaninus sulung lebih ke anterior dibandingkan sisi kiri.12 Gambar 2. Asimetri yang disebabkan oleh pergeseran posterior unilateral mandibula sebelah kiri.12 4). Evaluasi pergeseran vertikal : asimetri yang diakibatkan perbedaan tinggi dalam ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada kedua sisi wajah. Gambar 3 memperlihatkan pasien dengan gigi dan bibir dalam keadaan berkontak. Garis terputus–putus menggambarkan ramus mandibula sebelah kanan lebih tinggi
  • 4. dibandingkan sebelah kiri. Gambaran intra oral memperlihatkan pengaruh asimetri terhadap bidang oklusal. Pada sisi kanan pasien, terlihat bagian maksila lebih besar dan ramus mandibula lebih panjang, bidang oklusalnya lebih rendah. Pada sisi kiri, maksila lebih kecil, ramus mandibula lebih kecil, dan bidang oklusal lebih tinggi. Gambar 3. Asimetri karena pergeseran vertical.12 Pasien dengan pergeseran dalam jurusan vertikal (Gambar 4), terlihat mata kiri lebih tinggi dibandingkan mata kanan. Tulang pipi dan telinga sebelah kiri juga tampak lebih tinggi dibandingkan yang kanan. Maksila sebelah kiri lebih besar dibandingkan yang kanan, dan ramus sebelah kiri lebih panjang dibandingkan sebelah kanan. Gambaran oklusi intra oral memperlihatkan perbedaan tinggi bidang oklusi pada sisi kiri dan kanan.12 Gambar 4. Gambaran klinis asimetri karena pergeseran vertikal.12 5). Evaluasi pergeseran dalam jurusan lateral: merupakan asimetri yang diakibatkan adanya perbedaan pada jurusan lateral horisontal dalam ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada sisi kiri dibandingkan dengan yang kanan. Pasien dengan kelainan ini (Gambar 5), pada pandangan inferior terlihat ujung dagu bergeser ke arah kanan terhadap bidang tengah sagital. Mata kiri tampak lebih tinggi. Muka bagian bawah memperlihatkan sudut gonial kanan lebih ke lateral terhadap bidang tengah sagital dibandingkan sisi kiri. Telinga sebelah kanan lebih posterior dibandingkan dengan sisi lawannya. Intra oral memperlihatkan gigitan silang pada gigi molar permanen , molar sulung dan kaninus sulung. Pada sisi kiri terlihat perkembangan yang normal. Garis tengah dental mandibula yang bergeser ke kanan saat oklusi dan relasi bukolingual yang merupakan gigitan silang, tetap dalam posisi tersebut saat posisi istirahat.12
  • 5. Gambar 5. Asimetri karena pergeseran horizontal.12 6). Evaluasi pergeseran rotasi: pergeseran rotasi adalah suatu asimetri yang disebabkan pergeseran seluruh bagian maksila atau mandibula. Pada Gambar 6 terlihat seorang wanita dengan pergeseran rotasi pada mandibula dan pergeseran anterior unilateral pada maksila kiri. Pergeseran rotasi pada mandibula dilihat pada pandangan inferior mandibula. Ujung dagu dan sudut gonial menentukan adanya rotasi pada mandibula. Pada kelainan tersebut, seluruh mandibula berputar ke arah kanan akibatnya sudut gonial kiri lebih ke anterior dari sebelah kanan, dagu akan tampak lebih ke kanan terhadap bidang tengah sagital.12 Gambar 6. Pergeseran berputar keseluruhan mandibula ke kanan, dan pergeseran ke anterior maksila kiri.12 B. Pemeriksaan radiografik 1). Panoramik radiografik: pemeriksaan ini berguna untuk melihat gigi dan struktur tulang, bentuk kondil dan ramus mandibula kiri dan kanan dapat diperbandingkan.10 ; 2). Posterior-anterior sefalogram: teknik ini sangat berguna untuk mempelajari struktur bagian kiri dan kanan wajah, dapat digunakan dengan oklusi sentrik maupun dengan mulut terbuka untuk melihat adanya deviasi fungsional.10 ; 3). Submental vertex radiografik: melihat asimetri pada mandibula, zygoma, zygomatic arches.8 DISKUSI Asimetri dental dan wajah secara struktural dapat diklasifikasikan sebagai kelainan dental, skeletal, otot, dan fungsional. Asimetri dental dapat disebabkan oleh kehilangan gigi sulung secara dini, kehilangan gigi secara kongenital, kebiasaan jelek seperti mengisap ibu jari, dan bentuk lengkung gigi yang tidak simetris. Asimetri
  • 6. skeletal dapat pula disebabkan oleh kelainan pada maksila atau mandibula atau meliputi kedua rahang. Kelainan hemifasial atrophy dan cerebral palsy dapat menyebabkan asimetri wajah dan dental karena pengaruh otot-otot yang terlibat. Asimetri karena fungsional biasanya disebabkan oleh karena adanya gangguan yang menghalangi terjadinya intercuspation yang benar pada relasi sentrik. Penyebabnya dapat berupa kontriksi rahang atas atau posisi gigi yang salah. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kontak dini saat relasi sentrik yang mengakibatkan terjadinya pergeseran mandibula.10 Kelainan-kelainan tersebut di atas dapat terjadi secara bersamaan, sehingga kita harus dapat mendiagnosis dengan benar supaya dapat membuat rencana perawatan yang tepat. Diagnosis adanya asimetri pada dental dan wajah dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografik atau dapat pula dengan menggunakan foto pasien. Teknik pemeriksaan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing- masing. Radiografik Panoramik mempunyai kelemahan yaitu distorsi geometrik karena karakteristik dari proyeksinya membuat pembesaran yang terjadi tidak merata. Posterior-anterior sefalogram mempunyai keuntungan dibandingkan panoramik yaitu pembesarannya lebih merata karena jaraknya dari sumber sinar relatif sama, lebih akurat membandingkan bagian kiri dan kanan wajah karena dapat dibuat garis tengah wajah dan gigi- geligi. 10 Pemeriksaan menggunakan foto dan radiografik tidaklah sebaik pemeriksaan klinis karena mereka mempresentasikan rekaman yang statis pada satu posisi saat gambar tersebut dibuat. Jika pasien salah dalam posisi mandibula atau posisi kepala miring akan menyebabkan foto atau posterior-anterior sefalogram tidak akurat.11 Analisis frontal sefalogram dalam pelaksanaannya sulit mendapatkan postur kepala yang tepat, dan terjadinya superimpos juga menyebabkan kesulitan dalam identifikasi landmark. Akan tetapi posterior-anterior sefalogram mempunyai kelebihan yaitu dapat mengukur bermacam-macam lebar dental dan skeletal serta asimetri skeletal.13 Pemeriksaan secara klinis sangat penting dalam mendiagnosis asimetri karena bisa memeriksa pasien dalam relasi sentrik, oklusi sentrik, dan dapat dilakukan penyesuaian pada saat itu juga bila posisi pasien tidak benar. Pemeriksaan klinis memerlukan pemeriksaan tambahan seperti foto, model, facebow transfer, agar lebih akurat.8,10 Asimetri wajah dan dental dapat disebabkan karena kelainan pada struktur dental, skeletal, otot, dan fungsional, serta dapat terjadi secara bersama-sama pada individu yang sama. Oleh sebab itu dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah memerlukan pemeriksaan yang teliti dan hati-hati. Pemeriksaan klinis memegang peranan yang sangat penting dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah pada pasien ortodontik karena posisi pasien dapat diatur dan disesuaikan pada posisi yang benar. Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan juga pemeriksaan lain seperti posterior –anterior sefalogram, panoramik dan submental vertex radiografik untuk menganalis kelainan skeletalnya, sedangkan model dan facebow transfer untuk melihat oklusi di luar mulut pada model. DAFTAR PUSTAKA 1. Kronmiller JE. Development of asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 134. 2. Fischer B. Asymmetries of the dentofacial complex. Angle Orthod 1954; 24(4): 79-183. 3. Goldstein RE. Change your smile. 3ed . HongKong: Quintessence Publishing. 1997: 4-5. 4. Sheats RD, McCorray SP, Musmar Q, Wheeler TT, King GJ. Prevalence of orthodontic asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3):144. 5. Burstone CJ. Diagnosis and treatment planning of patient with asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 153. 6. Burke PH. Serial observation of asymmetry in the growing face. Br J Orthod 1992; 19(4): 273. 7. Peck S, Peck L, Kataja, M. Skeletal asymmetry in esthetically pleasing faces. Angle Orthod 1991; 61(1): 47. 8. Legan HL. Surgical correction of patients with asymmetris. Semin Orthod 1998; 4(3): 190-3. 9. Lewis PD. The deviated midline. Am J Orthod 1976; 70(6): 601. 10. Bishara SE, Burkey PS, Kharouf JG. Dental and facial asymmetries: a review. Angle Orthod 1994; 64(2): 92- 5. 11. Margolis MJ. Esthetic consideration in orthodontic treatment of adult. Dent Clin North Am 1997; 41(1):31-4. 12. Cheney EA. Dentofacial asymmetries and their clinical significance. Am J Orthod 1961; 47(11): 814-25. 13. Grummon DC, van de Coppelo MAK. A Frontal asymmetry analysis. J Clin Orthod 1987; 21(7): 448.
