Tim Laboratorium Uji BBAP Takalar melakukan monitoring kualitas ikan dan lingkungan di kawasan budidaya di Sulawesi Selatan. Parameter yang diuji meliputi kualitas air tanah, residu obat, logam berat, dan kesehatan ikan. Tujuannya adalah mengetahui perubahan lingkungan dan kepatuhan terhadap standar. Sampel diambil dari berbagai lokasi dan diuji di laboratorium.
UNIKBET : Agen Slot Resmi Pragmatic Play Ada Deposit Sesama Linkaja
MONITORING KUALITAS
1. LAPORAN
MONITORING KUALITAS IKAN DAN LINGKUNGAN
KAWASAN BUDIDAYA
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
Oleh :
Tim Laboratorium UJI BBAP Takalar
Nana S.S. Udi Putra, S.Hut, M.Si
Drs. Habson Batubara, M.P.
Endah Soetanti, A.Pi.
drh. Joko Suwiryono
Srinawati, S.Pi
Hamzah, S.Si
Harunur Rasyid, Amd
Hasmawati
Suarni
Murgana
Naomi S. Pasau
Maqbul Syahrir
Khairil Jamal
E-mail : nana_ssup@yahoo.com
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR
2008
0
2. I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor perikanan saat ini telah menjadi salah satu sumber devisa negara
yang dapat diandalkan. Masih luasnya potensi lahan dan sumberdaya yang
belum termanfaatkan maka produktivitas sektor perikanan masih terus bisa
dikembangkan lagi. Sejak tahun 1980 produksi terus meningkat bersamaan
dengan itu ekspor pun terus meningkat. Kemajuan sektor budidaya pun mulai
meningkat dengan berkembangnya teknik budidaya seperti semi intensif dan
intensif bahkan super intensif. Sejak itu pula peran sektor budidaya menjadi
sangat penting karena mulai mendominasi produk-produk ekspor perikanan.
Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan tersebut penggunaan obat dan
bahan kimia lainnya semakin intensif pula digunakan.
Pada awalnya penggunaan obat, bahan kimia dan bahan biologi dalam
budidaya perikanan baru di kenal di Indonesia terutama setelah adanya wabah
penyakit bercak merah yang menyerang ikan mas pada tahun 1980 yang
disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dan penyakit udang TSV (Taura
Syndrome Virus), White Spot, Vibriosis. Wabah penyakit ini telah mengakibatkan
kematian ikan yang menyebabkan para pembudidaya ikan mengalami kerugian.
Di sisi lain perkembangan global dan berkembangnya ilmu pengetahuan
tentang bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia,
membuat semakin selektifnya penggunaan obat, bahan kimia lainnya dalam
kegiatan budidaya. Hal ini didorong oleh persyaratan standar yang ditetapkan
negara tujuan ekspor terhadap seluruh produk perikanan budidaya. Terbukti
dengan di blokkirnya 49 coldstorage Indonesia yang tidak bisa lagi melakukan
ekspor ke Eropa (Fajar, 26 Maret 2007).
Penggunaan obat ikan, bahan kimia dan bahan biologi harus tetap
memperhatikan sifat fisik dan kimianya. Terdapat bahan-bahan kimia dan obat-
obatan yang berdampak langsung terhadap kesehatan manusia dan sebagian
lainnya tidak mudah terurai sehingga terakumulasi dalam tubuh ikan dan
1
3. lingkungan perairan. Residu obat dan bahan kimia pada tubuh ikan dapat
menyebabkan timbulnya berbagai penyakit degeneratif dan menurunnya
kekebalan pada tubuh manusia yang mengkonsumsinya. Penggunaan bahan
biologi yang kurang tepat dapat menimbulkan gangguan pada lingkungan
sumberdaya perikanan. Produk perikanan juga rentan terhadap pengaruh
pencemaran terutama senyawa logam berat. Keberadaan logam berat dapat
terakumulasi dalam daging ikan dan jika dikonsumsi manusia dapat merusak
kesehatan.
Untuk mengantisipasi dampak yang dapat ditimbulkan baik terhadap
produk hasil budidaya maupun lingkungan, pemerintah Indonesia melakukan
pengaturan terhadap peredaran dan penggunaan obat ikan, penggunaan bahan
kimia dan bahan biologi. Sulawesi Selatan dalah salah satu provinsi yang
melakukan ekspor udang dan ikan ke Eropa. Dengan demikian untuk lebih
menjamin bahwa produk perikanan budidaya aman terhadap kesehatan manusia
di wilayah kerja BBAPT Takalar khususnya Sulawesi Selatan, perlu dilakukan
monitoring residu obat ikan dan bahan kimia secara berkala dan terpadu.
1.2. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kualitas lingkungan
yang meliputi kualitas air tanah, dan tingkat kandungan residu logam berat pada
kegiatan budidaya udang di Sulawesi Selatan.
1.3. Sasaran/Target
Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan monitoring ini adalah untuk
mengetahui perubahan dan perkembangan kondisi lingkungan kawasan
budidaya terutama kualitas air tanah dan penggunaan jenis obat dalam kegiatan
budidaya udang di Sulawesi Selatan.
2
4. II. BAHAN DAN METODE
2.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan monitoring akan dilakukan pada bulan Juni - November 2008
dengan lokasi monitoring di Pinrang, Pangkep, Barru, Takalar, Maros, Makasar,
Bone, Bulukumba, Bantaeng, dan Sinjai . Seluruh sampel yang diambil dikirim
untuk diujikkan di Laboratorium yang memiliki kemampuan untuk melakukan
pengujian.
2.2. Sampel
Sampel yang diambil adalah udang dari jenis udang windu (Penaeus
monodon) dan udang vaname (Litopenaeus vannamei), kepiting bakau,
rajungan, bandeng, rumput laut dan air serta tanah media budidaya yang
bersangkutan.
2.3. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kegiatan monitoring adalah es batu, plastik,
larutan HNO3/H2SO4 (pengawet), batu es, sedangkan alat-alat yang digunakan
berupa cold box, alat tulis, dan botol sampel, DO meter, pH meter serta redoks
meter,
2.4. Parameter Uji
Parameter uji yang akan diukur dalam kegiatan monitoring ini adalah
kualitas lingkungan seperti tertera pada Tabel 1 dan beberapa parameter yang
dipersyaratkan oleh Uni Eropa untuk diuji di laboratorium dapat dilihat lebih
lengkap pada Tabel 2.
2.5. Petugas Pengambil Contoh (PPC)
Petugas Pengambilan contoh untuk kegiatan monitoring adalah petugas
yang telah terlatih yang berasal dari lingkup laboratorium uji BBAPT yangkni
laboratorium Kimia Fisika dan Kesehatan ikan. Setiap kali pengambilan sampel
3
5. terdiri atas 2 orang, dimana setiap orang mewakili salah satu laboratorium.
Tabel 2.1. Parameter Pengujian yang Akan Dilakukan dalam Kegiatan
Monitoring Kualitas Lingkungan.
No. Jenis Parameter Jenis Sampel Alat/Metoda uji
A. Fisika
1. Suhu Air Thermometer, Manual Alat
2. TSS Tanah SNI 06-6989.3-2004
3. TDS Tanah APHA 2540-1998
4. Kekeruhan Turbidimeter, Manual alat
B Kimia
1. pH Air/tanah pH Meter SNI 06-6989.11-2004/Soil tester
2. Ammonia Air Spektrofotometri, SNI 06-2479-1991
3. Nitrit Air Spektrofotometri, SNI 06-6989.9-2004
4. Nitrat Air Spektrofotometri, SNI 06-2480-1991
6. Salinitas Air Refraktrometer, Manual Alat
7. DO Air DO meter, manual Alat
8. Alkalinitas Air APHA 2320-1998
9. TOM Air SNI 01-3554-1998
10. Redoks Tanah Manual alat
C. Biologi
1. Bakteri Air/tanah ALT
2. Parasit Air/tanah/ikan/udang Mikroskop
D. Bahan Residu
1. Hg Air/tanah/ikan/udang/rpt laut AAS
2. Pb Air/tanah/ikan/udang/rpt laut AAS
3. Cd Air/tanah/ikan/udang/rpt laut AAS
+ kerang-kerangan&kptng
D. PCR
1. WSSV Udang IQ 2000
2. TSV Udang IQ 2000
3. IHHNV Udang IQ 2000
2.6. Prosedur Kerja
2.6.1. Monitoring Kualitas air dan Tanah
a. Jumlah contoh
Penentuan contoh mengikuti tata cara pengambilan contoh pada suatu
kawasan budidaya. Untuk sampel air meliputi sampel inlet, outlet, air di tengah
kawasan, bagian utara, timur, selatan dan barat, sampel air laut, air sungai, dan
air di sekat pemukiman. Sedangkan tanah meliputi tanah di sekitar sungai
bagian tengah kawasan, utara, timur, selatan dan barat kawasan. Parameter
yang langsung di ambil dilapangan adalah suhu air, DO, salinitas, dan pH.
