1. Keberadaan pedagang kaki lima di Surabaya dan persoalan yang dihadapi baik oleh pedagang kaki lima maupun pemerintah kota Surabaya.
2. Pemerintah kota Surabaya telah mengeluarkan kebijakan untuk menertibkan pedagang kaki lima melalui Perda No. 17 tahun 2003 namun kebijakan ini dinilai kurang berpihak pada pedagang kaki lima.
3. Diperlukan kebijakan baru yang me
3. ●BAB I PENDAHULUAN
-Latar Belakang
-Rumusan Masalah
-Tujuan Penulisan
-Manfaat Penulisan
●BAB II KERANGKA BERPIKIR
●BAB III PEMBAHASAN
-Keberadaan Pedagang Kaki Lima
- Persoalan yang dihadapi oleh PKL
- Persoalan yang dihadapi oleh Pemkot Surabaya
● BAB IV PENUTUP
-Kesimpulan
-Saran
●DAFTAR PUSTAKA
4. A. LATAR BELAKANG
Pedagang Kaki Lima merupakan dampak sulitnya perekonomian yang
dialami masyarakat, membuat mereka memilih suatu alternatif usaha di
sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang
kebutuhannya.
Kehadiran PKL yang menempati pinggir-pinggir jalan yang sangat
menganggu ketertiban lalu lintas dan gangguan pada prasarana jalan
tersebut menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan kota. Oleh
karenanya, pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan
pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan rapi. Tapi di
samping itu PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki
potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja untuk
masyarakat yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai
karena rendahnya tingkat pendidikan.
5. B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana persoalan Pedagang Kaki Lima dewasa ini di kota Surabaya ?
2.Apa dan bagaimana solusi untuk masalah Pedagang Kaki Lima ini?
C. Tujuan Penulisan
1.Untuk memenuhi Tugas Makalah mata kuliah Pengantar Bisnis kami
2. Untuk mengetahui gambaran masalah yang terkait Pedagang Kaki Lima
3. Untuk mencari solusi terkait permasalahan Pedagang Kaki Lima
D. Manfaat Penulisan
1 .Dapat memberi masukan bagi pemerintah kota Surabaya dalam upaya
mengatasi persoalan pedagang kaki lima
2 Memberikan wawasan dan masukan bagi para pedagang kaki lima dalam
mengatasi masalah pedagang kaki lima.
6. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha informal yang bergerak dalam distribusi barang
dan jasa. PKL, di satu sisi merupakan salah satu penggerak dalam perekonomian masyarakat
pinggiran. Hutajulu (1985) memberikan batasan tentang sektor informal, adalah suatu bidang
ekonomi yang untuk memasukinya tidak selalu memerlukan pendidikan formal dan
keterampilan yang tinggi, dan memerlukan surat-surat izin serta modal yang besar untuk
memproduksi barang dan jasa.
Suatu kegiatan informal pada dasarnya harus memiliki suatu lokasi yang tepat agar dapat
memperoleh keuntungan (profit) yang lebih banyak dari tempat lain dan untuk mencapai
keuntungan yang maksimal, suatu kegiatan harus seefisien mungkin. Richardson (1991)
berpendapat bahwa keputusan-keputusan penentuan lokasi yang memaksimumkan
penerimaan biasanya diambil bila memenuhi kriteria-kriteria pokok :
1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan
keuntungan yang layak.
2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi.
Undang-undang yang bisa digunakan untuk melindungi para PKL dan masyarakat miskin pada
umumnya :
-Pasal 11 UU nomor 39/199 mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang berhak atas
pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.”
- Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : “ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha
dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan. Dsb.
Konflik antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota Surabaya terjadi karena salah satu
pihak memiliki kekuasaan dan perbedaan kepentingan
7. 1. Keberadaan Pedagang Kaki Lima
2. Persoalan yang dihadapi oleh Pedagang kaki lima
3. Persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah Kota
Surabaya
8. Keberadaan pedagang kaki lima bagi masyarakat Surabaya sangat penting sebagai penyediaan barang
dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat Surabaya. Pedangan kaki lima sangat mempengaruhi pola
pasar dan sosial di Surabaya. Dalam bidang perekonomian pedagang kaki lima hanya berpengaruh sebagai
produsen yang penting bagi masyarakat Surabaya mengingat akan banyaknya masyarakat menengah
maupun menengah ke bawah. Merekacenderung lebih memilih membeli pada pedagang kaki lima daripada
membeli di supermarket, mall atau grosir maupun indogrosir yang banyak tersebar di kota Suarabaya,
dikarenakan harga yang mereka tawarkan lebih rendah. Pedagang kaki lima telah menjadi mata
pencaharian utama sebagian warga Surabaya. Sehingga pedagang kaki lima telah menjadi salah satu system
yang tidak dapat dipinggirkan masalahnya oleh pemerintah kota Surabaya.
