Laporan ini membahas tentang perontokan, penyimpanan dan penggolongan benih padi. Dilakukan perbandingan efisiensi dua alat perontok dan pengamatan kondisi benih setelah disimpan dengan berbagai perlakuan.
1. LAPORAN PRAKTIKUM
PERONTOKAN, PENYIMPANAN DAN PENGGOLONGAN BENIH PADI
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Penanganan Pasca Panen
Kelompok 4:
Rizky H Rahmannia 150110080211
Annisa Handayani 150110080213
Mayang Winoti A 150110080216
Redy Aditya 150110080220
Rizqi Laila A 150110080221
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
2011
BAB I
2. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah
tingginya kehilangan hasil selama pasca panen. Kegiatan pasca panen meliputi proses
pemanenan padi, penyimpanan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga
menjadi beras. BPS (1996) menyebutkan kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari
ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,51%, dimana kehilangan saat
pemanenan 9,52%, perontokan 4,78 %, pengeringan 2,13% dan penggilingan 2,19%.
Besarnya kehilangan pasca panen terjadi kemungkinan dikarenakan sebagian besar petani
masih menggunakan cara-cara tradisional atau meskipun sudah menggunakan peralatan
mekanis tetapi proses penanganan pasca panennya masih belum baik dan benar.
Pada saat ini merosotnya produksi gabah secara nasional setiap tahun, salah satunya
disebabkan oleh faktor buruknya penanganan pascapanen di tingkat petani. Sebab tingkat
kehilangannya cukup tinggi, sekitar 20 %. Kondisi demikian jelas merugikan petani. Bahkan
kerugian secara nasional diperkirakan setara dengan Rp 15 triliun per tahun. Karena itu,
petani diminta lebih mengenal pengembangan dan pemanfaatan teknologi panen dan
pascapanen agar produksinya lebih baik.
Pemerintah perlu lebih mengkampanyekan penanganan pasca panen yang baik, sampai usaha
ini mendapat respon yang baik dari petani. Jika tingkat kehilangan panen bisa ditekan sampai
minimal 0,5 sampai 1 persen untuk setiap kegiatan pasca panen dan secara bertahap dapat
dikurangi sampai 3 sampai 5 persen berarti total produksi padi yang bisa diselamatkan
mencapai 1,59 sampai 2,65 juta ton. Suatu jumlah yang sangat besar untuk mendukung
mengamankan target produksi beras nasional setiap tahunnya (Purwanto, 2005).
Penggilingan padi mempunyai peranan yang sangat vital dalam mengkonversi padi menjadi
beras yang siap diolah untuk dikonsumsi maupun untuk disimpan sebagai cadangan. Dalam
kaitan dengan proses penggilingan padi, karakteristik fisik padi sangat perlu diketahui karena
proses penggilingan padi sebenarnya mengolah bentuk fisik dari butiran padi menjadi beras
putih. Butiran padi yang memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dimakan atau tidak enak
3. dimakan, sehingga perlu dipisahkan. Selama proses penggilingan, bagian-bagian tersebut
dilepaskan sampai akhirnya didapatkan beras yang enak dimakan yang disebut dengan beras
sosoh (beras putih).
1.2 Identifikasi Masalah
Bandingkan hasil penggunaan kedua alat perontok, mana yang lebih efisien?
Tulis spesifikasi alat yang digunakan & waktu yang diperlukan
Amati kondisi 1 HSP,4 HSP,6 HSP,8 HSP,11 HSP,13 HSP
1.3 Tujuan
Setelah melakukan kegiatan praktikum ni diharapkan mahasiswa dapat :
Mengetahui alat perontok padi mana yang lebih efisien .
Mengetahui spesifikasi dari masing- masing alat perontok yang digunakan.
Mengetahui kondisi benih padi hasil perontokan tersebut setelah disimpan
dengan berbagai perlakuan.
4. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pangsa beras
pada konsumsi kalori total adalah 54.3% atau dengan kata lain setengah dari intake kalori
masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto, 2001).