4
6. b. Cara Pengambilan dan Penanganan Contoh
Contoh air diambil dengan menggunakan botol air plastik minimum 500 ml
tanpa ada gelembung udara. Sedangkan contoh tanah diambil dengan
menggunakan botol plastik atau plastik biasa. Contoh air dan tanah disimpan
dalam coldbox yang telah diisi dengan es curah. Diupayakan coldbox tertutup
rapat (kedap udara). Khusus untuk sampel residu diawetkan dengan cara
menambahkan larutan asam hingga pH di bawah 2.
2.6.2. Monitoring Residu Obat dan Bahan Kontaminan
a. Jumlah Contoh
Untuk parameter residu maka sampel tanah diambil dari tanah tambak
dimana budidaya dilakukan dan tanah saluran masuk pada 2 lokasi tambak yang
berbeda. Sedangkan untuk sampel residu air diambil dari air tambak, saluran
inlet serta air laut. Untuk sampel udang, kepiting dan rumput laut dibuat sampel
ganda sebagai pengulangan di tambah sampel kerang-kerangan yang ada di
kawasan tambak.
Contoh dikemas sedemikian rupa untuk mempertahankan contoh
udang/kepiting dalam kantong plastik (plastic pack) dan diberi keterangan/label
sesuai dengan lokasi, jenis, waktu pengambilan contoh kemudian dimasukkan ke
dalam cold box yang kedap air. Contoh air sebanyak 500 ml diambil
menggunakan botol contoh (botol kaca atau botol plastik polyethilene), kemudian
kedalam air contoh ditambahkan larutan pengawet (HNO3/H2SO4) sebanyak 1
ml.
Hal-hal yang perlu dicatat oleh petugas pengambil contoh/contoh pada
saat pengambilan contoh antara lain: (1) tanggal pengambilan contoh; (2) lokasi
pengambilan contoh; (3) komoditas. Contoh ikan dan air dari lokasi/lapangan
oleh petugas sampling diserahkan ke laboratorium uji yang ditunjuk (laboratorium
yang telah terakreditasi).
5
7. b. Cara Pengambilan dan Penanganan Contoh
Ikan contoh diambil dari lokasi pembudidayaan ikan oleh PPC. Untuk
selanjutnya PPC melakukan penanganan ikan contoh dengan sistem rantai
dingin, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam kantong plastik, ditempatkan
didalam wadah styrofoam dan di beri es curah.
c. Laboratorium Uji
Laboratorium yang akan melakukan pengujian logan berat adalah
laboratorium pengujian terdekat yang ada di Makassar seperti Balai Besar
Industri dan Hasil Pertanian Makassar (BBIHP). Sedangkan untuk menguji bahan
kontaminan residu obat dilakukan di Lab Uji BBAP Takalar.
2.6.3. Monitoring Kesehatan Ikan
a. Cara Pengambilan dan Penanganan Contoh
Penanganan sangat bergantung pada jenis sampel uji. Sampel uji yang
diambil adalah untuk pengujian parasit, bakteri dan PCR. Penanganan pada
sampel parasit dan bakteri harus menggunakan sampel dalam keadaan hidup.
Cara lain untuk bakteri adalah dengan membawa media siap pakai untuk
langsung diinfeksikan di lapangan, sehingga tidak perlu membawa sampel hidup.
Sedangkan untuk sampel PCR dilakukan dengan mengambil bagian
organ dari udang diambil (kaki renang) contoh diambil dari lokasi
pembudidayaan oleh PPC. Untuk selanjutnya PPC melakukan penanganan ikan
contoh dengan sistem rantai dingin, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam
kantong plastik, ditempatkan didalam wadah styrofoam dan di beri es curah.
d. Laboratorium Uji
Laboratorium yang akan melakukan pengujian adalah Lab Uji BBAP
takalar.
6
8. 2.7. Analisa Data
Analisa data dilakukan berdasarkan hasil laboratorium dibandingkan
dengan baku mutu. Untuk kualitas lingkungan menggunakan bakumutu kualitas
air dan tanah yang telah ditetapkan berkaitan dengan tujuan budidaya yakni
berdasarkan pada SNI budidaya atau petunjuk teknis yang ada. Sedangkan data
residu obat dan bahan kontaminan didasarkan pada baku mutu yang telah
dikeluarkan oleh pihak Uni Eropa.
2.8. Pencatatan
Setiap tahapan kegiatan monitoring dilakukan pencatatan oleh Tim
Monitoring secara tertib dan dilakukan pendokumentasian untuk memudahkan
penelusuran.
2.9. Pembiayaan
Biaya supervisi, monitoring dan uji laboratorium akibat kegiatan dimaksud
masing-masing dibebankan pada anggaran APBN Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya dalam hal ini Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan Direktorat
Perikanan Budidaya. Sedangkan Residu Logam berat di biayai oleh dana
Laboratorium yang terintegrasi dengan biaya jasa pengujian sebesar Rp
10.000.000.
7
9. III. HASIL KEGIATAN
3.1. Kualitas Tanah dan Air
3.1.1. Kawasan Budidaya Desa Pallime Kabupaten Bone
3.1.1.1. Kualitas Tanah
Dari Tabel 3.1. menunjukkan bahwa karakteristik yang mendukung kegiatan
budidaya kepiting dan udang adalah kondisi tekstur (70:30% liat pasir) dan pH
tanah (pH 6,93-7,02). Jenis tanah yang dijumpai di areal tambak Desa Pallime
Kecamatan Cenrana adalah jenis tanah dengan tekstur liat (clay), serta jenis liat
berpasir (sandy clay) dan liat berlumpur (silty loam). Karakterisik fisik dan kimia
tanah di areal tambak udang di Muara Sungai Cenrana Pallime dapat di lihat
pada Tabel 3.1. Dari sisi kondisi tanah menunjukkan bahwa areal tambak sudah
sesuai untuk budidaya udang maupun kepiting yang menghendaki kondisi tanah
yang liat berpasir dan liat berlumpur (Soetomo, 2002). Kondisi pH tanah tersebut
menunjukkan bahwa areal tambak ber pH netral ada pada kisaran 6,93 – 7,02,
sehingga baik untuk dijadikan tempat budidaya udang dan kepiting. Tambak
yang produktif untuk tambak mempunyai kisaran pH netral hingga basa dan
Tanah yang baik untuk budidaya tambak udang berada pada kisaran netral pH
6.0-8.0 (Direktorat Pembudidayaan, 2003).
Tabel 3.1. Kualitas tanah tambak budidaya kepiting dan udang di Ds Pallime-
Bone
Tambak Taambak Tambak
Parameter Satuan Udang kepiting kepiting Optimal
Muara monosek sawah
Redoks mV -202 -241,33 -229,33 > - 100 (Reis, 1985)
6,00 – 8,00
pH 6,99 6,93 7,02
(Dirt. Pembudidayaan,2003)
Bahan
% 10,51 11,67 9,77 < 2,5 % (Adhikari, 2003)
organik
Phosfat mg/L 0,55 0,60 0,42 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)
Besi mg/L 0,69 0,83 1,24 < 0,1
Nitrogen mg/L 0,45 0,51 0,34 >250 mg/L ( Adhikari, 2003)
Liat 60 – Liat 60 – Liat 60 – Liat 60-70%, pasir 30-40%
Tekstur % fraksi
pasir 40 % pasir 40 % pasir 40 % (Dirt.Pembudidayaan, 2003)
Warna tanah Abu-abu Abu-abu Coklat Coklat
8
10. Hasil identifikasi karakteristik tanah lainnya menunjukkkan hasil uji yang
kurang baik bagi kondisi tambak. Ini nampak pada kondisi bahan organik tambak
yang tinggi (9,77 – 11,67%) melebihi 2,5% (Adhikari, 2003), kandungan phosfat
yang rendah (0,42 – 0,60 mg/L), yang seharusnya lebih dai 30 mg/L (Adhikari,
2003), kandungan besi yang tinggi ( 0,69 – 1,24 mg/L) harusnya kurang dari 0,1,
kandungan Nitrogen yang kurang (0,34 – 0,51 mg/L) yang seharusnya lebih dari
250 mg/L (Adhikari, 2003). Begitu pula dengan indikasi warna tanah yang
berbeda pada ke tiga lokasi (udang, sawah dan monosek). Nampak tanah yang
bagus adalah yang berwarna coklat seperti di tambak sawah kepiting. Berbeda
dengan tanah yang berwarna abu mengindikasikan aktivitas biologi di dalam
tanah terhambat akibat kandungan oksigen tanah yang terbatas.
Dari kondisi tanah tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi tanah
masih baik namun perlu ada perlakuan saat persiapan tambak seperti
pengeringan, pemupukan. Nitrogen dan Fosfor adalah unsur yang penting bagi
pertumbuhan phytoplankton, dan organisme lainnya (Boyd, et.al. 2002).
Nitrogen dan fosfat merupakan bahan dasar nutrisi yang bisa dimanfaatkan oleh
phytoplankton yang dihasilkan oleh proses dekomposisi bahan organik oleh
bakteri. Nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat serta fosfat mudah diserap
oleh phytoplankton. Penambahan bisa dilakukan dengan melakukan
pemupukkan dengan menggunakan pupuk urea atau ammonium untuk
menambah nitrogen dan pemupukkan Kalsium phosfat dan Ammonium Phosfat
untuk menambah nutrisi Phosfat.