Pedagang kaki lima yang telah berada dalam naungan paguyupan pada umumnya telah mentaati peraturan
yang di buat oleh pemerintah kota Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan :
1. Kepemilikan tanda daftar usaha (TDU) dengan ketentuan sebagai berkut (sebagaimana tercantum dalam
pasal 5 dan 6, Perda No. 17 Tahun 2003) yakni : Tidak memperjualbelikan tempat usaha atau lokasi kepada
orang lain, Tidak memperdagangkan barang ilegal menurut ketentuan undang-undang baik disengaja
maupun tidak disengaja., Tidak membangun tempat usaha secara permanen maupun semi permanen.,
Sanggup mengosongkan, mengembalikan dan menyerahkan kepada pemerintah apabila lokasi yang
dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pemerintah serta tidak akan menuntut apapun pada pemerintah.,
Sanggup membersihkan lokasi usaha setelah selesai berjualan dan membuang sampah langsung ke tempat
pembuangan sampah terdekat., Tidak meninggalkan alat peraga setelah selesai berjualan., Tidak
menggunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal dan kegiatan terlarang seperti judi dll., Tidak
mengalihkan tanda daftar usaha kepada pihak lain dalam bentuk apa pun
2. Membayar iuran kebersihan sebesar Rp.1000,-
3. Bersedia menyeragamkan tenda sebagai identitas dari paguyupan pedagang kaki lima hanya yang ada di
Surabaya.
9. Lokasi pedagang kaki lima
Selama ini lokasi yang menjadi pilihan bagi pedagang kaki lima
adalah daerah fasilitas umum padahal tempat tersebut telah dilarang oleh
pemkot Surabaya sehingga sering terjadi konflik antara pihak pedagang
kaki lima dengan pihak pemkot Surabaya. Pada dasarnya suatu kegiatan
sector informal yakni pedagang kaki lima harus memiliki lokasi yang tepat
agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal.Sedangkan untuk
membeli atau menyewa ruko –roko atau stand-stand di mall pastinya
mereka tidak mempunyai modal. Jadi seharusnya Pemerintah harusnya
dapat menyediakan ruang kota yang juga tempat umum seperti taman kota,
alun alun dsb yang strategis untuk mereka berjualan dan Pemkot dapat
menata mereka dengan rapi dan tertib bila perlu ada uang iuran. Karena
kejadian selama ini biasanya Pemkot hanya memberikan kompensasi yang
kurang untuk mereka mencari tempat lain, atau memindahkan mereka ke
tempat yang tidak strategis.
10. Identitas dagang pedagang kaki lima
Identitas dagang pedagang kaki lima yang masih kurang jelas, dikarenakan
adanya ketidakpedulian para pedagang kaki lima terhadap pengakuan dagang
mereka sehingga tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu para pkl
yang tidak memiliki identitas dagang yang dibuktikan dengan kepemilikan TDU
atau Tanda Daftar Usaha, sering kali dikatakan sebagai pedagang kaki lima liar dan
mereka sering digusur oleh satpol PP karena tidak memiliki tanda daftar usaha
tersebut. Adanya TDU yang ditentukan oleh pemkot Surabaya dianggap
menyulitkan pedagang kaki lima. Hal ini dikarenakan syarat untuk memiliki TDU
harus melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP ) Surabaya serta jangka waktu
TDU hanya 6 bulan. Syarat tersebut memberikan ruang gerak yang sempit bagi
pedagang kaki lima yang berasal dari luar kota Surabaya, Padahal pedagang kaki
lima kebanyakan berasal dari luar kota Surabaya. Selain itu jangka waktu yang
ditentukan sangat pendek sebelum mereka harus membokar lagi. Jadi dalam hal ini
para PKL sendiri yang harus memiliki kesadaran hukum untuk mematuhi aturan
Pemkot Surabaya agar kota Surabaya menjadi kota yang lebih indah , tertata rapi
dan tertib, dan Pemkot Surabaya harus terus melakukan sosialisasi agar para PKL
semakin perduli dan sadar hukum akan identitas mereka. Pemkot juga harus
memikirkan cara caraa seefisien dan efektif mungkin untuk pengurusan Tanda
Daftar Usaha ( TDU).
