Dokumen tersebut membahas tentang Kode Etik Perusahaan dan Good Corporate Governance (GCG). Secara ringkas, dokumen tersebut menjelaskan bahwa penerapan Kode Etik Perusahaan dan GCG penting untuk menjaga reputasi perusahaan dan memaksimalkan nilai pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. Dokumen tersebut juga menjelaskan berbagai aspek Kode Etik seperti kerahasiaan informasi, benturan
14, BE&GG, Charviano Hardika, Hapzi Ali, Ethics and Business,Corporate Govern...
Etika
1. 1. Code of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business
Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-
praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan.
Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka
seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi
“mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan.
Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori
pelanggaran hukum.
2. Nilai Etika Perusahaan
Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan
memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung
jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value).
Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran,
tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya
bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya
dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat
dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus
dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia
dan benturan kepentingan (conflict of interest).
a. Informasi rahasia
Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang
untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia
dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan
pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang
perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi rahasia perusahaan dan
termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak yang
sama dari pihak lain. Selain itu karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama
atas kerahasiaan informasi rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut
diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar
integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan
informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan
pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok
maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
b. Conflict of interrest
Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu
benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat
timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung
2. kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya
diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan.
Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara
lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan
kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya
mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang
bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8
(delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu,
sebagai berikut :
1). Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan mengambil
andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).
2) Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.
3) Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan
keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.
4) Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau kontrol
terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan
keluarga .
5) Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi suatu
keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau
produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut.
6) Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi.
7) Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang
berhubungan dengan perusahaan.
8). Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go public,
yang merugikan pihak lain.
c. Sanksi
Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut
perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan / peraturan yang berlaku di
perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan
Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori
pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan asset
milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak
asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan .Untuk
melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam
audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor,
sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap
3. karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik.Akhirnya diharpkan para karyawan
maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah
ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.
http://fahmibasyar.blogspot.com/2010/11/peranan-etika-bismis-dalam-penerapan.html
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
Tahukah anda tentang Good Corporate Governance (GCG) ? jika belum tau, Good
Corporate Governance Secara umum yaitu merupakan sistem pengendalian dan
pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara
berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari
"nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft
definition).
Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada
para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal
ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham,
dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di
lingkungan tertentu.
Jadi, menurut saya Good Corporate Governance adalah sebagai prinsip yang
mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan yang dapat dilihat dilihat
berdasarkan hard definition maupun soft definition untuk mempertanggung jawabkan
kepada shareholders dan stakeholders demi perkembangan perusahaan tersebut.
Akhir-akhir ini masalah Good Corporate Governance (GCG) dan Etika Bisnis banyak
mendapat sorotan. GCG dan Etika Bisnis merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. GCG lebih memfokuskan pada penciptaan nilai (
value creation) dan penambahan nilai (value added ) bagi para pemegang saham,
4. sedangkan etika bisnis lebih menekankan pada pengaturan hubungan
(relationship) dengan para stakeholders. Saat ini, ternyata masih banyak
perusahaan yang belum menyadari arti pentingnya implementasi GCG dan
praktik etika bisnis yang baik bagi peningkatan kinerja perusahaan. Sebagai
contoh, banyak praktek bisnis di berbagai perusahaan yang cenderung
mengabaikan etika. Pelanggaran etika memang bisa terjadi di mana saja, termasuk
dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan,masih banyak perusahaan yang
melakukan berbagai pelanggaran moral yang tidak etis,seperti praktik curang,
monopoli, persekongkolan (kolusi), dan nepotisme seperti yang telah diatur
dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
Adapun tujuan dari GCG diperlukan dalam rangka:
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang
didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi
serta kesetaraan dan kewajaran.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan menadirian masing-masing organ
perusahaan, yaitu Dewan Komosaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang
Saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh
nilai moral yang tinggi dan kepatuahn terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab social perusahaan
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5. Mengoptimalkan niali perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap
memperjatikan pemangku kepentingan lainnya.
