Dokumen tersebut membahas perbandingan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diusung Jokowi dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. KIS dianggap hanya akan mempercepat pelaksanaan BPJS lima tahun ke depan tanpa memperhatikan ketersediaan anggaran dan fasilitas kesehatan. Dokumen ini menganjurkan pemerintah lebih fokus p
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 02 - KIS adalah BPJS yang Dipercepat 5 Tahun?
1. TANTANGAN KESEHATAN JOKOWI (02):
Kartu Indonesia Sehat adalah Percepatan 5 tahun BPJS?
Sejak saat kampanye Capres dulu, pasangan Jokowi-JK mengunggulkan Kartu
Indonesia Sehat (KIS) sebagai Program Utama mereka dibidang Kesehatan. Mari kita
tengok sejarah Kartu Jakarta Sehat (KJS) pada tahun pertama Jokowi menjadi
Gubernur Jakarta, yang menjadi pencetus konsep KIS .
KJS adalah Suatu program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diberikan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui UP. Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi
DKI Jakarta kepada masyarakat dalam bentuk bantuan pengobatan. Tujuannya adalah
memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi penduduk Provinsi DKI Jakarta
terutama bagi keluarga miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan berjenjang.
Sebagai sasaran program KJS adalah semua penduduk DKI Jakarta yang mempunyai
KTP / Kartu Keluarga DKI Jakarta yang belum memiliki jaminan kesehatan, diluar
program Askes, atau asuransi kesehatan lainnya (www.jakarta.go.id).
Masalah utama KJS saat pelaksanaannya ialah pengumuman penggunaan KJS
bagi semua penduduk Jakarta pada tahun pertama Jokowi menjabat Gubernur DKI
Jakarta. Target Program Jamkesda Jakarta sebelum Jokowi hanya untuk 6-7 persen
penduduk miskin dari total10 juta penduduk DKI Jakarta, atau 700 ribu orang yang
berhak mendapat layanan gratis. Lalu KJS diumumkan Jokowi dan berlaku untuk
semua penduduk baik yang mampu atau tak mampu, dan semua mendapat fasilitas
kesehatan gratis ke Puskesmas dan RSUD Jakarta. Ledakan kunjungan terjadi tiba
tiba ke seluruh Puskesmas dan RSUD di DKI Jakarta, Setelah protes dari masyarakat
dan petugas RS dan Puskesmas karena beban layanan kesehatan yang luar biasa,
akhirnya tujuan KJS kembali seperti kalimat di website diatas, yaitu hanya ditujukan
bagi keluarga miskin dan kurang mampu saja.
Dari pemberitaan Pers selama kampanye Jokowi, belum banyak kejelasan
tentang perbedaan KIS dan BPJS. Salahsatu yang menonjol diberitakan bahwa KIS
adalah portable jadi setiap orang bisa berobat dimana saja, dibanding dengan BPJS
yang menetapkan bahwa seseorang harus memilih lokasi Puskesmas/Klinik tempat
mereka berobat karena dana pengobatannya dibayarkan di Puskesmas tersebut
(liputan6.com 16 Juni 2014). Bahkan secara khusus Jokowi menambahkan bahwa
anggaran kesehatan akan dinaikkan menjadi 10% untuk pelaksanaan program KIS ini,
dan tidak mengambil anggaran APBD (liputan6.com 17 Juni 2014).
Data dari 1995 sd 2012 menunjukkan bahwa besar anggaran kesehatan kita
bervariasi dari 2.5 sd 4 persen dari APBN. Bahkan anggaran RAPBN 2015 yang
dirancang SBY anggaran kesehatan turun menjadi 2% APBN. WHO menganjurkan
bahwa anggaran kesehatan minimal sebesar 5% dari total anggaran negara. Dan
statistik menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan Indonesia termasuk
salahsatu yang terendah di ASEAN, apalagi di Asia.
2. Pemerintah berdasar atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melaksanakan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Bidang Kesehatan sejak 1 januari
2014. Peraturan Pemerintah no 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
(PBI) Jaminan Kesehatan menetapkan bahwa mereka yang miskin dan tak mampu
iurannya dibayar melalui anggaran Pemerintah. Dari mantan peserta Jamkesmas yang
masuk sebagai PBI jumlahnya hampir 90 juta jiwa. Sedangkan dari mereka yang
mampu membayar iuran BPJS (dari perusahaan, Askes, Asabri dll) jumlahnya sekitar
35 juta jiwa. Sehingga pada awal 2014 jumlah peserta BPJS diperkirakan sebesar 125
juta jiwa.
