Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut berisi khutbah Rasulullah mengenai pentingnya bulan Ramadhan dan pesan-pesannya.
2) Beberapa pesan penting adalah Ramadhan adalah bulan penuh berkah, memberi pahala 70 kali lipat, dan memberi makan orang berpuasa mendapat pahala.
3) Dokumen kedua berisi arahan untuk tetap berpuasa walaupun mengalami kesulitan pada h
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
Bahan kultum-ramadhan
1. Bahan Kultum
Malam Pertama
MMAARRHHAABBAANN
YYAA RRAAMMAADDHHAANN
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
⎛ν⊂ ⇒ζΤ⇔↓™ ≥ζΞ⇔↓™ σϖπ⇔°∈⇔↓ ″ℵ ãΠπΛ⇔↓
τΧΛ∅™ τ⇔↓ ⎛ν⊂™ ΠπŒ°⇓Πϖℜ σϖνℜΡπ⇔↓ √Ρ⊗↓
Π∈±°⇑↓ σϖ∈π÷↓
Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara, Jamaah Qi-
yamu Ramadhan yang dirahmati Allah SWT.
lhamdulillah, atas izin dan karunia Allah SWT.
dapatlah pada malam hari ini, ma-lam pertama
di bulan Ramadhan, kem-bali kita bisa
berkumpul, bertemu muka, sekaligus bersila-turrahmi, di
rumah Allah yang suci dan mulia ini, guna
1
bersama-sama melaksanakan serangkaian ibadah Qiyamu
Ramadhan sebagai salah satu upaya kita menghidup-hi-
dupkan bulan Ramadhan.
Para Jamaah rahimakumullah.
Bertemunya kita pada bulan Ramadhan tahun ini,
merupakan perwujudan dari kerkabulnya doa kita yang telah
kita mohonkan pada Ramadhan tahun lalu. Oleh karenanya
bersyukurlah kita kepada Allah yang telah mempertemukan
kita pada bulan yang penuh berkah ini, sebab tidak sedikit
kaum Muslimin yang tidak sempat bertemu dengan bulan
Ramadhan. Berapa banyak saudara-saudara kita, teman-
teman kita, sahabat-sahabat kita, tokoh-tokoh kita yang telah
pergi mendahului kita, kembali ke khadirat-Nya, sehingga
Ramadhan tahun lalu merupakan Ramadhan terakhir bagi
mereka.
Jamaah sekalian.
Suatu tradisi yang biasa Rasulullah lakukan setiap
menjelang tibanya bulan Ramadhan, adalah menyampaikan
khutbah di hadapan para sahabat dan kaum muslimin yang
isi khutbah tersebut sebagaimana termuat dalam kitab At-
Targhib, Juz 2 halaman 217 dan 218 yang ditulis oleh Imam
Ibnu Khuzaimah, adalah sebagai berikut :
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan
2
A
1
2. 2
dinaungi oleh suatu bulan yang agung dan penuh berkah,
yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih
baik daripada seribu bulan. Bulan, yang oleh Allah telah
menjadikan puasa sebagai suatu kewajiban, dan qiyam
(shalat) pada malam harinya merupakan ibadah tathawwu’
yakni ibadah sunat yang sangat dianjurkan. Barangsiapa
yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu aktivitas
kebajikan, maka akan dibalas oleh Allah SWT.dengan
ganjaran 70 kali lipat dibanding dengan mengerjakannya di
bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran. Siapa
yang mampu menjaga kesabaran, maka baginya adalah
Sorga Al-Jannah. Ramadhan adalah bulan memberi per-
tolongan pada sesama, serta bulan Allah yang atas kuasa-
Nya memberikan tambahan rezeki kepada orang-orang
yang beriman. Siapa saja pada bulan tersebut yang dapat
membukakan orang yang berpuasa tatkala berbuka dengan
sejumlah makanan, maka perbuatan itu dapat mengha-
puskan dosa-dosanya, dapat membebaskan ia dari api ne-
raka, disamping ia juga mendapatkan pahala sebagaimana
pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi
pahala orang itu”.
Setelah mendengarkan khutbah Rasulullah ini, diantara para
sahabat berkomentar :
“Ya Rasulullah, tidak semua dari kami memiliki makanan
yang cukup untuk membukakan orang-orang yang berpu-
asa”.
Rasulullah menjawab :
“Berikanlah apa yang kamu mampu, walau hanya sebiji
3
kurma, seteguk air atau sehirup susu, Allah tetap akan
memberikan pahala”.
Kemudian Rasulullah melanjutkan khutbahnya:
“Pada permulaan bulan Ramadhan merupakan rahmat,
pertengahannya merupakan ampunan, dan penghujungnya
merupakan pembebasan dari api neraka. Siapa saja yang
meringankan beban saudaranya atau bawahannya (para
karyawan, buruh, pembantu rumah tangga, tukang kebun,
tukang cuci, tukang masak/koki dsb.) niscaya Allah meng-
ampuni dosa-dosanya dan membebaskan ia dari api neraka.
Karenanya perbanyaklah empat perkara di bulan Rama-
dhan ini. Dua perkara untuk menyenangkan Allah, dan dua
perkara untuk memohon Sorga-Nya serta berlindung kepa-
da-Nya dari siksa api neraka. Siapa saja yang memberi
minum kepada orang yang sedang berpuasa, (taktala waktu
berbuka puasa tiba), niscaya Allah akan memberinya mi-
num dari suatu kolam Allah (di akhirat kelak) yang apabila
meminumnya maka tidak akan haus lagi, hingga ia masuk
Sorga”.
Ada 13 hal yang dapat kita butiri dari isi khut-
bah tersebut.
Pertama, bulan Ramadhan merupakan bulan agung
(syahrun ‘azhiim) dan bulan yang penuh berkah (syahrun
mubarak), dengan bobot lebih yang luar biasa dibandingkan
sebelas bulan lainnya, karena ia juga merupakan bulan
utama atau penghulu dari segala bulan (sayyidul syuhur).
4
3. 3
Kedua, di dalam keagungan bulan Ramadhan ini,
terdapat suatu malam yang paling bernilai bagi ummat Is-
lam, yaitu malam kemuliaan, atau yang kita kenal dengan
Lailatul Qadar.
Ketiga, merupakan kewajiban pokok bagi ummat
Islam yang baligh (sampai umur) untuk menjalankan ibadah
puasa sebulan penuh dengan jumlah hari 29 atau 30 hari.
Keempat, selain kita diwajibkan berpuasa di siang
hari, kita juga dianjurkan untuk mengerjakan ibadah sunnah
setiap malam berupa Qiyamul Ramadhan atau yang biasa
kita sebut Shalat Tarawih dan Witir.
Kelima, pada bulan Ramadhan ini Allah memberikan
ganjaran yang berlipat ganda bagi setiap amaliah ibadah
yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dengan bobot
ganjaran 70 kali lipat. Dengan demikian boleh dikatakan
bahwa, pada bulan Ramadhan ini, kaum muslimin yang
berpuasa memperoleh panen pahala dari Allah SWT.
Keenam, Ramadhan dikatakan sebagai ajang latihan
kesabaran. Karena dengan berpuasa dapat menempa jiwa
sseorang seseorang agar mempunyai kekuatan dan daya
tahan yang tangguh dalam menghadapi segala macam pen-
deritaan dan berbagai cobaan hidup lainnya.
Ketujuah, bulan Ramadhan merupakan bulan mem-
berikan pertolongan (syahrul muwasah). Pada bulan ini
kaum muslimin dianjurkan mengulurkan tangan kepada
5
mereka yang papa tak berpunya untuk sekedar memberikan
in-faq dan shadaqah sebagai perwujudan adanya sikap
peduli terhadap sesama.
Kedelapan, bulan Ramadhan adalah bulan dimana
Allah SWT. memberikan kelapangan dan kemurahan rezeki
kepada orang-orang yang beriman.
Kesembilan, Allah akan memberikan penghargaan
kepada orang yang memberikan makanan dan atau minuman
kepada orang yang sedang berpuasa pada saat berbuka,
dengan ganjaran berupa pengampunan atas dosa-dosanya,
pembebasan dari api neraka dan memberikan pahala yang
setara dengan orang yang berpuasa tersebut.
Kesepuluh, bulan Ramadhan adalah bulan yang hari-
hari perta-manya (sepuluh hari pertama), merupakan rahmat,
yakni pencurahan kasih sayang Allah SWT. yang diberikan-
Nya kepada kaum muslimin. Hari-hari pertengahannya
(sepuluh hari ke dua) merupakan maghfirah, yakni pembe-
rian pengampunan oleh Allah SWT. kepada hamba-hamba-
Nya yang telah terlanjur berbuat kesalahan dan dosa. Dan
hari-hari ter-akhirnya (sepuluh hari ke tiga) merupakan saat
dimana Allah SWT. membebaskan kaum muslimin yang
tekun berpuasa dan beribadah lainnya di bulan Ramadhan,
dari azab dan siksa neraka..
