SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 8
Descargar para leer sin conexión
MENGGALI PUING-PUING SASTRA MADURA YANG TERSISA

                                       Oleh Syaf Anton Wr

       Sejak kapan sastra Madura mulai berkembang, sampai kini belum ditemukan bukti otentik.
Namun tampaknya dari beberapa keterangan, di Madura sudah mengenal tulis menulis pada jaman
kejayaan Singosari. Namun pada waktu sebelumnya, sekitar abad 18, pernah berkembang sastra yang
berbentuk cerita lisan, yang kemudian mengimplementasi dalam kisah-kisah babat Madura. Cerita
yang umumnya dalam bentuk fable dan farable tersebut, tampaknya sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan sastra lisan selanjutnya.
       Sastra Madura mengalami tahapan perkembangan kemudian digambarkan sebagai priodisasi
perkembangan sastra Madura, yaitu : priode pertama; tahapan sastra Madura lama; sampai tahun
1920; priode kedua; tahapan sastra Madura baru: sampai tahun 1945: dan priode ketiga; tahapan sastra
Madura modern; sampai 1977 (sampai kini);
       Sejak berdirinya Balai Pustaka, tampaknya mulai terbangun kondisi segar peta sastra Madura.
Sejumlah karya sastra yang umumnya ditulis dalam bentuk cerita, baik karangan asli maupun
terjemahan mulai menunjukkan bumi. Demikian juga sastra lisan terus bertahan dari mulut ke mulut,
namun untuk jenis sastra ini secara lambat makin kehilangan penuturnya.
       Tampaknya fenomena sastra Madura dalam perkembangannya, banyak dipengaruhi oleh
kehidupan sastra Jawa, hal ini tentu sangat beralasan mengingat selain wilayahnya yang berdekatan,
pengaruh pergaulan antar kedua etnis, termasuk didalamnya, hubungan perdagangan, politik,
pendidikan dan kebudayaan antara Jawa dan Madura, terdapat benang merah yang erat. Bahkan
penggunaan bahasa komunikasi dan bahasa tulis Jawa sangat dikenal dengan sebutan Carakan
Madura, atau Aksara Jaba, atau Jaban, hampir tidak ada beda. Untuk menunjukkan tingkat kesamaan
dan pengaruh sastra Jawa dalam kehidupan sastra Madura, dapat diperhatikan dalam puisi-puisi (lisan)
yaitu dalam bentuk tembang, seperti contoh: Salanget (Kinanthe), Pucung, Mejil, Maskumambang,
Durma, Kasmaran, Senom dan seterusnya.

Sebuah Potret
                Meski sastra Madura banyak ditulis, namun sastra lisan tampak lebih menguat dan
berkembang dihati masyarakat. Alasan ini kemungkinan, karena dunia membaca kurang mendapat
perhatian dan minat, karena kondisi masyarakat (pedesaan) yang masih hidup secara tradisional,
sehingga perkembangan sastra lisan tersosialisasi melalui pengaruh lingkungan dan pergaulan.
Karena pemikiran dan pengkhayatan lingkungan kerap terjadi perubahan-perubahan, sastra lisan juga
kerap mengalami penambahan-penambahan sesuai konteks perkembangan masyarakatnya. Bahkan
sering terjadi, dalam bentuk sastra yang sama, bisa mengalami perbedaan antar wilayah (kampung)
yang satu dengan wilayah lainnya.
        Beberapa contoh bentuk sastra (puisi lisan) Madura:

1. Gancaran (prosa liris);
       Karangan bebas dalam bentuk surat, cerita/dongeng, pidato/sambutan, atau
   tulisan/penyampaian dengan bahasa yang puitis. Dalam gancaran ini, ada dua bentuk, yaitu
   gancaran yang menggunakan okara kakanthen, yaitu dalam pengucapannya lebih menekankan
   dalam tingkat bahasa tinggi dan gancaran yang tidak menggunakan okara kakanthen, biasanya
   dilakukan dalam bentuk pergaulan sehari-hari.

2. Lok-alok. Puisi yang diucapkan oleh pembacanya (tokang lok-alok) pada saat menjelang
   dilaksanakan kerapan sapi atau menjelang pelepasan perahu ketika para nelayan menuju laut..
   Tokang lok-alok (deklamator) biasanya orang pilihan yang mempunyai kemampuan lebih ketika

                                                                                                  1
tampil di tengah massa, sehingga .lok-alok memberi semangat untuk bertanding. Salah satu contoh
   lok-alok kerapan sapi:

   baja mangken dhung-ondhung are
   nemor kara, bentar tonggga’ dhalem aeng
   kaula andhi’ bur-leburan dua’
   ne’-kene’ cabbi lete’
   moga daddi sampornana
   ka se nangga’ sareng se nenggu
   ka se etangga’ sareng se etenggu
   se panglowar e sebut se gambar
   se pangdhelem ajajuluk se gambu

   dhu tang ana’ se sa pasang
   ana’ gambar rembi’ tabungkos
   etella’ temmo ceyaran
   ngabas are ta’ solap
   nedda’ teppong ta’ alampat

   adhu kacong buwana ate
   tadha’ bunga andhi’ ana’ kantha ba’na
   eabas dhari adha’ gaga’
   eabas dhari ereng mantereng
   akantha arjuna kembar
   adhu kacong pola ba’na
   atapa pettobelas taon e gunong maraong
   salbak macan lopot.

Arti Indonesianya:

   saat ini mentari condong ke barat
   kemarau kering, pecah tonggak dalam air
   aku punya dua kekasih
   kecil-kecil cabe rawit
   semoga jadi sempurnanya
   bagi yang nanggap maupun penonton
   bagi yang ditanggap dan yang ditonton
   yang bagian luar (kiri) disebut si gambar
   yang bagian dalam (kanan) disebut si gambu

   wahai anak-anakku sepasang
   anak kembar lahir terbungkus
   dicubit sedikit saja bungkusnya pecah
   menatap matahari tidak seilau
   tidak menjejak menginjak tepung

   wahai anak buah hatiku
   betapa bahagia punya anak seperti kalian
   dipandang dari depan gagah

                                                                                                2
dipanding dari samping mentereng
   seperti Arjuna kembar
   wahai anakku mungkin kamu
   bertapa tujuh belas tahun di gunung raung
   diterkam harimau terlepas.