Pemerintah mengalokasikan 26 triliun untuk anggaran BPJS tahun 2014,
dimana 16 triliun untuk PBI dan 6 triliun untuk PNS dan ABRI. Anggaran ini melonjak
lebih dari 3 kali bila dibandingkan anggaran Jamkesmas 2013 yang hanya
dialokasikan sebesar 8 triliun saja. Anggaran bagi BPJS ini terpisah dari alokasi untuk
Kementerian Kesehatan yang diproyeksikan sebesar 40 triliun (Bisnis.com).
Oleh karena keterbatasan anggaran negara untuk membiayai 250 juta
penduduk Indonesia maka BPJS mengembangkan Peta Jalan 2014 – 2019. Secara
ringkas Proyeksi BPJS dalam 5 tahun kedepan akan menaikkan jumlah cakupan
peserta dari 125 juta jiwa di 2014 menjadi 250 juta jiwa (seluruh penduduk) di 2019.
Proyeksi BPJS Untuk Jumlah Peserta 2014-2019
2014
2019
• PNS
• Pensiunan PNS
• Anggota TNI + POLRI (ex-peserta
ASABRI)
• Pekerja (ex- peserta
Jamsostek)
• Penduduk miskin (ex-peserta
Jamkesmas)
• Peserta baru yg mendaftar
• Sekitar 125 juta
• PNS
• Pensiunan PNS
• Anggota TNI + POLRI
• Semua Pekerja (ex-peserta
Jamsostek)
• Penduduk miskin (ex-peserta
Jamkesmas +
Jamkesda)
• Semua Pekerja mandiri
• Semua penduduk
• Sekitar 250 juta
Selain pentahapan jumlah kepesertaan maka seluruh pelayanan peserta BPJS
diatas akan bertumpu pada 2 fasilitas pelayanan: Puskesmas untuk UKP tingkat
primer, dan RSUD untuk UKP tingkat Sekunder. Jumlah Puskesmas di 2014 sekitar
3. 9.500 buah artinya rasio peserta BPJS per Puskesmas adalah 13.200 jiwa per
Puskesmas. Kalau jumlah puskesmas yang sama harus melayani 250 juta jiwa, maka
rasio penduduk/puskesmas akan naik dua kali lipat menjadi 26.300
penduduk/puskesmas. Sehingga Pemerintah berkewajiban membangun jumlah
puskesmas lebih banyak lagi, misal menjadi 20.000 Puskesmas agar cakupan
pelayanan bagi 250 juta jiwa penduduk indonesia tetap seimbang (rasio 12.500
jiwa/puskesmas) untuk mencegah pelayanan masyarakat pada tingkat primer tidak
meledak seperti di DKI Jakarta.
Dari 2000 RS di Indonesia ada 512 RSUD Kabupaten/Kota yang akan menjadi
tumpuan layanan UKP tingkat sekunder. Sehingga pelayanan kesehatan tingkat
sekunder kedepan mau tidak mau harus menggandeng RS swasta. Namun tarif
program BPJS saat ini masih terlalu rendah sehingga banyak RS swasta masih ragu
ragu untuk bergabung dengan program BPJS. Mengapa hal ini terjadi?
Biaya layanan RS secara mendasar dibagi atas 3 komponen: a) biaya investasi
modal dan alat, b) biaya operasional pelayanan RS, dan c) biaya honor dan gaji
dokter, perawat dan karyawan RS. Biaya yang dibayarkan oleh BPJS untuk RS saat
ini hanya berorientasi pada RS Pemerintah, yang hanya menghitung Biaya
Operasional pelayanan RS karena biaya gaji dan investasi sudah dibayar oleh
Pemerintah. Sehingga tarif BPJS sekarang sangat tidak memperhatikan kondisi RS
swasta yang harus membeli modal dan alatnya sendiri dan harus membayar gaji
karyawannya setiap bulan. Perbaikan tarif layanan BPJS bagi RS akan mampu
mengajak keterlibatan RS swasta pada program BPJS, karena jumlah pasien yang
besar dan tarif yang menarik yang akan mendukung kehidupan RS swasta di
Indonesia.