Perontokan padi merupakan tahapan pasca panen padi setelah pemotongan padi (pemanenan).
Tahapan kegiatan ini bertujuan untuk melepaaskan gabah dari malainya. Perontokan padi dapat
dilakukan secara manual atau dengan alat dan mesin perontok. Prinsip untuk melepaskan butir
gabah dari malainya adalah dengan memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai tersebut.
Proses perontokan padi memberikan kontribusi cukup besar pada kehilangan hasil padi secara
keseluruhan.
Berdasarkan alat perontok padi, cara perontokan dapat dikelompokkan menjadi beberapa cara,
antara lain (1) iles/injak-injak, (2) pukul/gedig, (3) banting/gebot, (4) pedal thresher, (5) mesin
perontok (BPS,1996) . Perontokan padi dengan cara dibanting dilakukan dengan cara
membantingkan atau memukulkan segenggam potongan padi ke benda keras, misalnya kayu,
bambu atau batu yang diletakkan pada alas penampung gabah. Kapasitas perontokan dengan cara
gebot sangat bervariasi, tergantung kepada kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8
kg/jam/orang (Setyono dkk.,1993) sampai 89,79 kg/jam/orang (Setyono dkk., 2000).
Kemampuan kerja pemanen di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta untuk merontok padi dengan
cara gebot berkisar antara 58,8 kg/jam/orang (Mudjisihono,dkk,2001)sampai 62,73 kg/jam/orang
(Mudjisihono dkk.,1998) Perontokan padi dengan cara gebot banyak gabah yang tidak terontok
berkisar antara 6,4 % - 8,9 % (Rachmat dkk., 1993;Setyono dkk.,2001) Untuk menghindari hal
tersebut, maka perontokan padi perlu menggunakan alat atau mesin perontok.
Penggunaan mesin perontok menyebabkan gabah tidak terontok sangat rendah, yaitu kurang dari
satu persen. Hasil pengujian empat mesin perontok padi Type TH-6 menunjukkan bahwa
kapasitas mesin perontok tersebut bervariasi antar 523 kg/jam/unit sampai 1.125 kg/jam/unit
tergantung kepada spesifikasi atau pabrik pembuatannya (Setyono,dkk.,1998).Penggunaan mesin
5. perontok dalam perontokan padi, selain dapat menekan kehilangan hasil juga dapat
meningkatkan kapasitas kerja.
Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air gabah sampai mencapai nilai tertentu
sehingga siap untuk diolah/digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu yang lama.
Kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam melakukan proses pengeringan dapat mencapai
2,13 %. Pada saat ini cara pengeringan padi telah berkembang dari cara penjemuran menjadi
pengering buatan.
Penyimpanan merupakan tindakan untuk mempertahankan gabah/beras agar tetap dalam keadaan
baik dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan dalam melakukan penyimpanan gabah/ beras dapat
mengakibatkan terjadinya respirasi, tumbuhnya jamur, dan serangan serangga, binatang
mengerat dan kutu beras yang dapat menurunkan mutu gabah/beras. Cara penyimpanan
gabah/beras dapat dilakukan dengan :
Sistem curah, yaitu gabah yang sudah kering dicurahkan pada suatu tempat yang
dianggap aman dari gangguan hama maupun cuaca. Penyimpanan gabah dengan sistem
curah dapat dilakukan dengan menggunakan silo. Silo merupakan tempat menyimpan
gabah/beras dengan kapasitas yang sangat besar. Bentuk dan bagian komponen silo
adalah sebagai berikut :
(a) Silo biasanya berbentuk silinder atau kotak segi-empat yang terbuat dari plat lembaran atau
papan.
(b) Silo dilengkapi dengan sistem aerasi, pengering dan elevator.
(c) Sistem aerasi terdiri dari kipas-kipas angin aksial dengan lubang saluran pemasukan dan
pengeluaran pada dinding silo.
(d) Pengering terdiri sumber pe-manas/kompor dan kipas peng-hembus.
(e) Elevator biasanya berbentuk mangkuk yang berjalan terbuat dari sabuk karet atau kulit serta
plat lembaran.