3.1.1.2. Kualitas air
Kondisi air di Pallime sangat dipengaruhi oleh suplai air dari sungai
Cenrana yang berhulu du danau Tempe. Sehingga kualitas air di hulu sangat
dipengaruhi oleh aktivitas atau perubahan kondisi alam di bagian hulu. Hasil dari
identifikasi (Tabel 3.2) menunjukkan menunjukkan kondisi yang umumnya
ditunjukkan oleh air sungai dalam kondisi keruh, tentunya mempunyai nilai
turbidity yang cukup tinggi, bahan organik yang tinggi dan tentunya kandungan
CO2 yang tinggi pula. Kandungan ammonia yang ada akibat tingginya bahan
9
11. organik dan menunjukan adanya aktivitas dekomposisi dengan proses nitrifikasi
yang terhambat akibat oksigen yang rendah. Kondisi air sungai ini masih bisa
digunakan sebagai sumber air tawar bagi kegiatan budidaya yang tentunya perlu
mendapat perlakuan seperti pengendapan air di tandon, filterisasi, pengapuran
dan lain-lain.
Tabel 3.2. Kualitas air tambak budidaya udang dan kepiting di Ds Pallime-Bone
Tambak Tambak Tambak
Sungai Optimal
Parameter Satuan udang Kepiting kepiting
Cenrana
Muara Monosek Sawah
Salinitas ppt 8,67 2,00 1,33 0,33 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 8,59 9,10 7,49 7,02 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
DO mg/L 7,83 4,23 9,33 3,93 5,0 – 9,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
28,0 – 32,0 (Van Wyk & Scarpa,
o
Suhu C 30,00 31,00 28,70 28,37 1999)
Alkalinias mg/L 157,50 162,00 162,00 126,00 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
CO2 mg/L 0,00 0,00 1,04 10,43 < 0,20 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,20 0,00 0,05 0,20 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,05 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
mg/L 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan,
Posfat 0,10 0,00 0,10 0,10 2003)
Klorin mg/L 0,00 0,00 0,00 0,00 < 0,01 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik mg/L 28,77 19,69 10,31 14,37 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Turbidity NTU 49,00 40,00 37,00 49,00 30 – 40 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Besi mg/L 0,00 0,00 0,00 0,00 < 1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
H2S mg/L 0,00 0,00 0,00 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Coklat Coklat Coklat Coklat muda (Ariawan & Poniran,
Warna air muda tua tua Kuning 2004)
Kegiatan budidaya perikanan di Desa Pallime Cenrana-Bone adalah
meliputi kegiatan budidaya udang tradisional, kepiting bakau tradisional, serta
yang menarik adalah kegiatan budidaya kepiting mina padi yang merupakan
kegiatan budidaya yang khas Pallime cenrana-Bone. Kegiatan budidaya ini
sangat tergantung pada sumber air dari sungai Cenrana. Sehingga pola
budidaya sangat tergantung dari suplai air sungai Cenrana. Pada kondisi
salinitas rendah budiadaya Kepiting menggunakan jenis Scylla olivace yang
bersamaan dengan budidaya padi, berbeda saat salinitas tinggi hanya dilakukan
budidaya kepiting dengan menggunakan jenis S. serrata. Selain itu dilakukan
upaya pengembangan teknologi seperti budidaya kepiting monokultur-monosek.
10
12. Inisiatif budidya polikultur kepiting dan padi di tambak adalah suatu
kebutuhan atas dua komoditas bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sehingga pemilihan waktu tanam dan jenis kepiting yang
dibudidayakan menjadi hal penting untuk mendapat perhatian. Pilihan ini
berkaitan dengan kondisi kualitas air yang memungkinkan untuk keduanya bisa
tumbuh dan berkembang dengan normal. Oleh karena itu sasarannya adalah
dilakukan pada musim hujan dimana sumber air tawar melimpah untuk
menurunkan salinitas air hingga mendekati 0 ppt dan jenis kepiting yang
digunakan adalah jenis kepiting yang adaptif di kondisi salinitas rendah yakni
jenis kepiting S. olivacea.
Hal yang perlu diberikan penjelasan kepada masyarakat di daerah ini
adalah kegiatan budidaya udang yang dipolykultur dengan kepiting. Ini menjadi
sangat riskan karena akan berdampak pada munculnya penyakit viral pada
udang dan ini akan sangat merugikan petani karena kepiting adalah carier bagi
virus WSSV.
Kualitas air di kawasan ini pada saat identifikasi menunjukkan kondisi
salinitas rendah nampak salinitas air sungai 0,33 ppt, 8 ppt di tambak muara dan
1-2 ppt di tambak kepiting. Kondisi ini sebenarnya kurang cocok untuk budidaya
udang windu karena terlalu rendah, walaupun masih bisa tumbuh dengan baik,
akan tetapi untuk kondisi umur udang yang sudah masa panen hendaknya
salinitasnya harus tinggi (30-33 ppt). Karakteristik kualitas airnya menunjukkan
bahwa ada salam kondisi yang cukup baik untuk kegiatan budidaya, yang
menarik justru kondisi kualitas air di sawah justru cenderung lebih baik, kecuali
kandungan karbon dioksida (1,04 mg/L) yang melebihi ini dimungkinkan karena
ada peningkatan proses photosinthesis oleh padi dan proses respirasi
mikroorganisma, akan tetapi menjadi tidak masalah karena juga diimbangi oleh
kandungan oksigen yang tinggi (>9 mg/L). Ini adalah keuntungan yang diperoleh
dari adanya tumbuhan padi di tambak, karena padi mempunyai rate photositesis
yang tinggi sehingga berimbas pada kandungan oksigen tinggi di dalam kolom
air tambak. Tentunya akan berdampak pada sistem yang ada di dalam tambak
11
13. berjalan dengan baik, dan nampak pada karakteristik yang sangat baik bagi
kehidupan kepiting di dalam tambak. Sedangkan sedikit lebih tingginya
kandungan amonia di dalam tambak diduga karena proses amoifikasi namun
proses nitrifikasi yang sedikit terhambat. Akan tetapi nilai ammonia pada level
0,05 mg/L belum bersifat toksik karena nilai pH yang agak relatif netral (pH 7,49).
3.1.2. Kawaan Budidaya Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang
3.1.2.1. Kualitas Tanah Tambak
Karakteristik tanah budidaya sangat penting karena menjadi sumber dari
keberhasilan budidaya. Karakteristik tanah hasil identifikasi tertera pada Tabel
3.3. Pada Tabel tersebut nampak bahwa karakteristik tanah di Lokasi identifikasi
menunjukkan kondisi tanah yang kurang baik, nampak bila dibandingkan dengan
karakteristik optimal bagi oleh proses persiapan awal yang cenderung banyak
diabaikan oleh para petani seperti tudak melakukan pembuangan sisa bahan
organik, pengeringan, dan pemupukan. Kondisi ini diindikasikan oleh redoks
yang rendah (-202,23 – -267,00 mV), bahan organik yang tinggi (7,54 – 18,16
mg/L) dan phosfat yang rendah (0,87 – 1,14 mg/L), serta besi yang masih tinggi
(0,28 -0,40 mg/L). Ini bisa disebabkan oleh kondisi konstruksi tambak yang tidak
memungkinkan untuk melakukan pembuangan air karena harus menggunakan
pompa air setiap kali pengeringan dan ini membutuhkan biaya yang tinggi.
Tabel 3.3. Kualitas tanah tambak budidaya udang dan kepiting di Kabupaten
Pinrang.
Tambak Tambak Tambak
Parameter Satuan udang Bpk KTP Budidaya Optimal
Tajuddin Desiminasi Kepiting
Redoks mV -267,00 -202,23 > - 100 (Reis, 1985)
Bahan 18,16
% 7,54 11,26 < 2,5 % (Adhikari, 2003)
organik
Phosfat mg/L 1,00 1,14 0,87 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)
Besi mg/L 0,36 0,40 0,28 < 0,1
0,00 0,05-0,10 (Dirt.
H2S mg/L 0,00 0,00 Pembudidayaan,2003)
12
14. 3.1.2.2. Kualitas Air Tambak
Kualitas air sungai dan muara sebagai sumber air dalam kegiatan
budidaya menunjukkan bahwa terdapat perbesaan signifikan antara salinitas air
sungai (9 ppt) dan muara (34 – 36 ppt). Ini terjadi karena pada saat itu ada dalam
kondisi musim kering sehingga salinitas air sangat tinggi. Kondisi ini maka
keberadaan air tawar menjadi sangat vital. Namun nampaknya kualitas air
(Tabel 3.4) sungai dan muara kurang begitu baik karena kandungan bahan
organik yang tinggi (41,90-102,91 mg/L) ini mengindikasikan kandungan lumpur
yang tinggi akibat aktivitas pertainan di bagian hulu. Akan tetapi kondisi ini masih
bisa dipergunakan sebagai sumber air budidaya melalui perlakuan pengendapan
dan filterisasi di tandon.
Tabel 3.4. Kualitas air sungai dan muara sungai sebagai sumber air budidaya
udang dan kepiting di Kecamatan Duampanua-Pinrang.
