Dokumen tersebut membahas tentang neuromyelitis optica (NMO) yang merupakan penyakit inflamasi sistem saraf pusat yang memengaruhi saraf optik dan tulang belakang mengakibatkan gangguan penglihatan dan mielopati. NMO disebabkan oleh antibodi terhadap aquaporin-4 yang menyebabkan kerusakan astrosit dan memicu demielinasi, nekrosis, dan kerusakan neuron. Gejala klinis NMO antara lain gangguan penglihatan
1. RACIKAN
61SemijurnalFarmasi&KedokteranETHICALDIGEST NO. 139 Thn. XII September 2015
S
ecara etimologi, peradangan di saraf mata dalam dunia
kedokteran disebut optic neuritis, sedangkan peradangan
di saraf tulang belakang (spinal cord) dalam dunia medis
dinamakan myelitis. NMO menyerang persarafan di mata
dan tulang belakang (hampir) bersamaan. Itulah mengapa pe-
nyakit ini disebut neuromyelitis optica (NMO), atau lengkapnya
neuromyelitis optica spectrum disorder.
Kasus neuromyelitis optica (NMO) telah diketahui Allbutt
dan Erb sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19.Tahun 1894,
EugèneDevicdanmahasiswanyaFernandGault,memperkenalkan
istilah “neuromyelite optique aigue”
(acute optic neuromyelitis). Tahun 1907
Acchioté, dokter Turki, mengusulkan
istilah“sindromDevic”.Tahun1927,Beck
mendeskripsikan kasus NMO bercirikan
atipikal, seperti: perjalanan relaps. Tahun
1999,Wingerchuk dkk memerluas kriteria
klinis untuk mendiagnosis NMO.
Epidemiologi
Mayoritas kasus NMO bersifat spora-
dis, dapat terjadi di semua negara, namun
lebih sering terjadi di populasi Negro,Asia
dan India. Prevalensi NMO diperkirakan
1-4,4 per 100 ribu di dunia barat. Beragam
studi di Jepang, Kuba, Denmark, Meksiko,
Perancis, Hindia Barat menunjukkan
insidens 0,053-0,4 per 100 ribu penderita /
tahun dan prevalensi 0,52-4,4 per 100 ribu. Di USA, prevalensi
NMO diprediksi 1-2% dari penderita multiple sclerosis (MS). Di
masa lalu, banyak (>20%) penderita NMO salah didiagnosis
dengan MS, terutama karena belum tersedia tes NMO-IgG.
Perempuan lebih banyak menderita NMO dibanding pria,
dengan rasio 9:1. Onset usia berkisar 35-45 tahun pada dewasa,
dengan rerata 39 tahun. Pada anak-anak, onset sekitar 4,4 tahun.
Jadi, semua (usia, jenis kelamin) berpotensi NMO.
Pada 20-30% kasus, serangan NMO didahului infeksi/
vaksinasi. Adanya riwayat penyakit terkait virus dilaporkan pada
30%penderitaNMOmonofasikdan23%penderitaNMOberulang.
Kekambuhan dapat terjadi dalam 3-6 bulan pertama, setelah
sembuh. Untuk NMO berulang, wanita 3-9 kali lebih sering dari-
The Art of
Neuromyelitis
Optica Management
Dito Anurogo, MD1
, Taruna Ikrar, MD, M.Pharm, Ph.D.2,3
pada pria, sedangkan pada bentuk monofasik rasio wanita:pria
1:1. Kebutaan (minimal satu mata) dapat terjadi setelah penyakit
berlangsung selama 7-8 tahun. Rerata 5-tahun survival
dilaporkan68%diAmerikaUtaraselamatahun1977hingga1997;
ini jauh berbeda dengan riset terkini yang menyatakan rerata 5-
tahun survival lebih dari 90%. Hanya sebagian penderita
mengalami disabilitas minor dalam kurun waktu 10 tahun.
Etioimunopatogenesis
Kelainan otak diduga sebagai penyebab NMO. Misalnya
lesi di otak bagian hipotalamus inferior
dan hipofisis. Dengan pemeriksaan mag-
netic resonance imaging (MRI), tampak
nyata keterlibatan tulang belakang bagi-
an bawah dalam kaitannya dengan keti-
daknormalan cervical cord, lesi substan-
si putih yang dalam dan multipel (teruta-
ma di otak bagian supratentorial), lesi di
ganglia basal dan perubahan terkait usia.