        Dalam lok-alok lebih menekankan pada irama dan rima, sehingga makna kata dan bahasanya
terbebas. Uniknya Lok-alok diucapkan/dibacakan dengan nuansa teatrikal sehingga kesan yang
diterima dominan menciptakan vocal dengan intonasi yang mengesankan sebagaimana pembacaan
puisi/declamation. Lok-alok, tampaknya sudah tidak dikenal lagi di masyarakat, mungkin
pertimbangan praktis dari masyarakat (modern) atau para pelaksana kerapan sapi telah beralih di
tangan pemerintah.

3. Puisi anak-anak.
       Puisi anak-anak (mainan anak-anak – folklore - ) umumnya dalam bentuk lagu atau nyanyian.
   Syair-syairnya kadang sulit dimengerti, karena sebagaimana puisi Madura lama lazimnya, unsur
   bunyi lebih kuat tekanannya. Karena kekuatan bunyi itulah, kerap anak-anak kurang memahami
   maknanya. Karena puisi dicipta sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, maka puisi-puisi yang
   ditulis, juga mempunyai kepentingan yang berbeda.
       Dimensi pembinaan dan pendidikan tampaknya menjadi syarat dalam puisi lisan Madura,
   sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini

   Pak-kopak eling/Elingnga sakoranji/Eppak olle papareng/Ana’ tambang tao ngaji/Ngaji babana
   cabbi/Ka’angka’na sarabi potthon/Ecocco’ dhandhang pote, keba mole/Ecocco’ dhangdhang
   celleng, keba melleng

   Cong-kong     konce/Koncena       lo-olowan/Sabanyon       saketheng/Na’kana’     markong-
   markong/Baba’anna       kapong-kapong/Ngek-serngegan,      rot    sorodan/Pangantan    tao
   abajang/Abajanga keta’ kedung/Ondurragi jung baba’an.

   Di’dindi’kapas/Kapassa lema-lema/Lemanto/Sapa nyamana manto/Mantogi/Sapa nyamana
   togi/Togilar/Sapa nyamana gilar/Larbais/ Sapa nyamana bais/Baisto/Sapa nyamana isto/Istopa’
   balang kette’ tetteng

   Pak-rampak kokkonengan/Nemmo sello’ elang pole/Katopa’ tojuk nengkong/Abali pole manjeng

   Dhi-padhi cemplok, lo’ling/Entara kana’ supang, nyang sayang/Ambu’ ambang atutup pindhang,
   alalap kacang nyang pettis/Tis kontrolir, bu’ ayu/Dhadah’aran kundang kali Mansur, jaran
   garejjeggan jaran
   Gareneggan, no’-lenno’ nyodhu tajin

   Ba-baba bulan bulanna sapa/Bulanna ………/Agaleppa’ agalebber, noro’ ompossa penang/Buru
   dha’emma’anna/Buru ka gerrungnganna

   Di’dindi’ liya leyo/Pocedda koddhu’/Na’kana’ alekaya/Gi’ bellun toddu/Teng-jeliteng/Ma’
   towana soro dhateng/Dhatengnga laggu’ malem/Dika pagar bato/Bula pagar carang/Dika ana’na
   rato/Bula ana’na pangeran/Assem bang-labang/Manja’ etem neng salokke’/Mesem paraban/Kare
   mesem ekekke’ pate’/Geddhang karepe’/Orang ngandung takepe’/Takepe’ babana
   lombung/Kothak-kathek ondur dhateng./(catatan R. Wongsoprayitno)

                                                                                              3
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang/Nangnganang nganang nong dhe’/Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur/La
   sa   sayumla   haeto   lella/Ya    amrasul kalemas    topa’/Haena    haedheng     haena
   dhangkong/Pangantanna din ba’aju din tamengkong/(dst)

      Contoh-contoh penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra Madura, lebih dikenal sebagai
   jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung)
   yang menjadi ciri umum, sebagaimana kidung dalam gending-gending Jawa dan Madura.

4. Puisi Ritual
       Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur
   permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan
   masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen
   dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan
   keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir.
   Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian.
       Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi
   daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku
   atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian dikenal syair

       dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
       (Sodhir Sonar)

       leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
       adhu rentang sandurandheng
       (Lentang Sandhurandhing)

       atau liya lilli ta’liya lingsir

       Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan
   banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang
   sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat,
   lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang yang ditiupkan
   oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama
   (Islam), maka mulai berkembang puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh
   kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang
   baik buruk di mata Islam.

   5. Syi’ir
              Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren, dan
       tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi
       ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari
       wilayah pesantren. Karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang
       tumbuhpun mengarah pada bentuk sastra keagamaan.
              Syi’ir merupakan sastra yang hidup dan berkembang dari pesantren yang tentu menjadi
       salah satu bentuk sastra/puisi Arab. Umumnya syi’ir ditulis oleh para santri jaman dahulu di
       luar waktu belajar, yang kemudian sering dijadikan salah satu bentuk pengantar dzikir saat
       menjelang waktu sholat Maghrib di surau, langgar atau musholla dan dilantunkan dengan


                                                                                                  4
suara merdu, yang kemudian merambah ke luar pesantren, dengan berbagai variasi irama atau
   lagu-lagunya.
          Bentuk syi’ir tak beda dengan syair-syair Melayu lama sebagaimana contoh:
          //Astaughfirullah heran kaula/zaman samangken banynya’ se gila/banynya’ rosagan se
   bala-bala/jau kalaban zaman se bila//
          (//astaughfirullah heran saya/jaman sekarang banyak yang gila/banyak kerusakan antar
   keluarga/jauh dengan zaman yang dahulu//)

          //ngimanagee dha’ naraka/neko enggun reng durhaka/labangnga petto’
   banynya’na/kapantha petto’ barnana/egiring oreng se kafer/kalaban oreng se mongker/para’
   ka pengggirra/nangis aeng mata dhara/malaekut laju ngoca’/ma’ ta’ nanges ka Allah
   lamba’/erantai tanang le’erra/acabbur ka tengnga’anna/kalabang olar ban kala/laju nyander
   ka reng sala/dhalem apoy reng-cerrengan/laban thowat long-tolongan//
          (//percaya pada neraka/tempat orang yang durhaka/pintunya ada tujuh/dibagi tujug
   warna (macam) /digiring orang yang kafir/bersama orang yang mungkir/hampir ke tepian/ia
   menangis aer mata darah/malaikat lalu beracap/mengapa sejak dulu tidak mengangis kepada
   Allah/tangan dan lehernya dirantai/lalu diceburkan ke tengahnya/kelabgang, ular dan kala/lalu
   mendatangi orang yang salah/dalam api menjerit-jerit/dan berteriak minta tolong//)

          //neserra badan bila pon mate/coma e bungkus labun se pote/kalamon ta’ esaporana
   Guste/ta’ burung ancor tolang se pote//
          (//kasihan bila diri telah mati/hanya dibungkus kain yang putih/apabila tidak mendapat
   ampunan Gusti/tentulah hacur belulang yang putih//)

           //Ajja’ denggi sasamana/Makhluk Alla dha-padhana/Gutong rojung/Gampang
   olle//(Moh. Tayib)
           (//jangan dengki sesama/mahluk Allah sama saja/gotong royong/mudah didapat//)

6. Bak-Tebbagan (teka teki): contoh:
   - mon egagap badha, nangeng bila etole’e tadha’ (kopeng)
   - ka bara’ calat, ka temor calat (calatthong)
   - ta’ tol jan bat (ata’na butol ojanna lebat)
   - solorra ka taman, konco’na ka accem (ajam)
     dan semacamnya.