Kesebelas, pada bulan Ramadhan ini dianjurkan
kepada kaum muslimin agar saling bantu membantu dalam
meringankan beban sesa-ma. Perbanyaklah amal shaleh atau
6
4. 4
amal jariah, misalnya memberikan bantuan kepada fakir
miskin, orangtua jompo, anak yatim, anak terlantar dan
putus sekolah, memberikan bantuan dalam hal pemba-
ngunan, pemeliharaan dan pemakmuran masjid, musalla dan
tempat-tempat ibadah ummat Islam lainnya, memberikan
bantuan dalam hal pembangunan dan kelangsungan belajar
siswa/santri di lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagai-
nya. Bagi pimpinan kantor/instansi atau perusahaan, bantu-
lah para pegawai ata karyawannya, terutama para pegawai/
karyawan kelas menengah ke bawah (seperti para buruh,
para pembantu/pelayan dan sebagainya), berupa in-faq,
shadaqah dan zakat atau bantuan berupa paket Ramadhan,
santunan Ramadhan dan sebagainya).
Keduabelas, adalah empat perkara yang dipesankan
Rasulullah SAW. agar di bulan Ramadhan ini diterapkan
dan diperbanyak. Dua perkara yang pertama adalah mela-
kukan perbuatan yang sekiranya dapat menyenangkan Al-
lah, yaitu melaksanakan segala perintah-Nya dengan mela-
kukan ibadah sebanyak-banyaknya dan berbuat baik pada
sesama, dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya.
Kemudian dua perkara yang ke dua adalah memohon ke-
pada Allah agar di masukkan ke dalam Sorga-Nya dan
dihindarkan dari azab siksa neraka. Yang terakhir ini dapat
kita mohonkan lewat doa dan permohonan kepada Allah
SWT.
Yang terakhir, ketigabelas, dinyatakan oleh Rasul-
ullah SAW. bahwa barangsiapa yang memberi minum
kepada orang yang sedang berpuasa manakala ia bebuka
7
(saat tibanya berbuka puasa), nanti oleh Allah akan diganti
ganjarannya kepada yang bersangkutan berupa pem-berian
minum di yaumil akhir (padang mahsyar) dari air telaga ke-
punyaan Allah, yang apabila meminum air telaga tersebut,
dapat meng-hilangkan haus dahaga selama-lamanya, sampai
ia masuk sorga.
Demikian beberapa pesan Rasulullah SAW. yang
beliau ungkapkan pada setiap menjelang bulan Ramadhan,
semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran da-
rinya untuk kita jadikan pedoman di dalam berbuat dan
beramal ibadah di bulan Ramadhan yang penuh berkah,
tahun ini. Marilah kita pelajari dan kaji ulang segala rukun,
sunnah, hik-mah dan pengetahuan tentang puasa Ramadhan,
sehingga puasa kita tahun ini benar-benar penuh makna dan
diterima oleh Allah SWT.
Demikian uraian singkat yang bisa kami sampaikan
dalam kesempatan kultum malam ini, semoga ada manfaat-
nya bagi kita semua.
Marhaban ya Ramadhan
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
8
7. 7
Pendeknya, segala sesuatu yang bersifat menahan diri
(mengendalikan), itulah dia pengerian puasa menurut
loghat/bahasa.
Sedangkan pengertian puasa menurut Syar’iyyah,
atau menurut Syari’at, dapat kita temukan dari berbagai
sumber, diantaranya :
1. Menurut mufassir Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir
Ibnu Katsir jilid pertama disebutkan bahwa, “Puasa
adalah menahan diri dari makan, minum dan yang
membatalkan puasa dengan niat ikhlas kepada
Allah”;
2. Menurut mufasiir Ar-Razi dalam kitab At-Tafsir al-
Kabir jilid kedua disebuitkan bahwa, “Puasa
adalah menahan sejak terbit fajar hingga terbenam
matahari dari apa saja yang membuka-kan puasa,
padahal ia tahu dalam keadaan berpuasa disertai
niat”;
3. Menurut Syeikh Muhammad Ali As-Shabuny dalam
kitab Rowai’-ul Bayaan disebutkan bahwa, “Puasa
adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’
disertai dengan niat sejak dari terbit fajar hingga
terbenam matahari. Dan kesempurnaannya adalah
dengan menjauhi hal-hal yang kotor dan tidak
melakukan per-kara yang diharamkan”;
4. Menurut Syeikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazy
dalam kitab Tausikhu ‘alaa Ibnu Qasim, disebutkan
bahwa, “Puasa adalah menahan diri dari hal-hal
yang membatalkan, dengan niat yang ditentukan
sepanjang hari puasa (yaitu hari-hari yang boleh
dilakukan puasa) yang dilakukan oleh orang Islam
yang ber-akal dan suci dari haid dan nifas, bagi
wanita”;
8
5. Menurut Al-Imam Taqiyuddin Al-Husaini dalam
kitab Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa, “Puasa
adalah menahan diri dalam hal tertentu dari orang
tertentu, di dalam waktu yang tertentu pula dengan
beberapa syarat”;
6. Menurut Al-Ustadz Muhammad Ali As-Sayis dalam
kitab Tafsir Ayatul Ahkam disebutkan bahwa,
“Puasa adalah menahan diri dari dua kedaulatan
syahwat, yaitu syahwat perut dan farj dengan niat
oleh ahli (orang yang diwajibkan) puasa, sejak ter-
bit fajar sampai terpenam matahari”.
Dari enam pengertian di atas dapat kita simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan puasa menurut syar’iyyah
adalah, “Menahan diri dari (tidak melakukan) sesuatu yang
dapat membatalkan puasa, yaitu ma-kan, minum dan
bersetubuh (jima’) dengan wanita (isteri) sejak waktu terbit
fajar sampai tenggelam matahari, dengan disertai niat
ibadah kepada Allah karena mengharapkan ridha-Nya, dan
menyiapkan diri guna meningkatkan taqwa kepada-Nya”.
Dari kesimpulan pengertian ini, paling tidak terdapat
dua hal yang kiranya perlu menjadi perhatian kita semua,
dan ia merupakan rukun puasa.
Pertama, “niat”. Orang yang akan mengerjakan
puasa diwajib-kan berniat terlebih dahulu. Yaitu
8. 8
mengikatkan hati, dengan bersengaja (dalam keadaan sadar)
semata-mata hanya karena Allah (lillaahi ta’ala) untuk
melakukan puasa di siang hari, guna meraih keridhaan Allah
SWT. Tanpa niat, puasa menjadi tidak sah. Rasulullah
SAW. bersabda :
¹«¯À‡ØŸzk «[−_£¯Àˆ«[dÀ_¿°«µ¯
9
“Barangsiapa tidak berniat akan berpuasa sebelum terbit
fajar, maka tak ada puasa baginya” (HR. Abu Daud).
Kapan niat dilakukan? Berdasarkan hadits
Rasulullah di atas, niat dilakukan pada malam hari sebelum
berpuasa. Entah setelah ber-buka puasa kemudian
meniatkannya untuk berpuasa lagi besok harinya, entah
setelah shalat Maghrib, setelah shalat Isya’, setelah shalat
Tara-wih, ketika menjelang tidur, ketika makan sahur atau
menjelang waktu imsak. Pendeknya asal dilakukan pada
malam hari.
Menurut kebanyakan jumhur ulama berpendapat
bahwa keha-rusan berniat puasa pada malam hari hanya
mutlak diwajibkan apabila seseorang ingin mengerjakan
puasa wajib, seperti puasa Ramadhan misalnya. Juga yang
bersangkutan terbebas dari masalah kelupaan, sebab
persoalan lupa merupakan persoalan di luar kemampuan
ma-nusia, dan memang Allah SWT. tidak membebankan
dosa bagi hamba-Nya yang terlupa. Firman Allah SWT. :
¯µ¨«¼¹^°bÈr[Ô°ÀŸm´j°¨À¬—À«¼
°¨^½¬£av°˜b
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
(lupa) padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu” (QS. Al-Ahzab ayat 5).
Sedangkan terhadap pelaksanaan puasa sunat (tathawwu’),
tidak me-ngapa jika niat baru dilakukan pada siang hari
(saat berpuasa). Hal ini sesuai dengan sebuah hadits yang
menceritakan bahwa pada suatu hari
10
Rasulullah SAW. tiba di rumah Aisyah (isteri beliau),
kemudian bertanya, “Wahai Aisyah, adakah makanan yang
dapat kita makan hari ini?”, Aisyah menjawab, “Tidak ada
ya Rasulullah”. “Kalau begitu”, kata Rasulullah, “Aku
akan berpuasa hari ini”.
Kedua, “Menahan diri dari apa-apa yang dapat
membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga terbenam
matahari”.
