2. Di sebuah metromini jurusan Mampang-Kampung Melayu, Jakarta, seorang siswi sebuah
SMP (Sekolah Menengah Pertama) nampak asyik memainkan blackbarry-nya. Entah apa yang
dimainkanya, sekedar SMS atau BB (BlackBarry) massanger atau sedang browsing internet. Tak
lama kemudian, siswi itu mengeluarkan hp CDMAnya. Sekarang, khususnya di kota-kota besar,
anak usia SMP seperti sudah biasa memiliki smart phone bahkan memiliki dua handphone
sekaligus.
Internetan, nonton televisi, mendengarkan musik MP3 dan tentu saja kirim pesan dan
telepon dapat dilakukan dengan handphone. Sebuah trobosan teknologi yang luar biasa. Orang
banyak menyebutnya bahwa kondisi itu adalah bagian dari sebuah gelombang revolusi digital. Jika
demikian halnya, maka sejatinya gelombang revolusi digital sudah merambah ke negeri ini.
Sebelum istilah revolusi digital ini mengemuka, kita pernah dengar istilah revolusi hijau.
Akankah revolusi digital akan mengulang revolusi hijau di bidang pertanian, yang lebih
menguntungkan industri-industri pertanian daripada petani itu sendiri?
Revolusi Hijau, Sekilas Pandang
Sebelum mengaitkan revolusi digital dengan revolusi
hijau, kita harus paham dulu apa itu Revolusi Hijau. Revolusi
hijau tak lain adalah sebuah perubahan fundamental dalam
budidaya pertanian. Revolusi Hijau menekankan pada
penyediaan air dalam irigasi, penggunaan pupuk kimia,
penerapan pestisida dan penggunaan varitas unggul.
Seperti ditulis di beritabumi.com, Revolusi Hijau
diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968.
Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat ini, membandingkan
masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di
Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu.
Perubahan yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika
Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya adalah
3. karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas produksi
gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun
menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai
beberapa lembaga besar lainnya.
Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi
kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor
gandum ke negara lain.
Lembaga-lembaga internasional ikut mendesakkan agar revolusi hijau ini dipraktekan di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di era Orde Baru, setalah menerapkan revolusi hijau,
Indonesia berhasil melakukan swasembada beras. Prestasi gemilang itu mendapat penghargaan
dari PBB. Penghargaan ini seperti sebuah restu dari PBB agar Indonesia terus menerapkan
revolusi hijau dalam bidang pertaniannya.
Secara jangka pendek, revolusi hijau mungkin bisa dianggap berhasil. Namun secara
jangka panjang tidak. Pasalnya, selain kerusakan lingkungan hidup akibat penggunaan pestisida,
penerapan revolusi hijau juga membuat petani tergantung pada industri pupuk kimia, binih dan
pestisida. Celakanya, industri-industri tersebut ada di negara-negara maju. Artinya, dengan
menerapkan revolusi hijau selain berdampak buruk bagi lingkungan hidup juga ada pelarian uang
yang cukup besar ke negara-negara utara (maju), tempat industri pupuk, pestisida dan binih
berasal.
Seperti ditulis oleh sebuah blog aktivis muda, di Indonesia sebesar 2.71 USD terhisap
keluar untuk setiap satu US dollar investasi pada masa revolusi hijau tahun 1970-1977. Tahun
1979 saja perusahaan Amerika (terkait binih, pupuk kimia dan pestisida) dikabarkan mendapat
untung 12.000 juta USD dari negara selatan.
Revolusi Digital = Revolusi Hijau?
Perkembangan pesat ICT, atau sebut saja gelombang revolusi digital saat ini, telah
mendorong lembaga-lembaga internasional ikut pula 'memasarkan' pemanfaatan ICT di negara-
negara berkembang. Akses ICT pun dikaitkan dengan pencapaian target Milinium Development
4. Goals (MDGs). Bahkan PBB telah menetapkan sasaran sebesar 50 persen dari penduduk dunia
telah memiliki akses kepada jaringan telepon seluler pada tahun 2015.
Dalam konteks Indonesia, Bank Dunia pun ikut-ikutan menggelontorkan uangnya (utang)
untuk program yang terkait dengan ICT. Seperti ditulis oleh jurnalnet.com, Bank dunia bersedia
membiayai program pembelajaran ICT di sekolah-sekolah bila pemerintah Indonesia serius
menyelenggarakannya.
Pejabat Bank Dunia perwakilan Korea Selatan Dr Mae Chu Chang juga menyebutkan bahwa
dana yang disediakan untuk program tersebut tidak terbatas. Ia hanya mengisyaratkan program
atau kebijakan yang dibuat oleh Depdiknas jelas, baik jumlah serta tempat pengalokasiannya
maupun pengembaliannya ke Bank Dunia bisa dipertanggungjawabkan. “Sebagai sebuah bank,
kami akan sediakan dana yang tidak terbatas asalkan programnya jelas dan bisa
dipertanggungjawabkan,” kata Mae di Depdiknas, Senin (29/11).