11. Penggusuran
Para PKL liar yang tidak memiliki TDU(Tanda Daftar
Usaha) mereka biasanya akan di gusur dengan peringatan
sampai di gusur paksa padahal Pedagang kaki lima merupakan
salah satu solusi akan masalah tingginya angka pengangguran
dan sedikitnya lapangan kerja bagi masyarakat berpendidikan
rendah seperti mereka. Pemerintah dalam hal ini tidak dapat
menyediakan lahan pengganti bagi mereka untuk melanjutkan
usaha mereka , jika pun ada pemerintah menyediakan lahan-
lahan yang letaknya kurang strategis yang secara pasti
menurunkan dan mematikan profit yang mereka dapatkan dan
akhirnya mereka harus gulung tikar dan menjadi
pengangguran yang semakin menambah permasalahan bangsa
ini. Pemerintah harus mencari cara dan tempat yang baik
untuk mereka berdagang ditengah modal mereka yang kecil.
12. Persoalan Pemerintah Kota Surabaya dalam menangani PKL di surabaya yakni penertiban dan
penataan PKL. Sulitnya penertiban dan penangananyang dilakukan karena kurangnya kesadaran
PKL terhadap aturan dan terganggunya fasilitas umum karena adanya aktivitas dagang mereka.
Satpol PP Kodya sebagai eksekutor dalam Penertiban dan Penanganan mengaku sangat lelah dalam
penertiban secara terus-menerus, yang dilakukan di daerah tersebut. Penertiban dilakukan dengan
melalui pemberitahuan kepada PKL terhadap lokasi yang mereka tempati sebagai lokasi sarana
umum. Penanganan dengan cara pemberian surat teguran dari Pemkot kepada kecamatan / kelurahan
dimana PKL tersebut menempati lokasi dagang mereka namun penaganan dan penertiban tersebut
kurang dihiraukan sehingga Pemkot melalui satpol PP Kodya Surabaya melakukan penggusuran
secara tegas, yang selanjutnya dibawa ke pengadilan yang mengarah pada denda sesuai dengan
Perda No17 Tahun 2003 dan pemberitahuan secara tegas agar tidak berjualan di lokasi tersebut.
Namun penaganan dan penertiban tersebut tidak diindahkan oleh para PKL tersebut sehingga alat
dagang dan alat peraga dagang PKL dimusnahkan / dibakar oleh Pemkot yang dilakukan oleh satpol
PP Kodya Surabaya.
Penangan dan penertiban tersebut dirasa kurang dapat menyelesaikan permasalahan PKL, karena
dengan adanya indikasi PKL tetap kembali pada lokasi yang dilarang untuk dilakukan transaksi jual
beli. Dengan adanya hal tersebut pula dapat menimbulkan bertambahnya jumlah PKL mengigat
lokasi tersebut padat akan daya beli. Sehingga penanganan dan penertiban PKL yang dilakukan oleh
Pemkot kurang dapat memberikan jalan keluar bagi PKL di Surabaya.
Kebijakan Pemkot dalam menangani permasalahan pedagang kaki lima
13. Pemkot mengambil kebijakan untuk mengeluarkan Perda No 17 Tahun
2003 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan ketertiban dan keindahan
kota dengan konsekuensi harus menertibkan pedagang kaki lima, oleh
karena itu kebijakan ini cenderung dinilai oleh beberapa pihak sebagai
kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak.
Pola penanganan pedagang kaki lima yang ada di perkotaan hendaknya
tidak menggunakan pola politik karena penanganan pedagang kaki lima
ini jika tidak berhasil akan menimbulkan efek yang besar bagi tatanan
kota Surabaya.
Oleh karena itu pemerintah kota Surabaya dituntut untuk memiliki
strategi yang efektif dalam merumuskan kebijakannya agar tidak
merugikan semua pihak.
Berikut model-model penanganan yang dilakukan Pemkot dalam upaya
menertipkan pedagang kaki lima yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan penyuluhan atau kampanye penaataan PKL
2. Diberi toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas
waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau
penggusuran tiba-tiba.
3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru.