Firman Allah SWT. :
Às«[°¨«µÀ_c¿Åcn[½^zƒ[¼[½¬§¼
[½°b[°fzk «[µ¯u½~×[Às«[µ¯À^×[
9. 9
°c³[¼ µ·¼zƒ_b×¼ −À«[Å«[¯Àˆ«[
vk°«[ÅŸ²½ §—
“ Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu (isteri-isteri kamu), se-dangkan kamu beri’tikaf
dalam masjid” (QS. Al-Baqarah ayat 187).
Berbuhungan dengan benang putih dan benang hitam
yang disebutkan dalam ayat di atas, ada kisah jenaka yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kisah tersebut
menceritakan bahwa dulu ada seo-rang sahabat Nabi yang
terkenal taat beribadah bernama Adi bin Hatim. Karena
saking fanatiknya ia terhadap ayat di atas, sehingga di atas
kasur tempat tidurnya, ia letakkan dua helai benang
berwarna hitam dan
11
dan putih. Pada saat bersahur (makan sahur), selalu ia lihat
dan perhatikan kedua helai benang ini. Selama ia belum
mampu membeda-kan, mana benang yang putih dan mana
benang yang hitam, ia masih menyantap makanan sahurnya.
Baru setelah fajar menyingsing, dan ia sudah mampu
membedakan mana benang putih dan mana benang hitam,
barulah ia menghentikan makan sahurnya. Ketika hal ini
disam-paikan kepada Rasulullah SAW. beliau tersenyum
dan berkata, “Kasur tempat engkau meletakkan kedua helai
benang itu terlalu luas, wahai Adi”, maksudnya benang
hitam dan benang putih jangan diartikan yang
sesungguhnya, karena benang hitam yang dimaksudkan ayat
tersebut adalah gelapnya malam dan benang putih adalah
merahnya fajar tanda hari telah siang.
Sekarang timbul pertanyaan. Apa saja yang dapat
membatalkan puasa? Berdasarkan beberapa hadits
Rasulullah dan menurut jumhur ulama, disebutkan bahwa
paling tidak ada delapan hal yang dapat mem-batalkan
puasa, yaitu :
1. Makan dan minum dengan sengaja;
2. Melakukan hubungan suami isteri
(jima’/bersetubuh);
3. Mengeluarkan air mani dengan sengaja;
4. Memasukkan sesuatu benda ke dalam rongga badan
melalui lobang yang terbuka dengan sengaja;
5. Muntah dengan sengaja;
6. Haid dan Nifas bagi wanita;
7. Orang yang berpuasa, tiba-tiba diserang penyakit
gila;
8. Sengaja membatalkan niat puasa.
O
12
PPUUAASSAA DDAALLAAMM LLIINNTTAASSAANN
SSEEJJAARRAAHH
3
10. 10
i dalam surah Al-Baqarah ayat 183, terdapat
kalimat :
°¨¬_£µ¯µ¿x«[Ŭ—`c§°§
“Sebagaimana (puasa) telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu”.
Potongan ayat ini menerangkan bahwa puasa itu
tidak saja di-wajibkan terhadap ummat Muhammad SAW.
tetapi puasa juga telah di-wajibkan terhadap orang-orang
atau ummat terdahulu. Hanya saja, bentuk, motif dan tata
cara pelaksanaanya berbeda.
Menurut beberapa riwayat diceritakan, bahwa
bangsa-bangsa Mesir kuno dikala mereka masih beragama
Watsani, bangsa Yunani dan Romawi di Eropah, suku
bangsa Natchez di Amerika Utara, orang Hindu di India,
telah mengenal dan mempraktekkan puasa. Hanya saja,
selain motif yang mendorong mereka berpuasa, juga maksud
dan tujuannya, berbeda satu sama lainnya. Begitu pula
tentang tata cara pelaksanaan-nya.
Menurut kitab Samuel jilid 2 diceritakan bahwa Nabi
Daud ber-puasa selama tujuh hati ketika putera beliau sakit.
“Maka dimohonkan Daud kepada Allah akan kanak-kanak
itu dan berpuasalah Daud dengan yakin serta masuk ke
dalam, lalu meniarap di tanah semalam-malaman itu”,
demikian menurut kitab Samuel.
13
Menurut El-Bahayi El-Kholy dalam buku Ash-Shiyam,
yang di-nukilkan dari Tafsir Al-Manar, dituliskan : “Tidak terdapat
dalam kitab-kitab Taurat yang ada di tangan kita suatu perintah
yang memberi arti wajibnya puasa itu, tetapi hanya sekedar
memuji puasa dan mereka yang melakukannya. Ternyata Nabi
Musa a.s melakukan puasa 40 hari. Ini memberi arti bahwa puasa
dikenal di masa itu, disyari’atkan dan ter-golong sebagai satu
ibadah. Bangsa Yahudi dewasa ini berpuasa se-minggu lamanya
sebagai peringatan atas kehancuran Yerussalem. Ada-pun
mengenai orang Nasrani tidaklah terdapat dalam kitab-kitab Injil
mereka yang terkenal, satu nas yang mewajibkan puasa, tetapi
hanya terdapat kata-kata mengenai puasa dan menganggapnya
sebagai iba-dah. Dan orang yang berpuasa diperintahkan supaya
menggosok ke-palanya dan membasuh mukanya dengan lemak
hingga tidak kelihatan padanya alamat puasa agar jangan
kelihatan sifat orang munafik (yang berbangga memperlihatkan
ibadatnya) seperti orang Parsi”.
Menurut kitab Perjanjian Lama disebutkan bahwa ada
empat macam puasa yang lebih ringan dan lebih kecil fungsinya,
yaitu untuk melepaskan diri dari rasa malang atau duka cita yang
sedang maupun yang sudah dialami. Empat macam puasa
tersebut adalah :
1. Puasa pasa saat kota Yerussalem dikepung tentara
Romawi pada hari ke sepuluh bulan Tabeth;
2. Puasa pada tanggal 17, bulan Temmuz, ketika dinding
kota dirusakkan;
3. Puasa waktu kuil Yerussalem dihancurkan dan;
4. Puasa pada tanggal 3 Tishri sewaktu Gedaliah, seorang
Gu-bernur Yudah dibunuh orang.
D
11. 11
Selain itu masih ada lagi puasa yang dilakukan secara
beramai-
14
ramai guna meredakan kemarahan Tuhan. Ada pula puasa yang
dilaku-kan sebagai tanda penyesalan atas kesalahan yang
diperbuat.
Dalam Tafsir Al-Azhar juz II Prof. Dr.HAMKA
menguraikan seba-gai berikut : “Puasa orang Kristen yang
terkenal ialah Puasa Besar se-belum Hari Paskah. Nabi Musa
mempuasakan hari itu, demikian juga Nabi isa dan murid-murid
beliau. Kemudian gereja-gereja memutuskan pada hari-hari yang
lain buat puasa, menurut yang diputuskan oleh Pendeta-pendeta
mereka dalam sekte masing-masing”.
Kemudian, dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan
bahwa, : “Pada hari-hari tertentu ummat Katholik wajib menahan
nafsu makan, yaitu pagi-pagi boleh makan sedikit sebagai
penyegar badan, tengah hari dibolehkan makan kenyang-kenyang,
tapi petangnya hanya sedikit pula, dan seterusnya”.
Dulu, suku bangsa primitif membagi puasa menjadi lima
macam. Ada puasa sebelum memasuki musim tertentu, misalnya
pada musim bunga. Puasa yang semacam ini biasanya dilakukan
oleh orang-orang Yunani kuno. Ada puasa yang dilakukan karena
meninggalnya sa-lah seorang anggota keluarga. Puasa ini
biasanya dilakukan oleh orang-orang Cina dan Korea. Ada puasa
yang dilakukan karena terjadinya sua-tu bencana alam. Seperti
beberapa suku di Jerman melakukan puasa lantaran di negerinya
terjadi bencana topan yang mengamuk memporak-porandakan
kampung. Begitu pula yang dilakukan oleh para wanita Bar-bar di
Afrika, mereka berpuasa manakala suami mereka berada di
medan perang. Ada pula puasa yang dilakukan dalam rangka
meng-hadapi hari-hari khusus, misalnya puasa sebelum
melangsungkan perka-winan. Puasa semacam ini banyak
dilakukan oleh suku bangsa Teita di Afrika Timur, Macuai di
Guyana, Tlingit di Alaska dan suku bangsa
15
Santals di Bengal, India. Ada puasa yang dilakukan untuk
membentuk suatu hubungan yang permanen dengan Dewa-dewa,
atau sesuatu yang mereka anggap berkuasa dan punya kekuatan.
Misalnya puasa yang dilakukan oleh para Yogi Agama Hindu atau
puasa yang dikerjakan oleh pengikut Brahma, dimana puasa
mereka lakukan selama 24 hari dalam setahun, atau 40 hari
berturut-turut disertai dengan bacaan-bacaan kitab suci mereka.
Bahkan para pengikut Wisnu, sambil berpauas me-reka berbaring
di atas paku, atau berdiri terus tanpa duduk, bahkan ada juga yang
terus menerus berjemur di terik matahari. Semua itu mereka
lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan mereka.