Nekrosis spinal cord yang meman-
jang melewati bagian multipel dengan
keterlibatan substansi putih dan abu-abu
adalah patognomonis NMO. Nekrosis
dapat menghasilkan kavitasi di spinal
cord atau saraf optik. Sebagai tambahan,
untuk demielinasi dan nekrosis dengan
kavitasi, eosinofil dan neutrofil umum-
nya dijumpai di infiltrat inflamasi dari lesi
aktif dengan penebalan vaskuler dan hialinisasi. Dijumpai pula
deposisi imunoglobulin dan komponen komplemen di vasculo-
centric rim dan pola rosette pada lesi aktif NMO. Berdasar
penemuan ini, jelas bahwa NMO adalah gangguan humoral yang
mengenai daerah perivaskular.
Otoantibodi sering terdeteksi di serum penderita NMO relaps
atau MT berulang. Diperlukan riset tentang antibodi spesifik
terhadap jaringan SSP. Tahun 2004, Lennon dkk berhasil mela-
porkan otoantibodi serum, NMO-IgG, yang memiliki sensitivitas
73% dan spesifisitas 91% untuk membedakan NMO dari MS.
NMO-Igberasaldarisel-selBperifer,mengaktivasikomplemen,
terlibat dalam proses induksi inflammatory demyelination dan
nekrosis di sel-sel endotel spinal cord.Antibodi diproduksi oleh
Neuromyelitis optica (Devic’s disease) adalah penyakit inflamasi kronis dari
sistem saraf pusat, yang memengaruhi persarafan optik dan spinal cord
mengakibatkan gangguan visual dan mielopati.
61-65 -- Racikan Dito AnurogoTaruna Ikrar neuromyelitis.pmd 8/20/2015, 8:55 PM61
2. RACIKAN
62 SemijurnalFarmasi&Kedokteran ETHICALDIGEST NO. 139 Thn. XII September 2015
sel-sel B di sirkulasi perifer dan melintasi sawar darah-otak. Tar-
getantigenuntukantibodiadalahaquaporin-4(AQP4).Pengikatan
antibodi ke AQP4, menghasilkan internalisasi dan degenerasi
subsequent, yang memicu kelebihan glutamate keluar sel. Hal ini
merusak neuron-neuron dan oligodendrosit. Sel-sel inflamasi
ditarik ke jaringan dan menyebabkan cedera lanjutan.
Lesi di batang otak, yang ditemukan melalui pemeriksaan
MRI, sulit dibedakan dengan multiple sclerosis. Pada NMO,
lesi otak cenderung berlokasi di area dengan ekspresi aquaporin-
4 tinggi, seperti: diensefalon, hipotalamus, aquaduktus, serta
tampak luas dan udem di korpus kalosum.
Beragam mediator inflamasi nyeri nosiseptif NMO, yaitu:
peningkatan kadar ekspresi IL 1-beta di makrofag atau sel-sel
mikroglia teraktivasi yang ada di lesi inflamasi aktif stadium dini,
peningkatan IL-6 di CSF, aktivasi aksis IL 17–IL 8 di CSF,
peningkatan HMGB1 (high mobility group proteinB1)diplasma.
Pembukaan glutamatergic Ca2+-permeable N methyl d-
aspartate (NMDA) receptors memicu long-term potentiation
(LTP) di sinaps serabut-C, yang dipertimbangkan sebagai
mekanisme seluler kunci terjadinya amplifikasi nyeri jangka
panjang (hiperalgesia).
Predisposisi genetik juga berperan penting dalam NMO. Nilai
positif NMO IgG terkait erat dengan HLA-DRB1*03 (DR3) pada
populasi penduduk Perancis dan Brazil, dan HLA-DPB1*0501
pada populasi penduduk Jepang. Haplotipe HLA ini terkait erat
dengan beragam penyakit /gangguan otoimun dilaporkan dialami
30% pasien NMO, seperti systemic lupus erythematosus (SLE),
penyakit Graves, sindrom Sjögren, dsb.
Potret Klinis dan Komorbiditas
Neuritis optik (NO) dan mielitis transverse (MT) adalah
patognomonis NMO. NO biasanya disertai nyeri okuler unilat-
eral atau bilateral (jarang). Potret klinis lain terkait saraf optik
adalah penglihatan kabur, skotoma, atrofi atau edema optic disc,
deficit / hilang lapang pandang, hilangnya penglihatan yang
permanen (satu / dua mata).