Dari sini kita mulai melihat kemiripan pola penetrasi Revolusi Digital (penerapan ICT)
dengan revolusi hijau, yaitu dukungan lembaga-lembaga internasional. Paling tidak, PBB dan Bank
Dunia ikut menggelorakan gelombang revolusi digital di dunia, khususnya di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Seiring dengan promosi ICT dari Bank Dunia dan PBB itu, di forum-forum internasional
juga didesakan agar negara-negara berkembang, seperti Indonesia meliberalisasi sektor
telekomunikasinya. Ada desakan di forum-forum internasional agar terjadi perubahan paradigma
terhadap informasi dan komunikasi (Telematika/ICT) yang semula vital dan menguasai hajat
hidup orang banyak menjadi sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan. Adanya desakan di
forum-forum internasional itu diakui secara tidak langsung oleh pemerintah melalui sebuah
penjelasan di RUU Konvergensi Telematika.
Dalam penjelasan RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah
satu yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah “Tekanan atau
dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan
menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin
besar melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan
5. pasar (open market)”.
Kemana Larinya Uang dalam Revolusi Digital?
Sulit untuk mengatakan sesuatu yang kebetulan bila di
satu sisi PBB dan Bank Dunia mempromosikan ICT dan di sisi
lainnya muncul desakan untuk meliberalisasi sektor
telekomunikasi. Jika tadi sudah mulai nampak adanya
kemiripan antara revolusi digital dengan revolusi hijau dalam
hal adanya dukungan lembaga – lembaga internasional, kini
adakah muncul kemiripan lain berupa penghisapan uang
masyarakat dari negara berkembang ke negara maju seperti
yang terjadi di dalam revolusi hijau?
Seperti pernah ditulis oleh tempointeraktif bahwa Transaksi bisnis teknologi informasi (TI)
pada 2007 diperkirakan mencapai Rp 2,2 triliun. Ketua Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki)
Djarot Subiantoro mengatakan rencana pemerintah melegalkan piranti lunak di setiap komputer di
kantor pemerintah mendorong peningkatan industri teknologi informasi.
Pertanyaan
berikutnya tentu saja
adalah siapa yang
sesungguhnya menikmati
booming dari bisnis ICT
tersebut? Hipotesis
analistis yang ditulis
dalam sebuah blog oleh Idaman Andarmosoko, seorang pekerja pengetahuan di kalangan NGOs
menarik untuk disimak.
6. Dari gambaran di atas nampak bahwa memang memang ada uang yang 'tercecer' di dalam
negeri dalam bisnis hardware ICT. Hal itu nampak pada diagram T1 dan turunannya serta T2 dan
turunannya. Lantas bagaimana dengan bisnis ICT di sektor lainnya? Mari kita lihat Ragaan yang
dibuat oleh Idaman Andarmosoko berikut ini.
Jika melihat ragaan 2 dan 3 ternyata hampir sama dengan ragaan 1 terkait dengan aliran
uang dalam bisnis hardware. Dalam ragaan 2 dan 3 dengan jelas memperlihatkan adanya aliran
uang dari dalam negeri keluar negeri, tepatnya ke perusahaan-perusahaan ICT internasional.
Dalam Blognya, Idaman menuliskan bahwa dalam kasus Filipina dan India kondisinya tidak seperti
di atas. Artinya, justru ada aliran dana dari luar ke dalam negeri dalam bisnis ICT. Namun, di
Indonesia kondisnya masih seperti dalam ragaan di atas. Adanya aliran uang dari dalam negeri
(Indonesia) ke luar negeri.
7. Sebagai ilustrasi tambahan, pada tahun 2010, seperti yang ditulis oleh BBC Indonesia,
perusahaan Microsoft mencatat keuntungan sebesar US$4,52 miliar selama tiga bulan diantara
8. April dan Juni 2010, atau meningkat 48% dari periode waktu yang sama tahun 2009. Sementara,
kompas.com menuliskan bahwa pada tahun 2008 saja pertumbuhan Microsoft Indonesia naik 30
persen dibandingkan periode yang sama tahun fiskal 2007. Bahkan, selama dua tahun berturut-
turut, PT Microsoft Indonesia mendapat penghargaan dari kantor pusat Microsoft di Redmond, AS
karena dinilai berhasil meraih pengguna produk terbanyak di antara negara-negara berkembang
lainnya di seluruh dunia.
Jika demikian halnya, apakah bila kita membanggakan bahwa terjadi booming bisnis ICT di
Indonesia, itu artinya kita membanggakan adanya penghisapan uang dari dalam negeri ke luar
negeri?
Jika di atas diuraikan aliran uang keluar dari bisnis ICT, maka bagaimana sebenarnya
pengeluaran masyarakat untuk konsumsi produk ICT ini? Sebuah survei yang dilakukan oleh
aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah LSM yang mendampingi warga miskin kota
Jakarta menarik disimak. Dalam sebuah diskusi Satudunia pertengahan tahun 2010, aktivis FAKTA
Tubagus Haryo Karbiyanto mengungkapkan bahwa masyarkaat miskin dampingannya
mengeluarkan uang rata-rata Rp.Rp 30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di WARNET dan
sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk VOUCHER handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp. 190
ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk ICT.