Menurut catatan sejarah Islam, ketika Rasulullah SAW.
tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi
melakukan Puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Mereka
berpuasa pada tanggal ini adalah sebagai kenang-kenangan dan
pernyataan syukur atas terlepas-nya Nabi Musa dan sebagian
kaum Bani Israil dari kekejaman raja Fir’aun yang dzalim. Melihat
peristiwa ini, Rasulullah mengajak para sa-habat dan kaum
muslimin agar berpuasa. Kejadian ini sesuai dengan se-buah
hadits Rasulullah SAW. dari Ibnu Abbas r.a yang disepakati oleh
Bukhari dan Muslim, yaitu :
12. 12
u½¸À«[ÂÇzŸ °¬~¼¹À¬—ã[Ŭ‡Á_´«[¯v£
¯½¿[½«£ I[x·¯ª¤Ÿ Æ[y½ƒ—¯½ˆb
µ¯−ÀÎ[z~[Å´^¼Å~½¯¹ÀŸã[Åk³p«‡
Å~½°^¥n[³[:ª¤Ÿ Å~½¯¹¯ˆŸ
°·¼v—
16
¹¯Àˆ^z¯[¼¹¯ÀˆŸ°¨´¯
“Nabi SAW. datang ke Madinah dan dilihatnya orang-orang Yahudi
ber-puasa pada hari Asyura. Maka tanya Nabi : Ada apa ini?. Ujar
mereka : Hari baik, disaat mana Allah membebaskan Nabi Musa
dan Bani Israil dari musuh mereka, hingga dipuasakan oleh Musa.
Maka sabda Nabi SAW. : Saya lebih berhak terhadap Musa
daripada kamu. Lalu beliau ber-puasa pada hari itu dan menyuruh
orang agar berpuasa”.
Motif atau tujuan puasa yang dilakukan oleh ummat
terdahulu, antara satu dengan lainnya memang berbeda-beda,
sesuai dengan keperluan masing-masing. Demikian juga dengan
diperintahkannya puasa bagi ummat Islam, tentu mempunyai
maksud dan tujuan yang tidak sama dengan tujuan puasa umat-
umat terdahulu.
Adapun tujuan puasa menurut Islam adalah dalam rangka
meningkatkan harkat dan derajat manusia di sisi Allah, ke puncak
kehi-dupan rohaniah yang paling tinggi dan mulia, yaitu ingin
mencapai pre-dikat taqwa, dengan sebutan muttaqien, yaitu
derajat yang paling tinggi da mulia di sisi Allah. Padanya akan
terpancar pribadi muslim yang luhur dan berakhlak terpuji, serta
sanggup membina diri menjadi pribadi yang tangguh, sanggup
berprilaku jujur dan bertindak adil.
Nah, kalau kita ingin melihat bentuk, motivasi dan tujuan
puasa menurut Islam dan membandingkannya dengan puasa
dalam agama-agama lain, atau puasa yang dilakukan oleh ummat-
ummat terdahulu, maka tidak berlebihan kiranya jika kita katakan
bahwa puasa di dalam Islam lebih sempurna dari segala bentuk
puasa manapun, karena syariat Islam secara umum memang
bersifat pelengkap dan penyempuna.
17
PPUUAASSAA AADDAALLAAHH
PPAANNGGGGIILLAANN KKEEIIMMAANNAANN
anggilan Allah terhadap orang-orang yang beriman
agar mengabdi kepada-Nya ditegaskan dalam
banyak ayat Al-Qur’an yang jumlahnya tidak kurang
dari 89 ayat, dianta-ranya dapat kita lihat dalam
surah Al-Hajj ayat 77, Allah menyerukan :
[¼v_—[¼ [¼vk~[¼[½˜§y[[½´¯[µ¿x«[¸¿Ô¿
P
4
13. 13
²½o¬ b°¨¬˜«zÀs«[½¬˜Ÿ[¼ °¨^y
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah. Sujudlah, beribadahlah
kepa-da Tuhanmu dan kerjakanlah amal kebajikan, agar kamu
berbahagia”.
Ada tiga kata kunci yang terkandung dalam ayat ini.
Pertama adalah perintah ruku’ dan sujud yang diwujudkan dalam
bentuk shalat. Kedua, perintah beribadah, baik ibadah has atau
mahdhah maupun iba-dah ‘am termasuk di dalamnya perintah
perpuasa, dan yang ketiga ada-lah perintah berbuat kebajikan.
Panggilan Allah terhadap orang-orang yang beriman
merupa-kan panggilan khusus yang diserukan Allah untuk
memberikan penghar-gaan terhadap orang-orang yang
berpredikat aamanu agar mereka te-tap berada dalam rel
keimanan yang murni, sehingga tidak akan terpe-rosok ke jurang
nista atau ke lembah sengsara yang dapat membawa
18
malapetaka, baik malapetaka dunia, terlebihlebih malapetaka
akhirat.
Kalimat Yaa ayyuhalladziina ‘aamanu , hai orang-orang
yang beriman merupakan panggilan kemesraan, panggilan
kebanggaan, panggilan kesayangan, yang ditujukan Allah kepada
hamba-Nya, namun mengandung konsekuensi yang berat dibalik
panggilan tersebut. Sama saja kalau seorang guru memanggil
murid-muridnya dengan kalimat, Wahai murid-muridku yang
pandai, coba kalian kerjakan soal matematika ini”. Ajakan sang
guru dengan menggunakan kalimat, murid-muridku yang pandai,
disamping terdapat unsur pujian, di dalamnya juga me-ngandung
tugas berat yang harus diselesaikan dengan baik dan benar oleh
para murid, yakni menjawab soal matematika. Ada tanggung
jawab moral yang harus dipenuhi oleh para murid, yakni mereka
harus mampu menjawab soal matematika dengan baik dan benar.
Karena kalau tidak, maka panggilan sang guru dengan kalimat
murid-muridku yang pandai akan menjadi buyar atau tidak terbukti.
Syukur kalau pujian sang guru ini berdasarkan realita yang ada
terhadap kemampuan kepandaian murid-muridnya, sehingga
pengerjaan soal matematika bagi mereka merupa-kan sesuatu
yang biasa, tidak sulit, yang pada akhirnya, mereka dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tetapi kalau pujian sang
guru ini hanya merupakan basa-basi belaka, atau hanya sekedar
memberikan semangat dan motivasi belajar tanpa didukung oleh
suatu realita obyek-tif, maka tentu saja pujian sang guru ini
merupakan beban yang berat yang mungkin justeru dapat
menimbulkan cemas, khawatir dan seribu satu macam perasaan
lainnya.
Demikian juga dengan perintah ibadah puasa Ramadhan,
yang diwajibkan Allah kepada orang-orang yang beriman dengan
panggilan yaa ayyuhalladziina ‘aamanu seperti yang disebutkan
dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi :
19
¯Àˆ«[°¨À¬—`c§[½´¯[µ¿x«[¸¿Ô¿
²½¤cb°¨¬˜« °¨¬_£µ¯µ¿x«[Ŭ—`c§°§
14. 14
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,
supaya kamu bertaqwa”.
Menurut Abdullah bin Mas’ud , salah seorang sahabat
Rasulul-lah SAW. beliau mengatakan bahwa suatu ayat yang
dimulai dengan ka-limat Yaa ayyuhalladziina ‘aamanu , hai orang-
orang yang beriman, ayat ini mengandung suatu hal yang penting,
suatu hal yang amat berat dilaksanakan, jika pelaksananya tidak
mendasarkan pada pondasi kei-manan yang kuat. Atau suatu
larangan yang teramat berat hukumannya, jika dilanggar atau tidak
diindahkan.
Dalam perintah tertentu, seperti puasa Ramadhan pada
ayat di atas, Allah hanya memanggil secara khusus kepada orang-
orang yang beriman untuk mengerjakan puasa. Tidak memanggil
orang-orang mus-lim, tidak memanggil orang-orang yahudi, orang-
orang nasrani, atau memanggil manusia secara umum, tetapi
hanya orang-orang yang ber-iman. Kenapa demikian? Karena
Allah Maha Tahu dan Allah sudah memperhitungkan sebelumnya,
bahwa yang bakal bersedia dan sanggup memikul tugas berat ini,
yakni puasa, hanyalah orang-orang yang ber-iman, lain tidak.
Karena orang yang benar-benar beriman, ia sangat cinta kepada
Allah, sehingga dengan kecintaanya ini, apapun yang di-
perintahkan Allah, akan ia laksanakan dengan baik dan senang
hati, demi menjaga kelanggengan hubungan cintanya kepada
Allah tersebut. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
20
ã_nvƒ[Ó½´¯[µ¿x«[¼
“Orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah” (QS. Al-
Baqarah ayat 165).