6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun inetrnasional,
sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus
investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
Ada dua faktor dalam GCG yaitu faktor internal dan faktor eksternal:
Faktor Internal
5. Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang
berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung
penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di
perusahaan.
Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada
penerapan nilai-nilai GCG.
Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-
kaidah standar GCG.
Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk
menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap
gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik
dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan
dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Faktor Eksternal
Pelaku dan lingkungan bisnis
Meliputi seluruh entitas yang mempengaruhi pengelolaan perusahaan, seperti business
community atau kelompok-kelompok yang signifikan mempengaruhi kelangsungan
hidup perusahaan, serikat pekerja, mitra kerja, supplier dan pelanggan yang menuntut
perusahaan mempraktekkan bisnis yang beretika. Kelompok-kelompok di atas dapat
mempengaruhi jalannya perusahaan dengan derajat intensitas yang berbeda-beda.
Pemerintah dan regulator
Pemerintah dan badan regulasi berkepentingan untuk memastikan bahwa Perusahaan
mengelola keuangan dengan benar dan mematuhi semua peraturan dan undang-
undang agar memperoleh kepercayaan pasar dan investor.
Investor
Meliputi semua pihak yang berkaitan dengan pemegang saham dan pelaku
perdagangan saham termasuk perusahaan investasi. Investor menuntut ditegakkannya
6. atau dijaminnya pengelolaan perusahaan sesuai standar dan prinsip-prinsip etika
bisnis.
Komunitas Keuangan
Meliputi semua pihak yang berkaitan dengan persyaratan pengelolaan keuangan
perusahaan termasuk persyaratan pengelolaan perusahaan terbuka, seperti komunitas
bursa efek, Bapepam-LK, US SEC dan Departemen Keuangan RI. Setiap komunitas di
atas mengeluarkan standar pengelolaan keuangan perusahaan dan menuntut untuk
dipatuhi/dipenuhi oleh Perusahaan.
Contoh kasus yang masih menyinpang pada Good Corporate Governance:
Para PNS yang masih malas-malasan dalam menjalani tugas. Pernah ada
berita tentang pegawai PNS yang masih malas-malasan dalam menjalani
tugasnya sehari-hari. Contohnya mereka berangkat kerja siang hari dan pulang
kerja sebelum jam pulang kerja, pernah juga ditemui para pegawai PNS yang
berkeliaran di tempat-tempat umum pada jam kerja. Bahkan ketika apel upacara
ada pegawai PNS yang tidak menghadiri apel upacara dan datang tidak tepat
pada waktunya.
Ada juga kasus tentang pelanggaran disiplin masuk kerja di salah satu kelurahan di
kota Probolinggo. Ada seorang pegawai PNS yang bernama BS, yang tidak masuk
kerja dalam jangka waktu yang lama. Dalam peraturan yang lama (PP 30 Th. 1980),
apabila BS tersebut tidak masuk lebih dari 2 bulan secara berturut-turut, baru dilakukan
penghentian gaji. Apabila pegawai yang bersangkutan tidak masuk berturut-turut
selama 4 bulan ke depannya (total 6 bulan), baru bisa diproses pemberhentian BS
secara tidak hormat dari PNS. Kalau Peraturan yang baru, malah lebih tegas dan jelas
lagi. Di sini tidak perlu menunggu hingga 2 bulan, atau bahkan 6 bulan. Cukup bagi
yang bersangkutan tersebut tidak masuk lebih dari 46 hari, dan menghitungnya tidak
perlu berturut-turut alias bisa akumulasi, maka si BS tadi bisa diproses untuk hukuman
berat.
