Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriah. Peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini adalah hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Meskipun secara sejarah hijrah terjadi pada bulan Rabiul Awal, tetapi kalender Hijriah memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama karena pada bulan ini Nabi berazam untuk hijrah dan selesai melaksanakan ibadah haji. Hari kesepuluh Muharram yang disebut A
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Bulan Muharram
1. SEJARAH MUHARRAM
ْشَأ َ.وِْنيِالد َم ْوَي َةَرِفْغَمْال ُهُلَأْسَأ َو ,ُهُرُكْشَأ َو ُهَناَحْبُس ُهُدَمْحَأ ,َْنيِمَلاَعلْا ِبَر ِهللِ ُدْمَحْالَل َْكي َِرش َال ُهَدْح َو ُهللا َّالِإ َهَلِإ َّال ْنَأ ُدَهُدَهْشَأ َو ُه
َانَدِيَس َّنَأَص َو ِهِلَأ ىَلَع َو ُهللا ىَّلَص,ِْنيِبُمْال ِر ْوُّنال َو ىَدُهْاالِب ُث ْوُعْبَمْال ُهُل ْوُسَر َو ُهُدْبَعًادَّمَحَمَانَّيِبَن َوَْنيِعَمَْْأ ِهِبْح
ُدْعَب اَّمَأ
:ىَلاَعَت ِهللا ى َوْقَتِب ْيِسْفَن َو ْمُكْي ِص ْوُأَف
َ َّاّلل واُقَّتا واُنَمآ َِينذَّلا اَهُّيَأ اَيَونُمِلْسُم ْمُتْنَأ َو َّالِإ َّنُتوُمَت َال َو ِهِتاَقُت ََّ َح
َمُهْنِم َّثَب َو اَهَْ ْو َز اَهْنِم ََ َلَخ َو ٍةَد ِاح َو ٍسْفَن ْنِم ْمُكَقَلَخ ِيذَّلا ُمُكَّب َر واُقَّتا ُاسَّنال اَهُّيَأ اَيَ َّاّلل واُقَّتا َو ًءاَسِن َو ا ًيرِثَك ًالاَْ ِر اِيذَّلا
َءاَسَتًابيِق َر ْمُكْيَلَع َانَك َ َّاّلل َّنِإ َامَح ْرَََألا َو ِهِب َونُل
Assalaamu’alaikum, warahmatullaahi wabarakaatuh.
Rasanya, ketika kita berbicara tentang hijrah, tentang Muharram, atau tentang tahun baru
Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita. Sekilas pandang, kita –seakan–
merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam yang satu ini. Benarkah demikian?
Sudahkah khasanah keilmuan kita, sesuai dan memadai sebagai insan akademis Islam, yang
kelak akan bersinggungan langsung dengan kebutuhan masyarakat?
Sejarah mencatat, manusia pertama yang berhasil mengkristalisir hijrah nabi sebagai event
terpenting dalam penaggalan Islam adalah Sayidina Umar bin Al Khattab, ketika beliau
menjabat sebagai Khalifah. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw
dari Makkah ke Madinah.
Namun demikian, Sayidina Umar sendiri tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para
sahabat nabi. Sebagaimana biasanya, beliau selalu memusyawarahkan setiap problematika
umat kepada para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak dari diktum diatas.
Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem
penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan,
awal diresmikannya (dibangkitkannya) Muhammad Saw sebagai utusannyalah yang
merupakan waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang
melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh
dalam Islam.
Walaupun demikian, nampaknya Sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat –
sayidina Ali karamallâhu wajhah-- yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah sebagai tonggak
terpenting ketimbang event-event lainnya dalam sejarah Islam, pada masalah yang satu ini.
2. Relevan dengan klaim beliau: “Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah
Saw, adalah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang
batil.
Yang Unik Dalam Hijriah
Nampaknya, ada sesuatu yang unik dalam kalenderisasi Islam ini. Ketika sejarah
mengatakan, bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal –bukan pada bulan
Muharram--, tapi mengapa pada realita, pilihan jatuh pada bulan Muharram, bukan pada
bulan Rabiul Awal, sebagai pinangan pertama bagi awal penanggalan Islam.
Memang, dalam peristiwa hijrah ini Nabi bertolak dari Mekah menuju Madinah pada hari
Kamis terakhir dari bulan Safar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada
awal bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin tanggal 13 September 622.