  • 7. 1 Perawatan gigitan silang posterior dengan rapid maxillary expansion Dwis Syahrul, Wiwekowati dan Ursula Lucia Tjandra Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Gigitan silang posterior biasanya terjadi akibat penyempitan maksila bilateral, yang dapat disebabkan oleh faktor genetik ataupun kebiasaan buruk mengisap ibu jari. Salah satu cara mengoreksi kelainan ini dapat dilakukan dengan ekspansi maksila untuk membuka sutura palatina mediana menggunakan teknik Rapid Maxillary Expansion (RME). Alat RME berupa alat cekat yang didesain kaku dan kuat, pada umumnya berupa sekrup, dengan band yang disemen pada gigi molar pertama dan gigi premolar pertama atau molar pertama sulung. Alat ini dapat menghasilkan pelebaran pada sutura palatina mediana dalam waktu yang cepat dan dengan kekuatan yang besar. Tahap perawatan RME meliputi tahap aktivasi, stabilisasi dan retensi. Kata kunci: gigitan silang posterior, rapid maxillary expansion. Korespondensi: Dwis Syahrul, Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278 PENDAHULUAN Gigitan silang posterior merupakan salah satu jenis maloklusi yang sering ditemukan. Beberapa penyebab terjadinya gigitan silang posterior antara lain adalah persistensi, kebiasaan mengisap ibu jari, bernafas lewat mulut, defisiensi maksila akibat genetik, maupun tekanan postural pada daerah dentofasial. 1,2,3 Pada anak-anak, perawatan gigitan silang posterior harus dilakukan sedini mungkin sebelum masa pertumbuhan selesai.1 Gigitan silang posterior pada fase gigi sulung atau gigi pergantian yang tidak dirawat akan tetap melanjut pada fase gigi permanen4 dan mengakibatkan gangguan perkembangan artikulasi temporomandibula dan asimetri wajah.5 Salah satu jenis gigitan silang posterior adalah tipe skeletal.6 Perawatan untuk memperbaiki gigitan silang skeletal adalah dengan ekspansi maksila secara ortopedik, yang dapat dilakukan dengan teknik Rapid Maxillary Expansion (RME).2 Teknik RME pertama kali diperkenalkan oleh Angell pada tahun 1860.7,8 Teknik ini semakin populer setelah dipublikasikan oleh Haas pada tahun 1961.9 Keuntungan yang diperoleh dari mengoreksi gigitan silang posterior dengan ekspansi maksila adalah terjadinya pelebaran jalan nafas melalui hidung, perkembangan TMJ yang sehat, dan pertumbuhan mandibula yang lebih baik.1 GIGITAN SILANG POSTERIOR Gigitan silang posterior adalah hubungan bukolingual yang abnormal antara satu atau lebih gigi rahang atas dengan satu atau lebih gigi rahang bawah, ketika kedua rahang berada dalam relasi sentrik.1,6 Variasi hubungan bukolingual gigi posterior yang dapat terjadi adalah gigitan silang bukal dan gigitan silang lingual. Gigitan silang lingual lebih sering ditemukan daripada gigitan silang bukal.2,6 Gigitan silang lingual adalah satu atau beberapa gigi atas berada di sebelah lingual dari gigi bawah, sedangkan gigitan silang bukal adalah tonjol lingual gigi posterior atas seluruhnya berada di sebelah bukal tonjol bukal gigi bawah (gambar 1). Gambar 1. Hubungan transversal gigi molar pertama. A. Hubungan buko-lingual molar yang normal; B. Gigitan silang bukal; C. Gigitan silang lingual; D. Gigitan silang lingual total (Moyers 1973). Gigitan silang posterior bisa melibatkan satu gigi atas dan satu gigi bawah ataupun melibatkan seluruh gigi posterior pada satu sisi atau kedua sisi pada kedua rahang. Jumlah gigi yang terlibat menunjukkan tingkat keparahan kelainan yang terjadi. Jumlah gigi yang sedikit biasanya dihubungkan dengan tingkat keparahan yang lebih rendah dan sebaliknya.2 Bukal Lingual
  • 8. 2 Dari pengamatan saat oklusi sentrik, gigitan silang posterior dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu unilateral dan bilateral.2,6,10 Gigitan silang posterior unilateral biasanya disebabkan oleh lengkung rahang atas yang sedikit lebih sempit daripada lengkung rahang bawah.10 Pada kondisi ini, seringkali terjadi penyimpangan mandibula ke arah lateral pada saat menutup2,7,11,12 , sehingga terjadi pergeseran garis median mandibula ke sisi rahang yang mengalami gigitan silang.12 Adanya penyimpangan fungsional mandibula ke arah lateral tersebut menunjukkan bahwa gigitan silang posterior yang terjadi sebenarnya adalah gigitan silang posterior bilateral. Gigitan silang posterior unilateral yang tidak disertai penyimpangan fungsional mandibula saat menutup dari relasi sentrik ke oklusi sentrik adalah gigitan silang posterior unilateral sejati.2 Gigitan silang posterior bilateral adalah suatu gigitan silang posterior yang terjadi simetris pada sisi kiri dan kanan. Biasanya disebabkan oleh lengkung basal rahang atas lebih sempit daripada lengkung rahang bawah. Lintasan penutupan mandibula dari istirahat ke keadaan oklusi tidak disertai penyimpangan ke arah lateral sehingga juga tidak disertai adanya pergeseran garis median.10,11 Gigitan silang posterior dapat juga diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu tipe dental, muskuler, dan skeletal.6,11 Pada tipe dental, terjadi tipping lokal pada satu atau beberapa gigi. Gigitan silang yang terjadi tidak berhubungan dengan ukuran atau bentuk tulang basal dan biasanya disertai penyimpangan fungsional mandibula untuk mencapai oklusi sentrik. Pada tipe muskuler/fungsional, terjadi posisi adaptif muskuler dari mandibula akibat adanya hambatan oklusal. Tipe ini mempunyai gambaran klinis yang mirip dengan tipe dental, tetapi gigi tidak tipping pada tulang alveolar. Penyesuaian muskuler lebih berperan daripada malposisi gigi. Tipe skeletal disebabkan oleh perkembangan tulang maksila atau mandibula yang asimetris, ataupun akibat disharmoni lebar lengkung maksila dan mandibula. Etiologi gigitan silang posterior bermacam-macam sesuai dengan tipenya. Gigitan silang posterior tipe dental seringkali disebabkan oleh kurangnya ruang pada lengkung gigi.11 Bisa juga disebabkan oleh adanya persistensi gigi molar sulung, yang membelokkan arah erupsi premolar sehingga lebih ke bukal atau ke lingual.6 Gigitan silang posterior tipe muskuler terjadi karena adanya penyimpangan fungsional mandibula ke lateral pada saat oklusi sentrik,2 gigi berdesakan, dan erupsi gigi yang tidak teratur.10 Pada tipe skeletal, terjadi karena pertumbuhan tulang maksila atau mandibula yang asimetris. Penyebabnya adalah keturunan ataupun trauma yang mengganggu perkembangan normal pada sisi rahang yang terkena trauma. Disharmoni lengkung maksila dan mandibula biasanya akibat adanya penyempitan maksila bilateral. Penyempitan maksila bisa terjadi oleh karena faktor genetik, kebiasaan mengisap ibu jari dan bernafas melalui mulut.6 Secara umum, etiologi, klasifikasi dan usia pasien merupakan faktor yang saling berkaitan dalam menentukan perawatan maloklusi.13 Perawatan yang dilakukan pada gigitan silang posterior tipe dental adalah mendapatkan ruang pada lengkung geligi. Caranya dengan ekspansi ataupun stripping interproksimal, sehingga gigi dapat kembali ke posisi yang benar11 . Cara tersebut dapat dikombinasikan dengan penggunaan elastik ataupun dengan pegas yang ditanam pada plat akrilik.6 Gigitan silang posterior tipe muskuler pada fase gigi sulung ataupun pergantian, dapat dikoreksi dengan cara grinding oklusal. Pada fase gigi permanen, grinding oklusal cukup efektif, namun untuk mencapai hasil yang lebih baik perlu dilakukan perawatan dengan alat.11 Perawatan gigitan silang posterior akibat penyempitan maksila bilateral diperlukan ekspansi maksila. Pada kasus yang ringan, dapat digunakan alat Hawley yang ditambahi sekrup ekspansi ataupun dengan quad helix, terutama bagi pasien muda dalam fase gigi sulung dan pergantian.2 Pada kasus yang lebih berat, perawatan dilakukan dengan teknik RME.11 Gigitan silang posterior yang disebabkan oleh pertumbuhan asimetris tulang merupakan kasus yang paling sulit dirawat.2,6 Pada gigitan silang unilateral sejati, bila dilakukan ekspansi maksila untuk melebarkan lengkung atas secara bilateral, maka sisi rahang yang normal akan berubah menjadi gigitan silang bukal. Perawatan yang lebih tepat pada kasus tersebut adalah dengan menggunakan cross elastik unilateral ataupun dilakukan ekspansi unilateral dengan tindakan bedah.2 RAPID MAXILLARY EXPANSION Rapid Maxillary Expansion (RME) atau Rapid Palatal Expansion adalah suatu prosedur ortopedik untuk melebarkan maksila dengan cara membuka sutura palatina mediana.2 RME menggunakan alat cekat dan kaku dengan retensi yang kuat, menghasilkan kekuatan lateral yang besar.2,14 Kekuatan yang dihasilkan adalah sebesar 3-10 pon, atau setara dengan 1,5-5 kg.11 Kekuatan yang terjadi bukan ditujukan pada gigi, tetapi pada sutura yang menghubungkan dua lengkung tulang palatum sehingga akan menyebabkan terbelahnya sutura palatina dan dua lengkung maksila akan terpisah dengan cepat.14 Menurut Bishara (2001), RME dapat dilakukan pada keadaan-keadaan berikut:2 gigitan silang posterior akibat penyempitan maksila, gigi berdesakan, palatum tinggi dan sempit, bila diperlukan ekspansi sebesar 4-12 mm, pasien masih dalam masa pertumbuhan (sampai usia 16 tahun), penderita bernafas melalui mulut dengan palatum tinggi dan sempit.15 RME merupakan kontra indikasi pada keadaan sebagai berikut:15
  • 9. 3 tidak kooperatif, gigitan terbuka dan bidang mandibula yang tinggi, rahang atau maksila yang asimetris, inklinasi gigi molar ke arah bukal, disertai kelainan skeletal dengan indikasi perawatan bedah. Alat-alat RME telah banyak mengalami perkembangan dan modifikasi hingga saat ini (gambar 2). Beberapa tipe alat RME yang umum digunakan, yaitu:14 tipe Haas, menggunakan gabungan sekrup ekspansi dan plat akrilik pada palatum. Di bagian lingual terdapat kawat yang disolder pada band yang dipasang pada premolar pertama dan molar pertama. Desain ini memberikan tekanan yang lebih merata pada jaringan palatum dan gigi; tipe Hyrax, adalah sekrup yang terbuat seluruhnya dari logam dengan 4 lengan disolder pada band yang dipasang pada premolar pertama dan molar pertama; disertai dengan kawat lingual yang menghubungkan kedua band; Bonded expander, sekrup ekspansi yang retensinya tidak menggunakan band tetapi menggunakan akrilik yang menutupi gigi posterior dengan cara direkatkan pada permukaan bukal dan lingual gigi; Two-banded RME, RME dengan menggunakan 2 gigi sebagai retensi. Digunakan bila menemui kesulitan menempatkan band pada premolar. a b c d Gambar 2. Berbagai tipe alat RME. a. Tipe Haas; b. Tipe Hyrax; c. Bonded expander; d. Two-banded expander (Accutech Orthodontic Lab 2004).17 Menurut Silverstein (2004), perlu beberapa tahap kunjungan pasien agar mendapatkan alat yang sesuai dengan mulut pasien, yaitu:16 pada kunjungan pertama, dilakukan pemasangan separator pada gigi yang akan dipasangi band; pada kunjungan kedua, mencoba band dan dilakukan pencetakan kemudian dibuat model. Dari model dapat dibuat alat RME; pada kunjungan berikutnya, dilakukan pemasangan alat RME dan pemberian instruksi pada pasien. Perawatan dengan RME meliputi beberapa tahap, yaitu: aktivasi, dilakukan oleh pasien sendiri atau orang tuanya dengan memutar sekrup 2 kali sehari selama 2 minggu, atau sesuai dengan ekspansi yang dibutuhkan. Ekspansi yang dihasilkan adalah sebesar 0,5 mm/hari. Stabilisasi, alat dibiarkan dalam mulut dalam keadaan tidak aktif selama 3 bulan, untuk menstabilkan hasil ekspansi yang telah dicapai. Retensi, menggunakan Hawley Retainer atau alat lain yang sesuai setelah alat RME dilepas, untuk mencegah terjadinya relaps. Biasanya prosedur perawatan dengan RME tidak menimbulkan rasa sakit. Namun tekanan yang timbul akibat terbukanya sekrup akan menyebabkan rasa gatal pada langit-langit mulut dan atau rasa tertekan pada gigi.17 Tekanan seringkali terasa pada daerah frontal dan tulang nasal, juga dapat terasa pada daerah zygomatik dan sutura zygomatico-temporal.13 Dalam praktek, mungkin ada beberapa variasi dan perbedaan pada tiap-tiap pasien, dipengaruhi jenis alat yang digunakan, banyaknya aktivasi, lamanya waktu perawatan atau besarnya ekspansi yang diperlukan.16 Pada saat RME dipasang, sekrup harus terletak tegak lurus terhadap garis median dan paralel dengan bidang oklusal. Tanda panah pada sekrup diletakkan menghadap ke posterior. Tanda panah tersebut menunjukkan arah aktivasi sekrup, yaitu ke arah posterior (gambar 3).14 a b c Gambar 3. Bagian dari alat RME dan Cara aktivasinya. a. Sekrup ekspansi; b. Kunci; c. Aktivasi alat (Silverstein 2004). Besar aktivasi adalah ¼ putaran, yaitu sampai lubang berikutnya terlihat. Dilakukan sebanyak 3 kali bertahap setiap 5 menit. Aktivasi berikutnya dilakukan oleh pasien sendiri atau orang tuanya, 2 kali sehari, di pagi hari dan di malam hari.12 Setiap putaran menghasilkan pelebaran sekitar 0,25 mm. Jadi pelebaran yang dihasilkan adalah sekitar 0,5 mm setiap hari. Pelebaran dilakukan sedikit berlebih sebagai kompensasi terjadinya relaps. Dalam masa aktivasi, timbul diastema sentral sebagai tanda terbukanya sutura palatina mediana. Pada foto rontgen terlihat adanya daerah radiolusen berbentuk V. Tanda tersebut menunjukkan adanya