Muara Muara
Sungai Optimal
Parameter Satuan sungai sungai
Pasorongan
Serang Suppa
15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan,
Salinitas ppt 34,00 36,00 9,00 2003)
7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa,
pH 7,80 7,27 7,44 1999)
Alkalinias mg/L 104,69 104,69 91,58 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
< 55 (Dirt. Pembudidayaan,
Bahan organik mg/L 102,91 101,97 41,90 2003)
H2S mg/L 0,00 0,00 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Pada identifikasi kualitas air tambak baik di tambak udang maupun
kepiting seperti pada Tabel 3.5. menunjukkan bahwa yang berpeluang menjadi
faktor yang dapat mengurangi produkstivitas tambak baik di udang maupun
kepiting adalah kandungan alkalinitas dan kandungan bahan organik. Akalinitas
yang rendah (<100 mg/L) akan sangat mengurangi kemampuan alamiah dari air
dalam melakukan netralisasi pH sehingga ketika tiba-tiba pH air turun akan
kesulitan recoveri netralisasi pH (Svobodova, at al, 1993; Saeni & Darusman,
2002). Begitu pula bahan organik melebihi standar optimal (> 55 mg/L) akan
mengundang banyak mikroorganisme masuk, sehingga berpeluang
13
15. meningkatnya ammonia dan nitrit, menurunnya kandungan oksigen sehingga
mengganggu ketersediaan oksigen bagi udang dan kepiting. Sebaliknya bila
akan meningkatkan CO2 karena proses respirasi yang meningkat. Belum lagi
kalau pH yang relatif tinggi akan meningkatkan daya toksik dari ammonia di air
(Malone & Burden, 1988). Sementara itu pada saat pengujian kandungan
ammonia, nitrit dan asam sulfida dalam kondisi yang cukup baik (0 mg/L), akan
tetapi kondisi ini akan berubah pada waktu 1 – 2 minggu ke depan apalagi bila
udang terus diberi pakan.
Tabel 3.5. Kualitas air tambak budidaya udang dan kepiting di Kecamatan
Duampanua - Pinrang.
Tambak Tambak
Tambak Optimal
Parameter Satuan Kepiting Gelondongan
udang
udang
15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan,
Salinitas Ppt 16,50 25,67 25,00
2003)
7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa,
pH 7,58 7,72 8,03
1999)
Alkalinias mg/L 81,98 100,32 72,41 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Bahan organik mg/L 76,94 103,69 104.45 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
H2S mg/L 0,00 0,00 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
3.1.3. Kawasan Budidaya Kabupaten Barru
3.1.3.1 Kualitas air Tambak
Hasil identifikasi (Tabel 3.6) menunjukan bahwa kualitas air tambak di
Juppai Kabupaten Barru memiliki bahan organik yang sangat tinggi (134,19
mg/L), kondisi ini sangat berbahaya bagi kondisi udang yang ada di dalamnya.
Kondisi ini juga diidikasikan oleh tingginya (pH 8,15) dan amonia yang tinggi
(0,565 mg/L). Bahan organik yang tinggi akan mengundang mikroorganisma
masuk, sehingga berdampak pada penurunan oksigen terlarut atau sebaliknya
karbondioksida yang meningkat sebagai hasil respirasi mikroorganima yang ada.
Situasi seperti ini akan meningkatkan kompetisi penggunakan oksigen dan ini
sangat merugikan bagi udang yang dibudidayakan. Terlebih ammonia yang tinggi
14
16. dengan pH yang tinggi akan meningkatkan daya toksik ammonia. Selain itu efek
yang lain adalah kondisi nutrisi juga akan menjadi sangat kurang karena
kompetisi antara mikroorganisma dan udang yang dipelihara. Ini nampak dari
kandungan phosfat ang rendah yang akan berdampak pada berkurangnya
populasi rantai makanan di level yang lebih rendah.
Tabel 3.6. Kualitas air tambak budidaya udang di Jupai –Barru.
Tambak Optimal
Parameter Satuan
udang
Salinitas Ppt 35 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 8,15 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Phosfat mg/L 0,00 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Ammonia mg/L 0,565 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Bahan organik mg/L 124,19 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
3.1.4. Kawasan Budidaya Kabupaten Pangkep
3.1.3.1 Kualitas air Tambak
Kawasan budidaya di Kabupaten Pangkep adalah kawasan budidaya
untuk komoditas udang dan bandeng yang semuanya dilakukan polikultur. Hasil
pengujian (Tabel 3.7) menunjukkan bahwa sumber air laut menunjukkan kondisi
pH yang cukup tinggi (pH 8,19), begitu pula bahan organik (50,56 mg/L, serta
ammonia yang tinggi (0,383 mg/L). Kualitas air laut sebagai sumber air bagi air
tambak masih dalam kondisi yang kurang baik, akan tetapi masih bisa
diupayakan dengan melalui filterisasi, penambahan air tawar dan proses
pengendapan di tandon.
Dari hasil pengujian kualitas air di tambak persiapan (Tabel 3.7)
menunjukkan bahwa air relatif tawar dimana masih mencoba untuk melakukan
mencucian dan mengurangi bahan-bahan yang bisa merugikan pada saat
pemeliharaan. Kandungan nutrisi masih rendah nampak pada kandungan
phosfat yang rendah. Akan tetapi nampak terdeteksi kondisi ammonia yang
masih tingggi akan tetapi air tersebut harus diupayakan diganti dengan di air
baru sehingga air benar-benar bisa digunakan untuk budidaya.
15
17. Tabel 3.7. Kualitas air tambak polikultur budidaya udang dan bandeng
Kabupaten Pangkep.
Tambak Air Optimal
Parameter Satuan Air laut
polikultur persiapan
Salinitas Ppt 34 29,00 4,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 8,19 7,31 7,34 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,383 0,10 0,04 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Bahan organik mg/L 50,56 441,10 42,03 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan,
Phosfat mg/L 0,00 0,00 0,00
2003)
Pada tambak pemeliharaan (Tabel 3.7) menunjukkan bahwa secara
umum masih baik, namun yang paling nampak adalah kondisi bahan organik
yang sangat tinggi (441,1 mg/L), sehingga ammoniak pun tinggin (0,1 mg/L).
Kondisi ini bisa disebabkan oleh tanah yang tidak diolah dengan baik seperti
tidak dilakukan pembuangan lumpur sisa dan pemberian pakan yang terlalu
berlebihan, sehingga harus segera dilakukan pergantian air, dan ini harus sering
dilakukan, sehingga kandungan bahan organiknya ada pad batas normal. Karena
kondisi tersebut akan mengundang mikroorganisme baru yang berdampak pada
peningkatan kompetisi ruang dan oksigen serta akan meningkatkan kandungan
karbondioksida di kolom air.
3.1.5 Kawasan Budidaya Kabupaten Maros
3.1.5.1. Kualitas Tanah Tambak
Hasil pengukuran kualitas tanah (Tabel 3.8) pada kawasan Tambak di
Kabupaten Maros menunjukkan bahwa tanah di kawasan tersebut ada dalam
kondisi yang cukup bagus dimana pH, bahan organik, dan kandungan besi yang
ideal untuk budidaya udang bila merujuk kriteria optimal pada Tabel di bawah .
Namun untuk kandungan phosfat yang rendah, akan tetapi kondisi ini masih bisa
diperbaiki dengan melakukan penambahan phosfat dengan melakukan
pemupukan tanah tambak pada awal persiapan tanah dasar atau pada saat
kegiatan tambak sudah berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegiatan
16
18. persiapan tambak sudah cukup baik walaupun nampak kandungan nutrisi
phosfat masih kurang, dan perlu penambahan melalui pemupukan.
Tabel 3.8. Kualitas tanah tambak budidaya udang di Kabupaten Maros.
Tambak
Saluran
Parameter Satuan udang Optimal
Tambak
pH 7,15 7,26 6,0-8,0 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik % 1,65 7,54 < 2,5 % (Adhikari, 2003)
Phosfat mg/L < 0,0062 1,14 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)
Besi mg/L <0,053 0,40 < 0,1
3.1.5.2. Kualitas air Tambak
Hasil identifikasi kualitas air pada tambak dan saluranya ditunjukkan pada
Tabel 3.9. Dari data tersebut di tambak udang vanamei menunjukkan pH yang
cukup tinggi (pH 8,50) ini sangat riskan apalagi ammonia cukup tinggi (0,6 mg/L).
Karena akan menjadi lebih toksik bila dalam kondisi pH tinggi, didukung oleh
suhu air yang tinggi akan menambah daya toksik ammonia. Melihat padatan
terlarut di air menunjukkan nilai 0,066 mg/L mengindikasikan bahwa bahan
organik di dalam air juga cukup tinggi. Ini sebanding dengan hadirnya ammonia
di dalam air. Rendahnya nitrit bisa disebabkan oleh terhambatnya proses
perombakan oleh bakteri, akibat dari persaingan oksigen dan didiga hadirnya
CO2 yang tinggi.