7. Kasus kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat yang menghebohkan
kalangan dunia usaha yaitu kasus Enron, Worldcom & Tycogate. Hal tersebut
terjadi karena terdapat pelanggaran etika dalam berbisnis (unethical business
practices), padahal Amerika termasuk negara yang sangat mengagungkan
prinsip GCG dan etika bisnis. Penyebab kebangkrutan beberapa perusahaan
tersebut, karena diabaikannya etika bisnis serta prinsip GCG, terutama prinsip
keterbukaan, pengungkapan dan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan
perusahaan. Implementasi GCG memang tidakbisa hanya mengandalkan
kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan
mengesampingkan etika. Seperti kita ketahui, sebagus apapun sistem yang
berlaku diperusahaan, apabila manusia sebagai pelaksana sistem berperilaku
menyimpang dan melanggar etika bisnis maka dapat menimbulkan fraud yang
sangat merugikan perusahaan.Beberapa saat setelah krisis ekonomi melanda
negeri kita sekitar tahun 1997 yang lalu,banyak terdapat bank-bank yang
berguguran alias ditutup usahanya, sehingga termasuk kategori Bank Beku
Operasi, Bank Belu Kegiatan Usaha dan Bank dalam Likuidasi. Salah satu
penyebab kebangkrutan bank-bank tersebut karena perbankan Indonesia pada
saat itu belum menerapkan prinsip-prinsip GCG serta etika bisnis secara
konsisten. Semoga kasus kebangkrutan perusahaan di Amerika serikat serta
perbankan di Indonesia tersebut, dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk diambil
hikmahnya, sehingga dalam pengelolaanperusahaan tetap berpedoman pada
etika bisnis yang baik serta menerapkan prinsip GCG.
ANALISIS:
1. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan Good Corporate
Governance sangat penting bagi perusahaan baik dari pihak internal maupun pihak
eksternal untuk meningkatkan etika dalam suatu perusahaan tersebut.
2. Perusahaan harus lebih meningkatkan disiplin kerja bagi para pegawainya agar
perusahaan tersebut dapat berkembang maju kedepan apabila menggunakan prinsip
GCG dan lebih meningkatkan etika-etika yang baik agar tidak melalaikan suatu
pekerjaan bahkan melanggar peraturan yang tidak sesuai dengan GCG.
3. Secara moral perusahaan yang menyimpang dari Good Corporate Governance tidak
mencerminkan tanggung jawab kepada para pemegang saham dan akan merugikan
pihak-pihak terkait, dan citra perusahaan akan di kenal buruk oleh berbagai kalangan.
8. 4. Perusahaan yang melanggar seperti kasus diatas harus ditangani agar tidak melanggar
etika dan tidak merugikan pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan.
Seharusnya perusahaan atau instansi tersebut memberikan contoh etika yang baik
kepada kalangan masyarakat.
http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/10/good-corporate-governance-gcg.html
PENGARUH PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DALAM
BISNIS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKUNTABILITAS PEMERINTAH
Oleh :
Hj. Rinda Asytuti, M.Si.
Dosen Ekonomi Islam STAIN Pekalongan & Kandidat Doktor Ekonomi Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Keberlangsungan eksistensi perusahaan tidak hanya diukur oleh performa keuangan, peningkatan
keuntungan akan tetapi juga performa internal perusahaan (etika dan Good Corporate
Governance [GCG] ) dan performa kepedulian sosial perusahaan.
Kasus kebocoran gas MIC di Bhopal India tahun 1984, Union Carbide Amerika yang
menyebabkan kematian 2000 orang meninggal dan 200.000 orang luka parah, merupakan salah
satu kejahatan sosial sebuah korporasi terbesar pada tahun itu yang menyebabkan kerugian jiwa
dan cacat seumur hidup bagi penderitanya. Akibat kasus ini Union Carbide mengalami kerugian
yang sangat besar yang mengguncangkan keberadaan perusahaan tersebut. Kejahatan korporasi
dibidang lain berupa kecurangan bisnis seperti kasus ENRON Corporation, World Com dan
Merrill Lynch pada kurun tahun 2002. Pada tahun 1990 an kasus kejahatan bisnis juga dilakukan
oleh Prudential Securities dan Nasdaq .
Kejahatan bisnis tidak hanya terjadi di Amerika, Indonesia kasus ini sering terjadi dan bahkan
tidak dapat menyeret pelakunya ke meja hijau. Pengucuran kredit fiktif dan illegal, kasus money
loundring, monopoli, suap dan kolusi adalah hal yang amat lumprah terjadi dalam bisnis.