Lesi spinal cord ada di bagian servikal dan umumnya
bermanifes sebagai longitudinally extensive transverse myeli-
tis (LETM), sepanjang minimal 3 segmen vertebra. Gejala terkait
spinal cord termasuk gangguan motoris dan sensoris, gangguan
sfingter / seksual.
Mielitis yang disebabkan NMO, sering disertai MT
menyeluruh dengan problematika berjalan (berupa tetraplegia /
paraplegia), disfungsi sfingter tingkat sensoris, nyeri dan spasme
tonik paroksismal di tubuh dan ekstremitas.
Bukti terbaru menunjukkan, NMO bukan hanya melibatkan
persarafan optik dan spinal cord. Gejala-gejala otak juga tampak
sebagai manifestasi pertamanya. Keterlibatan sistem saraf pusat
(SSP) di luar sistem optik dan spinal cord, dilaporkan pada 59%
penderita NMO.
Pada 35% kasus serangan mielitis berat akut terkait NMO
relaps, sering dijumpai dysesthetic yang nyata, nyeri radikuler,
mungkin terkait dengan gejala-gejala Lhermitte. Lesi dapat
meluas ke batang otak dan menyebabkan cegukan, mual yang
hebat, atau gagal napas.
Dijumpai juga gejala-gejala batang otak dan nyeri neuropatik.
Penderita NMO menunjukkan gejala-gejala batang otak yang
khas, yaitu: cegukan dan muntah yang membandel. Keterlibatan
meduler di area postrema dan nucleus tractus solitaries, area di
mana ekspresi AQP4 nyata meninggi, dapat menyebabkan
muntah hebat atau cegukan yang membandel. Gejala-gejala
batang otak lain, yakni: mual, vertigo dan gangguan vestibuler,
nistagmus, hilang pendengaran, kelemahan (otot) wajah atau
paralisis fasial, nyeri wajah atau dysestesia, neuralgia trigemi-
nal, diplopia, miosis, ptosis, dan ataksia.
Lebih dari 80% penderita NMO merasakan nyeri. Nyeri
bangkitan (evoked pain) paling sering disebabkan spasme otot
tonik yang amat nyeri, dan nyeri neuropatik yang terus-menerus.
Di Korea, dari 40 penderita NMO, dijumpai 25% dengan spasme
tonik yang amat nyeri. Nyeri neuropatik yang berkelanjutan dan
membandel berlokasi di sekitar dada dan pinggang, di seluruh
bagian kaki, atau di punggung. Nyeri hebat dapat terjadi di sta-
dium awal penyakit, bahkan bisa menjadi gejala klinis pertama
NMO. Pada tahapan diagnosis, area nyeri biasanya sesuai
dengan lokasi lesi spinal cord yang dijumpai pada MRI.
Gejala-gejala umum penderita NMO berupa: sakit kepala,
nyeri, gejala Lhermitte, gejala Uhthoff, lelah, gangguan memori,
gangguan kognitif lainnya, cemas, depresi. Gejala-gejala lainnya:
nyeri paroksismal spastik, tremor, mioklonus, khorea, diskinesia.
Mekanisme patogenesis NMO
Serum AQP4-IgG dan sel-sel plasma yang memroduksi AQP4-IgG
memasuki sistem saraf pusat, menyebabkan pengikatan
channels AQP4-IgG ke AQP4 pada astrosit. Kerusakan astrosit
tergantung-antibodi melibatkan sitotoksisitas tergantung-
komplemen. Mekanisme CDCC dan ADCC memicu inflamasi,
injuri oligodendrosit, demielinasi dan kehilangan neuron.
Glikoprotein CD59 menghambat sel lisis dengan menghambat
pembentukan MAC. Singkatan: ADCC, antibody-dependent
cellular cytotoxicity; AQP4, aquaporin 4; CDC, complement-
dependent cytotoxicity; CDCC, complement-dependent
cellular cytotoxicity; MAC, membrane attack complex; NMO,
neuromyelitis optica. (Sumber: Papadopoulos, dkk 2014:494)
61-65 -- Racikan Dito AnurogoTaruna Ikrar neuromyelitis.pmd 8/20/2015, 8:55 PM62
3. RACIKAN
63SemijurnalFarmasi&KedokteranETHICALDIGEST NO. 139 Thn. XII September 2015
Uniknya, ada 3 wanita AQP4-IgG–seropositive dengan as-
ymptomatic myelitis pada kasus NMO. Manifestasi extraop-
ticospinal NMO berupa: ensefalopati mirip acute disseminated
encephalomyelitis atau posterior reversible encephalopathy
syndrome (PRES). Gejala terkait PRES berupa gangguan
kesadaran, agitasi, konvulsi, gangguan visual, diplopia,
nistagmus.Gejala-gejala NMO terkait hipotalamus berupa
demam, hipotermia, hipotensi ortostatik, takikardi, gangguan
tidur, hiperfagi, gangguan endokrin.
