1. Peranan Keluarga (Sikap dan Kebiasaan Orang Tua) Terhadap
Perkembangan Sosial Anak
Interaksi kelompok berlaku pula bagi interaksi kelompok keluarga yang
merupakan kelompok primer, termasuk pembentukan norma-norma sosial,
internalisasi norma-norma, terbentuknya frame of reference, behaviorisme, dan
lain-lain. Di dalam keluarganya, yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, ia
pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain. Belajar
bekerja sama, bantu membantu, dengan kata lain ia pertama-tama belajar
memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan
kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain.
Pengalaman-pengalamnnya dalam interaksi sosial dalam keluarganya turut
menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan
sosial di luar keluarganya, di dalam masyarakat pada umumnya. Apabila interaksi
sosialnya di dalam kelompok-kelompok karena beberapa sebab tidak lancar atau
tidak wajar, kemungkinan besar bahwa interaksi sosialnya dengan masyarakat
pada umunya juga berlangsung dengan tidak wajar.
Jadi, selain dari peranan umum kelompok keluarga sebagai kerangka sosial
yang pertama, tempat manusia berkembang sebagai makhluk sosial, terdapat pula
peranan-peranan tertentu di dalam keadaan-keadaan keluarga yang dapat
mempengaruhi perkembangan individu sebagai makhluk sosial. Salah satunya
adalah sikap dan kebiasaan orang tua yang dapat berpengaruh terhadap
perkembangan sosial anak.
Cara-cara dan sikap orang tua dalam pergaulannya memegang peranan yang
cukup penting di dalamnya. Hal ini mudah diterima apabila kita ingat bahwa
keluarga itu sudah merupakan sebuah kelompok sosial dengan tujuan, struktur,
norma, dinamika kelompok, termasuk cara-cara kepemimpinannya yang sangat
mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Menurut Lewin, Lippit, dan White (dalam Gerungan, 2009:202) mengenai cara-
cara kepemimpinan dalam kelompok yaitu yaitu cara-cara demokratis, laissez-
faire, dan otoriter yang masing-masing berpengaruh besar terhadap suasana kerja
kelompok dan tingkah laku para anggotanya. Begitu pula cara-cara bertingkah
2. laku orang tua yang dalam hal ini menjadi pemimpin kelompok sangat
mempengaruhi suasana interaksi keluarga dan dapat merangsang perkembangan
ciri-ciri tertentu pribadi anaknya.
Ketiga cara kepemimpinan yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1. Cara otoriter
Pemimpin melakukan segala kegiatan kelompok secara otoriter. Dialah
yang memastikan apa yang akan dilakukan oleh kelompok, dan
anggota-anggota kelompok tidak diajak untuk turut menentukan
langkah-langkah pelaksanaan ataupun perencanaan kegiatan-kegiatan
anggota kelompok. Kelompok hanya diberi intruksi tentang langkah-
langkah pekerjaan yang paling dekat saja, tanpa diberi tahu rencana
secara keseluruhan. Anggota hanya diberi tahu langkah kegiatan
selangkah demi selangkah, tanpa ada perembukan mengenai tujuan-
tujuan umum dari kegiatan kelompok.
2. Cara demokratis
Pemimpin disini mengajak anggota kelompok untuk menentukan
bersama tujuan kelompok serta perencanaan langkah-langkah pekerjaan.
Penentuan tersebut adalah secara musyawarah dan mufakat. Pemimpin
memberikan bantuan atau nasihat kepada anggota kelompok dalam
pekerjaannya. Selain itu, ia pun memberikan saran-saran mengenai
berbagai kemungkinan pelaksanaan pekerjaan yang dapat mereka pilih
sendiri mana yang terbaik. Pemimpin demokratis memberikan
penghargaan dan kritik secara objektif dan positif.
3. Cara laissez faire
Pemimpin menjalankan peranan yang pasif sebagai seseorang yang
hanya menonton. Ia menyerahkan segala penentuan tujuan dan kegiatan
kelompok kepada anggota-anggotanya sendiri. Pemimpin hanya
menyerahkan bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan dalam
pekerjaan kelompok itu. Ia tidak mengambil inisiatif apa pun di dalam
kegiatan kelompok. Ia berada di tengah-tengah kelompok tetapi tidak
berinteraksi dan berlaku seperti seorang penonton saja.
Pendapat-pendapat Lewin dan kawan-kawan didukung oleh Mueller (19)
yang mendapatkan hasil bahwa anak-anak yang berorangtua otoriter banyak
menunjukkan ciri-ciri pasivitas (sikap menunggu) dan menyerahkan segala-
3. galanya kepada pemimpin. Watson (30) juga mengemukakan bahwa di samping
pasivitas terdapat pula ciri-ciri agresivitas, kecemasan, dan mudah putus asa.
Frenkel-Brunswik di Amerika Serikat, 1986 (6) (dalam Gerungan,
2009:202), mengemukakan bahwa anak-anak dari orang tua yang bersikap
otoriter dan senantiasa menuntut ketaatan mutlak tanpa penjelasan menunjukkan
sekumpulan ciri sebagai berikut: sikap penolakan terhadap orang-orang yang
lemah atau terhadap minoritas, ikatan kepada orang-orang yang kuat atau
mayoritas, menjiplak norma dan tingkah laku mayoritas, sombong, mudah
berprasangka sosial, khususnya terhadap golongan minoritas.
Baldwin (1) (dalam Gerungan, 2009:202-203) membandingkan keluarga-
keluarga yang interaksinya bercorak demokratis dengan keluarga di mana
terdapat pengawasan orang tua yang keras terhadap anak-anak (otoriter). Ia
mengemukakan bahwa semakin otoriter orang tuanya, semakin berkurang
ketidaktaatan, tetapi semakin banyak timbul ciri-ciri pasivitas, kurangnya
inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu daya tahan berkurang, dan ciri-ciri
penakut. Sebaliknya sikap-sikap demokratis dari orang tua menimbulkan ciri-ciri
berinisiatif, tidak penakut, lebih giat, dan lebih bertujuan, tetapi juga memberikan
kemungkinan berkembangnya sifat-sifat tidak taat dan tidak mau menyesuaikan
diri.
Selain kedua sikap di atas, terdapat sikap-sikap overprotection dari orang
tua di mana orang tua terlampau cemas dan hati-hati dalam hal pendidikan anak.
Orang tua dalam hal ini senantiasa menjaga keselamatan anak-anaknya dan
mengambil tindakan-tindakan yang berlebihan agar anak kesayangannya itu
terhindar dari berbagai ancaman dan bahaya. Stender (24) mengemukakan bahwa
dalam sebagian besar hal di mana orang tua bersikap overprotection terhadap
anak-anak tersebut anak itu berkembang dengan ciri-ciri sangat ketergantungan
terhadap orang tuanya dalam tingkah lakunya.
Selanjutnya, Symonds mendapatkan bahwa sikap penolakan orang tua
terhadap anak-anaknya, yaitu sikap menyesal dan tidak setuju karena beberapa
sebab dengan adanya anaknya itu udah mengembangkan ciri-ciri agresivitas dan
tingkah laku bermusuhan pada anak-anak tersebut, dan juga gejala-gejala
menyeleweng seperti berdusta dan mencuri dapat berkembang karena sikap
penolakan dari orang tua.
4. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada umumnya sikap-sikap pendidikan
yang otoriter, sikap overprotection, dan sikap penolakan orang tua terhadap anak-
anaknya dapat menjadi suatu kendala bagi perkembangan sosial anak-anak.
Daftar Pustaka:
Gerungan. (2009). Psikologi Sosial (third ed.). Bandung: Refika Aditama