9. Benarkan bisnis jauh dari etika dan selalu mengedepankan keserakahan? Benarkah bisnis hanya
mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan faktor moral, etika,
kepedulian pada orang lain dan lingkungan?.Agaknya kita dapat sangat mafhum bila bisnis juga
tak pandang teman. Bisnis hanya mengejar keuntungan materi semaksimal mungkin untuk
menyenangkan pemilik modal (shareholder) yang sering mengesampingkan kepentingan
stakeholder di lingkungan bisnis tersebut.
Kejahatan bisnis seperti menghindari pajak, memberikan sumbangan kampaye politik,
membuang limbah sembarangan, tidak melaporkan keuntungan, kolusi dengan pejabat terkait
dalam berbagai hal untuk memuluskan tujuan, acap kali terjadi dan kadang melibatkan pihak
eksekutif maupun legeslatif. Sehingga tindakan hukum tidak dapat diperlakukan dengan baik
bagi mereka. Contoh tergamblang adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Illegang
loging terbaru di Ketapang yang merugikan Negara ratusan triliun rupiah.
Tulisan ini ingin mengupas tentang peranan etika dan Good Corporate Governance (GCG)
perusahaan sebagai langkah awal peningkatan akuntabilitas institusi yang berkaitan.
Etika dalam Bisnis
Etika sering dikaitkan dengan moral. Dalam bahasa latin Yunani Etika berasal dari kata A thikos
yang diterjemahkan dengan” mores” yang berati kebiasaan. Aristoteles menyebutkan etika ini
dalam bukunya “Ethique A nicomaque” sebagai “mores” yang juga berarti kebiasaan. Kata
moral ini mengacu pada baik dan buruknya manusia terkait dengan tindakan, sikap dan
ucapannya.
Etika bisnis adalah aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam
institusi, teknologi, transaksi , aktivitas dan usaha yang di sebut dengan bisnis. Etika bisnis
berarrti bertumpu pada kesetiaan sikap etis dan komitmen moral untuk tidak berbuat curang,
merugikan orang lain, Negara dan masyarakat, mengancam lingkungan serta kebudayaan yang
telah ada.
Etika bisnis merupakan elemen yang wajib dimunculkan dalam kegiatan transaksi yang disebut
bisnis. Seiring dengan peningkatan peradaban manusia dan semakin ketatnya persaingan,
terkadang bahkan tidak jarang pengusaha melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan.
Praktik kecurangan seperti insider trading, windsows dressing, penipuan, manipulasi data
keuangan, penyuapan terhadap birokrasi, monopoli, serta kolusi dan nepotisme sering dilakukan.
Runtuhnya ekonomi Indonesia pada tahun 1997 merupakan ledakan dari penyakit ekonomi yang
mengabaikan etika dan good corporate governance dalam perekonomian. Sebelum krisis,
perekonomian Indonesia dibangun Soeharto dengan konsep trickle down effect (menetes ke
bawah) artinya hanya membuka lebar akses kredit bagi pengusaha besar dan meneteskan
segelintir kue untuk rakkyat (UKM). Kenyataan ini tidak memberikan keadilan kepada seluruh
masyarakat. Kekayaan hanya bertumpu pada segelintir orang yakni keluarga cendana dan
kroninya. Rakyat merasa ditindas dan diacuhkan hak-haknya. Maka tak heran ketika krisis
moneter melanda Indonesia lah yang terhempas paling keras dan hingga saat ini belum bisa
bangkit.
10. Kebutuhan akan kondisi perekonomian yang stabil dan pro rakyat kecil merupakan dambaan dan
impian bagi kebanyakan rakyat kini. Akan tetapi hingga saat ini kondisi itu baru dalam mimpi.
Masyarakat Indonesia masih harus membenahi banyak lubang dari baju yang disebut reformasi.
Pemerintah sebagai kekuatan yang mengatur sudah seharusnya memberikan keadilan dan
pemerataan pendapatan bagi rakyatnya. Memberikan akses ekonomi bagi rakyat kecil untuk
berusaha bukan hanya kepada korporat yang telah nyata-nyata merugikan Negara hingga saat ini
tidak ada satu pun yang di adili.