Tabel 3.9. Kualitas air tambak dan saluran budidaya udang di kabupaten
Maros
Tambak Tambak Optimal
Parameter Satuan Saluran
Vannamei U.Windu
Salinitas Ppt 15,00 5,00 - 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 8,50 7,60 - 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Alkalinias mg/L 113,00 109,72 112,79 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,605 0,124 0,017 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L <0,05 <0,05 <0,05 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
o
Suhu C 32 31 - 28,0-32,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
TSS mg/L 0,066 0,224 0,058
17
19. Dari sisi salinitas nampak bahwa vaname masih bisa hidup hingga
mendekati air tawar, sehinggan dengan salinitas 15 masih bisa tumbuh dengan
baik. Berbeda dengan jenis udang windu salinitas 5 kurang optimal, akibatnya
pertumbuhan akan terganggu. Ini sangat kontras dengan kondisi kualitas air di
saluran masih sangat bagus. Oleh karena itu, dengan dasar tanah dan
persiapan yang bagus namunpada saat pemeliharaan kurang seksama maka
akan terjadi kondisi kualitas air yang kurang optimal bagi udang. Sehingga perlu
dilakukan segera pergantian air untuk mengurangi kandungan bahan-bahan
berbahaya seperti ammonia dan nitrit, menetralisisr kondisi pH air serta perlu
penabahan air laut untuk udang windu untuk meningkatkan salinitas.
3.1.6. Kawasan budidaya Kabupaten Bantaeng
3.1.6.1. Kualitas Tanah Tambak
Karakteristik data tambak di Kabupaten Bantaeng terlihat pada Tabel
3.10. Dari tabel tersebut dari tiga karakteristik yang diperoleh menunjukkan
kondisi tanah yang baik dan baik skali untuk tambak budidaya dan bagus untuk
ikan maupun udang. Ini sangat nampak bila dibandingkan dengan kondisi
optimal bagi pertumbuhan udang/ikan.
Tabel 3.10. Kualitas tanah tambak budidaya Udang di Kabupaten Bantaeng.
Tambak
Parameter Satuan udang Optimal
Bahan organik % 1,75 < 2,5 % (Adhikari, 2003)
H2S mg/L 0,00 0,05-0,10 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Besi mg/L <0,053 < 0,1
3.1.6.2. Kualitas Air Tambak
Dari data hasil identifikasi sebagaimana tertera pada Tabel 3.11
menunjuukkan bahwa kualitas air tambak udang windu di Kabupaten Bantaeng
adalah dalam kondisi kurang baik, nampak bahwa air tambak dalam kondisi basa
(pH 8,6) dengan amoniak yang tinggi (0,148 mg/L). Kondisi ini sangat riskan
karena kan sangat berbahaya bagi udang. Kandungan amoniak yang tinggi dan
18
20. pH yang tinggi akan sangat toksik bagi udang (Svobodova, at al, 1993). Ini
sangat didukung oleh kondisi kandungan bahan organik pada air juga melebihi
batas optimal (60 mg/L). Namun demikian untuk parameter yang lainnya ada
dalam kondisi cukup baik seperti salinitas (19 ppt), nitrit (<0,05 mg/L), dan
alkalinitas (111,84 mg/L).
Tabel 3.11. Kualitas air tambak dan saluran budidaya udang di kabupaten
Bantaeng.
Tambak Optimal
Parameter Satuan
U. Windu
Salinitas Ppt 19,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 8,60 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Alkalinias mg/L 111,84 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,148 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L <0,05 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Bahan organik mg/L 60,00 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
3.1.7. Kawasan Budidaya Kabupaten sinjai
3.1.7.1. Kualitas Air Tambak
Hasil pengujian kualitas air sebagai mana tertera pada Tabel 3.12.
menunjukkan bahwa salinitas, dan bahan organik di saluran inlet menjadi penting
walaupun masih ada di saluran inlet. Kondisi salinitasnya sangat tinggi (35 ppt)
menunjukkan air inlet sulit mendapatkan air baru sehingga salinitas tinggi.
Kandungan bahan organik yangg tinggi (104,00 mg/L) menunjukkan bahwa
kualitas kurang baik untuk sumber air di tambak. Begitupula kandungan
ammonia (0,02 mg/L), ini sangat berkaitan dengan kandungan bahan organik
yang tinggi. Seharusnya air kualitasnya baik, oleh karena itu kondisi air di saluran
harusnya segera diisi air baru atau dilakukan penggantian saat air pasang baru.
Sedangkan kualitas air ditambak nampak tidak terlalu jauh dengan kondisi
inlet namun kandungan bahan organiknya lebih tinggi (124,55 mg/L). Ini
berkorelasi karena kualitas air sumbernya sudah memiliki kandungan bahan
organik yang tinggi pula. Begitu pula untuk pH. Bila kondisi ini dibiarkan akan
berdampak pada proses pertumbuhan yang terhambat dan bisa menimbulkan
19
21. kematian terutama pada udang bila ammoniak meningkat, populasi patogen juga
meningkat dan pH terus meningkat. Sehingga perlu segera dilakukan
penggantian air baru dengan kondisi yang lebih baik tidak dengan kondisi
kualitas air inlet seperti di atas.
Tabel 3.12. Kualitas air tambak dan saluran budidaya udang di Kecamatan
Sinjai Utara - Sinjai.
Tambak
Optimal
Parameter Satuan udang Inlet
windu
Salinitas Ppt 35,00 35,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 7,93 7,57 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,00 0,02 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Alkalinitas mg/L 148,07 150,17 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Bahan organik mg/L 127,55 104,00 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
3.2. Monitoring Residu Logam Berat
3.2.1 Air Laut
Hasil monitoring residu (Tabel 3.13 ) diseluruh wilayah monitoring
memperlihatkan bahwa kisaran kandungan logam berat pada air laut berturut-
turut untuk air raksa (Hg), Plumbuk (Pb) dan Timbal (Pb) adalah 0,0006 –
0,0054 mg/L, 0,4284 - 0,7016 mg/L dan 0,0391 – 0,0603 mg/L. Dari hasil
tersebut menunjukkan bahwa kandungan logam berat jenis Hg sudah ada pada
level yang masih rendah mengingat kandungan logam berat alami di laut jenis
Hg di pantai ada pada kisaran 0,002 – 0,015 µg/L (2-15 ppm), jenis Pb ada pada
kisaran 0,02 – 0,04 ppb (20 – 40 ppm) (Deocadiz, Diaz and Otico, 1999) dan Cd
ada pada kisaran 0,05 – 0,2 ppb (50 – 200 ppm) (Mukono, 2005). Dengan
demikian masih berada dibawah konsentrasi alami secara umum, kecuali jenis
Cd. Bila dibandingkan dengan batas yang diperbolehkan berdasarkan PP No. 18
tahun 1999 dimana kandungan logam berat yang diperbolehkan diperairan
berturut-turut untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 0,01 mg/L, 2,5 mg/L dan 0,05 mg/L,
menunjukkan bahwa konsentrasi kandungan jenis Hg dan Pb masih aman
namun untuk jenis Cd sudah berada di atas batas yang diijinkan, terutama untuk
20
22. perairan laut di daerah kawasan budidaya di Kabupaten Barru (0,0580 mg/L),
Bantaeng (0,559 mg/L), dan sinjai (0,0603 mg/L).
3.2.2. Air Tambak
Di seluruh kawasan tambak budiaya yang identifikasi (Tabel 3.13)
menunjukkan bahwa air tambak secara berturut-turut untuk jenis logam berat Hg,
Pb, dan Cd ada pada kisaran <0,0005 – 0,0135 mg/L, 0,1094 – 0,65295 mg/L,
dan 0,0052 – 0,3203 mg/L. Batas maksimum untuk ketiga jenis logam berat Hg,
Pb dan Cd berturut-turut adalah 0,1 ppb (0,0001 mg/L), 10 ppb (0,0100 mg/L),
dan 100 ppb (0,1 mg/L) (Van Wyk & Scarpa, 1999). Dari data tersebut nampak
bahwa kandungan logam berat jenis Hg dan Pb sudah melebihi batas maksimum
yang dibolehkan, dan ini ditemukan diseluruh kawasan budidaya yang
diidentifikasi (Pinrang, Barru, Takalar, Bulukumba, Sinjai dan Bone). Sedangkan
untuk logam berat jenis Cd hanya kawasan budidaya di Sinjai dan Bone yang
masih di bawah batas maksimum yang dibolehkan. Dengan demikian secara
umum seluruh daerah kawasan budidaya sudah tidak baik untuk digunakan
sebagai media budiaya. Akan tetapi bila dibandingkan dengan PP no. 18 tahun
1999 secara umum masih dibawah batas minimum kecuali air tambak di Pinrang
yang telah melebih batas minimum Hg (0,0135 mg/L) dan untuk kandungan Cd di
wilayah Kabupaten Barru (0,0685 mg/L), Takalar (0,0674 mg/L), dan Bulukumba
(0,3203 mg/L.