7. Paparegan,
      Puisi pendek yang memakai sampiran dengan menggunakan pola rima seperti contoh:

   Blarak klare
   Trebung manyang
   Baras mare
   Tedung nyaman

   Atau
   Ka gunong ngala’ nyarowan
   Kope bella kabadhdha’a
   Pekker bingong ta’ karowan
   Nape bula katamba’


                                                                                              5
Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak bentuk-bentuk sastra lainnya, baik yang ditulis
   maupun yang diucapkan, yang tidak mungkin semua dapat ditulis dalam makalah ini, namun
   tampaknya saat ini telah menghilang dari peredaran. Bahkan ditengarai budaya-budaya yang
   secara tradisional awalnya semarak, kini tidak lagi mendapat perhatian masyarakat, karena
   berbagai faktor klasik, yang memungkinkan pada saatnya nanti akan punah.

8. Puisi Madura Mutakhir

       Puisi Madura mutakhir, yaitu puisi-puisi yang ditulis oleh generasi tahun tujuan puluhan
   sampai kini. Sulit didata nama-nama yang secara kontiniu menulis karya-karya sastra berbahasa
   Madura, barangkali hal ini disebabkan media yang dijadikan acuan publikasi belum ditemui
   sebagai wilayah eksplorasi karya sastra Madura.
       Memang pernah terbit sebuah media yang diharapkan mampu mencipta fenomena sastra
   Madura, seperti bulletin “Konkonan”, namun sifatnya hanya lokal di Sumenep, format dan
   kemasannyapun sangat sederhana dan hanya dibaca kalangan terbatas (pendidikan). Jadi agak sulit
   perkembangan sastra Madura (modern) mampu melaju sebagaimana yang diharapkan.
       Apakah hal tersebut menjadi alasan mandegnya sastra Madura?. Untuk menyebut sebagai
   indikasi, barangkali masih menjadi perdebatan, karena sastra sendiri sangat bergantung pada
   kemungkinan kesadaran sastrawan sendiri dalam melahirkan karya-karyanya. Paling tidak, dua
   nama dibawah ini, meski tidak mewakili fenomena yang berkembang, namun (minimal) menjadi
   penyejuk, bahwa sebagaimana yang selama ini disinyalir “sastra Madura modern telah mati”,
   masih mencoba bernafas kembali meski dalam tahapan kecil.



                                    DHARA CAMPOR MARDHA
                               Sasembaa’an dha’ Jeng Ebu Pertiwi

      Tareka ka’dinto ebu, medal dhari sokma
      Se talempet dhalem nespa tor nyangsara
      Arastosan taon
      Tareka ebugel, sowara edunggem
      Roba ta’ odhar, labang ta’ adhardhar

      Naleka Hirozima Nagasaki epajunge kolat mardha
      Samoray taselpet, Hinomaru aleppet
      Nippon gippon, ta’ kobasa namba’
      Mok-amok Sakutu

      Pottra nyelpettagi tareka, akerek mera pote
      Majunge bume Nusantara
      Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat
      Raga se kendhur sakojur, odhar
      Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja

      Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak
      Ta’ marduli dhara se nyapcap
      Ta’ marduli mardha se nyapsap


                                                                                                 6
Dhara campor mardha
Agaluy dhalem dhadha
Tojjuwan nonggal
Mardika, jaja, raja.
                                                          1988
(Arach Djamali)


                           DAMAR BADHA E PARTELLON

Capcabba dhara ban nana noro’ lanjangnga lorong
agili dhari kol-tongkolan mate’e damar
ojan molae derres e konco’na malem
adharak sakalengngadha’ padhana etotta’ dhari langnge’
balaburra ngaracak ta’ bisa alanyo’ merana dhara
ban antemma nana
pajung se epatabar ba’na
buru epakalowar saellana kalambi
ban sakabbiyanna ban-giban padha kopo kabbi
malarat rassana abida’agi gaga’anna tananga ba’na
e attassa loka ban poro
karana padha peddina
osaban lere sarat kalaban kaparatenan
e nga’-tengnga’anna mergi’ tombuna tobba
se molae badha naleka sengko’ molae kasambu’
ka bulan pornama moncar dhari mowana ba’na
ba’na molae nganggi’ bintang dhalem mempe
ban naleka tajaga karana badha senter bato sapolo
dhateng ngellone atena ba’na
dhaksakala ba’na andhi’ bungkana kabangalan
saabidda abuwa copa
nyembur tang mowa naleka sengko’ lebat e babana
tape ropana ba’na ecapo’ balat
nang-konang se ekasanggu bintang
gan settong mate
naleka ba’na molae pelka’ ka aeng
se nyembur dari nga’-tengga’anna bintang
se pajat bisa esebbut bintang
mangkana ba’na sateya duli berka’
naleka damar e partellon
akantha ta’ tao ja’ noro’ lorong
mare nyapcap dhara ban nana
ban ta’ losso tekka’a ecapo’ ojan
se para’ maabi’a gel-togellanna malem
sengko’ bingong majejjeng e nga’-tengnga’anna partellon
kottha e adha’ padha elang
naleka ngedhing ba’na ra’-era’an ban ba’-koba’an
antara abali, terros otaba ka kacer
menangka peleyan sepadha mamate ka aba’

                                                                 7
ojan aherra dhateng pole
naleka sengko’ ban ba’na padha badha e partellon

(Abd. Gani)




Menggali Puing yang Tersisa
       Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura, bisa disebabkan oleh
beberapa faktor yang berhubungan dengan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat di luar
kebutuhan “sastra” sendiri. Demikian pula, lajunya “pembangunan” makin melaju pula ragam
jenis budaya yang (konon) melampauI batas kemampuan budaya masyarakat setempat, yang
terus menyentuh dan mengelabuhi sistem kehidupan sampai ke wilayah pelosok pedesaan.
       Kekhawatiran akan punahnya sastra Madura sebenarnya erat hubungannya dengan
makin lemahnya posisi bahasa Madura. Indikasi ini bisa jadi disebabkan.