  • 10. 4 pembukaan sutura pada daerah anterior lebih banyak daripada posterior. Selama masa aktivasi, pasien melakukan kunjungan ke dokter seminggu sekali (gambar 4).2 a. b. Gambar 4. Foto rontgen pada perawatan RME; a. terbukanya sutura palatina pada saat perawatan; b. terbentuk tulang baru pada sutura palatina, 6 bulan setelah perawatan (Stuart dan Wiltshire 2003).20 Aktivasi dilakukan selama kira-kira 2 minggu atau sampai besar ekspansi yang diperlukan tercapai, yaitu sampai tonjol lingual gigi posterior rahang atas berkontak dengan tonjol bukal gigi posterior rahang bawah. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah terbentuk.2 Setelah aktivasi selesai, alat dibiarkan berada di dalam mulut dalam keadaan tidak aktif selama 3 bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi terbentuknya tulang pada ruang sutura palatina yang membelah, di samping itu juga untuk menghilangkan pengaruh sisa-sisa kekuatan pada jaringan. Diastema sentral yang terjadi dalam masa aktivasi akan menutup dengan bergeraknya insisif sentral ke arah garis median. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah terbentuk. Setelah alat dilepas, dilanjutkan dengan pemakaian Hawley Retainer untuk mempertahankan hasil ekspansi yang telah dicapai, atau dengan alat lain yang sesuai.2 Pada beberapa hari pertama pemakaian, pasien mungkin merasa tidak nyaman dan mengalami kesulitan menelan dan berbicara, hal ini biasanya akan membaik dalam waktu 3-5 hari setelah pasien terbiasa dengan adanya alat RME dalam mulutnya.18 RME berpengaruh pada struktur dentofasial dan mengakibatkan perubahan skeletal, dental, dan alveolar.2 Pada saat ekspansi, tulang palatal tidak sepenuhnya bergerak secara translasi ke arah lateral, tetapi mengalami rotasi atau pembengkokan ke arah bukal. Gigi posterior mengalami rotasi dan tipping ke arah bukal serta juga mengalami ekstrusi.2 Pembengkokan tulang palatal dan tipping gigi posterior ke arah bukal menyebabkan pergerakan mandibula ke bawah dan ke belakang, terjadinya gigitan terbuka, dan bertambahnya dimensi vertikal wajah.19 Pemeriksaan pada model, didapati adanya pelebaran jarak interkaninus dan intermolar; sedangkan pada pemeriksaan sefalogram postero-anterior dapat dilihat adanya pelebaran maksila dan pelebaran rongga hidung. Pada pemeriksaan sefalometrik lateral, terlihat adanya pergerakan maksila ke depan, pergerakan mandibula ke belakang dan pertambahan dimensi vertikal.20 Selama pemakaian alat RME, pasien perlu menjaga kebersihan rongga mulut maupun alatnya dengan cara menyikat gigi secara benar, menggunakan dental floss dan berkumur-kumur untuk menghilangkan sisa-sisa makanan. Pasien tidak dianjurkan mengonsumsi makanan yang keras dan lengket.18 RME merupakan suatu alat cekat, kaku dan kuat, pada umumnya berupa sekrup dengan retensi pada gigi molar dan premolar. Teknik RME dapat digunakan untuk mengoreksi gigitan silang posterior tipe skeletal dengan penyempitan maksila bilateral yang menghasilkan ekspansi skeletal dengan cara membuka sutura palatina mediana. DAFTAR PUSTAKA 1. Echols M. Orthodontic crossbites and palatal constriction [Homepage of braceface], 2004. [Online]. Available from: http://www.braceface.com/info2.htm# crossbite. Accessed July 14, 2004. 2. Bishara SE. Textbook of orthodontics, Philadelphia: WB. Saunders Company. 2001: 83, 109-11, 160-1, 179, 226, 431, 435-37, 299-300. 3. Graber T M. Orthodontics: principles and practice, 3ed . Philadelphia: WB. Saunders Company. 1972: 848. 4. Allen D, Rebellato J, Sheats R, Ceron A M. Skeletal and dental contributions to posterior crossbites. The Angle Orthodontist 2002; 73(5): 515-24. 5. Salzmann JA. Practice of orthodontics, volume one. Philadelphia: JB Lippincot Company. 1966: 251-87, 403-9. 6. Moyers RE. Handbooks of orthodontics for the student and general practitioner, 3ed . Chicago: Year Book Medical Publisher. 1973: 243-44, 313, 532-33, 538-40. 7. Graber TM, Swain BF. Current orthodontic concepts and techniques. Philadelphia: WB. Saunders Company. 1975: 55-9, 371.
  • 11. 5 8. Iseri H, Özsoy S. Semirapid maxillary expansion-a study of long-term transverse effects in older adolescents and adults. The Angle Orthodontist 2003; 74(1): 71-8. 9. Pearson LE, Pearson BL. Rapid maxillary expansion with incisor intrusion: a study of vertical control. Am J Orthod Dentofacial Orthop 1999. 115(5): 576-82. 10. Foster TD. Buku ajar ortodonsi, Lilian Yuwono (penterjemah). 3ed . Jakarta: EGC; 1993: 30, 38, 156-7. 11. Dale BG, Aschheim KW. Esthetic dentistry: A Clinical Approach to techniques and materials. Philadelphia: Lea & Febiger. 1993: 352-53. 12. Johns Dental Laboratories. Standard instructions for using rapid palatal expander [Home page of Johns Dental Laboratories], 2004 [Online]. Available from: http://www.johnsdental.com/articles /ortho/fixed/rpeadj.htm Accessed July 14, 2004. 13. Salzmann JA. Practice of orthodontics, 2ed . Philadelphia: JB Lippincot Company. 1966: 585, 932. 14. McOrmond A. Bonded Hyrax [Homepage of McO Dental], 2002 [Online]. Available from: http://www.mcodental.com/articles/ bd-hyrax.htm Accessed Jan 5, 2005. 15. Germa’n Door DO. Fast expansion to maxilar. Report of a case. Colomb Med 2001; 32: 136-9. 16. Silverstein R. General information about the rapid palatal expander [Homepage of Dr Silverstein]. 2004 [Online]. Available from: http://www.orthonj. com/ rpe.html Accessed Jan 4 2005. 17. Fine M. RME (RPE) [Homepage of Martin Fine Orthodontics]. 2003 [Online]. Available from: http://www.fine.com.au/ rme.asp. Accessed jan 4, 2005. 18. Arias F. The Rapid palatal expander appliance [Homepage of Dr. Arias pediatris dentistry of the treasure coast], 1998, [Online]. Available from: http://www. drarias.com/LIBRARY/RPE.htm Accessed jan 4, 2005. 19. Doruk C, Bicakci AA, Basciftci FA, Agar U, Babacan H. A comparison of the effects of rapid maxillary expansion and fan-type rapid maxillary expansion on dentofacial structures. The Angle Orthodontist 2003; 74(2): 184-94. 20. Sari Z, Uysal T, Usumez S, Basciftci FA. Rapid maxillary expansion. Is it better in the mixed or in the permanent dentition?’ The Angle Orthodontist 2003; 73(6): 654-61.
  • 12. Pengaruh konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan terhadap kekuatan perlekatan sealant pada gigi sulung (Uji laboratoris kekuatan tarik) Ni Putu Widani Astuti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Pit and fissure sealant is one of the most effective efforts in preventing occlusal surface caries. Aim of the in vitro research is conducted to obtain the effect of phosphoric acid concentration and time of application towards tensile bond strength in primary teeth the sealant. Forty five primary molars were divided into 9 groups, each group consisting of 5 molars. The surface of occlusal primary molars were applied variation of phosphoric acid concentration 27%, 37% and 47%, prepared with time application set for 40 second, 60 second and 80 second. After eat process completed, helioseal (vivadent) was applied to the enamel surface and light cured for 20 seconds. Afterwards, it is soaked in aquadest solution and kept in the incubator for 24 hours at 37C before treated on a tensile bond strength test. The result shows the lowest average bond tensile strength is obtained with phosphoric acid 27% with 40 seconds application time ( 54.0640 kg/cm2 ), and the highest is obtained with phosphoric acid 47% with 80 seconds application time ( 143.8840 kg/cm2 ). Statistic analysis with ANOVA shows different significantly between variation of phosphoric acid concentration and application time toward tensile bond strength test, LSD0,05 test result shows significant average tensile bond strength between groups (p< 0.05) except in the 27% 40 second, and the 27% 60 second, 27% 80 second and the 37% 40 second groups. Also, the 47% 40 second group shows not different significantly (p< 0.05). The conclusion of the research on the effect of phosphoric acid concentration an time of application toward sealant tensile bond strength on primary teeth due different significantly ( p< 0.05 ). Key words: Phosphoric acid, sealant, primary teeth Korespondensi: Ni Putu Widani Astuti, Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278 PENDAHULUAN Karies gigi merupakan penyakit yang paling umum pada jaringan keras gigi manusia yang ditandai dengan adanya kerusakan jaringan gigi, dimulai dari permukaan gigi yaitu pit, fisura, dan daerah interproksimal, hingga meluas kearah pulpa.1 Permukaaan geligi posterior sulung dan permanen sering ditemukan adanya karies karena morfologi pit dan fisura yang dinyatakan sebagai daerah yang ideal untuk terjadinya retensi sisa makanan dan bakteri penyebab karies. Karies pit dan fisura pada anak umur 5 – 17 tahun di Amerika Serikat mencapai 84%.2,3 Fissure sealant merupakan salah satu tindakan pencegahan untuk menghilangkan faktor predisposisi terjadinya karies pit dan fisura pada gigi sulung maupun gigi permanen. Menurut Crawford4 , Fisure sealant dapat mencegah karies hingga 100% setelah dievaluasi 1 tahun aplikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan fissure sealant adalah proses pengetsaan permukaan email. Email dietsa dengan larutan asam, menghasilkan energi permukaaan bebas yang tinggi dan menunjukan kelarutan email yang berbeda-beda tergantung sifat asam yang digunakan, konsentrasi asam, waktu pengetsaan serta komposisi dan struktur gigi.5,6 Email gigi geligi sulung memiliki struktur email yang kurang padat dan lebih tipis dari pada gigi permanen. Secara fisik maupun kimiawi permukaan terluar email berbeda dengan lapisan email di bawahnya, email terluar lebih keras dan padat karena mengandung lebih banyak mineral dan bahan-bahan organik.7 Menurut Craig dan Power2 , asam fosfat dengan konsentrasi 37% efektifitasnya dapat diandalkan sebagai bahan etsa. Anusavice menyatakan bahwa konsentrasi asam fosfat 30% - 50%, khususnya 37% merupakan bahan etsa yang banyak digunakan dan banyak dipasarkan. Permukaan email yang dietsa akan meningkatkan kemampuan permukaan untuk perekatan dengan resin dan membentuk resin tag, yang merupakan mekanisme
