1. TAPAK-TAPAK
KEBERDAYAAN KELUARGA MISKIN PEDESAAN (2)
Oleh I.H.Subandi
Emil: pwsoloeks@yahoo.co.uk
Apakah benar bahwa masyarakat pedesaan itu pasti miskin? Jawababannya pasti iya jika di lihat
dari berbagai aspek indikator yang bisa di tunjukkan seperti miskin terhadap akses informasi,
akses bank, akses pekerjaan, akses pendidikan, akses pendapatan, akses kesehatan dan akses
pelayanana hak-hak dasar sebagaimana layaknya hidup sebagai warga Negara.
Pendeknya ada sekurang-kurangnya ada 4 K yaitu Keterbelakangan yang mesti dijawab dengan
pembangunan infrasttruktur pedesaan (seperti PNPM-PISEW); Kemiskinan yang harus dijawab
dengan peningkatan ekonomi masyarakat; Kebodohan yang harus dijawab dengan
peningkatan pendidikan dan kesehatan; Ketidakberdayaan, ketidaktrampilan maupun
pengangguran yang semakin nyata kesenjangannya. Namun apakah ini bisa diakui bahwa
apapun program untuk mengatasi itu semua jika pilihan untuk merubah nasibnya tidak ada
kemauan kuat dari masyaakat itu sendiri ? Untuk meningkatkan keberdayaan keluarga miskin
pedesaan bisa dideskripsikan sesuai apa yang terjadi di masyarakat atas perubahan
pembangunan yang sekarang berjalan.
Akses Prasarana dan Mengurangi Keterisolasian Daerah
Seringkali kita terjebak pada pengarusutamaan infrastruktur fisik di pedesaan tanpa
mempertimbangkan faktor manusia yang terlibat dalam infrastruktur dimana infrastruktur itu
dibangun. Menghubungkan antar desa yang bisa meningkatkan ekonomi lokal. Ekonomi yang
menggerakkan pendapatan masyarakat setempat atas dasar peningkatan jenis usaha yang
sedang dikembangkan oleh masyarakat. Keterisolasian akibat akses jalan yang tertutup akan
menghambat perubahan distribusi kebutuhan dasar masyarakat menjadi penting untuk
melakukan pembukaan aksesnya. Jika ini dilakukan maka akibatnya biaya pemerataan
kebutuhan dasar juga meningkat.
2. Sebagai contoh, di lokasi PNPM PISEW mengedepankan infrastruktur yang bisa membuka akses
jalan antar wilayah. Ini berarti sesungguhnya kegiatan sejenis bisa memberikan kontribusi
besar bagi keberlanjutan program di setiap daerah di pedesaan.
Dalam pembangunan, upaya untuk meningkatkan keterisolasian prasarana pedesaan dilakukan
dengan memadukan diskusi antar kelompok diskusi sektor antar desa. Dengan cara itulah
kegiatan yang diputuskan bersama, misalnya membuka jalan antar desa maka akses bisa dibuka
utnuk kepentingan wilayah bukan kepentingan satu desa semata. Dampaknya, tentu
kebutuhan strategis untuk mengatasi keterisolasian daerah akan mulai bisa terjawab melalui
perencanaan sterategis jika mengedepankan pendekatan kewilayahan dan forum untuk melihat
kesinergiannya dan kebutuhan bersama adalah di tingkat kecamatan.
Sesungguhnya ironis memang, jika pelaku program (Fasilitator proyek) seringkali memaksakan
kehendaknya atas kebijakan yang dimauinya. Sementara masyarakat desa itu lebih cerdas,
lebih paham akan masalah yang dihadapi dan dibutuhkannya dibandingkan pelaku proyek di
luar desanya. Akibatnya seringkali terjebak pada tuntutan administrative keproyekan yang
bertele-tele tanpa mempertimbangkan proses yang dihadapi dalam kehidupanwarga desanya.
Sudah selayaknya para pelaku sadar untuk mempercayai masyarakat miskin untuk belajar apa
yang dikehendaki untuk perbaikan hidup bukan apa yang harus dijawab atas kemauan
proyek.Tugas fasilitator proyek dalam forum-forum perumusan keterisolasian desa adalah
memastikan bahwa secara sosial dan teknis bisa berdampak bagi kemajuan peningkatan
pendapatan keluarga miskin lebih lanjut. Pertimbangan teknis dan sosial berdasarkan
kecerdasan ilmu dan teori itulah yang dibutuhkan masyarakat untuk menunjukkan proses
pembelajaran bahwa apa yang telah diputuskan itu memang benar dan bisa
dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh did aha barat kabupaten Hulu Sungai Selatan, dengan
dibangun jalan 4 km jalan desa akhirnya bisa efisiensi Rp.300 setiap kali akan membawa hasil
panennya ke pasar, karena jika sebelumnya harus ditempuh naik perahu yang biayanya dua kali
lipat dan membutuhkan waktu dua kali lipatnya jika ditempuh naik ojek. Di kabupaten Rejang
Lebong di desa Simpang Beliti juga dibangun jalan yang menghubungkan dua desa yang
memiliki efisiensi mencapai Rp 7000 tiasp kali akan ke pasar. Ini dikarenakan sebelum jalan
3. dibuka haru smelingkar melalui lima desa yang jauh dengan biaya mahal tiga kalinya. Petani
merasa terangkat dengan dibukanya akses jalan ini. Ini menjadi tolok ukur bila kita memilikim
komitmen peningkatan keluarga miskin maka kecerdasar perencanaan wilayah bagi masyarakat
sangat penting. Dan masih banyak contoh lain yang sesungguhnya memiliki dampak luas bagi
keluarga miskin pedesaan, walaupun tetap yang dibutuhkan adalah dampak langsung setiap
harinya untuk memperoleh pendapatan yang surplus dan terus menerus.