Dengan demikian, mengerjakan puasa Ramadhan adalah
dalam rangka memenuhi panggilan keimanan. Sebab, kalau
imannya tidak ada, atau imannya tipis, berpuasa merupakan
sesuatu yang sangat berat bagi mereka, sehingga tidak mustahil
mereka tidak mampu melakukan-nya. Kalau hati tidak ada
keyakinan kepada Allah, niscaya tidak akan kuat melaksanakan
ibadah puasa. Tetapi dengan adanya iman yang kuat pada diri
seseorang, maka ia sanggup melaksanakan ibadah puasa ini,
tanpa merasa berat sedikitpun.
Dari uraian di atas, dapatlah kita simpulkan, bahwa puasa
me-rupakan panggilan keimanan, sekaligus merupakan batu ujian
bagi o-rang-orang yang beriman, apakah dengan keimanannya itu
ia mampu mengerjakan ibadah puasa dengan baik. Sejauhmana
kontribusi puasa yang ia kerjakan berperanan penting dalam
meningkatkan kualitas iman yang ia miliki.
Oleh karena itu, marilah kita sambut bersama-sama
panggilan Allah ini dengan perasaan iman yang dalam semata-
mata hanya ingin mengharapkan ridha-Nya, sehingga kelezatan
iman akan semakin tera-sa, yang pada gilirannya akan
membangkitkan selera ibadah dan amal, sehingga berpuasa bagi
kita merupakan kebutuhan yang primer bagi ke-langsungan hidup
iman kita kepada Allah SWT.
O
21
15. 15
PPUUAASSAA DDAANN
PPEENNGGEENNDDAALLIIAANN HHAAWWAA NNAAFFSSUU
etika perang Badar usai yang melibatkan kurang
lebih 300 tentara muslim melawan 1000 tentara
kafir quraisy
yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum
mus-limin, hal ini membawa kegembiraan tersendiri bagi para
sahabat. Na-mun kegembiraan ini terhenti seketika, tatkala
Rasulullah SAW. mengu-capkan selamat datang kepada para
pejuang Islam dan menyatakan bahwa perang Badar yang telah
usai, hanyalah sebuah perang kecil, se-dangkan perang yang
lebih besar sedang menanti dan berada di depan mata. Sabda
Rasulullah SAW. :
z_§×[u¸k«[Å«[zœ‡×[u¸k«[µ¯´˜jy
“Kita ini telah kembali dari peperangan yang kecil menuju ke pepe-
rangan yang besar”.
Apa gerangan peperangan yang besar itu? Tidak lain dan tidak
bukan adalah peperangan melawan hawa nafsu.
Di dalam diri kita terdapat dua bentuk nafsu yang bertolak
be-lakang, yakni Nafsu Rububiyah (nafsu yang baik dan
membangun/ kontruktif) yang apabila dimanfaatkan akan
melahirkan tindakan-tindak-an dinamis dan berkemajuan.
Disamping itu, terdapat pula nafsu yang
merusak, destruktif, yang apabila diperturutkan akan
mendatangkan
22
kemudharatan dan kerugian yang besar, baik terhadap diri sendiri,
bahkan dapat pula merugikan orang lain. Nafsu yang merusak ini
adalah seperti Nafsu Syaithaniyan (Nafsu Syetan), Nafsu
Bahimiyah (Nafsu ke-binatangan) dan Nafsu Subu’iyyah (Nafsu
kebuasan/kebiadaban/kesera-kahan) merupakan sekumpulan
nafsu yang selalu mengajak kepada ke-jahatan yang perlu kita
waspadai setiap saat.
Nafsu yang berusak atau sering kita sebut hawa nafsu,
hendak-lah selalu kita kendalikan dengan baik. Dan memang
mengendalikan hawa nafsu merupakan perjuangan yang besar,
melebihi perjuangan dalam memenangkan perang Badar.
Didalam memperjuangkan melawan hawa nafsu, ada tiga
ke-mungkinan hasil yang dicapai. Kemungkinan pertama, kalah.
Artinya ia tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, bahkan ia
diperbudak oleh hawa nafsunya, sehingga orang yang seperti ini
dinyatakan oleh Allah sebagai orang yang menuhankan hawa
nafsunya. Firman Allah dalam Al-Qur’an :
¹½·¹¸«[xsb[µ¯d¿ÆzŸ[
“Adakah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhan” (QS. Al-Jatsiyah ayat 23).
K
5
16. 16
Kemungkinan kedua, terkadang menang terkadang kalah.
Arti-nya, suatu ketika ia mampu mengendalikan hawa nafsu-nya,
namun da-lam hal tertentu atau kondisi tertentu ia tidak mampu
mengendalikan hawa nafsunya. Banyak faktor memang yang
menyebabkan ia menang atau kalah. Ya faktor kesempatan dan
peluang, faktor keadaan yang
23
memaksa, faktor lingkungan, faktor ketidaktahuan, faktor
kebodohan dan sebagainya. Kunci untuk mengatasi semua ini
adalah terletak pada kualitas iman seseorang. Disamping itu,
sejauhmana ia memberdayakan akal dan pikirannya.
Kemungkinan ketiga, menang. Artinya, ia mampu
mengendali-kan hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu dapat ia
kuasai, bukan se-baliknya. Dalam hubungan ini, Rasulullah pernah
bersabda :
ã[²[¼²ÀƒÁ«¼ ²Àƒ¹«¼×[vn[µ¯¯
¹c¨¬¯ÅcnÁ³ÀƒÅ¬—Á´³—[v£
“Tak seorangpun diantara kita yang tak bersyetan. Saya
sendiripun (ka-ta Rasulullah), selalu dalam intaian syetan. Tetapi
sesungguhnya Allah telah menolong saya untuk melepaskan diri
dari intaian syetan tersebut, sehingga syetan dapat saya
kalahkan”.
Dorongan hawa nafsu sering diidentikkan dengan
dorongan syetan. Karena memang hawa nafsu merupakan tempat
bertenggernya syetan untuk memperdayakan manusia dari jalan
Allah. Oleh karena itu bagaimanapun juga, dorongan hawa nafsu
harus kita kendalikan, harus kita bebaskan dari berbagai pengaruh
syetan. Salah satu upaya pengen-dalian hawa nafsu ini adalah
dengan berpuasa. Sebab dengan melaku-kan ibadah puasa,
syetan akan terhina dan semakin terhina. Jalan atau sarana yang
biasa syetan pergunakan untuk menjerumuskan manusia melaui
hawa nafsu, baik nafsu perut maupun nafsu farj, semakin sempit
dan semakin sulit ia pergunakan. Karena itu Rasulullah
menyarankan ke-pada kita agar mempersempit keleluasaan
syetan dengan berpuasa.
24
¯v«[Âzk¯¯uÓµ^[µ¯ÂzkÀ«²À„«[²É
–½k«^¹¿yk¯[½¤ÀŒŸ
“Sesungguhnya syetan itu mengalir dalam tubuh manusia, seperti
me-ngalirnya darah. Oleh karena itu persempitlah saluran-saluran
syetan dengan menahan lapar (berpuasa)”.
Dalam menjalankan ibadah puasa kita dianjurkan agar
sedikit tidur (banyak bangun/berjaga), sedikit bicara, bertahan dari
gangguan manusia (bersabar) dan sedikit makan.
Sedikit tidur, maksudnya dalam menjalankan ibadah
puasa, waktu berjaga (bangun) kita hendaknya dipergunakan
untuk banyak beribadah kepada Allah, seperti shalat, berdzikir
mengingat Allah, mem-perbanyak istighfar, melakukan tadarrus Al-
Qur’an dan mendalami isinya, mengkaji pengetahuan-
pengetahuan Islam dengan mengikuti pengajian-pengajian,
membaca buku-buku agama, banyak melakukan amal-amal
17. 17
ibadah sosial, seperti bersedekah, saling tolong menolong antar
sesama dan sebagainya. Upayakanlah banyak bangun daripada
tidur sepanjang bangun kita dipergunakan kepada hal-hal yang
menda-tangkan manfaat. Tetapi kalau bangun kita ternyata justeru
banyak men-datangkan mudharat atau dipergunakan kepada-hal-
hal yang tidak ber-faedah, seperti misalnya main kartu, domino
dan sebagainya yang nota-bena agar puasa tidak terasa lapar dan
haus, dan waktu berlangsung tidak terasa, maka tidur barangkali
akan lebih baik, sebab kata Rasulul-lah “Tidurnya orang yang
sedang berpuasa merupakan ibadah” :
ºu_—°Îˆ«[¯½³
25
Sedikit bicara, maksudnya bicaralah seperlunya saja,
jangan ngerumpi berlebihan hingga tak cukup waktu atau dapat
menimbulkan perselisihan sesama. Menurut Umar bin Khaththab, :
“Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum,
akan tetapi juga menahan diri dari dusta, dari perbuatan yang
salah dan dari tutur kata yang sia-sia”.
Bertahan dari gangguan manusia, maksudnya kita jangan
me-layani orang yang memarahi kita, atau orang yang memancing
kema-rahan kita, misalnya dengan mengejek kita, mencaci maki
kita, meng-gunjing kita bahkan memfitnah kita dan sebagainya.