3.2.3. Tanah Tambak
Kandungan logam berat di tanah memperlihatkan data yang sangat
beragam seperti tamapak pada Tabel 3.13. Kandungan logam berat jenis Hg, Pb
dan Cd berturut-turut adalah <0,0005 – 1,0072 mg/L, <0,0020 – 14,1844 mg/L
dan <0,0010 – 2,5946. Kanndungan logam berat di tanah tidak ada batasan
minimum karena bersifat alami, namun tentunya batasan untuk tujuan budidaya
ikan yang mengarah ke keamanan pangan menjadi sangat perlu. Dari data Tabel
tersebut menunjukkan bahwa tanah tambak dengan kandungan Hg tertinggi
berada di kawasan Tambak Kabupaten Barru (1,0072 mg/L), disusul oleh
21
23. Kabupaten Sinjai (0,6046 mg/L), Pinrang-Bone (<0,1250 mg/L) dan Pangkep-
Takalar-Bulukumba (<0,0005 mg/L). Untuk kandungan Pb kandungan tertinggi
ditemukan didaerah kabupaten Sinjai (14,1844 mg/L), diikuti oleh Barru (6,2406
mg/L), Pinrang-Bone (0,5000 mg/L). Sedangkan untuk kandungan logam Cd
tertinggi di Kabupaten Sinjai (2,5946 mg/L) diikuti Takalar (1,5906 mg/L), Barru
(1,2488 mg/L), Bone-Pinrang (0,2500 mg/L), Pangkep (0,0020 mg/L) dan
Bulukumba (0,0010 mg/L).
3.2.4. Komoditas Perikanan
Komoditas perikanan budidaya yang diidentifikasi adalah udang windu,
udang vaname, kepiting, kepiting softshell, bandeng, rumput laut, dan glasilaria.
Kandungan logam berat pada udang windu menunjukkan ada pada kisaran
<0,0005 – 0,0740 mg/L untuk Hg, <0,002 – 2,7435 mg/L untuk Pb dan 0,0405 –
0,3916 mg/L untuk Cd. Kandungan logam berat pada udang vanamei ada pada
kisaran 0,005 mg/L untuk Hg, 0,9982 mg/L untuk Pb, dan 0,1376 mg/L untuk Cd.
Pada komoditas bandeng menunjukkan kisaran 0,0360 – 0,1966 mg/L untuk
logam berat Hg, ≤0,002 mg/L untuk jenis logam berat Pb dan <0,001 – 0,0706
mg/L untuk logam berat jenis Cd. Pada komoditas jenis kepiting bakau diperoleh
bahwa kandungan logam berat berada pada kisaran tidak terdeteksi – 0,0575
mg/L untuk jenis logam berat Hg, tidak terdeteksi – 3,06637 mg/L untuk jenis
logam berat Pb, dan tidak terdeteksi – 0,5554 mg/L untuk jenis logam berat Cd.
Untuk jenis kepiting softshell kisaran logam berat jenis Hg ada pada kisaran
0,0664 mg/L, jenis Pb 2,5196 mg/L dan jenis Cd sebesar 0,3141 mg/L.
Komoditas lainnya adalah jenis rumput laut yang dibudidayakan di
perairan dengan jenis Echeuma cotoni. Kandungan logam berat pada rumput
laut mencapai kisaran 0,0274 – 0,0556 mg/L untuk jenis Hg, <0,002 – 0,8198
mg/L untuk jenis logam barat jenis Pb, dan <0,002 – 0,4572 mg/L untuk jenis log
melipuutiam berat Cd. Jenis rumput lainnya adalah jenis rumput laut Glacilaria
yang tumbuh dibudidayakan di tambak. Kisaran kandungan logam berat pada
Glacilaria mencapai 0,0754 untuk jenis Hg, 0,9653 mg/L untuk jenis Pb, dan
0,5554 mg/L untuk jenis Cd.
22
24. Tabel. 3.13. Kandungan Residu Logam Berat pada Air, Tanah, dan Komoditas Perikanan di Kawasan Budidaya Propinsi
Sulawesi Selatan
Jeni Logam Sampel
Lokasi Satuan
Berat Air Laut Air Tmbk Tanah U. Windu U. Vaname Bandeng Kepiting R.laut Glacilaria K. Softshell Siput
Pinrang Hg mg/l 0,0054 0,0135 <0,1250 0,1176 0,0470 0,0664 0,0750
Pb mg/l 0,4751 0,2295 <0,5000 2,7435 0,8198 2,5196 2,1920
Cd mg/l 0,0391 0,00525 <0,2500 0,14 0,1034 0,3141 0,2692
Barru Hg mg/l 0,0006 0,0022 1,0072 0,0050 0,0360 0,0556
Pb mg/l 0,4534 0,3973 6,2406 0,9982 <0,0020 <0,0020
Cd mg/l 0,0580 0,0685 1,2488 0,1376 <0,0010 0,4334
Pangkep Hg mg/l <0,0005 0,0900 0,1966 0,0472
Pb mg/l <0,0020 <0,0020 0,0020 <0,0020
Cd mg/l <0,0020 0,0542 0,0706 0,4572
Makassar Hg mg/l Ttd Ttd
Pb mg/l Ttd 2,3000
Cd mg/l Ttd Ttd
Takalar Hg mg/l <0,0005 <0,0005 <0,0005
Pb mg/l 0,1094 <0,0020 <0,0020
Cd mg/l 0,0674 1,59065 0,2062
Bantaeng Hg mg/l 0,0014 0,0364
Pb mg/l 0,7016 <0,0020
Cd mg/l 0,0559 0,3234
Bulukumba Hg mg/l 0,0018 <0,0005 0,0283 0,0379
Pb mg/l 0,65295 <0,0020 <0,0020 <0,0020
Cd mg/l 0,3203 <0,0010 0,0405 0,3386
Sinjai Hg mg/l 0,0006 0,0023 0,6046 0,0740 0,0274
Pb mg/l 0,4184 0,1350 14,1844 1,7246 0,0336
Cd mg/l 0,0603 0,0156 2,5946 0,3916 <0,0020
Bone Hg mg/l 0,0028 <0,1250 0,0504 0,0575 0,0754
Pb mg/l 0,2167 <0,5000 2,1262 3,0637 0,9653
Cd mg/l 0,009 <0,2500 0,1211 0,5554 0,0796
23
25. Dari hasil identifikasi tersebut bila dibandingkan dengan batas maksimum
yang dibolehkan berdasarkan batasan dari Dirjend Perikanan Budidaya yang
merujuk ke batasan dari Komisi Eropa. Batasan maksimum residu yang
dibolehkan Maximum Residual Limit (MRL) untuk ketiga jenis logam berat di
dalam udang untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 500 ppb (0,5 ppm) sedangkan pada
ikan adalah berturut-turut untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 500 ppb (0,5 ppm), 200
ppb (0,2 ppm), dan 50 ppb (0,05 ppm).
Apabila kita bandingkan dengan batasan tersebut maka untuk jenis udang
windu masih di bawah batas yang diperbolehkan di seluruh daerah yang
diidentifikasi pada jenis logam berat Hg, sedangkan untuk jenis logam berat Pb
ditemukan melebihi batas di daerah Pinrang (2,7435 mg/L), Sinjai (1,7246 mg/L)
dan Bone (2,1262 mg/L). Untuk jenis udang vannamei kandungan logam berat
jenis Hg dan Pb masih di bawah batas maksimum yang dibolehkan, namun untuk
jenis Pb (0,9982 mg/L) telah berada di atas batas yang diperbolehkan.
Pada komoditas bandeng menunjukkan bahwa hasil pengujian
menunjukkan kandungan yang masih di bawah batas yang diperbolehkan untuk
jenis logam Hg dan Pb, akan tetapi untuk jenis Cd ditemukan melebihi batas
untuk daerah Kabupaten Pangkep (0,0706 mg/L). Pada komoditas kepiting
diperoleh bahwa hasil identifikasi kandungan logam berat menunjukkan
kandungan logam berat jenis Hg masih di bawah batas yang diperbolehkan
sedangkan untuk jenis logam berat Pb dan Cd sudah di atas batas yang
diperbolehkan yakni berturut-turut sebesar 3,0637 mg/L dan 0,5554 mg/L bila
menggunakan pendekatan batas maksimum untuk udang (sama-sama
krustaceae), dan semuanya ditemukan di kabupaten Bone. Sedangkan untuk
komoditas kepiting lunak (softshell) dari Pinrang menunjukkan bahwa hasil
pengujian menunjukkan bahwa kandungan logam berat jenis Hg dan Cd ada di
bawah batas yang diperbolehkan kecuali logam berat jenis Pb.
Hasil pengujian pada siput atau kerang-kerangan di Pinrang dan
Makassar menunjukkan bahwa jenis logam Hg dan Cd masih dibawah 0,5 mg/L,
sedangkan kandungan logam berat Pb telah melebihi 1 mg/L. Pada Komoditas
rumput laut menunjukan bahwa kandungan Hg dan Cd masih dibawah 0,5 mg/L,
24
26. namun untuk Pb sudah melewati 0,5 mg/L yang ditemukan di Pinrang (0,8198
mg/L). Begitu pula untuk jenis komoditas Glacilaria di Bone hanya kandungan Pb
yang melebihi 0,5 mg/L.