6. Penyimpanan Gabah dengan Kemasan/Wadah. Penyimpanan gabah dengan kemasan
dapat dilakukan dengan menggunakan karung. Beberapa aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam penyimpanan gabah dengan karung adalah :
(a) Karung harus dapat melindungi produk dari kerusakan dalam pengangkutan dan atau penyim-
panan.
(b) Karung tidak boleh meng-akibatkan kerusakan atau pen-cemaran oleh bahan kemasan dan
tidak membawa OPT.
(c) Karung harus kuat, dapat menahan beban tumpukan dan melindungi fisik dan tahan terhadap
goncangan serta dapat mempertahankan ke-seragaman. Karung harus diberi label berupa tulisan
yang dapat menjelaskan tentang produk yang dikemas.
Secara umum mutu beras dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu mutu giling, mutu rasa
dan mutu tunak, mutu gizi, dan standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya
besar, bentuk dan kebeningan beras).
Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang
banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras
putih atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai
ekonomis dari beras. Salah satu kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah
sewaktu digiling. Hal ini dapat menyebabkan mutu beras menurun (Allidawati dan Kustianto,
1989).
7. Saat ini telah dibuat RSNI mengenai mutu beras giling yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Mutu beras: RSNI 01-6128-200x
Mutu
No. Komponen Mutu Satuan
I II III IV V
1 Derajat sosoh (min) % 100 100 95 95 95
2 Kadar air (max) % 14 14 14 14 14
3 Butir kepala (min) % 95 89 78 73 60
4 Butir patah total (max) % 5 10 20 25 35
5 Butir menir (max) % 0 1 2 2 5
6 Butir merah (max) % 0 1 2 3 3
7 Butirkuning/rusak (max) % 0 1 2 3 5
8 Butir mengapur (max) % 0 1 2 3 5
9 Benda asing (max) % 0 0.02 0.02 0.05 0.20
10 Butir gabah (max) Butir/100g 0 1 1 2 3
Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari bijinya dan lapisan aleuron,
sebagian mapun seluruhnya agar menhasilkan beras yang putih serta beras pecah sekecil
mungkin. Setelah gabah dikupas kulitnya dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian gabah
tersebut dimasukkan ke dalam alat penyosoh untuk membuang lapisan aleuron yang menempel
pada beras. Selama penyosohan terjadi, penekanan terhadap butir beras sehingga terjadi butir
patah. Menir merupakan kelanjutan dari butir patah menjadi bentuk yang lebih kecil daripada
butir patah (Damardjati, 1988).
Menurut Nugraha et al.(1998), nilai rendemen beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang
terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen
melalui pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan yang
meliputi varietas, teknik budidaya, cekamaman lingkungan, agroekosistem, dan iklim. Kelompok
kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam proses konversi gabah menjadi
beras, yaitu teknik penggilingan dan alat penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan kualitas
8. beras terutama derajat sosoh yang diinginkan, karena semakin tinggi derajat sosoh maka
rendemen akan semakin rendah.
Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam nilai derajat sosoh serta ukuran
dan sifat butir padi yang dihasilkan. Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase beras
patah menjadi semakin meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas beras
kepala, beras patah, dan menir (Anonim, 1983). Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh
Bulog, beras kepala merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian beras
utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10 bagian sampai 6/10 bagian beras utuh. Menir
memiliki ukuran lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau melewati lubang ayakan 2.0 mm
(Waries, 2006).
9. BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Alat dan Bahan
bulir padi berisi hasil perontokan sebanyak 4 x 100 gr
air
Perontokan Padi
1 karung padi hasil tuaian
Tampi, terpal, rangka kayu atau bambu (tradisional)
mesin perontok (modern)
Timbangan
Pengeringan dan Penyimpanan Padi
wadah sterofom
oven
Timbangan
rak penyimpanan
3.2 Metode dan Cara Kerja
Perontokan dan Pengeringan
Kegiatan :
Membandingkan 2 macam alat perontok
Menimbang berat 1 karung padi hasil tuaian dan mencatat beratnya
Mengeluarkan padi dari dalam karung & melakukan perontokan
Alat tradisional (untuk kelompok 1,3,5,7)
10. a. menyiapkan padi yang akan dirontokkan,terpal dan kayu atau rangka bamboo.
b. Mengambil segenggam malai padi dan kemudiian membantingkan malai padi pada kayu
atau rangka bamboo hingga gabah terlepas dari malai.
c. Memisahkan bulir padi hasil perontokkan dengan jerami serta gabah yang kosong dengan
cara ditampi.
Alat bermotor (untuk kelompok 2,4,6,8 )
Cara Kerja
a. Setelah semuanya siap, hidupkan mesin, biarkan sebentar mesin tanpa
muatan. Periksalah posisi unit keseluruhan mesin, jangan sampai bergeser
akibat getaran atau berpindah tempat.
b. Setelah mesin siap dioperasikan, masukkan mali padi yang akan dirontok
ke pintu pemasukan secara teratur sebanyak mungkin tanpa menimbulkan
overload,
c. Kurangi pemasukan bahan bila terasa akan menjadi overloading, terutama
untuk bahan yang masih belum kering. .
d. Kotoran berbentuk jerami yang keluar dari pintu pelempar jerami atau kipas
penghembus harus segera dijauhkan dari mesin, agar tidak menyumbat saringan
atau tercampur dengan gabah bersih hasil perontokan, bila perlu gabah
ditampung langsung menggunakan karung di depan mulut pintu pengeluaran
gabah.
e. Memisahkan bulir padi hasil perontokkan dengan jerami serta gabah yang kosong.
11. Pisahkan padi yang berisi dengan cara ditampi (tradisional) dengan mesin perontok
(modern)
Timbang berat bulir padi berisi & berat bulir padi hampa, hitung dalam % perbandingan
keduanya
Hitung juga perbandingan berat bulir berisi dengan berat padi hasil tuaian (%)
Pengeringan dan Penyimpanan Padi
Ambil sample bulir padi berisi hasil perontokan sebanyak 4 x 100 gr,simpan masing-masing
dalam wadah sterofom
Lakukan perlakuan sebagai berikut :
1 wadah langsung disimpan dalam rak
1 wadah dijemur selama 3 jam,lalu ditimbang (dimasukkan dalam rak penyimpanan)
1 wadah dikeringkan dalam oven 450C selama 24 jam (timbang,dan simpan dirak penyimpanan)
1 wadah diberi 6 gr air,dicampur rata, lalu disimpan dalam rak penyimpanan
Amati kondisi 1 HSP,4 HSP,6 HSP,8 HSP,11 HSP,13 HSP
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Pengamatan Perontokan dengan Dua Cara Berbeda
Cara manual mesin per
Parameter Kel 1 Kel 3 Kel 5 Kel 7 rata-rata Kel 2 Kel 4 Kel 6
Berat hasil tuaian (kg) 13,2 12,6 11 14,1 11 13,5 12 13,8
Berat bulir padi hasil perontokan (kg) 4,11 3,648 4,09 3,95 3,65 5,6 3,45 4,57
Berat bulir isi (kg) 3,9 3,5 3.25 3,65 3,25 5,3 3,3 4,32
Berat bulir hampa (kg) 0,21 0,148 0.84 0,3 0,84 0,3 0.23 0,25
% bulir isi dari hasil tuaian 29,55 27,77 29.5 25,8 29,54 41,5 27,5 32,66
% bulir isi dari hasil perontokan 94,89 95,94 74.5 92,4 74,46 94,6 95,65 94,52
% bulir hampa dari hasil perontokan 5,11 4,05 20.5 7,6 20,54 5,4 6,66 5,78
Berdasarkan data hasil pengamatan didapat hampir keseluruhan parameter yang diukur
menunjukan angka yang lebih besar pada mesin perontok dibandingkan dengan menggunakan
12. alat perontok manual. Sedangkan untuk berat bulir hampa dan persentase bulir hampa lebih besar
jumlahnya pada perontokan manual.