Hadapilah semua-nya dengan sabar dan lapang dada.
Konsentrasikanlah hati dan pikiran kita bahwa kita sedang
beribadah (puasa) karena Allah.
Sabda Rasulullah SAW. :
hŸz¿ØŸ°Î‡°§vnDz§[wÊŸ »´j¯Àˆ«[
ųÉ:−¤À¬Ÿ¹°bƒ¼Ç¹¬b£Ëz¯[²ÊŸ−¸k¿×¼
OµÀbz¯N°Î‡
“Puasa itu merupakan benteng. Maka jika salah seorang diantara
kamu berpuasa, maka janganlah ia berkata keji dan mencaci maki
sesama. Seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau
memarahi/ mencaci makinya, hendaklah dikatakan kepadanya :
saya ini berpuasa (tiga kali)” (HR. Bukhari dan Abu Daud).
Sedikit makan, maksudnya dalam berpuasa seperti
ketika
26
berbuka dan makan sahur hendaklah sesederhana mungkin.
Jangan memperturutkan kehendak nafsu. Tahanlah dorongan
nafsu makan dan minum yang tak terkendali. Janganlah berpuasa
di siang hari dibalas dengan makan minum sepuas-puasnya pada
saat berbuka. Sungguh yang sedemikian, sama sekali tidak
menguntungkan. Tapi justeru banyak mengakibatkan kerugian,
baik dari segi kesehatan maupun dari segi ke-jiwaan.
Seorang Filosof Islam Yahya bin Muadz Ar-Razi pernah
berkata
“Perangilah hawa nafsumu, kata beliau, dengan ketaatan kepada
Allah dan Riyadhah”.
18. 18
Riyadhah adalah segala upaya untuk melakukan tindakan,
se-perti meninggalkan tidur (mengurangi tidur), sedikit bicara,
bertahan dari gangguan manusia, dan sedikit makan.
Dengan sedikit tidur, diharapkan keinginan-keinginan hati
akan menjadi baik. Dengan sedikit bicara, akan timbul kesadaran
kehati-ha-tian yang pada gilirannya dapat menyelamatkan
seseorang dari berba-gai bahaya dan tipu daya, terutama bahaya-
bahaya yang disebabkan oleh lidah tak bertulang.
Dengan bersabar dalam menghadapi segala macam
gangguan manusia, diharapkan ia akan mencapai derajat orang-
orang yang ber-predikat shaabiriin yang selalu dekat dengan Allah
bahkan selalu ber-sama Allah kapan saja dan di mana saja ia
berada. Bukankah Allah itu selalu bersama orang-orang yang
sabar?
Dengan mengurangi makan, akan dapat melemahkan
kese-nangan-kesenangan hawa nafsu, karena di dalam
kerakusan makan,
27
terdapat kekerasan hati, sehingga seseorang cenderung suka
memban-del, sukar menerima saran dan nasehat. Rasulullah
SAW. berpesan : “Terangilah hatimu dengan lapar dan haus serta
rajinlah untuk terus mengetuk pintu Sorga dengan lapar dan haus
itu pula. Karena pahala dalam menjalani semua itu seperti pahala
orang yang berjihad/berpe-rang di jalan Allah. Sesungguhnya tiada
sebuah amalpun yang lebih di-cintai Allah, kecuali lapar dan haus.
Dan orang-orang yang memenuhi perutnya dengan berlebihan,
tidak akan dapat memasuki kerajaan langit, serta akan kehilangan
betapa manisnya ibadah”.
Mudah-mudahan dengan menahan lapar dan dahaga
selama kita berpuasa di bulan Ramadhan ini, serta menahan
segala sesuatu yang dapat membatalkan atau mengurangi
keutuhan nilai puasa, mudah-mudahan dapat menambah
manisnya ibadah kita kepada Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a
pernah berkata : “Aku tidak pernah kenyang karena makan setelah
aku masuk Islam, semua itu justeru dapat mem-bawaku betapa
manisnya beribadah kepada Allah. Dan aku tidak pernah segar
karena minum, tapi semua itu justeru menambah kerinduanku
untuk bertemu dengan Tuhanku”.
28
PPUUAASSAA DDAANN PPEENNYYUUCCIIAANN JJIIWWAA
anusia diciptakan Allah, tidak saja berupa jasmani
atau badan kasar, tetapi juga berupa rohani atau
jiwa. Bah-kan kedudukan rohani atau jiwa lebih
tinggi dibanding-kan kedudukan jasmani. Sebab
yang menentukan gerak-gerik aktivitas manusia justeru ditentukan
M
6
19. 19
oleh dorongan dari dalam, yaitu rohani. Ini-lah yang membedakan
manusia dengan makhluk lain. Segala aktivitas manusia pada
dasarnya muncul dari suatu maksud tertentu dan datang dari
suatu perasaan yang dalam dan mempunyai kekuasaan penuh da-
lam dirinya. Berbeda dengan binatang, gerak-gerik binatang hanya
dida-sarkan kepada insting semata, tidak disertai oleh suatu
pertimbangan akal maupun perasaan.
Rohani atau jiwa, adalah komponen kehidupan manusia
yang sangat berperan dan ia merupakan harta yang
dianugerahkan Allah ke-pada manusia dengan bobot nilai yang tak
terhingga dan kepada setiap kita dituntut untuk memeliharanya
dengan baik sehingga keberadaan rohani atau jiwa tetap dalam
keadaan yang suci bersih. Sebab apabila rohani atau jiwa bersih,
maka kebersihannya itu akan memancar dan membekas pada
sikap prilaku lahiriyah. Sebaliknya, apabila rohani atau jiwa kotor,
maka kotorannya ini akan melekat dan membekas pada seti-ap
sikap dan tingkah laku.
Pada dasarnya ajaran Islam ditujukan untuk membangun
jiwa manusia melalui sarana Tazkiyah yaitu suatu proses
penyucian jiwa yang harus dilaksanakan secara terus-menerus
oleh setiap individu dan masyarakat Islam jika ingin tetap berada
dalam kondisi muslim sejati.
29
Konsep penyucian jiwa dalam Islam bersifat dinamis dan
univer-sal. Artinya, hampir seluruh aspek ajaran Islam selalu
mengedepankan konsep penyucian jiwa. Tatkala seseorang
berikrar Asyhadu an laa ilaa-ha illa Allah, wa asyhadu anna
Muhammadan Rasulullah dengan menya-takan diri memeluk
agama Islam, maka ikrar ini dapat membebaskan di-rinya dari
segala macam bentuk penghambaan selain Allah. Bahkan de-
ngan ikrar ini pula, dapat menimbulkan kesadaran yang tajam dan
dalam bahwa Allah adalah lebih besar dari segala bentuk apapun.
Allah lebih berkuasa dan berhak disembah oleh segenap makhluk
yang ada. Oleh karenanya, ia tidak akan dapat diperbudak oleh
suatu sistem duniawi yang bukan bersumber dari Allah. Ia tidak
akan takut kepada siapapun, kecuali hanya takut kepada Allah. Ia
akan secara konsekuensi siap me-nerima segala apa yang
disyari’atkan Allah melalui Rasul-Nya Muham-mad SAW.
Demikian juga dengan ajaran shalat. Shalatpun juga
merupakan proses penyucian jiwa yang membebaskan manusia
dari ikatan ruang dan waktu. Dengan mengangkat takbir Allahu
Akbar di permulaan shalat dapat mengantarkan jiwa manusia naik
dan terus naik melayang ke alam yang maha tinggi menghadap
Ilahi Rabbi. Disinilah letak awalnya proses Mi’rajul Muslimin (awal
proses pertemuan dan dialog dengan Allah Tu-han Yang Maha
Tinggi). Jiwa yang kotor memang tidak akan mampu menghayati
shalat dengan sesungguhnya. Hanya dengan jiwa yang ber-sihlah
seseorang baru mampu menghayati shalat sebagai sarana yang
intens untuk berdialog dengan Allah Zat Yang Maha Suci.
Demikian juga dengan zakat. Melalui zakat, dapat
membersih-kan jiwa si kaya dari rasa egois dan mementingkan diri
sendiri, dan da-pat pula membersihkan jiwa si miskin dari rasa iri
dan dengki. Begitu ju-ga haji. Dengan memakai kain ihram,
mengandung makna simbolik dari
30
kesucian hati orang yang memakainya. Dan pakaian inilah pula
yang mendorong seseorang untuk pergi haji, dengan
meninggalkan sanak saudara, anak cucu, kampung halaman,
harta benda, pangkat jabatan dan segala yang dicintainya. Ia
datang ke tanah suci dengan penuh ke-ikhlasan semata-mata
20. 20
memenuhi panggilan Allah untuk memperoleh berkat dan ridha-
Nya.
Ayat 183 surah Al-Baqarah yang berisi perintah puasa
Rama-dhan untuk mengantarkan orang-orang yang beriman
menuju jenjang taqwallah yang merupakan inti pokok tujuan
puasa, hal ini juga tidak le-pas dari konsep penyucian jiwa. Imam
Ibnu Katsir menggarisbawahi, bahwa puasa adalah pembersihan
jiwa, menyucikannya dan memelihara-nya dari campuran yang
kotor dan dari akhlak yang tercela.