3.3. Residu antibiotik
Pengujian residu antibiotik chloramphenicol diakukan pada beberapa
jenis pakan ikan dan udang. Batas maksimum residu yang digunakan adalah
nilai yang digunakan di unieropa. Batas maksimum yang dibolehkan untuk jenis
chloramphenicol pada pakan adalah 500 ppb, pada ikan dan udang 0,3 ppb.
Hasil pengujian sebagaimana yang tampak pada Tabel 3.14 menunjukkan
bahwa hasilnya menunjukkan untuk pakan masih ada dibawah batas yang
diperbolehkan, begitu juga untuk komoditas ikan dan udang.
Tabel 3.14. Kandungan residu chloramphenicol pada pakan, ikan dan udang
Kabupaten
Jenis Sampel Satuan
Takalar Jeneponto Bantaeng Maros Barru
Pakan 0,1011
ppb
“Manggalindo”
Pakan “NUVO” ppb 0,1065
Pakan “JAFFA” ppb 0,0925
Pakan “JAFFA” ppb 0,0819
Pakan “283 SP” ppb 0,0749
U. vanamei ppb 0,0002
U. Windu ppb 0,0102
U. Putih ppb 0,0010
Bandeng ppb 0,0292
3.3. Monitoring Penyakit
3.3.1. Pemantauan di Kabupaten Pinrang
Hasil monitoring hama dan penyakit ikan/udang di Kabupaten Pinrang
tahun 2008 (Tabel 3.15) menunjukkan bahwa Virus WSSV menyerang udang
windu serta ditemukan pada udang yang menjadi carier di tambak. Ini
menunjukkan bahwa virus WSSV di Kabupaten Pinrang tersebar mulai dari
25
27. tingkat carier hingga udang budidaya dan ini menjadi sangat berbahaya bila
sistem screening air tidak dilakukan dengan baik.
Tabel 3.15. Hasil deteksi WSSV positif di tambak udang Kabupaten Pinrang.
Kelompok
No. Jenis Penyakit Komoditi Lokasi Keterangan
Penyakit
1. Virus WSSV Udang windu Tambak
2. Virus WSSV Udang jambret Tambak
3. Virus WSSV Benur U. Windu Tambak
4. Virus WSSV Udang windu Tambak
26
28. PETA SEBARAN KANDUNGAN RESIDU LOGAM BERAT
PADA KOMODITAS PERIKANAN DI SULAWESI SELATAN
HASIL MONITORING RESIDU TA 2008
Air laut Air tbk Tanah U.Windu Kpg Softshell R.laut Siput
Hg (mg/L) 0,0054 0,1350 <0,1250 0,1176 0,0664 0,00470 0,0750
Pb (mg/L) 0,4751 0,2295 <0,5000 2,7435 2,5196 0,8198 2,1920
Cd (mg/L) 0,0391 0,0052 <0,2500 0,1400 0,3141 0,1034 0,2692
MAMUJU UTARA
LUWU UTARA
MAMUJU
LUWU TIMUR
PALOPO
MAMASA TATOR
MAJENE
Air tbk Tanah U.Windu Kepiting Glacilaria
E LUWU Hg (mg/L) 0,0028 <0,1250 0,0504 0,0575 0,0754
POLMAS N
R
E
Pb (mg/L) 0,2167 <0,5000 2,1262 3,0637 0,9653
PINRANG
K
A Cd (mg/L) 0,0090 <0,2500 0,1211 0,5554 0,0796
N
G
SIDRAP
PAREPARE WAJO Air laut Air tambak Tanah U.Windu R. Laut
Hg (mg/L) 0,0006 0,0023 0,6046 0,0740 0,0274
Hg(mg/L) Pb(mg/L) Cd(mg/L) Pb (mg/L) 0,4184 0,1350 14,1844 1,7246 0,0336
SOPPENG
Air Laut 0,0001 0,4534 0,0580 Cd (mg/L) 0,0603 0,0156 2,5946 0,3946 <0,0020
Air Tbk 0,0022 0,3973 0,0685 BARRU
Tanah 1,0072 6,2406 1,2488 BONE
U. vanamei 0,0050 0,9982 0,1376 PANGKEP
R. Laut 0,0556 <0,0020 0,4334 Air tambak Tanah U.Windu R. Laut
Bandeng 0,0360 <0,0020 <0,0010 Hg (mg/L) 0,0018 <0,0005 0,0283 0,0379
MAROS Pb (mg/L) 0,6529 <0,0020 <0,0020 <0,0020
MAKASSAR SINJAI
Cd (mg/L) 0,3203 <0,0010 0,0405 0,3386
GOWA
BULUKUMBA
TAKALAR
BANTAENG Air laut R. Laut
JENEPONTO Hg (mg/L) 0,0014 0,0364
Pb (mg/L) 0,7016 <0,0020
Cd (mg/L) 0,0559 0,3234
Tanah U.Windu Bandeng R. laut SELAYAR
Hg (mg/L) <0,0005 0,0900 0,1966 0,0472
Pb (mg/L) <0,0020 <0,0020 0,0020 <0,0020
Cd (mg/L) <0,0020 0,0542 0,0706 <0,4572
Air tambak Tanah U.Windu
Hg (mg/L) <0,0005 <0,0005 <0,0005
Kepiting Kerang Pb (mg/L) 0,1094 <0,0020 <0,0020
Hg (mg/L) ttd ttd Cd (mg/L) 0,0674 1,5906 0,2062
Pb (mg/L) ttd 2,3000
Cd (mg/L) ttd ttd
Gambar 1. Peta sebaran kandungan residu logam berat pada air, tanah dan komoditas
pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan.
Keterangan : Huruf merah sudah melebihi batas maksimum yang dibolehkan
27
29. 3.3.2. Pemantauan di Kabupaten Barru
Hasil monitoring menunjukkan bahwa virus WSSV dan IHHNV masih
ditemukan pada udang budidaya di tambak yang berturut-turut pada komoditas
udang windu dan vannamei di Kabupaten Barru (Tabel 3.16). Virus TSV juga
masih ditemukan di udang Vannamei. Namun yang menarik virus WSSV sudah
menyerang jenis komoditas udang vannamei. Sedangkan bakteri jenis Vibrio sp
ditemukan pada udang windu yang dipelihara di Keramba Jaring Apung. Hasil ini
menunjukkan bahwa virus WSSV, IHHNV dan TSV masih ditemukan di
Kabupaten Barru dan informasi baru menunjukkan bahwa udang vannamei juga
bisa terserang virus WSSV dan 2 tahun berturut-turut terdeteksi . Upaya
pembesaran udang windu di KJA di Siddo Barru mengalami kegagalan akibat
serangan bakteri Vibrio sp, ini mengindikasikan bahwa bakteri Vibrio sp banyak
terdapat di lokasi pengambilan sampel. Karena, ketika udang di pindahkan ke
Takalar udang sehat kembali dan bisa tumbuh dengan normal.
Tabel 3.16. Hasil deteksi positif virus WSSV, IHHNV, dan TSV dan Bakteri di
Tambak udang dan KJA Kabupaten Barru.
Kelompok Jenis
No. Komoditi Lokasi Keterangan
Penyakit Penyakit
1. Virus WSSV Benur U. Windu Tambak
2. Virus IHHNV Benur U. Windu Tambak
3. Virus WSSV Udang Vannamae Tambak
4. Virus TSV Udang Vannamae Tambak
5. Bakteri Vibrio sp Udang windu KJA
3.3.3. Pemantauan di Kabupaten Pangkep, Maros, Makassar, dan
Jeneponto
Hasil pemantauan di Kabupaten Pangkep, Maros, Makassar, dan
Jeneponto menujukkan tidak ditemukkanya penyakit baik virus maupun bakteri di
lokasi budiaya tambak (udang maupun bandeng). Ini menunjukkan bahwa
perairan di Kabupaen Pangkep Masih relatif aman bagi kegiatan budiaya udang.
28
30. Karena secara umum di wilayah lainnya ditemukan penyakit virus yang
menyerang udang.
3.3.4. Pemantauan di Kabupaten Bone
Penyakit yang ditemukan di Kabupaten Bone adalah virus WSSV yang
ditemukan di tambak udang tradisional (Tabel 3.17) . Pada tambak udang itu
ditemukan udang mati. Pada pengujian karier kepiting dan udang jambret juga
menunjukkan positif virus WSSV dengan tingkatan yang berat.
Tabel 3.17. Hasil deteksi positif virus WSSV di Tambak udang Kabupaten Bone.
Kelompok
No. Jenis Penyakit Komoditi Lokasi Keterangan
Penyakit
1. Virus WSSV Udang windu Tambak
2. Virus WSSV Kepiting Tambak
3. Virus WSSV Udang jambret Tambak
3.3.5. Pemantauan di Kabupaten Bulukumba
Hasil monitoring di Kabupaten Bulukumba diperoleh bahwa udang di
tambak terinfeksi dengan virus WSSV, sedangkan jenis lainnya tidak ditemukan.
Ini menunjukkan bahwa WSSV menjadi penyebab utama kematian udang di
Tambak di Kabupaten Bulukumba.
