1. DIGITAL NE WS PA PER
KPK
TIDAK BISA
BERJUANG SENDIRI
hal
Spirit Baru Jawa Timur
surabaya.tribunnews.com
surya.co.id
2
| KAMIS, 5 DESEMBER 2013 | Terbit 2 halaman
edisi pagi
Perbedaan Data DPT antara Depdagri dan KPU
YANG MUDAH JADI SULIT
SURYA Online - Persoalan
Daftar Pemilih Tetap (DPT)
menjadi hal yang sangat
sensitif dalam Pemilihan Umum
(Pemilu), karenanya, tidak heran
partai-partai pada beteriak
ketika mendengar dan membaca
berita ada perbedaan jumlah
DPT peserta Pemilu 2014.
Bagi partai, hal tersebut
menjadi sebuah indikasi
kemungkinan adanya kecurangan, karena persoalan
kuantitas ini sangat menentukan kemenangan. Sementara
bagi penyelenggara Pemilu,
Komisi Pemilihan Umum (KPU),
bukan hal yang mudah untuk
mendata penduduk Indonesia
yang berjumlah sekitar 250
juta jiwa itu. Jangankan KPU,
Departemen Dalam Negeri
(Depdagri), institusi yang
paling berkompeten masalah
jumlah penduduk saja masih
sulit menentukan data akurat
berapa jumlah yang benar
penduduk Indonesia.
Bagaimanapun upaya
untuk mencari kebenaran itu
telah dilakukan oleh Depdagri
dengan melaksanakan e-KTP
meski disana sini masih banyak
kekurangan dan ketidaksempurnaan.
Untuk memperoleh daftar
pemilih tunggal dan benarbenar nyata, digunakanlah
data Daftar Penduduk Potensial
Pemilih Pemilu (DP4) yang
telah disusun oleh Direktorat
Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Dukcapil)
Kementerian Dalam Negeri.
Selama kurang lebih tiga
bulan, KPU menugaskan Panitia
Pendaftaran Pemilih (Pantarlih)
untuk melakukan pencocokan dan penelitian (coklit)
terhadap 190 juta penduduk
potensial seperti di DP4.
Selama pemutakhiran, KPU
juga wajib memperhatikan
data pemilih pada Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) di
sejumlah kabupaten-kota dan
provinsi. “Itu menjadi tugas
KPU untuk memutakhirkan
190 juta DP4 yang sudah kami
berikan sesuai amanat UndangUndang, apakah penduduk
berusia pemilih itu masih
ada, sudah meninggal dunia,
atau berganti status menjadi
anggota TNI dan Polri. Itu
yang harus dibereskan,” kata
Mendagri Gamawan Fauzi.
Hasil pemutakhiran
tersebut diperoleh jumlah
daftar pemilih sementara (DPS)
sebesar 189 juta pemilih yang
kemudian, karena terbentur
persoalan jadwal dan tahapan
penetapan, diperbaiki menjadi
181 juta pemilih dalam DPS
hasil perbaikan (DPSHP).
Awalnya, dari data DPS
tersebut diharapkan dapat
disisir kegandaan data pemilih
dengan menggunakan Sistem
Informasi Daftar Pemilih (Sidalih) yang diadopsi oleh KPU.
Namun kemajuan teknologi
informasi dan upaya inovasi
yang dilakukan oleh KPU Pusat
tidak diimbangi kemampuan
sumber daya manusia (SDM) di
daerah.
Masih ada petugas KPU di
daerah yang belum dapat
mengoperasikan Sidalih
sehingga data pemilih yang
sudah dimutakhirkan masih
dalam wujud data mentah,
sehingga sulit untuk disaring
kegandaan data pemilih secara
keseluruhan.
Kesulitan pengunggahan data
dari kabupaten itu paling banyak terjadi di Provinsi Papua
dan Papua Barat, dan bahkan
hingga penetapan DPT data
pemilih di sejumlah wilayah itu
belum diunggah.