Pada kasus endokrinopati terkait NMO, manifestasi klinisnya:
adenoma hipofisis, amenore, diabetes insipidus, diabetes mel-
litus, galactorrhea, gangguan haid, gangguan hormon
pertumbuhan, hiperfagi, hipertiroidisme, hiponatremia (sekresi
ADH terganggu), hipotiroidisme, obesitas, peningkatan serum
prolaktin, penurunan serum FSH, penurunan serum LH.
Gangguan otoimun terkait NMO berupa alergi, anemia
hemolitik, artritis rematoid, Behçet’s disease, Crohn’s disease,
Graves’ disease, hepatitis (otoimun), hipo / hipertiroidisme, my-
asthenia gravis, poliarteritis nodosa, polimiositis, psoriasis,
purpura trombositopeni, sclerosing cholangitis, sindrom
antifosfolipid, sindrom Sjögren, SLE, uveitis dan vitiligo.
Perjalanan penderita NMO berupa monofasik atau relaps.
Saatmonofasik,kejadianNOdanLETM(<30hari)simultanterjadi
tanpa relaps apa pun, namun 80-90% penderita NMO mengalami
relaps. NO dan mielitis dapat terpisah beberapa bulan / tahun,
namun 55% penderita mengalami relaps saraf optik atau spinal
cord pertama mereka dalam 1 tahun, setelah kejadian klinis awal;
hal ini mencapai 78% setelah 3 tahun, 90% dalam 5 tahun.
Mayoritas kematian terkait NMO terjadi akibat dari mielitis
servikal yang ascending dan parah, keterlibatan batang otak,
yang memicu kegagalan respirasi.
Mutiara Diagnosis
Diagnosis NMO ditegakkan sesuai kriteria Wingerchuk
(2006). Kriteria ini menyatukan status antibodi aquaporin-4
(AQP-4). Lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Dari kriteria Wingerchuk (2006), jelas bahwa biomarker
spesifik untuk menegakkan diagnosis NMO adalah immuno-
globulin G1 autoantibodies, berupa aquaporin-4 (AQP4-IgG).
NMO IgG memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi (99%) dan
tingkat sensitivitas sedang (56-73%). NMO IgG tidak dapat
melewati sawar darah otak (blood brain barrier; BBB), namun
dapat melewati plasenta. Hindari biopsi tulang belakang untuk
menegakkan diagnosis.
Selain kriteriaWingerchuk (2006), diagnosis serta tatalaksana
NMO telah dirumuskan European Federation of Neurological
Societies (EFNS) tahun 2010, dan Neuromyelitis Optica Study
Group (NEMOS) tahun 2014.
Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium dasar yang direkomendasikan untuk
konfirmasi diagnosis NMO antara lain: pemeriksaan darah,
koagulasi, serum kimiawi, sedimentasi darah, glukosa darah, vi-
tamin B12, asam folat, antibodi terkait dengan gangguan jaringan
konektif (ANA/ENA, antibodi anti-ds-DNA, antikoagulan lu-
pus, antibodi antifosfolipid, ANCA, sedimen dan analisis urin,
Treponema pallidum hemagglutination assay dan antibodi
paraneoplastik (terutama anti-CV2/CRMP5 dan anti-Hu).
UjiserologisserumAQP4-Abyangdiperolehdarijaringan,sel,
atau protein, adalah baku emas diagnosis NMO. Spesifisitas as-
says ini berkisar 90-100%. AQP4-Ab terdeteksi pada 60–90%
penderitayangsecaraklinisdanradiologis,memenuhikriteriaNMO.
Uji serologis disertai riwayat dan cutaneous stigmata,
berhasil mengungkap kekacauan humoral tambahan, juga
sindrom yang tumpang-tindih dengan amyopathic dermatomyo-
sitis, rheumatoid arthritis, dan SLE.