3.3.6. Pemantauan di Kabupaten Takalar
Hasil monitoring hama penyakit ikan di Kabupaten Takalar disajikan pada
Tabel 3.18. Hasil menunjukkan bahwa hanya ditemukan kelompok hama
penyakit berupa parasit dan bakteri baik di pembenihan maupun di Tambak
udang. Pada kegiatan pembenihan ditemkan parasit Amyloodinium sp yang
menyerang ikan kerapu, Vorticella sp, Cacing, Nematoda serta bakteri Flavobacterium
sp, Aeromonas sp yang menyerang larva beronang. Di lokasi tambak ditemukan parasit
jenis Zoothammium sp dan bakteri Vibrio sp yang menyerang udang vannamei.
29
32. PETA SEBARAN HAMA PENYAKIT
HASIL MONITORING HAMA DAN PENYAKIT TA 2008
MAMUJU UTARA
LUWU UTARA
MAMUJU
LUWU TIMUR
PALOPO
MAMASA TATOR
MAJENE
WSSV
POLMAS
E
N
LUWU Parasit :
R
PINRANG
E
K
A
Amyloolidium
N
G Cacing, Namatoda
SIDRAP
Vorticella sp
PAREPARE WAJO Zoothamnium sp
WSSV Monogonea
WSSV SOPPENG
IHHNV BARRU Bakteri :
TSV BONE Vibrio sp
Vibrio sp PANGKEP Aeromonas sp
Flavobacterium sp
MAROS
MAKASSAR SINJAI
Pseudomonas sp
GOWA
BULUKUMBA
TAKALAR
BANTAENG
JENEPONTO
SELAYAR
WSSV
Gambar 2. Peta sebaran hasil deteksi positif hama penyakit ikan di Provinsi
Sulawesi Selatan
31
33. IV. KESIMPULAN
4.1 Kualitas Tanah dan Air
Kondisi kualitas tanah kawasan budidaya tambak udang/ikan di beberapa
daerah bervariasi, ada karena kondisi tanah yang memang kurang baik, ada juga
disebabkan oleh karena kegiatan persiapan tanah yang tidak dilakukan dengan
baik akibat sarana dan konstruksi tambak yang kurang baik. Kondisi ini juga
berdampak pada kualitas air yang dihasilkannya pada kegiatan budidaya.
Kegiatan pemeliharaan yang tidak seksama membuat kondisi kualitas air
menjadi tambah buruk dan berdamapak pada kualitas udang yang kurang baik
pula walaupun secara umum kegiatan budidaya dilakukan secara tradisional.
4.2 Kandungan Residu Logam Berat
Dari daerah-daerah yang diidentifikasi kondisi perairan laut kandungan
logam berat Hg dan Pb masih rendah, namun untuk jenis Cd ada di atas batas
kandungan alami terutama untuk perairan di daerah KabupatenBarru, Bantaeng
dan Sinjai. Begituhalnya untuk kawasan air tambak menunjukkan bahwa seluruh
kawasan budidaya air tambaknya sudah kurang baik untuk lahan budidaya,
sedangkan bila merujuk ke PP no 18 tahun 1999 hanya Cd masih ada di atas
batas normal terutama untuk air tambak di Kabupaten Barru, Takalar dan
Bulukumba. Untuk kandungan Logam berat ditanah memperlihatkan bahwa
yang melebihi 1 mg/L hampir diseluruh daerah identifikasi kecuali kabupaten
Pinrang dan Bone. Sedangkan untuk kandungan jenis Cd ada di Kabupaten
Sinjai, Takalar dan Barru.
Untuk jenis Komoditas perikanan memperlihatkan bahwa untuk jenis
udang (windu/vanamei) daerah yang masih terdeksi kandungan logam berat
yang berlebihan adalah di kabupaten Pinrang (Pb), Barru (Pb), Sinjai (Pb), dan
Bone (Pb). Untuk jenis ikan bandeng terdeteksi di Kabupaten Barru (Cd). Untuk
Jenis Kepiting termasuk softshell ada di Kabupaten Pinrang (Pb) dan Bone (Pb
32
34. dan Cd). Pada jenis rumput (cottoni dan Glacilaria) memperlihatkan deteksi
melebihi 0,5 ppm berada di Pinrang (Pb), dan Bone (Pb). Sedangkan untuk jenis
kerang/siput kandungan yang tinggi ditemukan untuk jenis logam Pb baik di
Pinrang maupun Makassar. Pada hasil pengujian chloranmphenicol
menunjukkan hasil yang negatif untuk keseluruh sampel yang diujikan baik
pakan, ikan dan udang.
4.3. Hama dan Penyakit
Dari daerah yang dikunjungi 5 daerah diantaranya yang masih ditemukan
hama dan penyakit yang meliputi virus, parasit dan bakteri. Virus yang ditemukan
adalah WSSV, IHHNV dan TSV pada komoditas udang windu dan vannamei.
Dan saat ini menunjukkan bahwa udang vannamei sudah rentan terhadap
serangan virus WSSV, sepertihalnya udang windu. Jenis parasit yang ditemukan
adalah jenis Amyloodinium sp, Vorticella sp, Cacing, Nematoda, Zoothammium
sp, dan Monogonea, yang ditemukan pada udang dan ikan dan jenis bakteri
adalah Vibrio sp, Aeromonas sp, Pseudomonas sp, dan Flavobacterium sp.
Jenis ikan kerapu terserang bakteri Vibrio sp dan parasit Amyloodinium.
Ikan beronang terserang oleh bakteri Vibrio sp, Aeromonas sp, Pseudomonas
sp, dan Flavobacterium sp sedangkan jenis parasit yang menyerang adalah
Cacing, Vorticella sp, Nematoda, dan Monogonea. Akan tetapi udang windu dan
vannamei juga terserang Vibrio sp, dan secara khusus udang vanammei juga
terserang parasit Zoothamnium sp.
33
35. III. PUSTAKA
Adhikari, S. 2003. Fertilization, Soil dan Water Quality Management in Small-
Scale Ponds : Fertilization Requirementa and soil properties. Central
Institute of Freshwater Quaculture, Kausalyagangga, Bulaneswar India.
J.Aquaculture Asia, October-December 2003 (Vol. VIII No. 4)
Ariawan, I.K dan Poniran. 2004. Persiapan Media Budidaya Udang Windu : Air.
Makalah Pelatihan Petugas Teknis INBUDKAN . 24-30 Mei 2004, Jepara.
Balai Besar Pengembangan Air Payau, Jepara.
Boyd, C.E. 1986. Water Quality Management for Fond Fish Culture. Elselvier
Scientific Publishing Company. Amsterdam The Netherland.
--------------.1995. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and
Hall, New York. 348 pp.
Boyd, C.E. C.W. Wood and Taworn Thunjai. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil
Quality Management. Oregon State University Corvallis, Oregon.
Deocadiz, E.S. V.R. Diaz, and P.F.J. Otico. 1999. Asean Marine Water Quality
Criteria For Mercury. Marine Environment Division, Water Quality
Management Bureau. Polution Control Departement, Asean-Canada
CPMS-II Coorporative Program on Marine Science.
Direktorat Pembudidayaan. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Udang. Program
Intensifikasi Pembudidayaan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Jakarta
Dirjen Perikanan Budidaya. 2007. Rencana Monitoring Residu Obat Ikan, Bahan
Kimia, Bahan Biologi dan atau Kontaminan Tahun 2007. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Harian Fajar. 2007. 49 Cold storadge Indonesia Kena blacklist di Eropa. 26 maret
2007
Kep Dirjend Budidaya. 2005. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya
No 3491/DPB/HK.150D4/VII/2005. Tentang Petugas Pengambilan Sampel
Pada Usaha Di Bidang Pembudidayaan Ikan.
Kep Dirjend Budidaya. 2007. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya
No. 116/DPB/HK.150.04/I/2007. Tentang Pedoman Pelaksanaan
Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, bahan Biologi dan atau kontaminan
pada Pembudidayaan Ikan.
34
36. Kementrian Lingkungan hidup. 1999. Peraturan Perundang-undangan : PP
No.18 tahun 1999: Pengolahan Limbah bahan berbahaya dan beracun.
Jilid I Kementrian Lingkungan hidup.
Malone Ronald F dan Daniel G. Burden. 1988. Design of Recilculating Blue Crab
Shedding System. Louisiana Sea Grand College Program. Center for
Wetland Recources Louisiana State University.
Mukono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Airlangga University Press.
Saeni, M. Sri dan Latifah K. Darusman. 2002. Penuntun Praktikum Kimia
Lingkungan. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. IPB.
Svobodova Z, Richard Lioyd, Jana Machova, dan Blanka Vykusova. 1993. Water
Quality and Fish Health. EIPAC Technical Paper. FAO Fisheries
Department.
Veterinary Residues Committee. 2008. Annual Report on Survilence for
Verterinary Residues in Food in UK 2007. Veterinary Residues Committee
Van Wyk P. dan John Scarpa. 1999. Water Quality Requirements and
Management. Chapter 8 in . Farming Marine Shrimp in Recirculating
Freshwater Systems. Prepared by Peter Van Wyk, Megan Davis-
Hodgkins, Rolland Laramore, Kevan L. Main, Joe Mountain, John Scarpa.
Florida Department of Agriculture and Consumers Services. Harbor
Branch Oceanographic Institution.
35