“Mekanisme untuk Papua
memang harus ada treatment
khusus dalam hal pemutakhiran
join facebook.com/suryaonline
pemilih, karena kendala
petugas KPU di kabupaten-kota
di sana cukup parah,” kata
Komisioner KPU Pusat Ferry
Kurnia Rizkiyansyah.
KPU Versus Kemendagri
Ketidaktaatan tahapan dan
jadwal penetapan DPS menjadi
DPSHP sebelumnya berimbas
pada pemunduran jadwal
penetapan DPT yang seharusnya 23 Oktober 2013 menjadi 4
November 2013.
KPU mencatat terdapat
186.612.255 pemilih di DPT
dengan rincian 93.439.610
laki-laki dan 93.172.645
perempuan, yang berada di 33
provinsi, 497 kabupaten-kota,
6.980 kecamatan, 81.034 desakelurahan, dan 545.778 tempat
pemungutan suara (TPS).
Meskipun sudah diberi perpanjangan waktu penetapan
DPT, ternyata masih ditemukan
permasalahan terhadap 10,4
juta pemilih yang oleh KPU
diketahui tidak terdaftar di
DP4 karena tidak ditemukan
NIK valid.
Kemendagri bersikukuh
seluruh penduduk potensial
pemilih di DP4 telah memiliki
NIK karena nomor kependudukan tersebut diberikan kepada
setiap penduduk Indonesia
yang lahir.
“Kemendagri sudah memberikan NIK kepada 252 juta
penduduk, lebih dari jumlah
DP4 karena NIK itu diberikan
kepada setiap penduduk yang
lahir hingga meninggal,” kata
Gamawan Fauzi.
Oleh karena itu ketika
ditemukan 10,4 juta pemilih
invalid, Dirjen Dukcapil Irman
mempertanyakan dasar data
yang digunakan KPU dalam
melakukan pemutakhiran.
Irman meyakini data DP4 sudah
memiliki NIK secara keseluruhan dan tidak mempercayai
data daftar pemilih yang
merupakan hasil pemutakhiran
KPU di lapangan.
Baik KPU maupun Kemendagri meyakini bahwa data yang
dimiliki masing-masing adalah
valid dan sah.
Di satu sisi, KPU menilai
masyarakat tanpa NIK tersebut
berhak masuk dalam DPT
karena sudah berusia 17 tahun
atau sudah menikah. Di sisi
lain, Kemendagri berketetapan
bahwa pemilih yang valid
adalah yang memiliki sekurangkurangnya lima elemen data
kependudukan.
Sebelumnya, dari penyandingan data DP4 dan DPSHP
ditemukan 20,3 juta di
antaranya belum valid terkait
data kependudukan, termasuk
nama, tanggal lahir, alamat,
jenis kelamin dan NIK. Setelah
diperiksa secara terpisah
antara KPU dan Kemendagri,
ditemukan padanan datanya
sebanyak 7 juta dan 2,8 juta
telah terdaftar di DP4.
Hasilnya, masih ada 10,4
juta penduduk masih diduga
belum ditemukan NIK-nya
dalam DP4. Terhadap pemilih
invalid tersebut, KPU dan
Ditjen Dukcapil memiliki waktu
30 hari lagi untuk kembali
melakukan verifikasi faktual
data pemilih guna memastikan
keberadaan pemilih.
Sehari menjelang tenggat
waktu perbaikan DPT terhadap
pemilih invalid tersebut, KPU
dan Kemendagri masih mengantongi sebanyak 3,3 juta pemilih
yang belum ditemukan NIK-nya
dalam data kependudukan.
Kemendagri pun luluh,
atau memang mengakui ada
penduduk belum tercatat data
kependudukan, dan menyatakan akan memberikan NIK
terhadap pemilih tersebut.
Namun, seolah lepas dari
tanggung jawab, Irman mengatakan pihaknya tidak akan
bertanggungjawab terhadap
kesahihan elemen data kependudukan selain NIK. Pihaknya
hanya akan memberikan NIK
jika KPU sudah meyakini
betul bahwa penduduk berusia
pemilih tersebut benar-benar
ada di lapangan.