Hanya saja, Sayidina Umar beserta sahabat-sahabatnya menginginkan bulan Muharram
sebagai awal tahun hijriah. Ini lebih karena, beliau memandang di bulan Muharramlah Nabi
berazam untuk berhijrah, padanya Rasulullah Saw selesai mengerjakan ibadah haji, juga
dikarenakan dia termasuk salah satu dari empat bulan haram dalam Islam yang dilarang Allah
untuk berperang di dalamnya. Sehingga Rasulullah pernah menamakannya dengan “Bulan
Allah”. sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik puasa selain dari puasa Ramadhan adalah puasa
di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. ( Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Ternyata keunikan awal Hijriah tidak hanya sampai di situ. Biasanya, pada hari kesepuluh
dari bulan tersebut, sebagian orang dari kampung kita membuat makanan sejenis bubur yang
dinamakan bubur Asyura, atau mungkin dalam bentuk lain semacam nasi tumpeng, maupun
makanan lain sejenisnya, tergantung budaya masing-masing tempat dalam mengekspresikan
rasa bahagianya terhadap hari Islam tersebut.
Sepertinya, yang menjadi unik bagi kita –sebagai kaum terpelajar– adalah tradisi bubur
Asyura tersebut. Adakah hubungannya dengan Islam? Asyura itu sendiri terambil dari ucapan
“`Asyarah”, yang berarti sepuluh. Hari Asyura, hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram.
Islam memerintahkan umatnya untuk berpuasa sunah dan meluaskan perbelanjaan kepada
keluarganya pada hari tersebut.
Kalau kita berupaya untuk menelusuri keterangan dari junjungan kita, Rasulullah Saw, dari
hadits sahihnya kita dapati, bahwa ia adalah hari yang bersejarah bagi umat Yahudi, karena
pada hari itulah Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. serta para pengikutnya, disaat
menenggelamkan Firaun.
Adapun tradisi bubur Asyura .................
Konon, di hari Asyura ini, ketika Nabi Nuh As. dan para pengikutnya turun dari bahtera,
3. mereka semuanya merasa lapar dan dahaga, sedangkan perbekalan masing-masing telah
habis. Maka Nabi Nuh As. meminta masing-masing membawa satu genggam biji-bijian dari
jenis apa saja yang ada pada mereka. Terkumpullah tujuh jenis biji-bijian, semuanya
dicampurkan menjadi satu, lalu dimasak oleh beliau untuk dijadikan bubur. Berkat ide Nabi
Nuh As., kenyanglah para pengikutnya pada hari itu. Dari cerita inilah, dikatakan sunat
membuat bubur Asyura dari tujuh jenis biji-bijian untuk dihidangkan kepada fakir miskin
pada hari itu.
Menurut Syara’, semua pada asalnya boleh-boleh saja, selagi tidak bertentangan dengan
kaidah agama . Terlebih, di saat tradisi semacam ini mengandung nilai positif dan seiring
dengan ajaran Islam. Hanya saja, yang selalu ditekankan oleh junjungan kita, hendaknya
manusia selalu mengenang dan mengingat hari ketika Allah menurunkan nikmat atau azab
kepada manusia, agar kita semua dapat bersyukur, sadar dan insaf kepada-Nya. Mungkin
sekedar inilah yang ditekankan Rasululullah Saw. berkenaan dengan hari Asyura tersebut.
Sebagaimana gejala lain terkadang kita dapati juga dari masyarakat kita –masyarakat ,
berkenaan dengan Muharram ini. Semacam tradisi atau bahkan keyakinan tentang tidak mau
melangsungkan akad pernikahan di bulan ini. Fenomena semacam ini, apakah memang ada
landasannya dalam Islam, atau hanya sekedar khurafat, bahkan mungkin karena kontaminasi
dan pengaruh kultur Islam-Kejawen yang terkadang masih melekat dalam budaya Indonesia.
Muharram dalam Islam, merupakan salah satu dari empat bulan haram yang ada dalam Islam
(Rajab, Zulka’dah, Zulhijjah dan Muharram). Dalam empat bulan ini, kita dilarang
melancarkan peperangan kecuali dalam kondisi darurat yang tidak dapat kita elakan. Firman
Allah Swt dalam surah At Taubah ayat 36:
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah ada dua belas bulan (yang telah ditetapkan) di
dalam kitab Allah ketika menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang
dihormati. Ketetapan yang demikian itu adalah agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar larangan-
Nya).