 1. Penggunaan bahasa Madura kurang intense dalam bahasa tutur di masyarakat;
 2. Pembina/pendidik kurang layak dalam menerapkan pengajaran bahasa dan sastra
    Madura, karena keterbatasan kemampuan dalam mengkomunikasikan dengan anak didik;
 3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada, kalau ada sifat lokal dan
    untuk kalangan sendiri.
 4. Kurang maraknya peristiwa apresiasi sastra Madura, baik dalam bentuk pertemuan,
    diskusi maupun sayembara/lomba;
 5. Dan sebab-sebab lainnya, yang menjadikan sastra Madura terpinggirkan;

   Barangkali, akan menjadi pembenaran bahwa sastra merupakan cermin dari masyarakat,
   dan ketika sastra tersisihkan dari masyarakatnya, ketika itu pula manusia mulai kehilangan
   indentitas diri, kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Apakah ini juga akan menjadi
   cermin masyarakat Madura?


   Sumenep, September 2002



   Syaf Anton Wr




                                                                                           8

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Puisi : Pengertian dan Contoh
Puisi : Pengertian dan ContohPuisi : Pengertian dan Contoh
Puisi : Pengertian dan ContohTasya Tazkiyah
 
[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam
[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam
[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, GurindamNita Sintari
 
Kaidah kebahasaan dalam teks pantun
Kaidah kebahasaan dalam teks pantunKaidah kebahasaan dalam teks pantun
Kaidah kebahasaan dalam teks pantunFathia Rosatika
 
Pembelejaran Bahasa Indonesia Menulis Pantun
Pembelejaran Bahasa Indonesia Menulis PantunPembelejaran Bahasa Indonesia Menulis Pantun
Pembelejaran Bahasa Indonesia Menulis PantunRizkita26
 
PANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnya
PANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnyaPANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnya
PANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnyaNingrum Handayani
 
Pantun Powerpoint
Pantun PowerpointPantun Powerpoint
Pantun PowerpointRamipratama
 
MODUL PUISI DAN MAJAS
MODUL PUISI DAN MAJASMODUL PUISI DAN MAJAS
MODUL PUISI DAN MAJASbuwarnisutopo
 
puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)
puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)
puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)Student
 
gurindam dan puisi kontemporer
gurindam dan puisi kontemporergurindam dan puisi kontemporer
gurindam dan puisi kontemporerAmri Hasan
 
Memahami dan menganalisis teks pantun
Memahami dan menganalisis teks pantunMemahami dan menganalisis teks pantun
Memahami dan menganalisis teks pantunHasrilia Beskara
 
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...Berlinda Putri
 

La actualidad más candente (20)

Puisi : Pengertian dan Contoh
Puisi : Pengertian dan ContohPuisi : Pengertian dan Contoh
Puisi : Pengertian dan Contoh
 
Puisi
PuisiPuisi
Puisi
 
Jenis pantun
Jenis pantunJenis pantun
Jenis pantun
 
Puisi lama-2
Puisi lama-2Puisi lama-2
Puisi lama-2
 
[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam
[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam
[Bahasa Indonesia] Syair, Puisi, Gurindam
 
Kaidah kebahasaan dalam teks pantun
Kaidah kebahasaan dalam teks pantunKaidah kebahasaan dalam teks pantun
Kaidah kebahasaan dalam teks pantun
 
Pembelejaran Bahasa Indonesia Menulis Pantun
Pembelejaran Bahasa Indonesia Menulis PantunPembelejaran Bahasa Indonesia Menulis Pantun
Pembelejaran Bahasa Indonesia Menulis Pantun
 
PPT PANTUN
PPT PANTUNPPT PANTUN
PPT PANTUN
 
Puisi lama
Puisi lamaPuisi lama
Puisi lama
 
PANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnya
PANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnyaPANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnya
PANTUN pengertian, ciri-ciri dan jenis-jenis Pantun beserta contohnya
 
Pantun Powerpoint
Pantun PowerpointPantun Powerpoint
Pantun Powerpoint
 
Puisi Lama
Puisi Lama Puisi Lama
Puisi Lama
 
MODUL PUISI DAN MAJAS
MODUL PUISI DAN MAJASMODUL PUISI DAN MAJAS
MODUL PUISI DAN MAJAS
 
pantun Kelompok 5
pantun Kelompok  5   pantun Kelompok  5
pantun Kelompok 5
 
puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)
puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)
puisi lama dan puisi baru (bahasa indonesia)
 
gurindam dan puisi kontemporer
gurindam dan puisi kontemporergurindam dan puisi kontemporer
gurindam dan puisi kontemporer
 
Puisi kontemporer
Puisi kontemporer Puisi kontemporer
Puisi kontemporer
 
Memahami dan menganalisis teks pantun
Memahami dan menganalisis teks pantunMemahami dan menganalisis teks pantun
Memahami dan menganalisis teks pantun
 
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
 
Contoh puisi lama
Contoh puisi lamaContoh puisi lama
Contoh puisi lama
 

Destacado

Bagaimana rasulullah mendidik anak
Bagaimana rasulullah mendidik anakBagaimana rasulullah mendidik anak
Bagaimana rasulullah mendidik anakRizal Fuadi Muhammad
 
Cara nabi muhammad saw membentuk jiwa anak
Cara nabi muhammad saw membentuk jiwa anakCara nabi muhammad saw membentuk jiwa anak
Cara nabi muhammad saw membentuk jiwa anakRizal Fuadi Muhammad
 
Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)
Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)
Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)salehfateha
 
Pernikahan dan walimatul ursy
Pernikahan dan walimatul ursyPernikahan dan walimatul ursy
Pernikahan dan walimatul ursyEloknadlifah
 
30 Cara Mengatasi Anak Berbohong
30 Cara Mengatasi Anak Berbohong30 Cara Mengatasi Anak Berbohong
30 Cara Mengatasi Anak Berbohong24hourparenting
 
Naskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad saw
Naskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad sawNaskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad saw
Naskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad sawyogitaufik
 
Kumpulan pidato bahasa arab
Kumpulan pidato bahasa arabKumpulan pidato bahasa arab
Kumpulan pidato bahasa arabAlso Dicky
 