Dengan berpuasa, menahan lapar dan dahaga, menahan
diri dari nafsu syahwat dan beberapa kesenangan yang halal
lainnya, meng-ingatkan kita kepada orang-orang yang selalu
menderita sepanjang ta-hun, bahkan sepanjang hidupnya. Dengan
berpuasa dapat menggugah diri seseorang yang hidup
bergelimpangan harta dan kemewahan agar dapat merasakan
penderitaan saudara-saudaranya sehingga dari pe-ngalaman ini
diharapkan dapat membangkitkan perasaan lembut dan santun
serta rasa kesatuan, persaudaraan dan kesetiakawanan sosial
yang tinggi.
Dengan berpuasa, jiwa akan menjadi sehat. Dan jiwa yang
se-hat selalu mempunyai rasa solidaritas sosial yang tinggi
khususnya penghayatan terhadap orang-orang yang lemah, fakir
miskin dan anak yatim. Perasaan tersebut tidak akan berhenti
sampai disitu, tetapi akan ia realisasikan dalam perbuatan nyata
untuk meringankan beban pende-ritaan sesamanya.
31
Jiwa yang sehat akan selalu ingat dan sadar bahwa rezeki
yang ia peroleh selama ini merupakan amanat Allah yang di
dalamnya ada hak hak orang lain yang wajib dikeluarkan.
Sehingga orang yang berpuasa dan benar-benar menghayati
puasanya, tidak akan segan-segan untuk berbuat kebajikan. Jika
keadaan ini telah merasuk ke dalam jiwa seseo-rang dan
kemudian terrealisasi dalam perbuatan amal kebajikan, maka
boleh dikatakan bahwa proses penyucian jiwa melalui ibadah
puasa be-nar-benar membuahkan hasil yang baik.
Kalau kita tengok sejarah orang-orang terdahulu dalam
mela-kukan puasa, nampaknya puasa yang mereka lakukan juga
berorientasi pada penyucian jiwa. Sebagai contoh dapat kita baca
sejarah agama Hindu, dimana para pengikut Brahma dan Wisnu,
apabila mereka ingin memperoleh berkah dari para Dewa, mereka
terlebih dahulu melakukan penyucian jiwa dengan berpuasa.
Demikian juga Nabi Musa a.s ketika beliau ingin beraudensi
dengan Tuhan di Bukit Sinai, terlebih dahulu be-liau melakukan
puasa selama 40 hari. Karena untuk berkomunikasi de-ngan
Tuhan diperlukan penyucian jiwa. Banyaklah lagi contoh lainnya
yang menggambarkan bahwa puasa pada dasarnya merupakan
upaya-upaya dalam penyucian jiwa.
Salah satu tugas pokok Rasulullah SAW. disamping
menyampai-kan ayat-ayat Allah dan mengajarkan kitab suci serta
hikmah (ilmu pe-ngetahuan) beliau juga ditugasi untuk
membersihkan atau menyucikan ummat manusia, baik yang
menyangkut soal-soal jasmaniah terlebih-le-bih soal rohaniah
dengan cara mengarbol bersih-bersih dari segala si-fat-sifat
kemusyrikan dan penyakit-penyakit rohani lainnya.
Sangat banyak nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah yang menunjukan betapa perjuangan Rasulullah
di dalam usaha
32
22. 22
yang suka berebutan dan berjejal tatkala menaiki bis atau
kendaraan umum lainnya, dan sebagainya.
Memang ruwet, betul-betul ruwet, di satu pihak kita semua
me-nyadari betapa pentingnya disiplin, namun dilain pihak tingkah
laku kita sehari-hari justeru masih jauh dari kedisiplinan. Dengan
kata lain, kesa-daran berdisiplin dengan tindakan yang terlihat
sehari-hari, masih ter-bentang jarak yang sangat jauh.
34
Masalah disiplin adalah masalah kesadaran diri pribadi. Ia
ber-ada di dalam diri manusia. Ia bukan merupakan faktor yang
semata-ma-ta dipengaruhi oleh pihak luar diri manusia. Jadi,
perwujudan disiplin da-lam kehidupan nyata sehari-hari sangat
tergantung pada kesadaran diri pribadi masing-masing.
Dapat dikatakan bahwa disiplin adalah kesediaan untuk
melaku-kan kewajiban atau mentaati peraturan serta tata tertib
yang berlaku. Bukan karena paksaan dari luar, tapi karena
kesadaran dalam diri bah-wa sebagai manusia yang bermartabat,
kita harus menegakkan disiplin. Dengan demikian jelaslah bahwa
disiplin adalah suatu sikap khas yang bersifat manusiawi.
Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan pribadi
dan masyarakat pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi nilai-
nilai kedisip-linan. Sehingga segala macam bentuk ibadah ritual
dalam Islam senan-tiasa didasarkan atas kedisiplinan. Seperti
ibadah shalat umpamanya, sangat banyak ajaran shalat yang
mensyaratkan adanya kedisiplinan, seperti tentang penentuan
jadual waktu shalat, ketentuan rakaat, keter-tiban bacaan dan
gerak laku shalat. Firman Allah SWT. :
d³§º½¬ˆ«[²[ º½¬ˆ«[[½°À£Ÿ
b½£½¯_c§µÀ´¯Ì°«[Ŭ—
“ Maka dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat merupakan
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman” (QS. An-Nisa ayat 103).
35
Kemudian, “Amal perbuatan yang paling utama” kata Rasulullah,
adalah Shalat tepat pada waktunya”. Bahkan beliau
menganjurkan agar shalat di awal waktu, itu lebih utama lagi.
¸c£¼Å¬—ºØˆ«[ : ª£ I−ŒŸ[ª°—×[Â[
“Amal perbuatan apakah yang paling utama? Berkata (Rasulullah
SAW) shalat tepat pada waktunya” (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu
Mas’ud).
ã[²ÊŸ °¨c£¼ª¼ÇÅŸ°¨b؇[½¬‡¼
°¨«¡—Œ¿
“Dan kerjakanlah shalat-shalat kamu pada awal waktumu, karena
Allah akan menggandakan pahala untuk kamu” (HR. Thabrani).
Shalat lima waktu sehari semalam merupakan sarana
latihan dan pendidikan kedisiplinan. Dengan waktu shalat yang
23. 23
telah ditentukan, mengharuskan seorang muslim senantiasa
menjaga dan memeliharanya, sehingga mengerjakan shalat selalu
tepat waktu. Ini merupakan suatu latihan yang tertib untuk
menjaga waktu dan memanfaatkannya, dengan harapan dari
pemanfaatan waktu tersebut akan mendatangkan keun-tungan
yang besar.
Disamping itu shalat berjamaah yang sangat dianjurkan,
juga mengandung didikan kedisiplinan, karena dalam shalat
berjamaah, mak-mum wajib mengikuti gerakan imam dan
melakukannya setelah imam, jangan mendahului atau bersamaan.
Ha l ini menunjukkan tamsil ibarat
36
yang universal terutama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, dimana sebagai rakyat, kita harus taat
dan patuh terha-dap pemimpin, sepanjang pemimpin tersebut
tidak menyimpang dari ke-tentuan-ketentuan agama, negara dan
adat istiadat yang sedang berla-ku di masyarakat.
Begitu pula dengan puasa. Melalui puasa banyak didapat
man-faat yang besar terutama dalam upaya melatih kita hidup
berdisiplin. Dan memang melakukan ibadah puasa memerlukan
kedisiplinan. Tanpa kedisiplinan tidak mungkin seseorang mampu
melakukan puasa.
Tatkala kita bangun dan makan sahur, kemudian kita
tanamkan niat berpuasa besok harinya, tatkala itu pula
sebenarnya kita sudah me-nanamkan ke dalam diri kita sikap
disiplin. Niat puasa yang mantap ini kita wujudkan dengan
berpuasa, dan selama kita berpuasa kemurnian disiplin kita diuji.
Apakah kita mampu melaksanakan kewajiban berpuasa kita pada
hari ini dengan baik? Jika ya, artinya kita berdisiplin. Tetapi jika
tidak, ini artinya kita belum berdisiplin.
Pada waktu berpuasa, kita kan dilarang makan dan
minum, wa-lau yang dimakan dan diminum itu barang yang baik
dan halal, barang yang kita miliki sendiri. Seandainya kita mau,
mungkin tidak terlalu sulit. Tinggal ke belakang sebentar? atau
masuk kamar sebentar?, apa yang kita kerjakan?, terserah kita.
Mau makan, minum dan sebagainya, tak seorangpun yang bakal
tahu, kalau kita sedang membatalkan puasa de-ngan berbuka
sebelum waktunya tiba. Tetapi ternyata semua itu tidak kita
lakukan, walaupun kesempatan dan peluangnya ada. Kenapa?,
itu-lah dia disiplin, karena disiplin merupakan kesadaran pribadi.