Ada tiga keadilan dalam etika bisnis, menurut John Piers dna Nizam Jim (2007 : 53), yaitu :
Pertama, Distributive justice yakni adanya distribusi yang memadai dan adil dalam masyarakat.
Artinya sumber daya yang ada di Negara ini adalah sepenuhnya milik rakyat Indonesia bukan
milik segelintir orang. Maka tugas pemerintah untuk melakukan pemeratan, baik pendapatan,
kesempatan berusaha, makanan , perumahan dan jaminan sosial.
Kedua, Retributive Justice. Keadilan ini adalah keadilan pada sisi hukum Artinya semua orang
memiliki hak dan posisi yang sama di mata hukum. Siapapun yang melakukan kesalahan harus
mendapatkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada.
Ketiga, Compensatory Justice. Keadilan ini dimaksudkan bahwasannya semua orang berhak
dihormati atas harta benda yang dimilikinya. Bila seseorang telah merugikan orang lain secara
materi, maka orang tersebut wajib membayar kerugian tersebut.
Dalam bisnis etika dan moral mutlak diperlukan. Pemerintah merupakan institusi yang dapat
menekankan dan mempresure pelaksanaan etika dan moral dalam bisnis. Pemerintah hingga saat
ini belum memberikan prestasi yang membanggakan dalam pelaksanaan etika dan moral dalam
bisnis. Kebiasaan korupsi, suap, kolusi dan manipulasi masih mengakar kuat di semua eleman
masyarakat dan birokrasi merupakan penghambat besar bagi tercitanya kegiatan bisnis yang fair
dan adil.
Kebutuhan besar atas modal asing(Foreign Invesment Direct) juga mendorong pemerintah tidak
tegas menyikapi persoalan pelanggaran hukum oleh perusahaan asing maupun dalam negeri
seperti pencemaran lingkungan, pembalakan liar (illegal loging), kebocoran gas dan bahkan
rendaman Lumpur Lapindo. Perusahaan asing sering melaksanakan standar etika yang longgar di
Negara berkembang dibandingkan dengan di negaranya sendiri.
Pelanggaran etika bisnis di negara ini masih dipandang sebagai hal yang wajar dilakukan karena
didukung oleh mental-mental korup. Walaupun saat ini terdapat komisi persaingan usaha akan
tetapi keberadaannya belum memberikan dampak positif yang signifikan untuk mengurangi
kecurangan, tindak penipuan, dan bahkan penyuapan.
Menyoal tentang penyuaapan konferensi Malta (1994) menegaskan bahwa yang dianggap
dengan penyuapan adalah semua tindakan yang bersifat improbity atau dishonesty. Batasan itu
tidak hanya melanggar hukum namun juga kepantasan atau improper.
11. Di Amerika, penyuapan dilarang didasarkan perundang-undangan “ Foreign Corrupt Practices
Act/FCPA ” yang ditanda tangani oleh presiden Jimmy Carter ada tanggal 20 Desember 1977
dan menjatuhkan perkara ini sebagai perkara pidana. UU ini diterapkan pada kasus Lockhead
Aircraft Corporation tahun 1972 yang melibatkan perdana menteri Jepang Tanaka. Gambaran
ini jarang kita jumpai di Indonesia.
Korupsi dana BLBI yang menghilangkan uang Negara ratusan triliun rupiah, kasus bank mandiri,
KPU , kasus jamsostek dan lain-lain hingga detik ini belum ada yang mendapatkan hukuman.
Belum lagi kasus korupsi yang ada di dalam pemerintahan atau BUMN. Harian Kompas tanggal
27 Juli 2005 mencatatkan berdasarkan temuan Tim Investigasi Korupsi, korupsi yang terjadi di
BUMN sebesar 2,2 triliun.
Saat ini pemerintah, perusahaan swasta menyadari perlunya perbaikan nilai-nilai moral dan etika
dalam organisasi dan praktik bisnis yang disebut dengan Good Corporate Governance. Good
Corporate Governance mutlak diperlukan guna pembenahan secara internal dan structural untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, manipulasi dan
nepotisme.Sedangkan pada sector bisnis Good Corporate Governance juga dapat menimalkan
pelanggaran etika dan moral, peningkatan kinerja organisasi baik eksternal maupun internal.