Pentingnya pendidikan era globalisasi
Pentingnya pendidikan era globalisasiPentingnya pendidikan era globalisasi
Pentingnya pendidikan era globalisasiFega Net
 

Destacado (10)

Bagaimana rasulullah mendidik anak
Bagaimana rasulullah mendidik anakBagaimana rasulullah mendidik anak
Bagaimana rasulullah mendidik anak
 
Cara nabi muhammad saw membentuk jiwa anak
Cara nabi muhammad saw membentuk jiwa anakCara nabi muhammad saw membentuk jiwa anak
Cara nabi muhammad saw membentuk jiwa anak
 
Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)
Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)
Rasulullah sebagai uswatun hasanah (autosaved) (autosaved)
 
Pilar Belajar
Pilar BelajarPilar Belajar
Pilar Belajar
 
Pernikahan dan walimatul ursy
Pernikahan dan walimatul ursyPernikahan dan walimatul ursy
Pernikahan dan walimatul ursy
 
30 Cara Mengatasi Anak Berbohong
30 Cara Mengatasi Anak Berbohong30 Cara Mengatasi Anak Berbohong
30 Cara Mengatasi Anak Berbohong
 
Empat pilar pendidikan
Empat pilar pendidikanEmpat pilar pendidikan
Empat pilar pendidikan
 
Naskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad saw
Naskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad sawNaskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad saw
Naskah pidato untuk acara peringatan maulid nabi muhammad saw
 
Kumpulan pidato bahasa arab
Kumpulan pidato bahasa arabKumpulan pidato bahasa arab
Kumpulan pidato bahasa arab
 
Pentingnya pendidikan era globalisasi
Pentingnya pendidikan era globalisasiPentingnya pendidikan era globalisasi
Pentingnya pendidikan era globalisasi
 

Similar a Menggali puing puing sastra madura yang tersisa

Puisi melayu (1)
Puisi melayu (1)Puisi melayu (1)
Puisi melayu (1)yopyus
 
Gurindam dan Puisi Kontemporer
Gurindam dan Puisi KontemporerGurindam dan Puisi Kontemporer
Gurindam dan Puisi KontemporerQurrati A'yun
 
Bin 8 bab 4 indahnya berpuisi
Bin 8 bab 4 indahnya berpuisiBin 8 bab 4 indahnya berpuisi
Bin 8 bab 4 indahnya berpuisiSMPK Stella Maris
 
Kelas V SD 1 Singkawang Utara
Kelas V SD 1 Singkawang UtaraKelas V SD 1 Singkawang Utara
Kelas V SD 1 Singkawang UtaraMila Wati
 
Antologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak Laut
Antologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak LautAntologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak Laut
Antologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak Lautaleeeen
 
Manifestasi Akal Budi Dalam Puisi Tradisional
Manifestasi Akal Budi Dalam Puisi TradisionalManifestasi Akal Budi Dalam Puisi Tradisional
Manifestasi Akal Budi Dalam Puisi TradisionalBM2062204RohaiyuBint
 
Perbedaan Puisi Lama dengan Puisi Baru
Perbedaan Puisi Lama dengan Puisi BaruPerbedaan Puisi Lama dengan Puisi Baru
Perbedaan Puisi Lama dengan Puisi Baruts4n14
 
Ngamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawih
Ngamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawihNgamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawih
Ngamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawihZakyMubarak15
 
Pantun empat kerat
Pantun empat keratPantun empat kerat
Pantun empat keratsariyatom
 
Teks puisi rakyat
Teks puisi rakyatTeks puisi rakyat
Teks puisi rakyatpudjotri
 
seni budaya 8 tp 3 .pptx
seni budaya 8 tp 3 .pptxseni budaya 8 tp 3 .pptx
seni budaya 8 tp 3 .pptxummifasyajinan
 

Similar a Menggali puing puing sastra madura yang tersisa (20)

Puisi kontemporer
Puisi kontemporerPuisi kontemporer
Puisi kontemporer
 
Asigment pantun sem9
Asigment pantun sem9Asigment pantun sem9
Asigment pantun sem9
 
Puisi melayu (1)
Puisi melayu (1)Puisi melayu (1)
Puisi melayu (1)
 
Gurindam dan Puisi Kontemporer
Gurindam dan Puisi KontemporerGurindam dan Puisi Kontemporer
Gurindam dan Puisi Kontemporer
 
Bin 8 bab 4 indahnya berpuisi
Bin 8 bab 4 indahnya berpuisiBin 8 bab 4 indahnya berpuisi
Bin 8 bab 4 indahnya berpuisi
 
Kelas V SD 1 Singkawang Utara
Kelas V SD 1 Singkawang UtaraKelas V SD 1 Singkawang Utara
Kelas V SD 1 Singkawang Utara
 
Antologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak Laut
Antologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak LautAntologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak Laut
Antologi Sajak Anak Bumi Tercinta & Anak Laut
 
Assgmnt pantun
Assgmnt pantunAssgmnt pantun
Assgmnt pantun
 
Manifestasi Akal Budi Dalam Puisi Tradisional
Manifestasi Akal Budi Dalam Puisi TradisionalManifestasi Akal Budi Dalam Puisi Tradisional
Manifestasi Akal Budi Dalam Puisi Tradisional
 
Tugasan komsas pantun
Tugasan komsas pantunTugasan komsas pantun
Tugasan komsas pantun
 
Segi-segi Sastra Bandingan
Segi-segi Sastra BandinganSegi-segi Sastra Bandingan
Segi-segi Sastra Bandingan
 
Syair dan cerpen
Syair dan cerpenSyair dan cerpen
Syair dan cerpen
 
Perbedaan Puisi Lama dengan Puisi Baru
Perbedaan Puisi Lama dengan Puisi BaruPerbedaan Puisi Lama dengan Puisi Baru
Perbedaan Puisi Lama dengan Puisi Baru
 
Bin7 bab5
Bin7 bab5Bin7 bab5
Bin7 bab5
 
Ngamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawih
Ngamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawihNgamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawih
Ngamumule Bahasa Sunda ngagunakeun kawih
 
Pantun empat kerat
Pantun empat keratPantun empat kerat
Pantun empat kerat
 
Tembang Macapat.pdf
Tembang Macapat.pdfTembang Macapat.pdf
Tembang Macapat.pdf
 
Puisi Kontemporer.ppt
Puisi Kontemporer.pptPuisi Kontemporer.ppt
Puisi Kontemporer.ppt
 