4. Bantuan Dana
14. kebijakan publik yang di ambil Pemkot sebaiknya memuat 3 elemen yakni :
a. Identifikasi dan tujuan yang ingin dicapai
Dalam hal ini identifikasi pada permasalahan PKL dan kepentingan PKL. Dan tujuan yang ingin
dicapai adalah menyelesaikan persoalan PKL
b. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
Dalam hal ini mengacu pada kesadaran hukum PKL terhadap Perda No.17 Tahun 2003 yang telah
dibuat dan diimplementasikan pada mereka. Taktik dan strategi yang digunakan adalah melalui
pemberian penyuluhan yang efektif dan menyeluruh bagi para PKL. Pemberian reward bagi PKL
yang dalam pola perilakunya mencerminkan kedisiplinan terhadap aturan maupun aturan yang
berlaku. Dan penunjukkan leader/agent dari internal kelompok mereka yakni anggota dari paguyuban
mereka sendiri yang dibentuk melalui paguyuban PKL yang ada.
c. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dan taktik maupun
strategi di atas.( Harold dalam Wibowo,2004:25)
Dalam penyediaan penyuluhan secara efektif dan menyeluruh, jika pemkot mampu mengakomodasi
seluruh PKL yang ada di Surabaya dengan cara pengidentifikasian PKL secara legal sehingga seluruh
PKL yang ada mendapatkan penyuluhan tersebut.
Dalam pemberian reward disini, diharapkan lebih merangsang PKL untuk lebih berdisiplin diri dalam
proses kegiatannya sehari-hari sehingga tujuan PKL dan tujuan Pemkot terhadap lingkungan kota
dapat terjaga dengan baik.
Dan pemkot juga dapat mengakomodasi komunikatif diantara kedua belah pihak dengan baik melalui
peguyuban-paguyuban yang ada.
Jadi antara hukum dan kebijakan publik adalah pemahaman bahwa pada dasarnya kebijakan publik
umumnya harus didelegasikan dalam bentuk hukum dan pada dasarnya sebuah hukum adalah hasil
dari kebijakan publik.
15. A. Kesimpulan
Pada umumnya kendala-kendala yang ditemui oleh pihak PKL yang ada di Surabaya
yakni sebagai berikut :
1. Modal bagi usaha mereka.
2. Tempat Usaha (Lokasi PKL) yang sesuai dengan daya pembeli sehingga PKL meraut
keuntungan yang sesuai.
3. Identitas Dagang PKL sebagai perdagangan yang harus dikembangkan dan
diberdayakan dalam sektor informal yang tumbuh kembang di Kota Surabaya.
Dan pada umumnya pula kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Pemerintah Kota
Surabaya yakni sebagai berikut :
1. Pemberian penyuluhan atau kampanye penaataan PKL yang kurang efektif.
2. Pemberikan toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang
ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba.
3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru, yang mengalami misscominication
dengan pihak PKL.
Guna menangani kendala-kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya dalam
menangani persoalan PKL dan Pemkot Surabaya, yakni dengan cara sebagai berikut :
1. Memberikan penyuluhan atau kampanye penaataan PKL
2. Diberi toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang
ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba.
3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru yang juga dapat tetap mendukung
usaha dari pedagang kaki lima tersebut yakni daerah daerah yang strategis.
16.
B. Saran
Pemerintah Kota Surabaya dalam membuat kebijakan tentang penataan dan
pemberdayaan Pedagnag Kaki Lima diharapkan lebih memahami persoalan Pedagang
Kaki Lima sehingga dalam kebijakannnya bersifat adil. Selain itu PKL dan Pemkot
dapat menfungsikan komunikasi diantara mereka melalui lembaga PKL yakni
paguyuban PKL secara keseluruhan.Masalah PKL bukan hanya menjadi masalah bangsa
Indonesia saja tapi juga Negara berkembang lainnya. Masalah PKL juga telah coba
diatasi oleh kota-kota di negara berkembang yang berniat mengubah kebijakan terhadap
sektor informal dari yang sifatnya “melecehkan” (harassment) kepada “penerimaan”
(acceptance). Pemerintah Kota Cebu di Filipina, misalnya, secara informal menerapkan
“Maximum Tolerance Policy” terhadap PKL, organisasi PKL pun mulai mengubah
strateginya dari politik konfrontasi menjadi strategi lobbying dan keterlibatan.
Pemerintah Kota Cebu mengizinkan PKL berjualan di satu sisi jalan di area-area
tertentu; atau mengizinkan PKL beroperasi pada jam-jam tertentu; menyeragamkan
ukuran, warna, dan bentuk lapak PKL sehingga terlihat rapih; tidak menerapkan
kebijakan penggusuran kecuali jika ada keluhan yang disampaikan secara resmi ke
kantor walikota atau instansi pemerintah lainnya; menjaga agar kebersihan dan sanitasi
terjaga baik; serta menerapkan transparansi dalam penarikan retribusi. Dan tidak ada
salahnya Indonesia belajar dari Negara-negara berkembang lainnya.