  • 13. perlekatan utama resin komposit pada email yang dietsa.8 Emut9 , pada penelitiannya menggunakan bahan sealant light curing dan asam fosfat dengan konsentrasi 16%; 37%; 58%; dan 85% serta lama pengulasan 60 detik, mendapatkan kekuatan perlekatan tarik antara resin komposit dengan email meningkat (16% dan 37%) tetapi terjadi penurunan dengan makin meningkatnya konsentrasi asam fosfat yaitu pada konsentrasi 58% dan 85%. Efektivitas asam akan berkurang pada email gigi sulung dengan struktur prisma tidak ada atau pada gigi permanen dengan kandungan fluor yang tinggi. Jenis komposit resin yang digunakan sebagai bahan fissure sealant, yaitu yang berpolimerisasi dengan cahaya maupun secara kimiawi.11 Fissure sealant yang berpolimerisasi dengan cahaya mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan yang berpolimerisasi secara kimia, yaitu: mempunyai waktu kerja yang panjang, penggunaan lebih mudah, pengerasannya dapat dikendalikan, porositas lebih sedikit serta lebih tahan terhadap abrasi.12 Penelitian eksperimental laboratoris ini bertujuan untuk mengetahui variasi konsentrasi dan lama waktu pengetsaan asam fosfat terhadap kekuatan tarik perlekatan sealant pada gigi sulung dalam fissure sealant secara in-vitro. Pada pit dan fisura gigi sulung sering kali ditemukan adanya karies menurut Kennedy (1992) urutan permukaan gigi sulung yang terkena karies sebagai berikut: Gigi Maksila Mandibula molar pertama oklusal-palatal oklusal lingual molar kedua oklusal oklusal lingual kaninus bukal bukal Insisivus lateral mesial mesial Insisivivus sentral mesial mesial Kerusakan pada pit dan fisura merupakan lesi karies yang paling tinggi (93,4%). Prevalensi yang tinggi dikarenakan anatominya yang ideal bagi retensi bakteri dan sisa makanan. Perubahan dalam prevalensi karies dalam dekade abad 20 an telah memperluas pemahaman kegunaan fissure sealant. Survai Nasional di AS selama abad 20 an terjadi adanya peningkatan presentase karies pada permukaan oklusal dari 49% pada tahun 1971 menjadi 58% ditahun 1986 hingga 1987.13 Anatomi dan struktur gigi sangat mempengaruhi resistensi gigi terhadap karies. Permukaan oklusal gigi sulung relatif tinggi sehingga lekukan menunjukkan gambaran curam dan relatif dalam.14,15 Email gigi merupakan jaringan yang mengalami mineralisasi paling besar pada tubuh manusia. Komposisi email adalah 96% bahan organik dan 4% bahan organik.16 Fasa mineral memiliki struktur apatit terutama dalam bentuk hidroksiapatit dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Hidroksiapatit pada email berbentuk unit menyerupai batang atau prisma email dengan diameter 4 -5 µm. Prisma email bagian dalam mengikuti suatu bentuk gelombang sedangkan bagian luar bentuk prisma lebih beraturan dan mencapai permukaan email dengan sudut siku atau tegak lurus terhadap permukaan email. Didalam prisma terdapat kristal hidroksiapatit bentuk batang heksagonal yang pipih.16,17 Tepi prisma nampak hampir berbentuk sepatu kuda (ladam) yang merupakan prism interlock menurut pola lubang kunci. Prisma email pada gigi permanen berbeda dengan prisma pada gigi sulung. Menurut Kennedy (1992), prisma pada sepertiga gingiva gigi permanen berinklinasi horizontal atau kearah apeks sedangkan inklinasi prisma email pada gigi sulung sepertiga gingival berinklinasi ke arah oklusal. Ketebalan email juga bervariasi, Steven14,18 mengatakan bahwa ketebalan email gigi orang dewasa berkisar antara 2 – 2,5 mm. Email gigi sulung hanya setengah tebal email gigi permanen dan memiliki struktur email yang kurang padat dan lebih tipis. Pit dan Fisura pada permukaan oklusal menunjukkan gambaran khas dan relatif dalam ini menyebabkan tingginya insidensi karies karena tak dapat dibersihkan secara mekanis oleh bulu sikat.14,15 Salah satu tindakan pencegahan karies pit dan fisura adalah fissure sealant, merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi material yang diletakkan kedalam pit dan fisura pada permukaan oklusal gigi, membentuk lapisan proteksi secara fisik dan mekanis serta melindungi permukaan oklusal gigi dari aksi bakteri gigi.15,19 Tindakan fissure sealant diindikasikan pada gigi posterior sulung dan permanen yang mempunyai pit dan fisura yang dalam dan membentuk retensi, pasien yang memiliki karies tinggi pada gigi sulung dengan diperkirakan gigi permanen akan karies, pada pemeriksaan klinis atau radiografi tidak terdapat karies interproximal yang perlu direstorasi.2,20 Menurut Govani, indikasi fissure sealant dilakukan pada gigi yang antagonisnya terdapat karies yang mempunyai bentuk morfologi hampir sama, gigi yang telah erupsi 3 tahun dan gigi posterior terdapat karies oklusal pada gigi sebelahnya. Adanya karies permukaan oklusal merupakan kontra indikasi dalam fissure sealant sebagai upaya pencegahan terhadap karies, bukti ini menunjukkan bahwa fissure sealant merupakan kontra indikasi pada gigi yang mempunyai banyak lesi atau restorasi pada daerah proksimal,
  • 14. permukaan oklusal datar sehingga daerah pit dan fisura tidak ada, pada pemeriksaan klinis dan radiografi terdapat karies interproximal yang perlu dilakukan restorasi, pasien dengan oral hygiene buruk tidak pernah memeriksakan kesehatan giginya secara teratur, serta rampan karies pada gigi sulung.2,21 Dengan berkembangnya ilmu bahan kedokteran gigi, bis-GMA (Bowen’s resin) dipergunakan sebagai bahan dasar sealant dan terbentuk dari reaksi antara bis (4-hydroxyphenyl) dimetylmethane dan glycidyl methacrylate.22 Komposisi kimiawi bis-GMA dalam sealant hampir sama dengan komposisi resin, dengan perbedaan pada sealant bis-GMA lebih bersifat cair, lebih mudah mengalir kedalam pit dan fisura sehingga lebih melekat pada permukaan gigi yang dietsa untuk menambah retensi. Penggolongan resin komposit berdasarkan mekanisme polimerisasi ada dua macam yaitu polimerisasi kimiawi dan sinar-tampak.22,23 Buonocore (1995, cit Soetopo, 1980) memperkenalkan sealant dengan teknik etsa asam menggunakan asam fosfat. Dengan menggunakan teknik etsa asam akan terbentuk mikropit pada email dan memudahkan bahan mengalir serta masuk kedaerah fisura hingga dapat meningkatkan retensi bahan restorasi terhadap gigi. Etsa asam fosfat pada permukaan email dapat menyebabkan demineralisasi prisma email membentuk mikropit pada permukaan email. Email yang telah dietsa memiliki permukaan bebas energi yang tinggi sehingga memudahkan adaptasi resin kedalam pori-pori email kemudian berpolimerisasi dan membentuk resin tag yang berfungsi sebagai retensi mekanis.6,19,24 Retensi mekanis yang terjadi antara bahan dengan email yang dietsa dengan asam fosfat berperan dalam mekanisme kekuatan perlekatan. Kekuatan perlekatan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain konsentrasi asam fosfat, lamanya waktu pengetsaan dan kedalaman mikropit email yang terbentuk pada struktur email gigi.25 Efektivitas asam akan berkurang pada email gigi sulung dengan struktur prisma sedikit dan pada gigi permanen dengan kandungan fluor yang tinggi.2,25 Reaksi gigi sulung terhadap etsa berbeda, setelah dietsa dengan asam fosfat 50% selama 60 detik, mikropit yang terbentuk lebih kecil dan lebih halus sehingga efek retensi yang dihasilkan berkurang, diduga bahwa lapisan email luar yang tidak berprisma menyebabkan berkurangnya penetrasi resin kepermukaan email yang telah dietsa. Permukaan email gigi sulung, agar diperoleh etsa yang sebanding dengan pola etsa gigi permanen, waktu yang diperlukan pengetsaan permukaan email gigi sulung 120 detik.26 Kekuatan tarik diukur dengan cara menarik spesimen sampai perlekatan antara sealant dan email terlepas atau patah. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan gigi molar pertama bawah sulung dengan ketentuan tidak ada kelainan mikroskopis. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 45 gigi molar sulung, dikelompokan menjadi 9 kelompok, masing-masing berjumlah 5 buah lalu dilakukan pengulasan etsa asam fosfat dengan konsentrasi 27%, 37% dan 47% dengan waktu pengulasan 40 detik, 60 detik, dan 80 detik, kemudian aplikasi heliosel (light cured sealant). Permukaan gigi dibersihkan dengan pumis tanpa flour dan air bebas minyak menggunakan sikat dengan bulu keras (pointed bristle brush). Daerah preparasi berdiameter 3 mm yang berpusat pada pit dan fisura didapatkan dengan cara menutup permukaan oklusal menggunakan adhesive tape berdiameter 3 mm, sebelumnya ditutup dulu dengan malam merah sehingga mendapatkan permukaan yang rata. Untuk mendapatkan ketebalan 3 mm sebagai pegangan pada plunger saat dilakukan uji tarik maka diletakkan ring dengan ketebalan 3 mm dan diameter 3 mm. Gigi ditanam dalam pipa kuningan (cincin bantu) dengan permukaan email menghadap keatas dan posisi ditengah pipa cetakan kuning. Kekuatan tarik perlekatan diukur dengan cara menarik spesimen sampai perlekatan antara resin dengan email terlepas atau patah, dengan menggunakan alat uji tarik Torsee’s Universal Testing Machine. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian pada gambar 1 menunjukkan nilai rerata kekuatan perlekatan sealant yang terkecil diperoleh pada pengetsaan dengan asam fosfat konsentrasi 27% dengan waktu pengulasan 40 detik, sedangkan nilai rerata kekuatan tarik perlekatan sealant terbesar diperoleh pada konsentrasi 47% dengan waktu pengulasan 80 detik. Nilai rerata pada konsentrasi asam fosfat 37% dengan pengulasan 60 detik yang merupakan perlakuan standar atau yang dianjurkan para pakar untuk etsa email, pada penelitian ini mempunyai rerata kekuatan perlekatan 99,0760 ± 9,4434 kg/cm². Secara deskritif terdapat kecenderungan kenaikan rerata kekuatan tarik perlekatan tiap kelompok variasi konsentrasi dan lama waktu pengulasan, hal ini berarti dengan kenaikan konsentrasi asam fosfat dan lama waktu pengulasan sebagai etsa maka diikuti dengan kenaikan kekuatan tarik perlekatan.
  • 15. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 27% 37% 47% Konsentrasi asam fosfat Waktupengulasanasamfosfat 40 detik 60 detik 80 detik Gambar 1. Grafik rerata kekuatan tarik perlekatan sealant dengan email gigi (kg/cm²) Hasil analisis Anava dua jalur menunjukkan adanya pengaruh bermakna akibat variasi konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan terhadap kekuatan tarik perlekatan, seperti yang terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Rangkuman Anava dua jalur tentang kekuatan tarik antar konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan Sumber Variasi F Sig Konsentrasi asam fosfat 138,025 ,000 Waktu pengulasan 135,122 ,000 Interaksi antara Konsentrasi dan Waktu 31,718 ,000 Analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna rerata kekuatan tarik perlekatan antar kelompok perlakuan konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulsan (p<0,005) kecuali antara kelompok 27% 40 detik, 27% 60 detik, 27% 80 detik dan 37% 40 detik serta 47% 40 detik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p<0,005). Dari gambar histologi preparat gosok kedalaman mikropit sesudah pengetsaan dengan asam fosfat dapat diukur menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 135x dan membandingkan foto kawat pembanding yang mempunyai diameter 180 µm. Hasil pengukuran panjang tag pada permukaan email yang dietsa dengan asam fosfat konsentrasi 27% dan lama waktu pengulasan 40 detik didapatkan panjang tag 49,5 µm, permukaan email yang dietsa dengan konsentrasi asam fosfat 37% dengan waktu pengulasan 40 detik didapatkan panjang tag 53,6 µm sedangkan permukaan email yang dietsa dengan asam fosfat konsentrasi 37% dengan waktu pengulasan 60 detik didapatkan panjang tag 72,7 µm. Gigi yang dietsa dengan larutan asam fosfat 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 8,33%. Pada konsentrasi 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik dan konsentrasi 37% dengan lama waktu pengulasan 80 detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 46,8%. Konsentrasi 37% dengan lama waktu pemulasan 40 detik dan konsentrasi 37% dengan lama waktu pengulasan 80 detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 35,6%. Perbedaan persentase panjang tag 35,6% — 46,8% menyebabkan perbedaan kekuatan tarik perlekatan yang bermakna. Pada sampel yang dietsa menggunakan konsentrasi 47% dengan waktu pengulasan 80 detik mempunyai kekuatan tarik perlekatan 5x lebih besar dibandingkan dengan menggunakan asam fosfat 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa etsa pada permukaan oklusal gigi sulung dengan konsentrasi asam fosfat 37% dengan waktu pengulasan 60 detik dapat dipertimbangkan dalam penggunaan di klinik karena mempunyai kekuatan tarik perlekatan dianjurkan, ini diharapkan efisien dan membantu untuk mengurangi waktu perawatan. Hal ini akan sangat berguna untuk menangani pasien-pasien pediatrik, terutama jika perlu dilakukan aplikasi sealant dalam satu kali kunjungan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi asam fosfat 27%, 37%, 47% untuk etsa permukaan email gigi sulung menghasilkan kekuatan tarik perlekatan makin besar dan lama waktu pengulasan asam fosfat 40 detik, 60 detik, 80 detik untuk etsa email gigi sulung menghasilkan kekuatan tarik perlekatan makin besar. Saran pada penelitian ini, perawatan pencegahan dengan tindakan fissure sealant pada gigi sulung menggunakan etsa asam 37% dengan waktu pengulasan selama 60 detik.