Teks puisi rakyat
Teks puisi rakyatTeks puisi rakyat
Teks puisi rakyat
 
seni budaya 8 tp 3 .pptx
seni budaya 8 tp 3 .pptxseni budaya 8 tp 3 .pptx
seni budaya 8 tp 3 .pptx
 

Menggali puing puing sastra madura yang tersisa

  • 1. MENGGALI PUING-PUING SASTRA MADURA YANG TERSISA Oleh Syaf Anton Wr Sejak kapan sastra Madura mulai berkembang, sampai kini belum ditemukan bukti otentik. Namun tampaknya dari beberapa keterangan, di Madura sudah mengenal tulis menulis pada jaman kejayaan Singosari. Namun pada waktu sebelumnya, sekitar abad 18, pernah berkembang sastra yang berbentuk cerita lisan, yang kemudian mengimplementasi dalam kisah-kisah babat Madura. Cerita yang umumnya dalam bentuk fable dan farable tersebut, tampaknya sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra lisan selanjutnya. Sastra Madura mengalami tahapan perkembangan kemudian digambarkan sebagai priodisasi perkembangan sastra Madura, yaitu : priode pertama; tahapan sastra Madura lama; sampai tahun 1920; priode kedua; tahapan sastra Madura baru: sampai tahun 1945: dan priode ketiga; tahapan sastra Madura modern; sampai 1977 (sampai kini); Sejak berdirinya Balai Pustaka, tampaknya mulai terbangun kondisi segar peta sastra Madura. Sejumlah karya sastra yang umumnya ditulis dalam bentuk cerita, baik karangan asli maupun terjemahan mulai menunjukkan bumi. Demikian juga sastra lisan terus bertahan dari mulut ke mulut, namun untuk jenis sastra ini secara lambat makin kehilangan penuturnya. Tampaknya fenomena sastra Madura dalam perkembangannya, banyak dipengaruhi oleh kehidupan sastra Jawa, hal ini tentu sangat beralasan mengingat selain wilayahnya yang berdekatan, pengaruh pergaulan antar kedua etnis, termasuk didalamnya, hubungan perdagangan, politik, pendidikan dan kebudayaan antara Jawa dan Madura, terdapat benang merah yang erat. Bahkan penggunaan bahasa komunikasi dan bahasa tulis Jawa sangat dikenal dengan sebutan Carakan Madura, atau Aksara Jaba, atau Jaban, hampir tidak ada beda. Untuk menunjukkan tingkat kesamaan dan pengaruh sastra Jawa dalam kehidupan sastra Madura, dapat diperhatikan dalam puisi-puisi (lisan) yaitu dalam bentuk tembang, seperti contoh: Salanget (Kinanthe), Pucung, Mejil, Maskumambang, Durma, Kasmaran, Senom dan seterusnya. Sebuah Potret Meski sastra Madura banyak ditulis, namun sastra lisan tampak lebih menguat dan berkembang dihati masyarakat. Alasan ini kemungkinan, karena dunia membaca kurang mendapat perhatian dan minat, karena kondisi masyarakat (pedesaan) yang masih hidup secara tradisional, sehingga perkembangan sastra lisan tersosialisasi melalui pengaruh lingkungan dan pergaulan. Karena pemikiran dan pengkhayatan lingkungan kerap terjadi perubahan-perubahan, sastra lisan juga kerap mengalami penambahan-penambahan sesuai konteks perkembangan masyarakatnya. Bahkan sering terjadi, dalam bentuk sastra yang sama, bisa mengalami perbedaan antar wilayah (kampung) yang satu dengan wilayah lainnya. Beberapa contoh bentuk sastra (puisi lisan) Madura: 1. Gancaran (prosa liris); Karangan bebas dalam bentuk surat, cerita/dongeng, pidato/sambutan, atau tulisan/penyampaian dengan bahasa yang puitis. Dalam gancaran ini, ada dua bentuk, yaitu gancaran yang menggunakan okara kakanthen, yaitu dalam pengucapannya lebih menekankan dalam tingkat bahasa tinggi dan gancaran yang tidak menggunakan okara kakanthen, biasanya dilakukan dalam bentuk pergaulan sehari-hari. 2. Lok-alok. Puisi yang diucapkan oleh pembacanya (tokang lok-alok) pada saat menjelang dilaksanakan kerapan sapi atau menjelang pelepasan perahu ketika para nelayan menuju laut.. Tokang lok-alok (deklamator) biasanya orang pilihan yang mempunyai kemampuan lebih ketika 1
  • 2. tampil di tengah massa, sehingga .lok-alok memberi semangat untuk bertanding. Salah satu contoh lok-alok kerapan sapi: baja mangken dhung-ondhung are nemor kara, bentar tonggga’ dhalem aeng kaula andhi’ bur-leburan dua’ ne’-kene’ cabbi lete’ moga daddi sampornana ka se nangga’ sareng se nenggu ka se etangga’ sareng se etenggu se panglowar e sebut se gambar se pangdhelem ajajuluk se gambu dhu tang ana’ se sa pasang ana’ gambar rembi’ tabungkos etella’ temmo ceyaran ngabas are ta’ solap nedda’ teppong ta’ alampat adhu kacong buwana ate tadha’ bunga andhi’ ana’ kantha ba’na eabas dhari adha’ gaga’ eabas dhari ereng mantereng akantha arjuna kembar adhu kacong pola ba’na atapa pettobelas taon e gunong maraong salbak macan lopot. Arti Indonesianya: saat ini mentari condong ke barat kemarau kering, pecah tonggak dalam air aku punya dua kekasih kecil-kecil cabe rawit semoga jadi sempurnanya bagi yang nanggap maupun penonton bagi yang ditanggap dan yang ditonton yang bagian luar (kiri) disebut si gambar yang bagian dalam (kanan) disebut si gambu wahai anak-anakku sepasang anak kembar lahir terbungkus dicubit sedikit saja bungkusnya pecah menatap matahari tidak seilau tidak menjejak menginjak tepung wahai anak buah hatiku betapa bahagia punya anak seperti kalian dipandang dari depan gagah 2