Good Corporate Governance sebagai implikasi pelaksanaan etika dan moral
Good Corporate Governance dipahami sebagai kepemerintahan atau penyelenggaraan
kepemerintahan atau organisasi yang bersih dan efektif sesuai dengan peraturan dan ketentuan
yang berlaku. Good Corporate Governance meliputi political governance, economic governance
seperti peningkatan dan pemerataan pendapatan, penciptaan kesejahteraan, penurunan angka
kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance
meliputi tahapan admistrasi pemerintahan yang efisien, efektif dan bersih.
Menurut Umer M. Chapra dan Habib Ahmed (2002), Good Corporate Governance adalah
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Landasan hukum, berarti keputusan pemerintah dituangkan sebagai peraturan atau hukum
1. partisispasi maksimal dari semua stakeholder memberikan hak keterlibatan dan peran
semua stakeholder dalam proses pengambilan keputusan
2. prinsip hukum dan aturan, diartikan semua keputusan pemerintahan dituangkan dalam
bentuk peraturan yang adil dan mampu memayungi semua lapisan masyarakat
3. prinsip transparansi, semua. penyelenggaran Negara / organisasi harus terbuka baik
dalam kebijakkan dan pembuatan keputusan
4. prinsip responsitivitas bahwa aparatur harus bertindak responsive terhadap tututan dan
keluhan dari masyarakat baik langsung mapun tidak langsung
5. orientasi konsensus yaitu pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat
yang menyangkut kepentingan rakyat
6. keadilan dan kewajaran dimaknai distribusi tugas dan hak harus dilakukan secara adil dan
wajar sesuai dengan peraturan yang ada
12. 7. efisiensi dan efektivitas, diartikan sebagai keharusan untuk pemerintah berjalan seefisien
mungkin dan bekerja secara efektif sehingga didapatkan hasil yang maksimal
8. Prinsip akuntabilitas berarti setiap pelaksanaan tugas dan penggunaan sumber-sumber
dana, pelaksanaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan
terbuka kepada rakyat
9. Prinsip visi strategis, berarti semua pelaksanaan tugas pemerintahan harus selalu
mengacu pada visi misi yang ditetapkan.
Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) ini tidak hanya berlaku dalam organisasi
kepemerintahan tetapi dalam bidang industri dan bisnis juga mesti dilakukan. Prinsip–prinsip
GCG dalam bidang bisnis telah banyak diterapkan. Sebuah organisasi internasional the
organization for economic Cooperation and Developmet (OECD) menetapkan beberapa prinsip
GCG untuk dunia bisnis agar dapat menembuhkan iklim investasi yang kondusif .
Prinsip-prinsip GCG yang ditetapkan oleh OECD mencakup hal-hal yaitu landasan hukum, hak
pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan, perlakuan adil terhadap pemilik
saham, peranan stakeholder dalam penerapan GCG, prinsip transparansi dalam pengungkapan
informasi mengenai perusahaan dan tanggungjawab managemen perusahaan.
Dari definisi atas pada prinsipnya Good Corporate Governance meliputi empat aspek yaitu
akuntability, fairness (kewajaran), transparency dan responsibility. Penerapan etika dan GCG di
dalam dunia bisnis dapat meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap menjalankan kewajaran
dan tanggungjawab sosial, lingkungan dan hukum. Karena eksistensi perusahaan tidak hanya
terkait dengan performa financial akan tetapi tak dapat dipungkiri responsibility social dan
lingkungan hidup juga menambah value of the firm.
Corporate Sosial Responsibility Sebagai Implimentasi Good Corporate Governance Dalam
Bisnis
Nilai sebuah perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja keuangan sebagai tanggungjawab
kepada shareholder (pemilik saham) sebagai mana konsep manajemen keuangan pada
umumnya, akan tetapi kosistensi kepedulian kepada stakeholder dari perusahaan seperti
karyawan, lingkungan dan masyarakat, merupakan sebuah keharusan yang mesti dijalankan.