Derajat kesehatan masyarakat Meningkat?
Meningkatnya pendapatan masyarakat dan terpenuhinya berbagai akses prasarana pedesaan
yang telah terbangun berimplikasi pada tingkat pendapatan keluarga miskin. Tentu derajad
kesehatannya juga akan semakinmeningkat. Indikasi ini dengan semakin rendahnya permintaan
pembangiuanan infrastruktur kesehatan yang dibangun secasra berkelompok tetaapi muncul
kesadaran setiap pribadi keluarga miskin untuk mengkonsumsi air bersih dengan pompanisasi,
menu ketersediaan pangan melalui pelebaran pasar yang lebih dekat , maupun diversifikasi
tanaman yang ditanam akibat ketersediaan air sawah atau air di lahan tegalan melalui
pembangunan saluran sekunder maupun penampungan air seperti embung. Gambaran iini
sering terjadi di lingkungan masyarakat yang memiliki kemampuan inovasi dan kinerja kuat bagi
perbaikan hidupnya di pedesaan.
Lapangan kerja di desa Mulai Tercipta?
Seringkali pekerjaan infrastruktur yang dibangun berbasiskan kelompok kemasyarakatan desa
kurang memiliki andil besar bagi perubahan pola kerja msayarakat sekarang. Kebiasaan
masyarakat yang selalu mengedepankan konsep gotong royong mestinya menjadi basis
pekerjaan dan model padat karya yang dikembangkan. Model kontrak dengan lembaga
keswadayaan masyarakat yang memiliki legalitas camat dan desa nampaknya kurang memiliki
basis yang mengakar kuat di tingkat dusun dimana LKD itu berada. Seringkali yang kita temukan
hanya dimiliki beberapa pengurus yang memiliki akses kekuasaan, keuangan, dan ketokohan
saja sehingga kurang memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas atas tahapan perolehan
legalitas tersebut. Hanya ketika masyarakat tahu bahwa dengan dibangunkan infrastruktur
mereka merasakan manfaatnya.
4. Ketidak sinkronan program dalam sosialisasi dan informasi seringkali berdampak tidak memiliki
keterbukaan dalam bekerja dan tidak merasa memiliki karena hanya orang tertentu saja yang
bekerja dan dipilih. Ini menjadi dilematis. Ketika seluruh warga dipekerjakan tentu sangat
mempengaruhi hari orang kerja, namun disisi lain harus dibuka akses seluruh warga bergotong
royong untuk bekerja bersama.
Model yang mestinya dikembangkan adalah tanpa membedakan gender; seluruh kepala
keluarga yang ada di dusun dan terkena program itu harus dilibatkan semuanya dan masuk
dalam daftar yang legal menjadi anggota pekerja dalam sebuah kontrrak. Jika tidak maka
terbukanya lapangan kerja bagi warga (walau sesaat selama ada proyek infrastruktur (maksimal
3 bulan) ) masih sulit disebut memberikan peluang kerja bagi keluarga miskin. Hal inilah yang
penulis banyak temukan bahwa secara konsep bagus, namun dalam tataran penerapannya jauh
dari harapan. Belum lagi ersoalan leader. Data menunjukkan sangat kecil dipedesaan keluarga
miskin menjadi pemegang keputusan atau menjadi leader dalam sebuah infrastruktur yang
dibangun di desanya. Paternalistik kuat.
Dominasi kedekatan kekuasaan, ketokohan, kepemilikan modal di dusun seringkali tetap
menjadi pemegang kendali. Ironis memang menjadi keluarga miskin, untuk memperoleh
penghasilan Rp.50.000,00 selama ada proyek pembangunan infrastruktur saja masih sulit.
Akankah ini berlanjut? Akankah kelompok kerja kecamatan yang diberi tugas bisa membagi
keterlibatan warga secara adil? Akankah pelaku LKD akan berbuat adil bagi keluarga miskin
yang berpenghasilan rendah dengan semua bisa merasakan nikmatnya duduk bareng
menikmati hasil karya bergotong royong dan memperoleh uang hasil kerjanya selama ada
proyek? Adilkah jika kelurga miskin apatis dibuat untuk menerima manfaat saja? Adilkah jika
harus ikut menanggung utang Negara juga? Inilah yang perlu dijawab pelaku pembangunan
daerah dalam implementasi di tingkat masyarakat paling kecil yaitu berbasiskan warga dusun
sesungguhnya. (Bersambung)