  • 3. dipanding dari samping mentereng seperti Arjuna kembar wahai anakku mungkin kamu bertapa tujuh belas tahun di gunung raung diterkam harimau terlepas. Dalam lok-alok lebih menekankan pada irama dan rima, sehingga makna kata dan bahasanya terbebas. Uniknya Lok-alok diucapkan/dibacakan dengan nuansa teatrikal sehingga kesan yang diterima dominan menciptakan vocal dengan intonasi yang mengesankan sebagaimana pembacaan puisi/declamation. Lok-alok, tampaknya sudah tidak dikenal lagi di masyarakat, mungkin pertimbangan praktis dari masyarakat (modern) atau para pelaksana kerapan sapi telah beralih di tangan pemerintah. 3. Puisi anak-anak. Puisi anak-anak (mainan anak-anak – folklore - ) umumnya dalam bentuk lagu atau nyanyian. Syair-syairnya kadang sulit dimengerti, karena sebagaimana puisi Madura lama lazimnya, unsur bunyi lebih kuat tekanannya. Karena kekuatan bunyi itulah, kerap anak-anak kurang memahami maknanya. Karena puisi dicipta sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, maka puisi-puisi yang ditulis, juga mempunyai kepentingan yang berbeda. Dimensi pembinaan dan pendidikan tampaknya menjadi syarat dalam puisi lisan Madura, sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini Pak-kopak eling/Elingnga sakoranji/Eppak olle papareng/Ana’ tambang tao ngaji/Ngaji babana cabbi/Ka’angka’na sarabi potthon/Ecocco’ dhandhang pote, keba mole/Ecocco’ dhangdhang celleng, keba melleng Cong-kong konce/Koncena lo-olowan/Sabanyon saketheng/Na’kana’ markong- markong/Baba’anna kapong-kapong/Ngek-serngegan, rot sorodan/Pangantan tao abajang/Abajanga keta’ kedung/Ondurragi jung baba’an. Di’dindi’kapas/Kapassa lema-lema/Lemanto/Sapa nyamana manto/Mantogi/Sapa nyamana togi/Togilar/Sapa nyamana gilar/Larbais/ Sapa nyamana bais/Baisto/Sapa nyamana isto/Istopa’ balang kette’ tetteng Pak-rampak kokkonengan/Nemmo sello’ elang pole/Katopa’ tojuk nengkong/Abali pole manjeng Dhi-padhi cemplok, lo’ling/Entara kana’ supang, nyang sayang/Ambu’ ambang atutup pindhang, alalap kacang nyang pettis/Tis kontrolir, bu’ ayu/Dhadah’aran kundang kali Mansur, jaran garejjeggan jaran Gareneggan, no’-lenno’ nyodhu tajin Ba-baba bulan bulanna sapa/Bulanna ………/Agaleppa’ agalebber, noro’ ompossa penang/Buru dha’emma’anna/Buru ka gerrungnganna Di’dindi’ liya leyo/Pocedda koddhu’/Na’kana’ alekaya/Gi’ bellun toddu/Teng-jeliteng/Ma’ towana soro dhateng/Dhatengnga laggu’ malem/Dika pagar bato/Bula pagar carang/Dika ana’na rato/Bula ana’na pangeran/Assem bang-labang/Manja’ etem neng salokke’/Mesem paraban/Kare mesem ekekke’ pate’/Geddhang karepe’/Orang ngandung takepe’/Takepe’ babana lombung/Kothak-kathek ondur dhateng./(catatan R. Wongsoprayitno) 3
  • 4. Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang/Nangnganang nganang nong dhe’/Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur/La sa sayumla haeto lella/Ya amrasul kalemas topa’/Haena haedheng haena dhangkong/Pangantanna din ba’aju din tamengkong/(dst) Contoh-contoh penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra Madura, lebih dikenal sebagai jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung) yang menjadi ciri umum, sebagaimana kidung dalam gending-gending Jawa dan Madura. 4. Puisi Ritual Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir. Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian. Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian dikenal syair dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga (Sodhir Sonar) leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing adhu rentang sandurandheng (Lentang Sandhurandhing) atau liya lilli ta’liya lingsir Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat, lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang yang ditiupkan oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama (Islam), maka mulai berkembang puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang baik buruk di mata Islam. 5. Syi’ir Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren, dan tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari wilayah pesantren. Karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang tumbuhpun mengarah pada bentuk sastra keagamaan. Syi’ir merupakan sastra yang hidup dan berkembang dari pesantren yang tentu menjadi salah satu bentuk sastra/puisi Arab. Umumnya syi’ir ditulis oleh para santri jaman dahulu di luar waktu belajar, yang kemudian sering dijadikan salah satu bentuk pengantar dzikir saat menjelang waktu sholat Maghrib di surau, langgar atau musholla dan dilantunkan dengan 4
  • 5. suara merdu, yang kemudian merambah ke luar pesantren, dengan berbagai variasi irama atau lagu-lagunya. Bentuk syi’ir tak beda dengan syair-syair Melayu lama sebagaimana contoh: //Astaughfirullah heran kaula/zaman samangken banynya’ se gila/banynya’ rosagan se bala-bala/jau kalaban zaman se bila// (//astaughfirullah heran saya/jaman sekarang banyak yang gila/banyak kerusakan antar keluarga/jauh dengan zaman yang dahulu//) //ngimanagee dha’ naraka/neko enggun reng durhaka/labangnga petto’ banynya’na/kapantha petto’ barnana/egiring oreng se kafer/kalaban oreng se mongker/para’ ka pengggirra/nangis aeng mata dhara/malaekut laju ngoca’/ma’ ta’ nanges ka Allah lamba’/erantai tanang le’erra/acabbur ka tengnga’anna/kalabang olar ban kala/laju nyander ka reng sala/dhalem apoy reng-cerrengan/laban thowat long-tolongan// (//percaya pada neraka/tempat orang yang durhaka/pintunya ada tujuh/dibagi tujug warna (macam) /digiring orang yang kafir/bersama orang yang mungkir/hampir ke tepian/ia menangis aer mata darah/malaikat lalu beracap/mengapa sejak dulu tidak mengangis kepada Allah/tangan dan lehernya dirantai/lalu diceburkan ke tengahnya/kelabgang, ular dan kala/lalu mendatangi orang yang salah/dalam api menjerit-jerit/dan berteriak minta tolong//) //neserra badan bila pon mate/coma e bungkus labun se pote/kalamon ta’ esaporana Guste/ta’ burung ancor tolang se pote// (//kasihan bila diri telah mati/hanya dibungkus kain yang putih/apabila tidak mendapat ampunan Gusti/tentulah hacur belulang yang putih//) //Ajja’ denggi sasamana/Makhluk Alla dha-padhana/Gutong rojung/Gampang olle//(Moh. Tayib) (//jangan dengki sesama/mahluk Allah sama saja/gotong royong/mudah didapat//) 6. Bak-Tebbagan (teka teki): contoh: - mon egagap badha, nangeng bila etole’e tadha’ (kopeng) - ka bara’ calat, ka temor calat (calatthong) - ta’ tol jan bat (ata’na butol ojanna lebat) - solorra ka taman, konco’na ka accem (ajam) dan semacamnya. 7. Paparegan, Puisi pendek yang memakai sampiran dengan menggunakan pola rima seperti contoh: Blarak klare Trebung manyang Baras mare Tedung nyaman Atau Ka gunong ngala’ nyarowan Kope bella kabadhdha’a Pekker bingong ta’ karowan Nape bula katamba’ 5