  • 16. DAFTAR PUSTAKA 1. Sturdevant JR, Lundeen TF dan Sluder. Clinical significance of dental anatomy, hystology, and occlusion: The art and science of operative dentistry, ed 3. St Louis: Mosby Year Book Inc. 1995. 2. Martheson RJ, Primosch R. Sealant and preventive resin restorations. Dalam: Fundamentals of pediatric dentistry. ed. 3. St. Louise: Quintenssence Publishing Co. Inc. 1995: 119-35 3. Craig RG, Powers JM. Restorative dental material. 11th ed., St louis: Mosby Inc. 2002: 234-76 4. Crawford PJM. Sealant restorative (Preventive resin restoration ). Br. Dent, J 1988; 165(7): 250-53 5. Soetopo. Adhesi komposit resin dengan Teknik etsa asam untuk restorasi kerusakan gigi, Disertasi, Penelitian Laboratoris, 1980; Surabaya: Airlangga University, Press. 6. Anusavice KJ. Phillips science of dental materials. 11 th Ed., 2003. Philadelpia: Saunders Co. 7. Kennedy DB. Paediatric operative dentistry. A Dental practitioner handbook. 1992; Canada: Vancouver, British Columbia. 70-181 8. Marzouk MA, Simonton Al. Operative dentistry modern theory and pratice. 1st ed. 1985; St Louise: Ishiyaku Euro America, Inc. 9. Emut-Lukito, Bambang-Priyono dan Sri-Pramestri. Kandungan bahan sealant light cured dan autopolimerisasi asam fosfat pada lapisan email. Laporan Penelitian. 1991. 10. Charbeneau GT and Dennison JB. Clinical success and potential failure after single application of a pit and fissure sealant: a four-years report, JADA 1979; 99(9): 559-64 11. Rock WP, Weatherill S, Anderson RJ. Retension of three fisure sealant resins. The effect of etching agent and curing method. Result over 3 year, 1990. 12. Br. Pollack B. Composite resin fundamental and direct techniques restoration. Dalam: BG Dale KW, Aschheim. Esthetic dentistry a clinical approach to techniques and material. Philadelphia: Lea and Febiger. Dent., J., 1993; 168 (2) :323-5 13. Steven AM. The role of sealant in caries prevention program. Journal of The California Dental Association. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/enteez/countries/Indonesia/trends.html Accessed 2003. 14. Finn SA. Clinical pedodontics, 4th ed., 1973; Toronto: W.B. Sounders Co. 15. Mc.Donald RE and Avery DR. Oral development and histology. Second edition, 2003; New York: Thime Medical Publishers, Inc. 16. Ivar AM dan Fejerrkov O. Embriologi dan histology rongga mulut. Fazwishini Siregar (penterjemah). Ed 1. 1991; Jakarta: Widya Medika. 17. Fawcet DW. A Textbook of Histology. 12th ed. 1994; New York: Chapman & Hall, 210-13 18. Itjingningsih WH. Anatomi Gigi. 1995. Jakarta: Penerbit EGC. 92-137 19. Gillet D, Nancy J, Dupuis V. Microleakage and penetration depth of three types of material in fissure sealant. J.Clin Pediatr Dent 2002; 26(20): 175-78 20. Govani M. Morphologi effect of the type, concentration and etching time of acid solution on enamel and dentin surface. Braz Dent J 2002; 9(1): 3-10 21. Craig RG. Restorative Dental Material, 10th ed. 1997; St Louis: The CV. Mosby Co. 41-57 22. Ferracane JL Material in Dentistry Principles and Application, 2 nd ed. .2001. 23. Pitt Ford TR. Restorasi Gigi (terj), edisi ke 2, 1992; Jakarta: Penerbit EGC. 92 24. Hicks MJ. The Acid-etch technique in caries prevention; pit and fissure sealants and preventive resin restorative. Dalam: Pinkham JR Pediatric Dentistry, Infancy Through Adolesence, 1st ed. 1998; Philadelphia: WB Sounders. 380-96 25. Kennedy DB. Konservasi Gigi Anak ( terj). ed 3. 1986. Jakarta: Penerbit EGC. 26. Kennedy DB. Paediatric operative dentistry. A dental practitioner handbook. Canada: British Columbia..
  • 17. 1 Penatalaksanaan kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting Putu Sulistiawati Dewi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstrak Kerusakan tulang pasca pencabutan merupakan kondisi patologis hilangnya struktur tulang setelah pencabutan akibat tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya. Untuk mengatasi masalah itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang rusak tersebut. Bone grafting merupakan teknik pembedahan untuk menempatkan serbuk tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graft setelah pencabutan diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan. Kata Kunci: kerusakan tulang, bone graft Korespodensi: Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278. PENDAHULUAN Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang tersusun oleh kristal mikroskopik kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang merupakan suatu kondisi patologis hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor lokal maupun faktor sistemik.1 Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang dilakukan dengan tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau kedua-duanya. Pada tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk melakukan secara ideal dengan teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan selama pencabutan dan mencegah kemungkinan terjadi komplikasi pencabutan gigi.2 Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat di bidang kedokteran gigi telah memacu perkembangan transplantasi jaringan. Transplantasi bertujuan untuk melakukan rekonstruksi bagian tubuh yang mengalami kerusakan oleh karena penyakit maupun trauma. Dalam melakukan rekonstruksi dibutuhkan jaringan pengganti (graft) yang dapat berasal dari diri sendiri, species yang sama, maupun species yang berbeda.1 Pencabutan gigi yang melibatkan pengambilan tulang tanpa penanganan lebih lanjut akan menimbulkan kerusakan pada tulang. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu, adalah dengan penempatan bone graft pada tulang tersebut.3 Hampir 90 persen pencabutan gigi mengakibatkan kerusakan tulang rahang dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan lebih lanjut, sehingga rahang tidak berfungsi baik dan kadang diperlukan penggantian tulang rahang.4 Dalam pelaksanaannya, pemilihan pasien pada kasus kerusakan tulang merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.5,6 Perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan memberikan bahan yang dapat merekonstruksi kerusakan tulang dengan cara merangsang pembentukan tulang baru.1 PENCABUTAN GIGI Trauma pada gigi atau tulang dapat menyebabkan berubahnya posisi gigi dari tempatnya, fraktur mahkota maupun akar gigi. Semua keadaan ini merupakan salah satu penyebab gigi harus dicabut. Trauma yang lebih berat dapat menyebabkan fraktur tulang rahang dan bila terdapat gigi yang terletak pada garis fraktur, harus dicabut. Pencabutan gigi yang ideal adalah mengeluarkan gigi atau akar gigi secara utuh, dengan trauma jaringan pendukung gigi yang minimal dan tidak menimbulkan rasa sakit. Kondisi ini membuat luka bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak menyebabkan masalah prostetik pasca operasi dimasa mendatang. Stabilisasi gigi di dalam lengkung gigi tergantung pada keutuhan prosesus alveolaris, ligamen periodontal, serta perlekatan gingiva. Ekspansi alveolus terjadi akibat penggoyangan gigi, dan biasanya diikuti dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung. Keberhasilan pencabutan dengan elevator dan tang tergantung bagaimana kita melonggarkan alveolus, memutus ligamen periodontal, dan memisahkan perlekatan gingiva, oleh karena itu diperlukan tekanan yang terkontrol, pada penggunaan alat tersebut.7
  • 18. 2 KERUSAKAN TULANG Cacat tulang merupakan suatu kondisi patologik hilangnya struktur tulang yang dapat disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi secara normal, penurunan formasi tulang pada saat terjadi reabsorpsi secara normal dan peningkatan reabsorpsi dikombinasikan dengan penurunan formasi tulang.8 Kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal penyebab kerusakan tulang adalah terjadinya inflamasi dan traumatik oklusi yang menyebabkan penurunan tinggi tulang alveolar bagian lateral hingga permukaan akar.8 Menurut Sudarto, penyebab utama kerusakan tulang adalah pencabutan gigi, trauma dan penyakit rahang seperti kista atau tumor rahang. Kerusakan tersebut sebagian besar (90%) disebabkan karena tindakan pencabutan gigi, terutama yang tidak mendapat penanganan lebih lanjut.3 Reaksi pemulihan setelah pencabutan gigi akan berlangsung lama dan tidak akan dapat pulih seperti semula. Gusi cenderung mengempis karena semakin jarang digunakan atau beraktivitas. Hal ini akan berpengaruh pada kondisi tulang gigi, dan selanjutnya akan mengganggu dan menyulitkan pergerakan rahang. Kehilangan gigi dapat diatasi dengan memakai gigi tiruan, namun kerusakan tulang dan pengempisan gusi tidak dapat diatasi sehingga terkadang pasien mengeluhkan gigi tiruannya tanggal. Bone grafting dilakukan untuk merekonstruksi kerusakan-kerusakan tulang yang terjadi. PERAWATAN CACAT TULANG Prognosis keberhasilan perawatan suatu cacat tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: banyaknya dinding tulang yang tersisa, luasnya daerah cacat tulang, banyaknya permukaan akar yang terlibat, luasnya destruksi tulang, kemampuan untuk melakukan detoksifikasi dan debridemen pada daerah cacat. Semakin banyak jumlah dinding tulang dan semakin sempit daerah cacat semakin baik pula prognosisnya.9 Menurut Manson dan Eley, kegagalan suatu perawatan kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor pemilihan kerusakan yang keliru, kegagalan untuk menutup flap dengan sempurna di atas kerusakan tulang serta adanya infeksi dan disintegrasi dari bekuan darah.10 Menurut Yukna, perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu : 1) Flap/kuretage/ debridement : beberapa laporan menunjuk- kan bahwa pembedahan seperti ini dapat menghasilkan peninggian tulang pada daerah kerusakan dan perawatan ini sangat baik pada kerusakan tulang pada 3 dinding yang sempit, 2) Regenerasi jaringan terpadu: sebagian besar kerusakan infraboni, kelainan furkasi derajat II dan dehiscense menunjukkan hasil yang baik terhadap terapi ini. Pemilihan pasien dan jenis kerusakan yang akan dirawat berperan penting bila biaya yang harus dikeluarkan merupakan suatu pertimbangan, 3)Ekstraksi selektif dan pergerakan gigi minor: bertujuan untuk memberikan prognosis pada gigi sebelahnya, sehingga daerah soket bekas pencabutan akan terisi dan dapat memberikan dukungan yang lebih baik.5,6 BONE GRAFT Bone graft adalah tulang yang sudah mati, tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk rehabilitas kerusakan tulang setelah melalui proses tertentu.3 Bone grafting merupakan pembedahan untuk menempatkan tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau di antara lubang dan tulang mati. Tulang yang baru dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft), atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau species yang sama tetapi beda genetik (allograft) .Graft dapat berupa bubuk, bentuk pipih, batangan, dan kubus. Bahan bone graft merupakan suatu biomaterial yang memiliki sifat biokompatibilitas sehingga dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempunyai pengaruh toksik atau menimbulkan jejas terhadap fungsi biologis.3 Bone graft dapat dipergunakan untuk memperbaiki tulang yang rusak (fraktur) yang disertai kehilangan tulang, memperbaki tulang yang rusak yang sudah tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat digerakkan lagi atau dapat digerakkan tapi tidak normal, dan sebagai penyambung untuk mencegah pergeseran tulang.4 Beberapa aplikasi bone grafting di dalam mulut adalah: menumbuhkan tulang yang hilang akibat penyakit gusi, membentuk tulang rahang yang tidak memadai (defisiensi) untuk melakukan dental implant (hal ini dilakukan jika gigi asli yang hilang pada daerah tersebut terjadi pengurangan massa tulang), menempatkan graft pada daerah sinus untuk pemasangan implant (kehilangan gigi dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan kehilangan dasar dari tulang rahang atas, sehingga perlu dilakukan grafting untuk penempatan implant) dan memperbaiki kerusakan tulang rahang akibat infeksi gigi atau gigi impaksi. Jenis-Jenis Bone Graft Persyaratan dasar bahan graft adalah harus dapat diterima secara imunologis dan harus mempunyai potensi osteogenik serta harus mempunyai sifat osteokonduksi dan osteoinduksi.5,6,8 Bone graft dapat dikelompokkan menjadi empat tipe umum yaitu autograft apabila tulang diambil dari individu yang sama,