Studi yang dilakukan oleh International Rice Reasarch Institute (IRRI) menyebutkan bahwa
diperkirakan tingkat kehilangan pascapanen sebesar 5 – 16 % terjadi pada saat pemanenan,
perontokan dan pembersihan, sedangkan 5 – 21 % terjadi pada proses pascapanen dari
pengeringan, penyimpanan dan penggilingan (Dirjen P2HP, 2007). Hasil penelitian menyatakan
bahwa perontokan dengan menggunakan mesin perontok dapat meningkatkan efisiensi kegiatan
pascapanen karena dapat menurunkan tingkat kehilangan hasil dan meningkatkan kapasitas
kerja. Menurut Tastra (2003) penggunaan power thresher dapat menekan kehilangan hasil
minimal 3, 30% dibandingkan dengan cara tradisional (gebot). Efisiensi penggunaan mesin
perontok dalam proses pascapanen benih baru dicapai bila mutu nemih tetap baik.
Kapasitas mesin perontok dipengaruhi oleh kecepatan putr silinder perontok. Makin tinggi
kecepatan silinder perontok, makin tinggi pula kapasitas kerja mesin sehingga efisiensi kerja
mesin akan semakin tinggi.
MATERI II. PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN PADI
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pengeringan dan Penyimpanan Gabah
% Bobot sebelum penyimpanan: (Berat awal 100,0 g)
Cara Manual Mesin Perontok
Kel Kel Kel Kel Rata - Kel Kel Kel Kel Rata -
Perlakuan 1 3 5 7 Rata 2 4 6 8 Rata
Tanpa Perlakuan 100 100 102 #DIV/0! 100 100 100
Penjemuran 3 jam 92 90 90 #DIV/0! 100 98 100
Pengeringan 45 C, 24 jam 86 82 90 #DIV/0! 100 100 100
Penambahan 5 - 6 ml air 105 106 118 #DIV/0! 100 106 100
% bobot pada 8 MSP
Cara Manual Mesin Perontok
Rata
Kel Kel Kel Kel Rata - Kel Kel Kel Kel –
Perlakuan 1 3 5 7 Rata 2 4 6 8 Rata
Tanpa Perlakuan 94 96 96 #DIV/0! 100 102 100
Penjemuran 3 jam 90 86 88 #DIV/0! 90 92 90
Pengeringan 45 C, 24 jam 88 86 94 #DIV/0! 84 92 84
Penambahan 5 - 6 ml air 98 100 110 #DIV/0! 106 104 106
13. % bobot pada 13 MSP
Cara Manual Mesin Perontok
Kel Kel Kel Kel Rata - Kel Kel Kel Kel Rata -
Perlakuan 1 3 5 7 Rata 2 4 6 8 Rata
Tanpa Perlakuan 92 92 92 #DIV/0! 98 94 98
90 86 88
Penjemuran 3 jam #DIV/0! 92 84 92
90 88 94
Pengeringan 45 C, 24 jam #DIV/0! 90 88 90
94 96 106
Penambahan 5 - 6 ml air #DIV/0! 102 96 102
Perubahan fisik gabah pada 4 HSP (isi tabel dengan skor yang sesuai)
Cara Manual Mesin Perontok
Kel Kel Kel Kel Rata - Kel Kel Kel Kel Rata -
Perlakuan 1 3 5 7 Rata 2 4 6 8 Rata
2 2 2
Tanpa Perlakuan #DIV/0! 2 3 2
2 1 1
Penjemuran 3 jam #DIV/0! 0 2 0
1 1 1
Pengeringan 45 C, 24 jam #DIV/0! 0 1 0
4 4 3
Penambahan 5 - 6 ml air #DIV/0! 3 4 3
Keterangan: Skor 1= baik, kering, warna kekuningan
2= sedikit (>5%) terlihat kerusakan, warna kusam atau kehitaman)
3= terlihat jelas ada kerusakan (6 - 15%) (atau pertumbuhan
kecambahan)
4= kerusakan cukup banyak (16 - 40%)
5= kerusakan berat (>40%)
Kerusakan biologis gabah pada 6 HSP (isi tabel dengan skor yang sesuai)