  • 6. Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak bentuk-bentuk sastra lainnya, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, yang tidak mungkin semua dapat ditulis dalam makalah ini, namun tampaknya saat ini telah menghilang dari peredaran. Bahkan ditengarai budaya-budaya yang secara tradisional awalnya semarak, kini tidak lagi mendapat perhatian masyarakat, karena berbagai faktor klasik, yang memungkinkan pada saatnya nanti akan punah. 8. Puisi Madura Mutakhir Puisi Madura mutakhir, yaitu puisi-puisi yang ditulis oleh generasi tahun tujuan puluhan sampai kini. Sulit didata nama-nama yang secara kontiniu menulis karya-karya sastra berbahasa Madura, barangkali hal ini disebabkan media yang dijadikan acuan publikasi belum ditemui sebagai wilayah eksplorasi karya sastra Madura. Memang pernah terbit sebuah media yang diharapkan mampu mencipta fenomena sastra Madura, seperti bulletin “Konkonan”, namun sifatnya hanya lokal di Sumenep, format dan kemasannyapun sangat sederhana dan hanya dibaca kalangan terbatas (pendidikan). Jadi agak sulit perkembangan sastra Madura (modern) mampu melaju sebagaimana yang diharapkan. Apakah hal tersebut menjadi alasan mandegnya sastra Madura?. Untuk menyebut sebagai indikasi, barangkali masih menjadi perdebatan, karena sastra sendiri sangat bergantung pada kemungkinan kesadaran sastrawan sendiri dalam melahirkan karya-karyanya. Paling tidak, dua nama dibawah ini, meski tidak mewakili fenomena yang berkembang, namun (minimal) menjadi penyejuk, bahwa sebagaimana yang selama ini disinyalir “sastra Madura modern telah mati”, masih mencoba bernafas kembali meski dalam tahapan kecil. DHARA CAMPOR MARDHA Sasembaa’an dha’ Jeng Ebu Pertiwi Tareka ka’dinto ebu, medal dhari sokma Se talempet dhalem nespa tor nyangsara Arastosan taon Tareka ebugel, sowara edunggem Roba ta’ odhar, labang ta’ adhardhar Naleka Hirozima Nagasaki epajunge kolat mardha Samoray taselpet, Hinomaru aleppet Nippon gippon, ta’ kobasa namba’ Mok-amok Sakutu Pottra nyelpettagi tareka, akerek mera pote Majunge bume Nusantara Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat Raga se kendhur sakojur, odhar Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak Ta’ marduli dhara se nyapcap Ta’ marduli mardha se nyapsap 6
  • 7. Dhara campor mardha Agaluy dhalem dhadha Tojjuwan nonggal Mardika, jaja, raja. 1988 (Arach Djamali) DAMAR BADHA E PARTELLON Capcabba dhara ban nana noro’ lanjangnga lorong agili dhari kol-tongkolan mate’e damar ojan molae derres e konco’na malem adharak sakalengngadha’ padhana etotta’ dhari langnge’ balaburra ngaracak ta’ bisa alanyo’ merana dhara ban antemma nana pajung se epatabar ba’na buru epakalowar saellana kalambi ban sakabbiyanna ban-giban padha kopo kabbi malarat rassana abida’agi gaga’anna tananga ba’na e attassa loka ban poro karana padha peddina osaban lere sarat kalaban kaparatenan e nga’-tengnga’anna mergi’ tombuna tobba se molae badha naleka sengko’ molae kasambu’ ka bulan pornama moncar dhari mowana ba’na ba’na molae nganggi’ bintang dhalem mempe ban naleka tajaga karana badha senter bato sapolo dhateng ngellone atena ba’na dhaksakala ba’na andhi’ bungkana kabangalan saabidda abuwa copa nyembur tang mowa naleka sengko’ lebat e babana tape ropana ba’na ecapo’ balat nang-konang se ekasanggu bintang gan settong mate naleka ba’na molae pelka’ ka aeng se nyembur dari nga’-tengga’anna bintang se pajat bisa esebbut bintang mangkana ba’na sateya duli berka’ naleka damar e partellon akantha ta’ tao ja’ noro’ lorong mare nyapcap dhara ban nana ban ta’ losso tekka’a ecapo’ ojan se para’ maabi’a gel-togellanna malem sengko’ bingong majejjeng e nga’-tengnga’anna partellon kottha e adha’ padha elang naleka ngedhing ba’na ra’-era’an ban ba’-koba’an antara abali, terros otaba ka kacer menangka peleyan sepadha mamate ka aba’ 7
  • 8. ojan aherra dhateng pole naleka sengko’ ban ba’na padha badha e partellon (Abd. Gani) Menggali Puing yang Tersisa Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura, bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat di luar kebutuhan “sastra” sendiri. Demikian pula, lajunya “pembangunan” makin melaju pula ragam jenis budaya yang (konon) melampauI batas kemampuan budaya masyarakat setempat, yang terus menyentuh dan mengelabuhi sistem kehidupan sampai ke wilayah pelosok pedesaan. Kekhawatiran akan punahnya sastra Madura sebenarnya erat hubungannya dengan makin lemahnya posisi bahasa Madura. Indikasi ini bisa jadi disebabkan. 1. Penggunaan bahasa Madura kurang intense dalam bahasa tutur di masyarakat; 2. Pembina/pendidik kurang layak dalam menerapkan pengajaran bahasa dan sastra Madura, karena keterbatasan kemampuan dalam mengkomunikasikan dengan anak didik; 3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada, kalau ada sifat lokal dan untuk kalangan sendiri. 4. Kurang maraknya peristiwa apresiasi sastra Madura, baik dalam bentuk pertemuan, diskusi maupun sayembara/lomba; 5. Dan sebab-sebab lainnya, yang menjadikan sastra Madura terpinggirkan; Barangkali, akan menjadi pembenaran bahwa sastra merupakan cermin dari masyarakat, dan ketika sastra tersisihkan dari masyarakatnya, ketika itu pula manusia mulai kehilangan indentitas diri, kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Apakah ini juga akan menjadi cermin masyarakat Madura? Sumenep, September 2002 Syaf Anton Wr 8