Riset terkini menunjukkan, bila hasil pemeriksaanAQP4-Ab-
negatif, maka penderita NMO dewasa dan anak masih dapat
diperiksa antibodi terhadap myelin oligodendrocyte glycopro-
tein (MOG).
Pada MRI otak, dijumpai contrast enhancement dengan
bentuk mirip awan (a cloudlike shape) dan pencil-thin ependy-
mal enhancement adalah ciri khas NMO. Studi ultrahigh-field
imaging melaporkan, lesi NMO tidak secara tipikal menunjukkan
Kriteria Wingerchuk (2006)
A. Terdapat neuritis optik (berat)
B. Terdapat transverse myelitis
C. Sekurangnya dua dari tiga kriteria suportif berikut ini:
1. Lesi spinal cord yang berdekatan, tampak dengan
pemeriksaan MRI, meluas hingga lebih dari 3 segmen verte-
bra.
2. Hasil imaging MRI otak tidak memenuhi kriteria diagnostik
Paty untuk onset multiple sclerosis (MS).
3. Hasil pemeriksaan serum positif untuk antibodi AQP-4 atau
NMO-IgG/AQP4 antibody seropositivity.
Lesi otak atipikal pada penderita NMO tampak dengan MRI.
(Pittock SJ, dkk 2006:394)
61-65 -- Racikan Dito AnurogoTaruna Ikrar neuromyelitis.pmd 8/20/2015, 8:55 PM63
4. RACIKAN
64 SemijurnalFarmasi&Kedokteran ETHICALDIGEST NO. 139 Thn. XII September 2015
pembuluh darah sentral, hypointense rim, dan kurang tampaknya
lesi kortikal. Hiperintensitas serebral T2-/FLAIR tampak pada
60% penderita NMO, meski seringkali tidak menunjukkan
manifestasi klinis, dan secara tipikal tidak tampak pada gambaran
T1-weighted.
Diagnostik / pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) untuk
menegakkan diagnosis NMO, antara lain: sitologi, hitung sel, pro-
tein,laktat,rasioserum/albumincairanserebrospinal,rasioserum/
IgG,IgA,danIgMcairanserebrospinal,oligoclonalbands(OCB),
dan reaksi virus MRZ (measles, rubella, dan varicella zoster).
Pada penderita NMO, selama serangan akut dijumpai pleo-
cytosis (>50 sel/mm3) dengan neutrofil di CSF. Biomarker
destruksi astrosit pada NMO adalah kadar glial fibrillary acidic
protein (GFAP) di CSF.
Elektrofisiologi dan/atau optical coherence tomography
(OCT), dilakukan bila tersedia fasilitas. OCT menunjukkan
penurunan ketebalan retinal nerve fiber layer (RNFL) dan volu-
me makular, hal ini penting untuk membedakan NMO dengan
MS. OCT mengidentifikasi edema makular mikrosistik pada 25%
penderita NMO dan 4,7% penderita MS.
Pemeriksaan pencitraan MRI adalah teknik terpenting, untuk
mengetahui diagnosis banding NMO. Pada kasus tertentu yang
mengarah ke diagnosis NMO, dilakukan pemeriksaan MRI
seluruh sistem saraf pusat (cranial-spinal cord MRI), tanpa
menghiraukan ada tidaknya tanda-gejala utama.
Tatalaksana
Terapi harus diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan,
mengingat parah / beratnya serangan NMO, risiko tinggi
terjadinya disabilitas, dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Serangan NMO akut diterapi dengan kortikosteroid (misalnya:
methylprednisolone) intravena dosis tinggi dan plasmapheresis.
Pemberian methylprednisolone intravena dosis tinggi,
mampu memberi respon klinis yang cepat, segera setelah
pemberian infus. Berdasar riset non-genomik, efek ini dimediasi
oleh efek langsung pada membran seluler dan fungsi mitokon-
dria, menginduksi reduksi produksi adenosine-5’-triphosphate
dan mempromosikan apoptosis seluler.
Sebenarnya, methylprednisolone telah digunakan sejak 1970
sebagai antiradang kuat atau agen imunosupresan dalam
tatalaksana beragam penyakit/gangguan, seperti hematologi,
alergi, neoplastik, dan otoimun.