“Kalau sudah ada keyakinan
dari KPU bahwa orang itu benar-benar ada dengan elemen
data selain NIK, dan itu sudah
diyakini KPU fakta-faktanya,
maka kami akan terbitkan NIKnya,” kata Irman.
Pemberian NIK tersebut,
tambah dia, tidak dapat
dilakukan tanpa verifikasi ke
lapangan bahwa penduduk
tersebut benar-benar ada.
Mekanisme penerbitan NIK
tersebut dilakukan oleh dinas
Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (Disdukcapil) yang ada
di kabupaten-kota, dengan
sebelumnya melakukan konsolidasi dengan Ditjen Dukcapil di
Kemendagri.
Untuk memastikan bahwa
3,3 juta penduduk tersebut
bisa diberikan NIK, Kemendagri
meminta KPU di tingkat
kabupaten-kota menyertakan
berita acara untuk kemudian
oleh Ditjen Dukcapil dikonsolidasikan ke Disdukcapil
kabupaten-kota.
Dengan demikian, maka
penerbitan NIK baru menjadi
kewenangan Kemendagri
namun mengenai elemen data
kependudukan menjadi tanggung jawab KPU sesuai dengan
berita acara yang dikeluarkan
di daerah.
Persoalan ini sebenarnya
tidak sulit, jika saja semua
elemen yang terkait mempunyai niatan baik yang sama,
yakni untuk kejayaan Indonesia. Karena konteksnya mudah,
dengan e-KTP data penduduk
langsung dapat diketahui,
sehingga tinggal pembaharuan data saja,s eperti yang
meninggal, yang menjadi
TNI/Polri, karena hanya dua
item itulah yang merubah data
E-KTp untuk DPT. (joe/ant)
follow @portalsurya
2. 2
KAMIS, 5 DESEMBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com
Pemberantasan Korupsi KPK
TIDAK BISA BERJUANG SENDIRI
SURYA Online - Korupsi di Indonesia semakin parah setelah
reformasi, bahkan lebih parah
dari era Orde Baru (Orba).
Bahkan, di era reformasi ini,
beragam kasus besar tindak pidana korupsi justru menyeruak
dan menjadi konsumsi publik
lewat pemberitaan media.
Kalau di awal reformasi, ada
kasus penyalahgunaan dana
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan
negara lebih dari seratus triliun
rupiah, setelah 15 tahun gerakan politik yang mengantarkan
Indonesia ke era demokrasi itu
berjalan, kasus-kasus korupsi
tak kunjung surut.
Di antara kasus-kasus yang
menarik perhatian publik itu
adalah mega skandal
bailout atau dana
talangan Bank
Century, dugaan
korupsi terkait
pengadaan
simulator surat
izin mengemudi
dengan tersangka
Irjen Pol Djoko
Susilo, dugaan korupsi
terkait pengurusan
sengketa Pilkada
di Mahkamah
Konstitusi
dan Tindak
Pidana
Pencucian
Uang dengan
tersangka
mantan
Ketua
MK
Akil
Mochtar
serta
dugaan korupsi
terkait kegiatan di Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi dengan tersangka
mantan Kepala SKK Migas Rudi
Rubiandini.
Para pelaku tindak kejahatan
ini pun beragam. Menurut data
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), mereka tidak hanya
datang dari lingkungan lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif tetapi juga kalangan
pengusaha/swasta.
Dalam sembilan tahun terakhir (2004-31 Oktober 2013),
KPK mencatat setidaknya
ada 391 orang pelaku korupsi
termasuk 114 pejabat Eselon
I, II dan III, 73 anggota DPR
dan DPRD, 90 orang dari unsur
pengusaha/swasta, 35 wali
kota/bupati dan wakil bupati,
sembilan gubernur, sembilan
hakim dan empat duta besar.
Sadar akan tidak mudah dan
lamanya waktu yang diperlukan
untuk menumpas tindak pidana
yang disebut Direktur Eksekutif
Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC)
Yury Fedotov sebagai
pencurian terhadap pembangunan ekonomi dan
sosial serta perampasan
atas kesempatan rakyat
untuk maju dan
sejahtera ini, KPK
lantas
membuat
peta jalan pemberantasan korupsi di Indonesia
(2011-2023).