  • 19. 3 allograft apabila tulang diambil dari individu yang beda dengan spesies yang sama, xenograft, apabila tulang diambil dari spesies yang berbeda serta graft bahan sintetis.10 Autograft Bahan autograft terdiri dari tulang kortikel, konselus, atau kombinasi keduanya dan bisa didapatkan dari ekstra oral ataupun intra oral. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tulang konselus memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tulang konselus memiliki komposisi yang kurang padat. Walaupun demikian tulang ini lebih sulit diambil dan biasanya tersedia dalam jumlah yang terbatas. Oleh karena itu sebagian besar kasus kerusakan tulang diisi dengan kombinasi tulang kortikol dan konselus dengan prosentase tulang kortikol yang lebih besar.5,6 Tulang yang berasal dari intra oral dapat diambil dari koagulum tulang, tuberositas maksila, soket bekas pencabutan atau linggir tak bergigi.10 Penggunaan sumsum tulang dari daerah ekstra oral memiliki beberapa kerugian seperti prosedur pengambilannya yang memakan waktu lama, biaya mahal serta sering berefek traumatik terhadap pasien. Bahan dari luar mulut dapat diambil dari tulang Ilium.5,6 Allograft Bahan Allograft merupakan bahan yang diambil dari individu yang berbeda sehingga dapat menimbulkan respon jaringan yang merugikan dan respon penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus. Berbagai usaha yang dilakukan untuk menekan reaksi antigenik adalah dengan proses radiasi, pembekuan atau kimia.8 Xenograft Bahan Xenograft biasanya diambil dari lembu atau babi untuk digunakan pada manusia. Graft hidroksiapatit yang berasal dari lembu dibuat melaui proses kimia (Bio-oss) atau pemanasan tinggi (osteograft/N) untuk menghilangkan bahan organik. Proses ini menghasilkan suatu hidroksiapatit alami tulang manusia. Bentuk lain dari xenograft adalah emdogain, suatu kelompok protein matrik email yang diambil dari babi. Bahan ini nampaknya dapat mendorong pembentukan cementum yang kemudian diikuti oleh deposisi tulang.5,6 Teknik Bone Grafting Bone graft ditempatkan dengan pasak, papan berlapis besi atau skrup kemudian dijahit tertutup. Splin atau cast biasanya dipergunakan untuk mencegah kerusakan. Untuk perawatan kerusakan tulang dilakukan dengan teknik full thickness flap yaitu pembersihan jaringan granulasi, kemudian lakukan detoksifikasi permukaan akar untuk memudahkan masuknya pembuluh darah dan sel yang baru, lalu tempatkan bahan bone graft ke bagian tulang yang rusak, padatkan dengan tekanan ringan hingga sedikit lebih ke koronal dan pasang dressing, kemudian berikan instruksi pada pasien baik secara lisan maupun tertulis untuk memperkecil kemungkinan komplikasi.5,6 PENATALAKSANAAN BONE GRAFTING Tahapan bone grafting pada kerusakan tulang pasca pencabutan adalah sebagai berikut: 1) Setelah gigi dicabut, soket ditekan dengan tampon untuk mengontrol perdarahan sehingga daerah bekas pencabutan terlihat jelas. 2) Dilakukan asepsis dan debridemen (pengambilan jaringan granulomatous). Sebelum penempatan bahan bone graft ke dalam soket, semua jaringan granulomatous harus dibersihkan dengan alat kuret atau alat bedah lain yang mempunyai fungsi seperti kuret. Apabila jaringan nekrotik tidak diangkat, maka kemungkinan infeksi dapat terjadi dan pembentukan tulang baru tidak akan terjadi meskipun diisi dengan bahan bone graft. 3) Evaluasi dinding tulang yang masih ada setelah pencabutan dan ukuran kerusakannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sisa dinding tulang pada soket. Faktor yang menentukan banyaknya sisa dinding tulang antara lain adalah parahnya infeksi pada gigi, variasi anatomi dan teknik pencabutan. Apabila dinding tulang fasial rusak, barrier membran digunakan untuk mengisi bahan bone graft. Kegunaan barrier dapat menjaga perkembangan jaringan fibrus. Membran yang dipakai dapat resorbable atau non resorbable. Membran resobable mempunyai banyak keuntungan untuk grafting pada tempat pencabutan. Jika garis incisi terbuka selama penyembuhan, membran non resorbable akan terinfeksi dan mengurangi jumlah regenerasi tulang. 4) Menjamin suplai darah yang adekuat ke daerah sel osteoprogenitor dan sebagai faktor pertumbuhan tulang. Tanpa adanya suplai darah yang adekuat, proses grafting tidak akan berhasil. Jaringan lunak akan mensuplai darah ke daerah graft, sel osteoprogenitor hanya memperoleh suplai darah dari tulang yang berdekatan. Jika dinding tulang mengalami perdarahan setelah pencabutan, suplay vaskuler ke graft akan terjamin. 5)Memilih bahan graft yang akan ditempatkan pada tulang yang rusak. Walaupun sulit didapat tulang autogenus dapat memberikan hasil yang baik karena
  • 20. 4 terdapat elemen-elemen sel-sel yang hidup dan masih aktif sehingga memungkinkan pertumbuhan tulang. Bahan graft dari tulang sintetis atau bahan graft lainnya (PepGen P-15) merupakan bahan graft yang baik dan banyak digunakan sebagai bahan pengganti. 6)Penempatan bahan graft sintetis ke dalam soket bekas pencabutan, kemudian dilakukan penjahitan pada jaringan gusi yang bertujuan untuk penyembuhan di sekitar jaringan lunak. Setelah beberapa waktu diharapkan bahan graft akan mulai meresorbsi dan merangsang pertumbuhan tulang yang baru.12,13 Gambar 1. Penempatan bahan graft sintetis ke soket gigi PEMBAHASAN Komplikasi pencabutan gigi bervariasi dan dapat terjadi meskipun sudah dilakukan tindakan sebaik mungkin. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah kerusakan tulang alveolar. Untuk mengetahui adanya kerusakan tulang adalah dengan melihat ada tidaknya fragmen tulang alveolar yang menempel pada akar gigi tersebut. Hal ini dapat terjadi bila tulang alveolar terjepit secara tidak sengaja di antara ujung tang pencabut gigi atau adanya kelainan, misalnya ada infeksi pada tulang. Pencabutan gigi kaninus terkadang disertai komplikasi fraktur tulang labial khususnya bila tulang alveolar diperlemah dengan pencabutan gigi incicivus kedua atau dari gigi premolar pertama sebelum pencabutan gigi kaninus. Bila ketiga gigi ini hendak dicabut pada satu kali kunjungan, insiden fraktur tulang alveolar dapat bertambah.2 Gigi yang mengalami infeksi biasanya dikelilingi oleh tulang yang telah rusak atau hancur. Setelah gigi dicabut, akan terjadi resorbsi tulang sehingga selanjutnya menyebabkan terganggunya estetik, prostetik dan struktur tulang. Untuk mengkoreksi kerusakan tulang tersebut dapat dilakukan penambahan bahan dengan teknik Bone grafting yaitu prosedur pembedahan untuk menempatkan bahan tulang pengganti ke dalam tulang yang rusak sehingga dapat menggantikan/menyambung tulang yang hilang atau menempatkan bahan graft ke dalam soket gigi setelah pencabutan. Penggunaan Bone graft bertujuan untuk mengembalikan kehilangan atau kerusakan tulang yang disebabkan oleh penyakit periodontal, trauma atau sakit akibat pemakaian gigi tiruan lepasan. Bone graft juga digunakan untuk menambah tulang untuk penempatan implant, untuk meningkatkan estetik daerah-daerah pada gusi yang hilang di daerah senyum dan mempercepat proses penyembuhan . Ketika satu gigi dicabut, tulang di sekitar akan kolaps sehingga bone graft merupakan indikasi.11 Kerusakan tulang pasca pencabutan dapat menimbulkan dampak negatif dari segi estetik, prostetik dan struktur tulang. Kerusakan tersebut dapat dikoreksi dengan teknik bone grafting, yang berfungsi mengembalikan kerusakan tulang atau merangsang pembentukan tulang baru. DAFTAR PUSTAKA 1. Munadziroh, Rubianto M, Meizarini A. Penggunaan bone gaft pada perawatan kerusakan tulang periodontal. Indonesian Journal of Dentistry 2003; 10 (edisi khusus): 520-25. 2. Howe GL. Pencabutan gigi-geligi (The Extraction of teeth), Johan Arief Budiman (penterjemah). 2ed Jakarta: EGC. 1999. 3. Sudarto W. Cabut gigi tanpa penanganan lanjut. Kompas. 2006 4. Ashman A, Pinto JL. Placement of implant into ridges grafted with bioplant HTR syntetic bone: histological long-term case history report. Journal of oral implantology 2000; 26(4): 276-90 5. Yukna RA. Pelaksanaan cacat tulang: Graft pengganti tulang. In: Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus Periodonti 2000. 4ed Jakarta: EGC: 125-33. 6. Yukna RA, Evans GH, Aichelmann-Reidy MB. Clinical comparison of bioactive glass bone replacement graft material and expanded poly tetrafluoroethylene barrier membrane in treating human mandibular molar class II furcations. J Periodonto 2001; 72(2): 125-33 7. Pedersen GW. Buku ajar praktis : Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno (penterjemah). Jakarta: EGC. 1996.
  • 21. 5 8. Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology. 9ed Philadelphia: WB Saunders Co. 2002. 9. Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus periodonti 2005 (The Periodontic syllabus), Amaliya (penterjemah). 4ed Jakarta: EGC. 10. Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti, Anastasia S (penterjemah). Jakarta: Hipokrates. 1993. 11. Winter R, Nemeth JR. Dental health directory: bone and tissue grafting 1999-2007.Available from: URL:http://www.dental-health.com. Accessed May 12, 2006. 12. Tischler M, Misch CE. Extraction site bone grafting in general dentistry: review of application and principle. Available from : URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd Den Today; 23(5): 108- Accessed May 30, 2004. 13. Artistic Dental Associates. Bone resorbtion occurs after tooth extraction. Available from: URL:http://artisticteeth.com/Pt_edu/bone_grafting. Accessed sept 12, 2006.