Sebagai bentuk penerapan etika dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosialnya
mapun lingkungan hidup disekitar perusahaan, digalakkan gerakan community development
sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab social
perusahaan.
Definisi CSR perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan, dan masyarakat setempat untuk meningkatkan
kualitas kehidupan (Abdullah, tt. : 12). Di sisi lain CSR dapat juga diartikan sebagai komitmen
usaha untuk bertindak secara etis bergenerasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi bersamaan dengan kualitas hidup karyawan, komunitas lokal dan masyarakat umum
secara luas (M. Syifaullah, tt. : 8).
13. Corporate Social Responsibility (CSR) biasa dikenal sebagai tangggung jawab social perusahaan
adalah bagian yang sangat penting selain good corporate Government (GCG) dalam perusahaan.
Salah satu dari empat prinsip GCG adalah responsibility selain fairness, transparency,
accountability (www. fcgi.or.id).
Responsibilitly pada CSR lebih menekankan pada stakeholders-driven concept yakni
memberikan penekanan signifikan pada stakeholders perusahaan dan memelihara nilai tambah
yang ditumbuhkan yang berkesinambungan.
Stakeholders perusahaan dapat didefinisiskan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
eksistensi perusahaan termasuk didalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok,
masyarakat dan lingkungan sekitar termasuk pemerintah sebagai regulator.
Dalam CSR perusahaan tidak hanya dihadapkan pada tanggungjawab yang bersifat single bottom
line yakni nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam neraca laporan keuangan
saja. Tanggung jawab perusahaan lebih berpijak triple bottom lines yakni finansial, masyarakat
dan lingkungan sosial.
Lebih lanjut tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR memiliki bentuk yang beraneka ragam.
Berbagai macam kegiatan dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengimplementasikan
CSRnya, mulai dari pemberian beasiswa, pendidikan gratis, kepedulian lingkungan, community
development dan lain-lain
Menurut Tursiana Setyohapsari dalam wawancaranya dengan majalah “MIX Marketing”
mengatakan bahwasannya CSR bukan hanya sekedar kegiatan charity saja, akan tetapi akan
lebih efektif bisa CSR perusahaan mempunyai program jelas dan berkesinambungan (Dyah
Hasto Palupi, Majalah MIX, Edisi 16, 30 Oktober 2006 : 24).
Terdapat lima kriteria penting dalam menjalankan program CSR bagi perusahaaan. Pertama,
Sustainable empowerment artinya perusahaan harus mampu melakukan program CSR yang
bersifat empowerment yang bertujuan memberdayakan beneficiary self-reliant secara ekonomis
maupun sosial. Kedua strategic alliance dengan organisasi nirlaba. Kemitraan adalah faktor
penting dalam membangun obyektifitas misi dan visi sebuah program CSR. Ketiga employee
participation. Program CSR perusahaan dapat berjalan dengan baik bila berhasil menggalang
partisipasi aktif karyawan perusahaan yang bersangkutan. Keempat, sebuah program CSR harus
mampu membangun buffer sosial dan politik bagi perusahaan. Artinya perusahaan harus mampu
membangun jaringan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan
bisnis perusahaan. Kelima, program CSR yang dibangun harus high-profile, artinya program
CSR yang dibangun harus stand out, yang mudah dilihat, didengar dan diingat orang. Hal ini
berarti program CSR juga wajib didukung oleh kemampuan PR yang kuat.
Phlip Kotler dan Lee lebih lanjut mengidentisikasi enam pilihan program yang dapat dilakukan
oleh perusahaan untuk mewujudkan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu:
14. Pertama, Couse Promotion dalam bentuk memberikan kontribusi dan atau penggalangan dana
untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial tertentu seperti , HIV, Narkoba
(Pikiran rakyat, 2006)
Kedua, Couse related marketing yakni bentuk kontribusi perusahaan dengan cara menyisihkan
seperkian persen dari keuntungan perusahaan untuk donasi sosial, untuk masalah , waktu atau
produk tertentu
Ketiga, Corporate social marketing, disini perusahaan membantu pengembangan maupun
implementasi dari kampaye dengan focus untuk merubah prilaku tertentu yang negatif
Keempat, Corporate Philanftrophy adalah inisiatif perusahaan dengan memberikan kontribusi
secara langsung atau disebut amal.