Plasmapheresis diberikan bila methylprednisolone tidak
efektif. Plasmapheresis adalah teknik pemurnian darah, yang
didesain untuk menghilangkan antibodi, komplemen, sitokin, dan
kemokin dari plasma.Agar menjadi amat efektif, plasmapheresis
harusdikaitkandenganterapiimunosupresan,mencegahproduksi
imunoglobulin yang baru. Jika produksi antibodi tidak dihambat,
diperlukan sesi plasmapheresis tambahan.
Riset berbasis genomik dan non-genomik mampu menjelas-
kan efek positif kortikosteroid bagi penderita NMO, berupa me-
micu reduksi inflamasi, apoptosis leukosit, supresi migrasi leu-
kosit polimorfonuklear dan reversal dari peningkatan permea-
bilitas pembuluh darah kapiler.
Untuk mencegah serangan lebih lanjut, diperlukan terapi
maintenance, berupa: kortikosteroid oral dosis rendah dan obat
imunosupresan nonspesifik, yakni: azathioprine dan mycophe-
nolate mofetil.
MenurutrekomendasiNeuromyelitisOpticaStudyGroup(NE-
MOS) tahun 2014, terapi lini pertama NMO adalah azathioprine
dan rituximab. Terapi lini kedua adalah methotrexate, mycophe-
nolate mofetil, dan mitoxantrone (golongan imunosupresif).
Regimen AHSCT (autologous non-ablative hematopoietic
stem cell transplantation) ditoleransi baik, ditandai dengan
adanya perbaikan klinis. Tatalaksana yang berpotensi efektif
mengatasi NMO seperti: eculizumab (inhibitor komplemen),
tocilizumab (IL 6 receptor inhibitor), sivelestat dan cetirizine
(inhibitor granulosit), imunoglobulin intravena, CD19-deplet-
ing agents, dan terapi anti-TNF.
Pemetaan resolusi tinggi extracellular loop amino acids
Tabel Tatalaksana Neuromyelitis Optica (NMO)
Fase serangan akut
Methylprednisolone intravena dosis tinggi 1 gram/hari selama 3 - 5 hari
Plasmapheresis 2 ~ 4 liter per sesi, 2 hingga 3 sesi per minggu, sampai 7 sesi.
Untuk mencegah kekambuhan (relapse rate reduction)
Prednisone oral 5 ~ 20 mg/hari
Prednisolone 2–20 mg/hari
Azathioprine 2,5 – 3 mg/kg berat badan/hari
Mycophenolate mofetil 2 gram/hari atau 750–3000 mg/hari
Rituximab 375 mg/m2
/minggu selama 4 minggu atau 1g diulang dalam 2 minggu; monitor sel-
sel B CD19+ atau CD27+ bila terapi akan diberikan kembali.Atau: 1 g pada hari 1
dan hari 14, ulangi setiap 6 bulan (optional: monitor kadar CD19)
Imunoglobulin intravena (IVIG) 400 mg/kg berat badan selama 5 hari tiap-tiap bulan
Mitoxantrone 12 mg/m2
/bulan, dosis kumulatif maksimum 140 mg/m2.
Cyclophosphamide 1 g/hari tiap-tiap bulan atau imunoablasi dengan 2 g/hari selama 4 hari.
Methotrexate 7,5–25 mg sekali dalam seminggu
Cyclosporine A 2–5 mg/kg berat badan per hari
Keterangan: Pemberian obat harus dengan rekomendasi dokter, mengingat efek sampingnya.(Sumber: Sato D, dkk 2012:61,
Papadopoulos MC, dkk 2014:495)
61-65 -- Racikan Dito AnurogoTaruna Ikrar neuromyelitis.pmd 8/20/2015, 8:55 PM64
5. RACIKAN
65SemijurnalFarmasi&KedokteranETHICALDIGEST NO. 139 Thn. XII September 2015
Rujukan
1. Banker P, et al. Mult Scler 2012;18:1050–3.
2. Bienia B, Balabanov R. Autoimmune Diseases 2013 (2013).
3. Bradl M, et al. Nat Rev Neurol 2014;10:529–536.
4. Burton J, et al. Neurology 84.14 Supplement (2015): P5-259.
5. Cree BAC, et al. Semin Neurol 2002;22(2):105-122.
6. Dalakas MC. Nat Clin Pract Neurol 2008;4(10):557-567.
7. Flanagan EP, et al. Neurol Clin Pract 2015;5(2):175-7.
8. Ito S, et al. Ann Neurol 2009;66:425–8.
9. Iyer A, et al. Autoimmunity 2014;47:154–161.
10. Jarius S, et al. Nat Clin Pract Neurol 2008;4:202–214.
11. Jarius S, et al. J Neuroinflammation 2010;7:52.
12. Jarius S, et al. J Neuroinflammation 2012;9:14.
13. Jarius S, Wildemann B. J Neuroinflammation 2013;10:8.
14. Jarius S, et al. Clin Exp Immunol 2014;176:149–164.
15. Lana-Peixoto MA, Callegaro D. Arq Neuropsiquiatr 2012;70
(10):807-813.