  • 22. Efektifitas irigasi povidon iodin 1% pascaskeling dalam penurunan perdarahan gingiva Hervina, Dwis Syahriel, I.G.N. Bagus Tista Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Marginal periodontitis is a damage of periodontal tissue caused by bacteria or microorganisms in dental plaque. In marginal periodontitis, a chronic gingival inflammation may be found characterized by gingival bleeding on probing. To reduce gingival bleeding, therapy is focused to removing the plaque bacteria by scaling and irrigation procedures. The irrigation can be more advantageous when using antiseptic agents such as Povidone iodine. The present study designed a clinical trial with purpose to know the effectiveness of post scaling irrigation using 1% Povidone iodine in reducing gingival bleeding. This study was conducted by split mouth method, which each in the right and left quadrant is randomly taken as an experimental group and the control group. The sample consist of 30 interdental papillas which are devided into an experimental group consisting of 15 interdental papillas irrigated with 1% Povidone iodine and a control group consisting of 15 interdental papillas irrigated with sterile aquadest. The initial measurement of gingival bleeding were conducted in all sample available using Papillary Bleeding Index (PBI), followed by scaling and irrigation procedures. Re- measurement was conducted in the first week. The result showed a reduction of gingival bleeding, either in treatment group and control group. In the first week, the reduction averaged by 1,8667 for the treatment group, greater than the control group averaged by 1,5333. It showed that there is no significant difference found between the both groups in gingival bleeding reduction by using Mann Whitney test (p>0,05). It is conclude that post scaling irrigation of 1% Povidone iodine is noneffective to reduce gingival bleeding. Key words: Irrigation of 1% Povidone iodine, gingival bleeding Korespondensi: Hervina, Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278 PENDAHULUAN Penelitian tentang prevalensi penyakit periodontal telah sering dilakukan pada berbagai komunitas di seluruh dunia. Dalam laporan WHO tahun 1978, disebutkan bahwa penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit yang paling luas penyebarannya pada manusia. Prevalensi penyakit periodontal pada usia 15 tahun hampir mencapai 46%, pada kelompok usia 19 – 25 tahun berkisar 10 – 29% dan pada usia 45 tahun hampir 100% populasi pernah mengalami kerusakan periodontal.1 Etiologi primer penyakit periodontal adalah iritasi bakteri plak. Bakteri tersebut berkolonisasi, menyerang pertahanan inang dan merangsang inflamasi serta kerusakan jaringan. Adapun etiologi sekunder bisa berupa faktor lokal dan sistemik. Faktor lokal pada lingkungan gingiva dapat sebagai predisposisi akumulasi plak karena menghalangi pembersihan plak, misalkan tumpatan overhanging. Demikian pula penyakit sistemik berperan memodifikasi respon gingiva terhadap iritasi lokal.1 Periodontitis merupakan penyakit periodontal yang umum dijumpai dan terjadi akibat perluasan proses keradangan yang dimulai dari gingiva (Gingivitis) ke jaringan periodontal (Periodontitis). Gambaran klinis periodontitis marginalis berupa keradangan kronis gingiva, pembentukan poket, dan kerusakan tulang alveolar, serta kegoyangan gigi dan migrasi patologis pada kasus periodontitis fase lanjut.2 Perdarahan gingiva merupakan salah satu tanda adanya keradangan gingiva. Gingiva yang mudah berdarah hanya dengan sentuhan ringan probe merupakan tanda obyektif peradangan. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh faktor lokal, yaitu bakteri pada plak dan disebut sebagai perdarahan kronis.3 Periodontitis maupun gingivitis disebabkan oleh bakteri patogen pada plak. Perawatan terhadap penyakit tersebut ditujukan untuk mengeliminasi atau menekan pertumbuhan mikroorganisme plak. Demikian pula perawatan gingiva berdarah ditujukan untuk membersihkan bakteri plak. Salah satu cara pembuangan bakteri plak adalah melakukan skeling dan irigasi dengan air atau obat antiseptik. Hasil penelitian menyebutkan bahwa skeling dapat mengurangi jumlah mikroorganisme, mengurangi keradangan gingiva, kedalaman poket dan menambah perlekatan gingiva.4 Irigasi selain dapat membuang partikel makanan juga dapat membuang produk bakteri, karena dapat menjangkau sulkus maupun poket, terlebih bila digunakan antiseptik. Irigasi dengan antiseptik dikatakan dapat mereduksi gingiva berdarah hingga 42%.3 Povidon iodin merupakan bahan antiseptik lokal yang mampu menghambat/membunuh mikroorganisme, membatasi dan mencegah infeksi agar tidak parah.4 Salah satu sediaan povidon iodin 1% berbentuk obat kumur. Secara umum penggunaan obat kumur povidon iodin 1% secara rutin efektif
  • 23. 2 menghilangkan bau mulut tak sedap5 , mengobati infeksi rongga mulut, tenggorokan, serta mengobati keradangan gingiva dan jaringan periodontal.6 Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan uji klinis efek irigasi povidon iodin 1% sebagai terapi penunjang skeling pada periodontitis marginalis untuk mendapatkan bahan irigasi yang murah, mudah diperoleh, mudah digunakan, efektif, serta berguna untuk mencegah perdarahan gingiva pascaskeling. PERIODONTITIS MARGINALIS Periodontitis merupakan keradangan jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme tertentu atau kelompok mikroorganisme tertentu yang mengakibatkan kerusakan ligamen periodontal, tulang alveolar serta pembentukan poket dan resesi gingiva.7 Periodontitis terjadi sebagai akibat perluasan proses peradangan yang dimulai dari gingiva (gingivitis) meluas ke jaringan periodontal (periodontitis). Periodontitis marginalis lebih tepat lagi dikatakan sebagai periodontitis kronis destruktif.2 Etiologi periodontitis marginalis dibedakan menjadi faktor lokal dan sistemik.2 Etiologi lokal adalah penyebab yang ditemukan di sekitar gigi dan jaringan periodonsium, baik pada gigi yang bersangkutan maupun gigi antagonisnya, serta dikelompokkan dalam faktor iritasi lokal. Walaupun etiologi penyakit periodontitis marginalis adalah multifaktorial, akan tetapi plak dianggap sebagai iritan penyebab utama. Faktor predisposisi seperti kalkulus, malposisi, impaksi makanan, kelainan bentuk anatomi dan restorasi yang tidak baik juga berperan penting dalam proses peradangan karena mempermudah plak berakumulasi. Efek tekanan oklusal pada jaringan periodonsium dipengaruhi oleh besar, arah, lama, dan frekuensi tekanan. Apabila tekanan oklusal yang diterima gigi bertambah besar, maka jaringan periodonsium akan merespon dengan penebalan ligamen periodontal, pertambahan jumlah serat-serat ligamen periodontal serta peningkatan kepadatan tulang. Apabila tekanan oklusal yang diterima melebihi kapasitas jaringan untuk menahannya maka jaringan tersebut akan mengalami kerusakan.8 Faktor sistemik dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan termasuk jaringan periodonsium. Contohnya pada penderita Diabetes mellitus.8 Anak-anak dengan penyakit Diabetes mellitus umumnya menderita gingivitis lebih parah dibandingkan dengan anak-anak sehat dengan skor plak yang sama.1 Pada orang dewasa dengan Diabetes mellitus yang berlangsung lama akan mengalami kerusakan periodontal yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak menderita Diabetes mellitus.8 Kolonisasi bakteri pada servik gingiva dan permukaan gigi merupakan penyebab utama penyakit tersebut. Invasi bakteri pada jaringan periodonsium berinfiltrasi secara pasif yaitu jika terdapat trauma pada gingiva seperti trauma sikat gigi, mengunyah benda keras.9 Bakteri menyebabkan destruksi jaringan secara tidak langsung dengan mengaktifkan berbagai sistem pertahanan inang. Bakteri dalam servik gingiva dan pada permukaan gigi melakukan mekanisme menghindari dan memanipulasi pertahanan inang. Ekosistem bakteri menjadi kompleks, sedangkan inang mengeluarkan berbagai molekul seperti antibodi, sitokin, dan mediator- mediator lain untuk mengatasi bakteri. Keadaan kronis ini akan melemah dengan adanya pengaruh seperti merokok, genetika dan lain-lain. Diperkirakan keberadaan bakteri patogen tertentu dan respon inang tersebut menyebabkan perubahan status gingivitis kronis menjadi periodontitis destruktif. Bakteri penyebab periodontitis antara lain Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus, Fusobacterium nukleatum, Prevotella intermedia, Actinobacillus actinomycetemcomitans, Peptostreptococcus micros, Campylobacter rectus, Eikonella corrodens, dan T denticola.10,11,12 Periodontitis marginalis umumnya ditandai dengan keradangan kronis gingiva, pembentukan poket, dan kehilangan tulang. Pada kasus-kasus lanjut dapat juga dijumpai kegoyangan gigi dan migrasi patologis. Keradangan dan derajad kerusakan yang terjadi sangat bervariasi, baik antar individu maupun pada daerah yang berbeda pada individu yang sama.2 PERDARAHAN GINGIVA Perdarahan gingiva merupakan indikator diagnostik obyektif adanya keradangan pada jaringan periodonsium. Perdarahan gingiva saat probing atau dengan stimulasi alat lainnya dapat dilihat dari perubahan warna gingiva atau tanda-tanda klinis peradangan lainnya.13 Perdarahan gingiva saat probing merupakan parameter yang dengan cepat dan mudah dapat dinilai secara obyektif karena hanya didasarkan pada ada atau tidaknya perdarahan.3,14 Di samping sebagai indikator adanya penyakit periodontal, perdarahan gingiva digunakan untuk mengevaluasi penyembuhan pascaperawatan dan menentukan perlu atau tidaknya perawatan lanjutan. Perubahan keadaan dari adanya perdarahan praperawatan menjadi keadaan tanpa perdarahan pada papila interdental pascaskeling menunjukkan adanya perbaikan/penyembuhan keradangan.14 Stimulasi perdarahan gingiva sebaiknya dilakukan dengan menggunakan prob periodontal yang halus dan berujung tumpul, misalnya prob WHO, yaitu dengan menyelipkan ujung prob pada sulkus gingiva (kira-kira sedalam 1 – 2 mm) membentuk sudut 600 terhadap sumbu panjang gigi dan dengan tekanan ringan (< 0,25 Newton) agar tidak mencederai jaringan gingiva yang sehat. Prob WHO menghasilkan tekanan sekitar 25 gram. Besarnya tekanan yang demikian adalah setara dengan besarnya tekanan untuk menyelipkan probe WHO di bawah kuku tanpa
  • 24. 3 menimbulkan rasa nyeri.14 Perdarahan gingiva bervariasi tergantung beratnya perdarahan, durasi serta mudahnya perdarahan, dan penyebab lokal atau sistemik.15 Perdarahan kronis dan rekuren umumnya disebabkan faktor lokal bakteri plak. Pada peradangan gingiva, kapiler-kapiler mengalami dilatasi dan membengkak, epitel sulkus menipis bahkan terjadi ulserasi. Karena kapiler berada di dekat permukaan yang tipis dan mengalami degenerasi tanpa adanya proteksi, maka stimulus yang ringan sudah dapat menyebabkan kapiler robek sehingga terjadi perdarahan.15 Perdarahan akut gingiva dapat terjadi karena jejas (luka) atau terjadi secara spontan pada penyakit gingiva akut, contohnya ANUG. Perdarahan akut juga dapat terjadi tanpa adanya penyakit gingiva, misalnya gingiva robek karena sikat gigi yang keras, atau saat mengunyah makanan keras. Gingiva yang terbakar oleh makanan panas atau bahan kimiawi meningkatkan kemudahan gingiva berdarah.15 Perdarahan gingiva juga terjadi akibat faktor sistemik. Beberapa kelainan sistemik dapat menyebabkan perdarahan spontan gingiva serta sulit dikontrol, seperti pubertas, siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi. Contoh kelainan sistemik lainnya adalah kegagalan mekanisme hemostatik, gangguan vaskular (akibat defisiensi vitamin C, alergi (schonlein henoch purpura), gangguan platelet (trombositopenik purpura), hipoprotrombinemia (defisiensi vitamin K), gangguan koagulasi (hemofilia, leukemia, penyakit chrismast), defisiensi faktor platelet tromboplastik akibat uremia, mieloma multipel, dan postrubela purpura, serta diabetes mellitus, memperberat perdarahan karena perubahan respon inflamatori gingiva terhadap plak.15 Perawatan perdarahan gingiva adalah dengan pembuangan plak bakteri, serta mencegah pembentukannya atau kontrol plak. Cara terbaik untuk mengontrol plak adalah dengan prosedur mekanik seperti menyikat gigi dengan pasta gigi, flossing, berkumur dengan obat, irigasi gingiva, serta tindakan