Cara Manual Mesin Perontok
Kel Kel Kel Kel Rata - Kel Kel Kel Kel Rata -
Perlakuan 1 3 5 7 Rata 2 4 6 8 Rata
2 2 2
Tanpa Perlakuan #DIV/0! 2 3 2
3 2 1
Penjemuran 3 jam #DIV/0! 0 2 0
2 1 1
Pengeringan 45 C, 24 jam #DIV/0! 0 1 0
4 5 3
Penambahan 5 - 6 ml air #DIV/0! 4 4 4
Keterangan: Skor 1= baik, kering, warna kekuningan
14. 2= sedikit (>5%) terlihat kerusakan, warna kusam atau kehitaman)
3= terlihat jelas ada kerusakan (6 - 15%) (atau pertumbuhan
kecambahan)
4= kerusakan cukup banyak (16 - 40%)
5= kerusakan berat (>40%)
CATATAN:
* Masing - masing kelompok membuat grafik sesuai bobot dari 4 perlakuan ( 1 HSP - 13 HSP) dalam
satu gambar (untuk dapat dibandingkan)
* Bahs pengaruh perlakuan terhadap kualitas gabah selama penyimpanan
Pengamatan kualitas dengan standar BULOG
Pengamatan Kelompok A Kelompok B
Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Rata – Kel 5 Kel 6 Kel 7 Kel 8 Rata -
Rata Rata
Kadar air 13.4 13.06 13.47 12.76 13.173 13.47 13.37 13.46 13.16 13.365
% menir 5.8 12.61 1.5 0.69 5.15 6.74 12.3 8.87 6.6 8.628
% b. pecah 27.4 15.28 28.4 23.6 23.67 20.74 17.5 24.3 26 22.135
%b. utuh 76.8 62.89 69.2 67.7 69.15 72 68.2 65.55 65.4 67.79
Alasan TMS % % % b. % b. % % % %
menir menir pecah pecah menir menir menir menir
dan % > > > dan % > dan % dan %
b. standar standar standar b. standar b. b.
pecah BULO BULO BULO pecah BULO pecah pecah
> G G G > G > >
standar standar standar standar
BULO BULO BULO BULO
G G G G
Berdasarkan data yang diperoleh maka didapat nilai rata-rata sebagai berikut :
1. Kadar air : 13.269 %
2. % menir : 6.889 %
3. % b. pecah : 22.9025 %
4. % b. utuh : 68.47 %
Menurut Inpres Nomor 7 tahun 2009 persyaratan kualitas beras yang diterima BULOG adalah
beras dengan kadar air maksimal 14%, butir patah maksimum 20%, butir menir maksimum 2%
dan derajat sosoh minimal 95%
15. Dari data rata-rata tersebut di atas, maka beras yang digunakan sesuai kadar airnya dengan
standar BULOG , namun untuk % menir dan % beras pecah tidak sesuai karena melebihi standar
yang telah ditentukan.
16. Pembahasan
Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah
tingginya kehilangan hasil selama pasca panen. Kegiatan pasca panen meliputi proses
pemanenan padi, penyimpanan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga menjadi
beras. BPS (1996) menyebutkan kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari
ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,51%, dimana kehilangan saat
pemanenan 9,52%, perontokan 4,78 %, pengeringan 2,13% dan penggilingan 2,19%. Besarnya
kehilangan pasca panen terjadi kemungkinan dikarenakan sebagian besar petani masih
menggunakan cara-cara tradisional atau meskipun sudah menggunakan peralatan mekanis tetapi
proses penanganan pasca panennya masih belum baik dan benar.