Kelima, Community Volunteering. Dimana perusahaan dalam aktivitas CSRnya mendorong
karyawannya atau partner bisnisnya dengan sukarela bergabung ikut untuk membantu
masyarakat setempat.
Keenam, Socially practice, responsible business dimana perusahaan mengadopsi dan melakukan
praktik bisnis tertentu yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi
lingkungan.
Kesadaran perusahaan untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR)nya
sudah mulai diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Para praktisi bisnis mulai
menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kwantitas produk
yang terjual, indahnya laporan keuangan, tingginya harga saham perusahaan, akan tetapi
indahnya hubungan kerja antar karyawan dan perusahaan, dukungan masyarakat terhadap
eksistensi perusahaan menjadi faktor yang perlu diperhatikan.
Tercatat sejumlah perusahaan besar mulai merancang program CSR nya tidak sebatas charity
atau sumbangan insedental ketika terdapat bencana, tetapi lebih terkootdinir dengan baik dan
didukung oleh komitmen dana yang memadai.
Kuky Permana Direktur Eksekutif PT Indocement Tunggal Perkasa menyatakn bahwa hanya
perusahaan yang melaksanakan CSR dengan baik yang dapat bertahan dalam jangka panjang.
Terlebih program CSR harus didukung oleh setiap bagian dari perusahaan yang terlibat, dan
dilakukan disetiap tahapan produksi sehingga lingkungan dan masyarakat tidak terganggu
(Republika, 28 April 2007 : 22).
Disisi lain program CSR tidak hanya dilakukan untuk memberikan keuntungan satu sisi yakni
lingkungan sosial dan masyarakat, akan tetapi program CSR oleh beberapa perusahaan juga
dijadikan sarana untuk mendongkrak Citra perusahaan yang merupakan bagian dari strategi
bisnis.
PENUTUP
15. Penguatan struktur ekonomi Negara dan praktek bisnis seharusnya memegang teguh etika bisnis.
Implementasi etika dapat terwujud dengan pelaksanaan Good Corporate Governance dan
Corporate Social Responsibility (CSR). Karena value of the firm tidak hanya bergantung pada
kinerja keuangan akan tetapi kepedulian terhadap kepentingan stakeholder akan memeberikan
nilai tambah bagi perusahaan tersebut dalam menjalankan bisnisnya. Pelaksanaan GCG di dalam
bisnis, dengan sendirinya akan mendukung akuntabilitas pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Dyah Hasto Palupi, Bagaimana Seharusnya CSR? , majalah MIX edisi 16, 30 Oktober 2006
Frans Magnis Suseno,Etika Umum, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:
Kanisius , 1979 h. 12-13.
John Piers, Nizam Jim, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance, Jakarta, Pelangi
Cendikia, 2007
Lies Hendiani, CSR untuk kemaslahatan Perusahaan, Majakah MIX, edisi 16, 30 oktober 2006
Mahmud Ali Abdul halim, Fiqih Responsibility Tanggung Jawab Muslim dalam
Islam,Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Miranty Abidin, CSR di Indonesia, Majalah MIX, edisi 16 30 Oktober
M. Syifaullah, Corporate Social Responsibility PT Antam tbk, 2006
Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: AMP YKPN, 2004
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jakarta; Indeks, 2004
Republika, Liputan Khusus CSR, Jakarta. sabtu, 28 April 007
Sumardy, Branded CSR, majalah Mix, edisi 16, 30 Oktober 2006
Tom Morris, If Aristotle Ran General Motor: The New Soul Business (terj)., Bandung: Mizan
, 2003
Umer M. Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance in Islamic Instituition, Occasional
Paper No 6 Jaddah 2002
http://www.stain-pekalongan.ac.id/id/artikel/176-penerapan-gcg-dalam-bisnis.html