Peta jalan penumpasan
korupsi itu dibagi ke dalam tiga
fase. Pada fase I (2011-2015),
komisi ini memberi perhatian
utama pada penanganan kasus
korupsi besar dan penguatan
aparat penegak hukum, perbaikan sektor strategis terkait
kepentingan nasional, pembangunan pondasi Sistem Integritas Nasional (SIN), penguatan
sistem politik berintegritas dan
masyarakat paham integritas,
serta persiapan pengawasan
join facebook.com/suryaonline
kecurangan
(fraud
control).
Seterusnya pada fase
kedua (2015-2019), KPK tetap
melanjutkan upaya penanganan kasus-kasus korupsi besar
dan penguatan aparat penegak
hukum, perbaikan sektor strategis, dan pelaksanaan “fraud
control” sedangkan pada fase
III (2019-2023) , komisi ini akan
mengoptimalkan penanganan
sektor strategis dan SIN, serta
penanganan kasus kecurangan
penyelenggara negara.
Banyak orang menggan-
tungkan harapan besar
pada KPK dalam menuntaskan
kasus-kasus besar seperti mega
skandal dana talangan atau
bailout Bank Century senilai
Rp6,7 triliun.
Di mata Anggota DPR-RI
Bambang Soesatyo, “KPK
benar-benar bisa diandalkan.
Kegagalan KPK dalam mengungkap kasus Bank Century
akan berdampak besar dan
menempatkan negeri kita
sebagai negeri kelas rendahan
yang tak mampu mengatasi
persoalan.”
Namun harapan pada KPK
seperti yang ditulis Bambang
dalam bukunya “Skandal Bank
Century Di Tikungan Terakhir
Pemerintahan SBY-Boediono”
(2013) itu agaknya perlu diikuti
dengan kesadaran kolektif dan
dukungan konkret masyarakat
pada visi dan misi komisi ini.
Dukungan tersebut diperlukan karena, seperti pernah
disinyalir Bung Hatta lebih dari
50 tahun silam, perilaku korup
sudah membudaya dalam
masyarakat Indonesia sehingga
tidak mudah diperangi.
Para tokoh antikorupsi seperti
Ketua Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch (1998-2008)
Teten Masduki dan mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif pun
mengakui hal itu.
Menurut Teten seperti
dikutip Buya Syafii Maarif
dalam artikelnya berjudul “Sulitnya Memerangi
Korupsi di Indonesia”
(Maria Hartiningsih,
2011:242), realitas itu terbangun akibat keengganan
kalangan elit politik
dan ekonomi untuk
memberantas
korupsi
secara
radikal,
ketiadaan partai
oposisi
yang dapat
menjadi mitra
gerakan sosial
antikorupsi, dan
kesulitan mendorong akuntabilitas
masyarakat
melalui “lembagalembaga kuasi
‘state’”.
Di samping
itu, Wakil
Ketua KPK
Bambang
Widjojanto
juga
melihat
potensi ancaman terhadap
gerakan antikorupsi justru
datang dari tradisi permisif
masyarakat seperti pemberian
“uang Ingot-ingot”, “hepeng
parkopi”, “hepeng pataruon”
dan “hepeng per sigaret” di
Medan atau “duwit meneng”,
dan “duwit giring” di Surabaya,
serta jalan pintas dengan
memberikan “uang damai”
untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran lalu lintas (Maria
Hartiningsih, 2011: 349).
Di tengah tantangan kultural
semacam itu, pembongkaran
kasus-kasus korupsi oleh KPK
menumbuhkan optimisme bagi
masa depan bangsa namun
partisipasi masyarakat dengan
senantiasa menjalankan
prinsip kejujuran dan menjaga
integritas pribadi dan keluarganya juga menjadi kunci bagi
keberhasilan Indonesia keluar
dari kubangan korupsi. (ant)
follow @portalsurya