Berdasarkan ayat ini, segala aktifitas kebaikan tidak ada larangannya untuk dilakukan di
bulan Muharram/syuro. Demikian juga dengan
bulan Rajab/rejeb,Zulka’dah/selo dan Zulhijjah/besar. Hanya maksiat dan kezaliman saja
yang dilarang lebih keras oleh Allah Swt pada bulan-bulan tersebut. Adapun aktifitas positif -
-semacam pernikahan--, dalam perspektif Islam adalah satu aktifitas atau amalan kebajikan,
bukan maksiat dan kezaliman. oleh karenanya, tidak ada larangan dalam Islam untuk
4. melangsungkan acara perkawinan di bulan Muharram.
Mengingat bahwa kalender hijriah dihitung berdasarkan rotasi bulan yang berlawanan dengan
rotasi matahari, maka mengakibatkan semua hari-hari besar Islam dapat terjadi pada musim-
musim yang berbeda. Sebagai contoh, musim haji dan bulan puasa, bisa terjadi pada musim
dingin atau pada musim panas. Dan yang perlu diingat, hari-hari besar Islam tidak akan
terjadi persis dengan musim kejadiannya, kecuali sekali dalam 33 tahun.
Kita pun sering menemukan perbedaan di antara beberapa kalender hijriah yang dicetak,
perbedaan tersebut terjadi dikarenakan:
Pertama, tidak ada standardisasi internasional tentang cara melihat anak bulan.
Kedua, penggunaan cara penghitungan dan proses melihat bulan yang berbeda.
Ketiga, keadaan cuaca dan peralatan yang dipakai dalam melihat anak bulan.
Dari sini, maka tidak akan ditemukan adanya program penanggalan hijriah yang 100 persen
benar, sehingga proses melihat anak bulan (ru’yah) masih tetap relevan –meskipun
sebenarnya dilematis-- dalam penentuan hari besar, seperti bulan puasa, Idul Fitri dan Idul
Adha.
Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah, penghargaan atas prestasi kerja,
dan optimisme dalam meraih cita-cita,hijrah sebagai tahun (periode) menandai dimulainya
era muslim dan era baru menata komunitas muslim.
Karena hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap kematian, karena tidak mung-kin
Rasulullah takut terhadap kematian.
Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati sebagai tahun baru Hijrah (1
Muharram 1433), adalah peristiwa yang di dalamnya tersimpan suatu kebijaksanaan sejarah
(sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan
nilai-nilai dan ajaran Rasulullah saw (sunnatur-rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari
serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita
transformasikan bagi konteks kekinian.
Pertama, adalah transformasi keummatan. Bahwa nilai penting atau missi utama hijrah
Rasulullah beserta kaum muslimin adalah untuk penyelamatan nasib kemanusiaan. Betapa
serangkaian peristiwa hijrah itu, selalu didahului oleh fenomena penindasan dan kekejaman
5. oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil.
Kedua, adalah transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini telah mengentaskan
masyarakat dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan Islami. Jika sebelum hijrah,
kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, maka setelah hijrah hak-hak
asasi mereka dijamin secara perundang-undangan (syari'ah)..
Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah, yang dalam konteks hijrah,
dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah.
Menyongsong Tahun Baru Hijriyah
È@è%ur (#qè=yJôã$# “uŽz•|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qß™u‘ur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcr
–
ŠuŽäIy™ur 4’n<Î) ÉOÎ=»tãÉ=ø‹tóø9$# Íoy‰»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ã‹sù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbq
è=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
"Dan katakanlah! Beramallah maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui hal
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan." (QS: At-Taubah:105)
Tidak terasa umur kita bertambah satu tahun lagi. Itu berarti jatah hidup kita berkurang dan
semakin mendekatkan kita kepada rumah masa depan, kuburan. Pelajaran yang terbaik dari
perjalanan waktu ini adalah menyadari sekaligus mengintrospeksi sepak terjang kita selama
ini.
Kita punya lima hari yang harus kita isi dengan amal baik.
Hari pertama, yaitu masa lalu yang telah kita lewati apakah sudah kita isi dengan hal-hal
yang dapat memperoleh ridho Allah?
Hari kedua, yaitu hari yang sedang kita alami sekarang ini, harus kita gunakan untuk yang
bermanfaat baik dunia maupun akhirat.
Hari ketiga, hari yang akan datang, kita tidak tahu apakah itu milik kita atau bukan.
6. Hari keempat, yaitu hari kita ditarik oleh malaikat pencabut nyawa menyudahi kehidupan
yang fana ini, apakah kita sudah siap dengan amal kita?
Hari kelima, yaitu hari perhitungan yang tiada arti lagi nilai kerja atau amal, apakah kita
mendapatkan rapor yang baik, dimana tempatnya adalah surga, atau mendapat rapor dengan
tangan kiri kita, yang menunjukan nilai buruk tempatnya di neraka.