Penggilingan padi mempunyai peranan yang sangat vital dalam mengkonversi padi menjadi
beras yang siap diolah untuk dikonsumsi maupun untuk disimpan sebagai cadangan. Dalam
kaitan dengan proses penggilingan padi, karakteristik fisik padi sangat perlu diketahui karena
proses penggilingan padi sebenarnya mengolah bentuk fisik dari butiran padi menjadi beras
putih. Butiran padi yang memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dimakan atau tidak enak
dimakan, sehingga perlu dipisahkan. Selama proses penggilingan, bagian-bagian tersebut
dilepaskan sampai akhirnya didapatkan beras yang enak dimakan yang disebut dengan beras
sosoh (beras putih).
Dari bentuk gabah kering giling sampai menjadi beras sosoh, berat biji padi akan berkurang
sedikit demi sedikit selama proses penggilingan akibat dari pengupasan dan penyosohan. Bagian-
bagian yang tidak berguna akan dipisahkan sedangkan bagian utama yang berupa beras
dipertahankan. Namun tidak dapat dihindarkan sebagian butiran beras akan patah selama proses
penggilingan.
Kualitas fisik gabah terutama ditentukan oleh kadar air dan kemurnian gabah. Yang dimaksud
dengan kadar air gabah adalah jumlah kandungan air dalam butiran gabah. Sedangkan tingkat
kemurnian gabah merupakan persentase berat gabah bernas terhadap berat keseluruhan campuran
gabah. Makin banyak benda asing atau gabah hampa atau rusak dalam campuran gabah maka
tingkat kemurnian gabah makin menurun.
17. Kualitas gabah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas beras yang dihasilkan. Kualitas gabah
yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Hasil rendemen yang diperoleh
kelompok kami dalam praktikum kali ini sebesar 61%. Nilai ini belum mancapai kriteria
rendemen yang baik karena menurut literatur, proses penyosohan berjalan baik bila rendemen
beras yang dihasilkan sama atau lebih dari 65% dan derajat sosoh sama atau lebih dari 95%.
Menurut Nugraha et al. (1998), nilai rendemen giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang
terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen
melalui pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan, yang
meliputi varietas, teknik budidaya, cekaman lingkungan, agroekosistem, dan iklim. Kelompok
kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam proses koversi gabah menjadi
beras, yaitu teknik penggilingan dan alat/mesin penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan
kualitas beras terutama derajar sosoh yang diinginkan, karena semakin tinggi derajat sosoh, maka
rendemen akan semakin rendah.
Beras sosoh dipisahkan menjadi beberapa ukuran, yaitu beras kepala, beras patah, dan menir.
Mutu beras giling dikatakan baik apabila hasil dari proses penggilingan diperoleh beras kepala
yang banyak dengan beras patah dan menir minimal. Dari hasil percobaan yang kami peroleh,
didapat persentase beras kepala adalah sebesar 41.2%, beras patah 16.6%, dan menir 42.2%.
Besarnya persentase menir paling tinggi dibandingkan dengan persentase beras kepala dan beras
patah. Hal ini menunjukkan mutu beras masih rendah.
Pada proses penggilingan, beras patah dan menir tidak dikehendaki. Yang dikehendaki adalah
sebanyak mungkin beras kepala. Namun timbulnya beras patah dan menir tidak dapat dihindari.
Timbulnya beras patah dan menir terutama terjadi pada proses penyosohan, yaitu pada saat
menggosok permukaan beras untuk melepaskan bagian bekatul.
Selain kinerja mesin penggiling, terjadinya beras patah juga ditentukan oleh kualitas gabah
sebelum digiling. Dengan penanganan yang kurang tepat, gabah dapat menjadi mudah patah atau
retak, atau bahkan telah patah sebelum digiling. Gabah dapat patah atau retak selama
penanganan pasca panen sebagia kaibat dari adanya perubahan cuaca, terutama fluktuasi suhu
dan kelembaban relatif udara. Ini bisa terjadi apabila perubahan hari panas dan hujan terjadi
18. berkali-kali dalam jangka waktu yang lama. Fluktuasi ini menyebabkan butiran gabah mengkerut
dan mengembang dengan interval tidak teratur sehingga terjadi keretakan. Keretakan serupa juga
dapat terjadi apabila dilakukan metode pengeringan yang tidak tepat.