KOMPLEKSITAS PELAYANAN KESEHATAN BAGI PASIEN MISKIN
1. KOMPLEKSITAS DIBALIK JATUHNYA KORBAN PASIEN MISKIN
Menelisik kasus Ny. Surip (74 th) pasien miskin yang meningggal karena diduga
kurang mendapatkan pelayanan maksimal di RSUD (SM,18/03/2008), bagaimanapun
telah menimbulkan luka dan keprihatinan mendalam. Semua itu merupakan bagian
keniscayaan yang telah diprediksi dan disuarakan banyak pihak termasuk oleh penulis
seperti pernah dimuat dalam harian ini, bahwa akibat ”jebakan” ketidak pastian yang
berkepanjangan dari masa transisi perubahan askeskin akan memberi konsekuensi
peningkatan risiko kesakitan dan kematian pasien miskin seiring dengan kian terbatasnya
askes mereka ke pelayanan RS.(SM,21/02/2008).
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan awal terutama bagi pemerintah tentang
potensi khaos yang lebih luas bukan hanya menyangkut ancaman “kebangkrutan”
anggaran kesehatan pemerintah, tetapi juga implikasi serius yang melahirkan
kompleksitas konflik baru di akar rumput terkait kian rawannya hubungan pasien miskin
dengan RS atau puskesmas sebagai pemberi pelayanan dari program kesehatan gratis.
Miskonsepsi
Praktek kedokteran dan pelayanan di RS acapkali masih banyak disalah-persepsikan
oleh masyarakat bahwa semua layanannya harus menghasilkan kesembuhan/ kesuksesan,
setiap petugasnya harus siap berkorban demi pasien dan setiap peristiwa buruk selalu
dianggap sebagai kasus malpraktek. Buat masyarakat awam memang akan sulit
memahami bahwa setiap kasus kesehatan adalah sangat spesifik tergantung dari sifat dan
faktor risiko yang melingkupinya sehingga tidaklah mungkin dapat digeneralisasi.
Tingkat/perjalanan penyakit, umur, daya tahan tubuh, komplikasi, ketelitian dokter,
kepatuhan standar profesi, ketersediaan fasilitias pendukung, serta timing saat dirujuk
merupakan sejumlah faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan.
Terbatasnya pengetahuan ternyata bukan hanya terjadi dalam masyarakat tetapi bisa
juga pada praktisi hukum terutama terkait esensi kontrak terapeutik antara dokter dan
pasien yang fokus pada maksimalisasi usaha pengobatannya (inspaningsverbintenis)
mengingat setiap tindakan medis apapun selalu ada risikonya (inherent risk) dan bersifat
tidak pasti. Adapun yang dianut dan dituntut dalam domain hukum lebih fokus pada fakta
kerugian dari hasil pengobatannya (resultaatsverbintenis). Perbedaan ini turut memicu
2. kesalahpahaman saat menentukan ada atau tidaknya kelalaian yang menimbulkan akibat
negatif (adverse event) yang mungkin jadi obyek gugatan oleh pasien..
Kompleksitas Gugatan
Keberhasilan gugatan sipil termasuk oleh pasien harus memenuhi syarat 4 D yaitu:
ada kewajiban (duty), ada pelanggaran terhadap kewajiban itu (dereliction of that duty),
ada hubungan sebab akibat langsung (direct causation) dan adanya suatu kerugian yang
sebenarnya dapat dibayangkan dan secara wajar dapat dicegah (damage). Dalam
prakteknya untuk memenuhi semua syarat tersebut tidaklah mudah dan hampir mustahil
bisa dilakukan apalagi oleh pasien miskin.
Manifestasi dari asas praduga tidak bersalah yang konsekuensinya adalah proses
pembuktian gugatan dibebankan kepada penggugat, juga akan makin memojokkan posisi
pasien termasuk pengacaranya sebagai orang yang masih awam dengan berbagi teknis
dan standar pengobatan. Terlebih lagi saat pasien datang berobat ke RS maka secara
hukum sebenarnya muncul 3 jenis hubungan sekaligus yaitu antara dokter dengan pasien,
antara rumah sakit dengan pasien dan antara dokter dengan rumah sakit, dimana
ketiganya saling berkaitan dan sulit dibedakan.
Semua itu membuat keberhasilan gugatan di pengadilan oleh pasien selama ini
sangat kecil. Meskipun demikian, peluang pasien untuk mengajukan gugatan masih tetap
ada. Sasarannya pun tidak hanya petugas tetapi bisa juga RS sesuai tanggung jawab
yuridisnya meliputi tanggung jawab terhadap personalia berdasarkan hukum ”Majikan-
Karyawan” atau vicarious liability, tanggung jawab mutu perawatan/ pengobatan
menggunakan standar profesi, tanggung jawab sarana/peralatan dan tanggung jawab
keamanan bangunan. Sedangkan menurut kemungkinan terjadinya pelanggaran dari sisi
petugas meliputi pelanggaran etika terancam sanksi teguran sampai dengan pemecatan,
pelanggaran disiplin terancam sanksi teguran sampai pencabutan ijin praktek dan terakhir
pelanggaran hukum terancam sanksi ganti rugi (perdata) maupun penjara (pidana).
Sebenarnya faktor pemicu gugatan pasien bukan hanya dilandasi oleh ada tidaknya
dampak kerugian, namun seringkali juga bersumber dari masalah ”sepele” yaitu ketidak
ramahan dan ketidak becusan berkomunikasi secara simpatik dari pemberi pelayanan,
sebagaimana hasil penelitian ternyata hanya 15% pasien yang puas dengan penjelasan/
komunikasi yang diberikan saat berobat di RS (Guwandi, 2006) Fenomena yang sama
3. nampaknya juga terjadi pada kasus terakhir, paling tidak dilihat dari pernyataan
kekecewaan keluarga pasien terhadap ucapan dan penerimaan dari petugas RS.
Oleh karena itu kedepan pemerintah seharusnya bisa lebih serius mendukung RS
minimal agar mengubah pola hubungan paternalistik yang cenderung eksploitatif menjadi
hubungan partnership yang lebh adil dan manusiawi bagi pasien. Perubahan ini bisa
menjadi langkah awal dari serangkaian upaya pencegahan jatuhnya korban baru pada
pasien miskin di kemudian hari.
(Sutopo Patria Jati. Staf pengajar FKM UNDIP, Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat -IAKMI Jateng}