16. Lana-Peixoto MA, et al. Arq Neuropsiquiatr 2011;69(4):687-692.
17. Lennon VA, et al. Lancet 2004;364(9451):2106–12.
18. Martin C, et al. Dermatology 2015;230:289-292.
19. O'Riordan JI, et al. J Neurol Neurosurg Psych 1996;60(4):382-7.
20. Owens GP, et al. J Biol Chem 2015;290.19:12123-34.
21. Papadopoulos MC, et al. Nat Rev Neurol 2014;10:493–506.
22. Pittock SJ, et al. Arch Neurol.2006;63:390-6.
23. Ramanathan RS, et al. BMC Neurology 2014;14:51.
24. Sahraian MA, et al. Neurol Clin 2013;31:139–152.
25. Sandkühler J. Physiol Rev 2009;89:707–758.
26. Sato D, et al. Arq Neuropsiquiatr 2012;70(1):59-66.
27. Sato D, Fujihara K. Arq Neuropsiquiatr 2011;69(5):824-28.
28. Sato DK, et al. Brain Pathology 2013;23:647–660.
29. Trebst C, et al. J Neurol 2014;261:1–16.
30. Weinshenker BG. Neurol Clin Neurosci 2014;2:23–27.
31. Weinshenker BG, Wingerchuk DM. Neurology 2014;82:466–467.
32. Wingerchuk DM, et al. Neurology 1999;53:1107–14.
33. Wingerchuk DM, et al. Neurology 2006;66:1485–9.
34. Wingerchuk DM, et al. Neurology 84.14 Supplement (2015):P5-265.
yang penting untuk ikatan NMO-IgG dan epitop otoantibodi
AQP4, mengidentifikasi target primer yang berpotensi terapi.
Di masa mendatang, terapi berbasis antibodi monoklonal
(seperti: rituximab), reseptor anti-IL6, antikomplemen atau anti-
AQP4-Ab biologis, non-pathogenic AQP4-specific antibodies
(seperti: aquaporumab), inhibitor neutrophil elastase,
antihistamin dengan aksi penstabil eosinofil, dan AQP4-IgG
deglycosylation atau cleavageAQP4-IgG enzimatik, diharapkan
mampu mengatasi NMO.
Ucapan Terimakasih: Yow-Pin Lim, MD., Ph.D., (President-
Chief Scientific Officer ProThera Biologics, Inc, Providence, Rhode
Island, Adjunct Asst. Professor Alpert Medical School of Brown
University) atas bantuan akses jurnal ilmiah.
1
Indonesian Young Health Professionals’Society (IYHPS),
korespondensi : ditoanurogo@gmail.com
2
Brain and Circulation Institute of Indonesia (BCII), Indonesia
3
Department of Anatomy and Neurobiology, University of
California, Irvine, California 92697, USA
Jalur aktivasi komplemen dan target obat komplemen
Komponen-komponen utama jalur aktivasi komplemen lectin dan alternatif, klasik tampak jelas, terkait dengan C1mAb dan
eculizumab—antibodi-antibodi monoklonal yang menarget komponen komplemen C1 dan C5, berturut-turut; C1inh, yang menarget C1;
dan cyclic oligopeptide compstatin, yang menarget C5. Anafilatoksin C3a dan C5a menyebabkan aktivasi granulosit dengan
pengikatan ke reseptor spesifik. Singkatan: AQP4, aquaporin 4; C1inh, complement protein 1 inhibitor; MAC, membrane attack
complex; MASP, mannan-binding lectin serine protease; MBL, mannose-binding protein. (Sumber: Papadopoulos, dkk 2014:501)
61-65 -- Racikan Dito AnurogoTaruna Ikrar neuromyelitis.pmd 8/20/2015, 8:55 PM65