Kalau tiba tiba Jokowi pada tahun 2015 memberlakukan Kartu Indonesia Sehat
yang mencakup seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 250 juta jiwa, apakah
anggaran kesehatan Pemerintah sanggup untuk membiayai hal tersebut, dan yang tak
kalah penting apakah fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah sanggup melayani
ledakan jumlah pengunjung diatas? Karena biaya pelayanan yang gratis akan
membuat demand pelayanan kesehatan meningkat drastis. Kalau biasanya angka
kunjungan ke RS/Puskesmas hanyalah 10-15% jumlah penduduk kalau semua
layanan kesehatan gratis maka proporsi yang berobat akan bisa meledak menjadi 25-
30% penduduk. Sanggupkah fasilitas layanan kesehatan primer dan sekunder
Pemerintah menanggung beban ledakan jumlah kunjungan pasien yang 4 kali lipat dari
kondisi saat ini (cakupan naik 2 kali, dan demand layanan juga naik 2 kali)?
Dengan kata lain kalau KIS diberlakukan oleh Jokowi ditahun 2015 besok, maka
program KIS ini adalah sama dengan Program BPJS yang dipercepat 5 tahun
pelaksanaannya.
Pertanyaan yang terpenting adalah BPJS atau KIS adalah program berbasis
Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang hanya mengobati penyakit di hilir saja.
Yang dibutuhkan agar rakyat Indonesia menjadi Sehat adalah program program
kesehatan masyarakat atau UKM yang bersifat preventif dan promotif, seperti:
program Gizi, program kesehatan ibu dan anak, program upaya kesehatan sekolah,
program posyandu, pencegahan penyakit menular dll. Program yang preventif dan
4. promotif di UKM ini secara teoritis mempengaruhi 70-80% status kesehatan
masyarakat, sedangkan Layanan kesehatan UKP seperti program pengobatan
penyakit (seperti program BPJS dan KIS) hanya mempengaruhi 10-20% status
kesehatan masyarakat. Program pembangunan kesehatan yang alokasi pembiayaan
keeshatannya dominan di pengobatan/UKP disebut sebagai Paradigma Sakit,
sedangkan Program Pembangunan Kesehatan yang mengutamakan pembiayaan
kesehatannya untuk program promotif dan preventif/UKM disebut sebagai Paradigma
Sehat.
Kalau Jokowi menjanjikan 10% anggaran kesehatan untuk KIS atau UKP, dan
data pembiayaan kesehatan dari 10 tahun 1995 – 2012 menunjukkan bahwa memang
program UKP menyerap 90% lebih anggaran kesehatan (pembiayaan rumah sakit
Pemerintah saja sudah menyerap 50% anggaran kesehatan). Sedangkan program
program kesehatan UKM untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat sejak 10
tahun yang lalu hanyalah maksimal 10% dari anggaran kesehatan. Apakah program
pembangunan kesehatan di kabinet Jokowi-Kalla kedepan akan berorientasi tetap
pada Paradigma Sakit seperti kabinet Suharto atau SBY, ataukah mampu
mengembangkan revolusi pelayanan kesehatan menjadi berbasis UKM atau berdasar
Paradigma Sehat?
Program BPJS memang spesifik dirancang untuk pembiayaan program UKP,
sehingga program kesehatan Pemerintah Pusat dan Daerah seharusnya spesifik
dirancang untuk mengembangkan program UKM. Bahkan Undang Undang Kesehatan
no 36 tahun 2009 pada pasal 171 mengamanatkan bahwa anggaran kesehatan
minimal 5% dari APBN, dan 2/3 alokasinya digunakan untuk layanan UKM.
Bandingkan dengan Target Jokowi bahwa anggaran kesehatan adalah 10% APBN,
dan hanya untuk KIS saja.
Kalau saja Jokowi mampu mengalokasikan separuh targetnya atau 5% saja dari
APBN 2015 yang 2000 triliun rupiah, artinya ada dana 100 triliun untuk kesehatan
(alokasi SBY hanyalah 40 triliun untuk kesehatan atau 2%). Kalau 2/3 nya anggaran ini
untuk pembangunan program kesehatan berbasis UKM, maka terdapat dana 67 triliun
untuk program program kesehatan masyarakat. Kalau saja Jokowi tidak
mengutamakan program KIS tetapi lebih mengutamakan arahan UUD 45 dan UU
kesehatan untuk berorientasi pada program UKM, maka impian Indonesia Sehat 2020
mungkin akan menjadi kenyataan dan bukan sekedar impian. Wallahu alam….
Depok, Akhir Agustus 2014