Pengeluaran warga miskin kota dampingan FAKTA untuk produk ICT ternyata hampir sama
dengan pengeluaran per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan yang disetarakan
dengan 2100 kkal per kapita per hari atau menurut Badan Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan
Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Pada tahun 2010 GKM di Jakarta mencapai Rp 213.487.
Bahkan pengeluaran untuk belanja produk ICT warga miskin dampingan FAKTA melebihi
pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau
menurut istilah BPS dikenal dengan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada tahun 2010
GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.
9. Kemana Arah Revolusi Digital di Indonesia?
Kontradiksi antara perkembangan ICT di Indonesia seperti diuraikan di atas itulah yang
menurut peneliti ICT for Development dari Manchester University Yanuar Nugroho sebagai sebuah
fenomena ketercerabutan. “Ketika kita mengimpor sebuah teknologi, maka sejatinya yang kita
impor bukan saja benda namun satu paket yang mencakup cara berpikir, cara budaya, cara
berprilaku, cara merasa bahkan cara bersosialisasi dari Negara yang kita import tehnologynya,”
Untuk itulah, menurut Yanuar, ketika berbicara ICT di Indonesia maka agenda utamanya
adalah menanam kembali ketercerabutan itu. Agenda penanaman kembali itu tentu saja terkait
erat dengan kebijakan-kebijakan yang terkait ICT di Indonesia. Bisa jadi kebijakan-kebijakan
itulah yang mempercepat ketercerabutan itu. “Sayang, bukan hanya dalam isu ICT, dalam isu
teknologi tidak pernah ada masyarakat sipil yang mengawal kebijakan pemerintah, “ ujar Yanuar,
“Akibatnya, kebijakan itu lebih berpihak kepada kepentingan industri,”
Hal itu juga dibenarkan oleh Muhammad Salahuddien, seorang pakar internet dari ID-
SRITTI (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure) dalam sebuah
diskusi dengan Satudunia di Jakarta, 20 Juli 2010. “Di Indonesia, industry ICT adalah industri
yang paling matang dan sepenuhnya liberal,” ujarnya, “Dominasi sepenuhnya oleh market driver
dan tehnology driver. Jadi peran pemerintah apalagi masyarakat menjadi minimal,”
Jika demikian halnya apakah revolusi digital di Indonesia akan mengulang kembali revolusi
hijau? Seperti halnya revolusi hijau, apakah revolusi digital dicanangkan untuk mengalirkan uang
dari negara-negara selatan (berkembang, termasuk Indonesia) ke negara-negara utara? Apakah
revolusi digital yang menimbulkan ketercerabutan dari realita kehidupan masyarakat akan terus
dilestarikan di negeri ini? Jika pada revolusi hijau berdampak pada pemiskinan terhadap petani
karena ketergantungan terh teknologi pertanian dari negara maju, apakah revolusi digital juga
akan mengahasilkan hal yang sama? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh para pengambil
kebijakan menganai ICT di negeri ini.
10. Bahan Bacaan:
1. Revolusi Hijau, http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Hijau
2. Revolusi Hijau, Menjerat Petani dengan Racun, http://www.beritabumi.or.id/?
g=beritadtl&opiniID=OP0029&ikey=3
3. Revolusi Hijau yang Tidak Memihak Rakyat, http://sopan.blog.com/2010/01/07/revolusi-
hijau-yang-tidak-memihak-rakyat/
4. Manfaat Teknologi Nirkabel Bagi Masyarakat, http://www.pewarta-
indonesia.com/inspirasi/opini/3605-manfaat-teknologi-nirkabel-bagi-masyarakat.html
5. Bank Dunia Akan Biayai ICT di Sekolah Indonesia, http://www.jurnalnet.com/konten.php?
nama=BeritaUtama&topik=5&id=14
6. Aliran Uang ICT: Indonesia Versus Global, http://idaman.multiply.com/journal/item/274
7. Brief Paper-RUU Konvergensi Telematika, http://www.satudunia.net/content/brief-paper-
ruu-konvergensi-telematika
8. Notulensi FGD Satudunia, “Adopsi ICT di NGOs dan Dampaknya Bagi Masyarakat Rentan”,
20 Juli 2010
9. Notulensi diskusi Satudunia, “Tragedi Lumpur Lapindo, Menggagas Perlawanan di Dunia
Maya” , 28 Oktober 2010.
10. Kertas Posisi Satudunia tentang ICT, http://www.satudunia.net/content/kertas-posisi-
satudunia-tentang-ict
11. Microsoft Catat Keuntungan, BBC Indonesia,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2010/07/100723_microsoft.shtml
12. Pendapatan Microsoft di Indonesia tumbuh 30 Persen,
http://tekno.kompas.com/read/2008/09/24/18045526/Pendapatan.Microsoft.Indonesia.Tu
mbuh.30.Persen