profilaksis profesional. Tindakan profilaksis untuk plak dan kalkulus seperti skeling dan root planing supra/sub gingiva dianjurkan 2-4 kali setahun.3 Perdarahan gingiva mempunyai kemungkinan penyembuhan yang cepat, karena keradangan gingiva yang menyebabkan terjadinya perdarahan bersifat reversibel dan dapat sembuh dengan dengan pembuangan plak sehari-hari secara efektif. Dalam 1 minggu keradangan gingiva serta perdarahan gingiva akan menyembuh. Kesembuhannya sangat tergantung pada motivasi penderitanya untuk melakukan hygiene mulut secara ketat karena penyebab utamanya adalah bakteri pada plak.3 SKELING Skeling merupakan suatu proses pengangkatan plak dan kalkulus pada permukaan gigi baik supragingival maupun subgingival. Tujuan utama skeling adalah untuk memulihkan kesehatan gingiva dengan menghilangkan semua elemen seperti plak dan kalkulus yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan gingiva.16 Skeling dapat membersihkan semua deposit pada gigi, kalkulus supragingiva dan sub gingiva, plak, serta noda. Skeling harus dilakukan secara menyeluruh, apabila deposit gigi tidak dibersihkan seluruhnya maka keradangan akan menetap.1 Setelah dilakukan skeling akan terlihat penurunan organisme spirochetes, motile rods, dan putative pathogen seperti Actinobacillus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis, dan Prevotella intermedia.16 IRIGASI POVIDON IODIN 1% Irigasi yang dilakukan pascaskeling selain berhasil membuang partikel makanan, juga dapat membuang produk bakteri. Irigasi ini bermanfaat karena dapat dilakukan ke dalam sulkus maupun poket. Akibatnya ditemukan jumlah spesies Actinomyces maupun Bacteroides dapat berkurang.3 Irigasi gingiva merupakan salah satu cara pembuangan plak bakteri. Air yang digunakan untuk irigasi selain berhasil membuang partikel makanan, juga dapat membuang produk bakteri. Irigasi ini bermanfaat karena dapat dilakukan ke dalam sulkus maupun poket. Dalam pengobatan penyakit periodontal, irigasi gingiva berperan untuk menghilangkan mikroorganisme yang terdapat pada jaringan periodontal. Irigasi gingiva dengan menggunakan bahan-bahan antiseptik menunjukkan penyembuhan keradangan gingiva yang lebih berarti dibandingkan dengan menggunakan air.17 Povidon iodin adalah disinfektan, antiseptik dan bahan antiseptik golongan halogen yang merupakan persenyawaan dari polivinil pirolidon dan yodium. Persenyawaan ini merupakan zat antibakteri lokal yang efektif, membunuh tidak hanya bentuk vegetatif tetapi juga bentuk spora.18 Povidon iodin merupakan bahan antiseptik yang digunakan secara setempat untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme, sehingga dapat membatasi dan mencegah bertambah parahnya infeksi yang terjadi. Povidon iodin efektif melawan bakteri periodontal patogen seperti A. actinomycetemcomitans, P. gingivalis, P. intermedia, F. nukleatum, E. corrodens dan S. intermedius.4 Povidon iodin tersedia dalam beberapa bentuk, yaitu obat kumur, larutan, salep, aerosol, surgical scrub, shampoo, dan pembersih kulit. Povidon iodin 1% terkandung pada sediaan obat kumur. Penggunaan obat kumur yang mengandung povidon iodin 1% secara rutin efektif menghilangkan bau mulut tak sedap.5 Obat kumur dengan povidon iodin 1% digunakan untuk mengobati infeksi rongga mulut dan tenggorokan serta mengobati keradangan pada jaringan periodontal seperti gingivitis.6
  • 25. 4 BAHAN DAN METODE Uji klinis dilakukan di RSGM FKG Unmas Denpasar untuk menguji efek irigasi povidon iodin 1% pascaskeling terhadap perdarahan gingiva pada periodontitis marginalis. Sampel sejumlah 30 buah papila interdental yang dibagi menjadi 2, yaitu 15 sebagai perlakuan dan 15 sebagai kontrol. Subyek adalah pria atau wanita berumur 20 – 50 tahun dengan diagnosis periodontitis marginalis, terdapat keradangan gingiva disertai perdarahan saat probing, tidak menderita penyakit sistemik, tidak sedang menggunakan obat antibiotika atau obat antiseptik lokal (obat kumur), bila wanita tidak sedang menggunakan obat kontrasepsi oral, tidak hamil serta tidak menyusui. Penelitian dilakukan secara split mouth, masing-masing pada gigi-gigi kwadran kiri atau kanan dipilih secara acak sebagai sisi perlakuan dan sisi kontrol. Sebelum dilakukan skeling, semua sample diukur perdarahan gingiva dengan Papillary Bleeding Index (PBI) (Muhlemann, 1977). Kemudian dilakukan skeling pada semua regio dan setelahnya dilakukan irigasi 2 ml povidon iodin 1% setiap gigi pada sisi percobaan dan 2ml akuades steril setiap gigi pada sisi kontrol. Pasien diinstruksikan untuk tidak kumur-kumur sampai 2 jam. Pengukuran indeks perdarahan (PBI) dilakukan kembali pada minggu pertama. HASIL PENELITIAN Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov (KS) didapatkan data yang tidak terdistribusi normal (p<0,05), maka dilakukan Uji Mann-Whitney. Dari tabel 2 didapatkan nilai p>0,05, maka antara kelompok perlakuan irigasi povidon iodin 1% dengan kelompok kontrol pada minggu pertama, dalam penurunan perdarahan gingiva tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa irigasi povidon iodin 1% pascaskeling tidak efektif terhadap penurunan perdarahan gingiva. Tabel 1. Rerata dan simpang baku penurunan perdarahan gingiva pada kelompok perlakuan dan kontrol pada minggu pertama Tabel 2. Hasil Uji Mann-Whitney selisih data antar perlakuan dengan kontrol (0—1 minggu) N Rerata Rangking Z p Perlakuan 15 16,27 Kontrol 15 14,73 Jumlah 30 - -0,521 0,653 DISKUSI Banyak laporan mengenai penggunaan bahan antiseptik untuk mengontrol penyakit periodontal. Bahan antiseptik dapat mengurangi atau mengeliminasi bakteri yang tidak dapat dihilangkan dengan tindakan skeling saja. Pemberian obat antiseptik dapat dilakukan secara lokal maupun sistemik. Pemberian obat antiseptik lokal secara langsung pada daerah setempat dapat mengurangi resistensi bakteri serta dapat meminimalkan efek samping obat.4 Pemberian obat antiseptik lokal diantaranya adalah pemberian povidon iodin dengan hasil yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan (irigasi povidon iodin 1%) dan kontrol (irigasi akuades steril) menunjukkan penurunan perdarahan, dengan hasil penurunan perdarahan tidak berbeda bermakna (p=0,653). Hal tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Ervina dkk (2003) yang menyebutkan bahwa aplikasi povidon iodin 10% menunjukkan penurunan perdarahan yang bermakna dibandingkan akuabides.4 Kedua kelompok pada penelitian ini terjadi penurunan perdarahan gingiva. Hal tersebut karena kedua kelompok dilakukan skeling. Skeling merupakan terapi standar penyakit periodontal, bilamana dilakukan dengan baik dan akan menghasilkan penyembuhan. Skeling dapat membersihkan semua deposit gigi, kalkulus supragingiva dan subgingiva, plak serta noda.1 Secara klinis skeling memberikan makna penting dalam hal menurunkan keradangan gingiva karena elemen-elemen penyebab keradangan dihilangkan dari permukaan gigi.16 Penurunan perdarahan gingiva pada kedua kelompok selain disebabkan karena skeling, juga disebabkan oleh irigasi yang dilakukan pascaskeling. Irigasi gingiva selain berhasil membuang partikel makanan juga dapat membuang produk bakteri.3 N Rerata SD Perlakuan 15 1,8667 0,99043 Kontrol 15 1,5333 0,83381 Jumlah 30 - -
  • 26. 5 Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa, tidak ada perbedaan bermakna penurunan perdarahan gingiva. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Ervina dkk (2003)4 , yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi yang digunakan. Pada penelitian ini, konsentrasi povidon iodin yang digunakan adalah 1%, yaitu yang terdapat dalam obat kumur. Penggunaan obat kumur yang mengandung povidon iodin 1% secara rutin mampu mengobati infeksi rongga mulut dan tenggorokan, serta mengobati keradangan pada jaringan periodontal seperti gingivitis.5 Menurut Mustaqimah, irigasi gingiva lebih bermanfaat dari pada berkumur karena dapat dilakukan ke dalam sulkus maupun poket.3 Tidak efektifnya irigasi povidon iodin 1% pascaskeling terhadap penurunan perdarahan gingiva pada penelitian ini kemungkinan disebabkan aplikasi povidon iodin 1% hanya dilakukan satu kali. Berbeda dengan hasil penelitian Ervina dkk, dimana aplikasi povidon iodin 10% dilakukan pascaskeling kemudian dilakukan lagi pada hari ketujuh, dan pengukuran indeks perdarahan dilakukan pada hari keempat belas.4 Penelitian lainnya menyebutkan bahwa berkumur dengan obat kumur povidon iodin 5% dua kali sehari selama dua minggu menunjukkan penurunan keradangan gingiva yang bermakna.19 Hal tersebut menunjukkan bahwa pemakaian povidon iodin berulang lebih efektif mengurangi keradangan dan perdarahan gingiva. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa irigasi povidon iodin 1% pascaskeling tidak efektif terhadap penurunan perdarahan gingiva. Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas irigasi povidon iodin 1% dengan irigasi berulang atau dengan konsentrasi yang lebih besar daripada 1%. DAFTAR PUSTAKA 1. Manson JD. dan Eley BM. Buku ajar periodontia, Anastasia S (penterjemah), Jakarta : Hipokrates, 1993. 2. Carranza FA. Classification of periodontal diseases. In: Carranza. Glickman’s clinical periodontology, 7ed . Philadelphia: W.B Saunders Co, 1990, 3. Mustaqimah DN. Gingiva yang mudah berdarah dan pengelolaannya. Indonesian Dental Journal 2003; 10 (1): 50-6. 4. Ervina I, Prayitno SW dan Supit EL. Efektifitas skeling-penghalusan akar dengan dan tanpa aplikasi subgingival Povidone-Iodine 10% pada poket 5-7 mm. Indonesian Dental Journal 2003; 10 (edisi khusus): 558-63. 5. Frederick P. Betadine topical preparations [Homepage of: The comprehensive Resource For Physicians, Drug, and Illness Information], [Online]. Available from: http://www.rxmed.com/b.main/b2.pharmaceutical /b2.1.monographs/CPS-%20Monographs/CPS-%20%28General%20Monographs-%20B29/BETADINE TOPICAL.html. Accesed September 18, 2004. 6. Anonim. Betadine gargle and mouthwash, [Online]. 2004, Agustus 7-last update, Available from: http://www. netdoctor.co.uk/medicine/100002965. html. Accesed September 18, 2004. 7. Novak MJ. Classification of Disease and conditions affecting the periodontium, In: Newman, Takei, Carranza. Carranza’s clinical periodontology, 9ed . Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002. 8. Syahriel D dan Santoso B. Imobilisasi gigi goyang akibat periodontitis marginalis. J Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2003; 1(2): 42-6. 9. Newman MG, Sanz M, Nisengard R. Host bacteria interaction in periodontal diseases. In: Carranza, Glickman’s Clinical Periodontology. 7ed , Philadelphia: W.B Saunders Co. 1990. 10. Haake SK, Nisengard RJ, Newman MG, Miyasaki KT. Microbial interactions with the host in periodontal disease, In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s Clinical Periodontology, 9ed . Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002. 11. Nurul D. Infeksi dalam bidang periodonsia. Indonesian Dental Journal 2002; 9 (1): 14-6. 12. Chapple ILC dan Gilbert AD. Understanding periodontal diseases assessment and diagnostic prosedures in practice. London: Quintessence Publishing Co. Ltd. 2002. 13. Sanz M dan Newman MG. Advance diagnostic tehniques. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology, 9ed . Philadelphia: W.B Saunders Co. 2002. 14. Deliemunthe SH. Perdarahan gingiva untuk mendeteksi penyakit periodontal secara dini dan memotivasi pasien. Dentika Dental Journal 2001; 6 (2) 278-83. 15. Carranza FA dan Rapley JW. Clinical feature of gingivitis. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology, 9ed . Philadelphia: W.B Saunders Co. 2002. 16. Pattison GL dan Pattison AM. Scaling and root planing. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology, 9ed . Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002. 17. Flemmig FT. Supragingival and Subgingival Irrigation. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s Clinical periodontology, 9ed . Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002. 18. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology, Agoes-Azwar (penterjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 1995. 19. Greenstein G. Povidone-iodine’s effects and role in management of periodontal disease: A review’, J of Periodontol, 1999; 70 (11): 1397-1405.