Seseorang yang berpuasa dengan penuh kesadaran
bahwa
37
perintah puasa ini berasal dari Allah, maka dengan keimanannya
kepada Allah ia tentu secara konsekuen akan menjalankan ibadah
puasa ini de-ngan sebaik-baiknya. Dengan demikian, kunci
kedisiplinan dalam berpu-asa ini memang terletak pada kualitas
keimanan seseorang. Semakin tinggi kualitas iman seseorang,
maka semakin tinggi pula kualitas disip-linnya.
Puasa memang menumbuhkan disiplin jiwa yang kuat.
Puasa pun juga mendidik manusia untuk berakhlak mulia, teguh
memegang amanah serta menanamkan kejujuran.
Di tempat-tempat sunyi, di mana tidak seorangpun yang
bakal melihat, di pokok-pojok rumah, di ruang kamar yang sepi
dan sebagai-nya, dengan leluasa sebenarnya kita bisa melakukan
24. 24
hal-hal yang dapat membatalkan puasa, namun semua itu tidak
menggiurkan keiinginan kita untuk berbuka.
Apabila puasa kita laksanakan dengan penuh disiplin,
dalam arti disiplin tidak akan makan dan minum, tidak akan
melakukan hu-bungan suami isteri pada siang hari, tidak akan
berdusta, tidak akan berbuat yang bisa merusak keutuhan puasa
kita, insyaAllah puasa kita akan menumbuhkan kesadaran yang
tinggi pada diri kita mansing-ma-sing, suatu kesadaran yang
berkesinambungan, yang melekat dan mem-bekas serta
memancarkan sepak terjang kehidupan sepanjang umur.
Semoga puasa kita di bulan Ramadhan ini membuahkan
kesa-daran kedisiplinan yang tinggi, baik kedisiplinan dalam
beribadah, da-lam bermasyarakat maupun dalam berbangsa dan
bernegara, yang pa-da gilirannya nanti akan menciptakan sikap
disiplin nasional secara me-nyeluruh.
38
TTIINNGGKKAATTAANN PPUUAASSAA
enurut Imam Al-Ghazali dalam ktabnya Ihya
‘Ulumuddin juz 1 disebutkan bahwa, “Puasa itu
mempunyai tiga peringkat derajat, yaitu peringkat
puasa umum, pering-kat puasa khusus dan
peringkat puasa khususil khusus”.
Peringkat puasa umum adalah tingkatan puasa yang
paling rendah, karena puasa pada tingkat ini hanya disandarkan
pada puasa dalam arti hanya menahan diri dari makan dan minum
dan menahan diri dari melakukan hubungan seksual disiang hari.
Peringkat puasa umum disebut juga peringkat puasanya
orang awam, atau orang kebanyakan, karena memang secara
umum kebanya-kan orang mampu melakukan puasa seperti ini.
Peringkat puasa ke dua atau peringkat menengah,
sedang, adalah peringkat puasa khusus. Adal;ah tingkatan puasa
yang pelaksa-naannya tidak saja menahan diri dari makan dan
minum dan melakukan hubungan seksual di siang hari, tetapi juga
mengendalikan seluruh pan-ca indera dari perbuatan-perbuatan
yang dapat membatalkan puasa.
Seseorang yang berada pada tingkatan puasa khusus ini,
di-samping mampu menahan diri dari makan dan minum dan
melakukan hubungan seksual di siang hari, ia juga mampu
menahan pendengaran-nya, penglihatannya, lidahnya, kaki dan
tangannya dan seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang
merusak, perbuatan dosa atau per-buatan yang dapat
merugikan orang lain. Pelaksanaan puasa pada
39
tingkat ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang shaleh.
Peringkat puasa yang ketiga disebut puasa khususil
khusus, atau puasa yang terkhusus dari yang khusus, atau puasa
yang paling utama, adalah pelaksanaan puasa disamping
menahan diri dari makan dan minum, dari hubungan seksual di
siang hari, dari perbuatan panca indera yang merusak, puasa
khususil khusus merupakan puasa hati, puasa jiwa, dengan
mengendalikannya dari niatan-niatan yang jahat, ni-atan-niatan
M
8
25. 25
yang merusak, niatan-niatan yang rendah dan pikiran-pikir-an
duniawi.
Seseorang yang berada pada tingkatan puasa khususil
khusus ini, disamping mampu menahan diri dari makan dan
minum, melakukan hubungan seksual dan dari perbuatan panca
indera yang merusak, ia juga mampu menahan diri dari niatan-
niatan, pikiran-pikiran yang buruk atau jahat, seperti perasaan iri
dan dengki, perasaan riya, takabbur, mau menipu, memfitnah,
mengadu domba dan sebagainya. Puasa pada tingkat ini adalah
puasanya para Nabi, Shiddiqien dan Muqarrabiin.
Dari penjelasan di atas, barangkali kita bisa mengevaluasi
diri kita masing-masing, pada tingkatan yang mana kira-kira kita
berada. Jika sekiranya peringkat puasa kita masih tergolong
awwam, tentu kesem-patan untuk meningkatkannya ke jenjang
khusus, atau minimal mende-kati, masih ada.
Untuk mencapai ke peringkat puasa khusus, diperlukan
paling tidak enam hal yang harus dipatuhi.
Pertama, menjaga pandangan mata dari segala yang
tercela atau yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah.
40
Rasulullah SAW. bersabda :
ã¹´˜«À¬^[¯¸~µ¯¯½°¯°¸~ºz”´«[
³°¿É−j¼|—ã[¶bÓã[µ¯Ÿ½r¸§zbµ°Ÿ
¹_¬£ÅŸ¹b¼Ønvk¿
“Sekilas pandangan mata, adakalanya merupakan sebuah anak
panah yang berbisa diantara panah-panah Iblis yang terkutuk.
Maka barangsi-apa menahan dirinya dari pandangan seperti itu,
karena rasa takutnya kepada Allah, maka Allah SWT. akan
melimpahkan kepadanya keimanan yang terasa amat manis
dalam hatinya” (HR. Al-Hakim).
Kedua, mejaga lidah dari ucapan-ucapan yang sia-sia,
seperti berdusta, menggunjing, memfitnah, mencaci maki,
menyinggung perasa-an orang lain, menimbulkan pertengkaran
sesama, akibat perbuatan-lidah dan sebagainya.
Rasulullah SAW. bersabda :
°§vn[¯½‡¯½¿²§[wŸ »´j¯Àˆ«[
[vn[¹^~²Ÿ`s¿×¼xϯ½¿hŸz¿ØŸ
°Î‡Á³[−¤À¬Ÿ¹¬b£¼
“Puasa itu perisai. Maka apabila salah seorang kamu berpuasa,
maka janganlah ia menuturkan kata-kata keji, janganlah pula
menyebarluaskan
41
kata-kata keji tersebut. Dan apabila seseorang sedang memakinya
atau memberikan pukulan padanya, maka (jangan kamu balas),
tapi katakan-lah, saya sedang berpuasa” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
26. 26
Ketiga, menahan diri dari pendengaran atau
mendengarkan se-suatu yang dibenci oleh Allah. Seperti
mendengarkan berita bohong, mendengarkan gunjingan dan
sebagainya.
Perlu kita ingat bahwa segala sesuatu yang haram
diucapkan, haram pula didengarkan. Karena itu Allah
menyamaratakan antara orang yang suka mendengarkan yang
haram dengan orang yang memakan harta yang haram,
sebagaimana firman-Nya :
do«²½¬§[]x¨¬«²½˜°~
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong dan banyak memakan makanan yang haram” (QS. Al-
Maidah ayat 42).
Kemudian sabda Rasulullah SAW. :
°fÛ[ÅŸ²¨¿zƒ™°c°«[¼]cœ°«[
“Orang yang menggunjing dan yang suka mendengarkan
gunjingan ada-lah serupa dalam dosa” (HR. Ath-Thabrani).
Keempat. Mencegah semua anggota tubuh lainnya dari
perbu-atan haram. Misalnya mencegah kaki untuk melangkah ke
tempat-tem-pat maksiat. Mencegah tangan agar jangan
mengambil barang milik
42
orang lain atau melempar pukulan sehingga menyakitkan jasmani
orang lain. Menjaga mata agar tidak terarah kepada obyek-obyek
yang diha-ramkan. Menjaga mulut dari suara-suara sumbang dan
menyakitkan atau perkataan yang kotor, tidak senonoh dan
sebagainya. Menjaga pe-rut agar tidak dimasuki oleh makanan
dan minuman yang haram atau yang meragukan (syubhat) pada
waktu berbuka puasa.
Berlindunglah kita kepada Allah dari pernyataan
Rasulullah SAW yang menyatakan :
–½k«[×[¹¯À‡µ¯¹«À«°Î‡µ¯°§
…˜«[¼
“Betapa banyak orang yang berpuasa, sedangkan ia tidak
mendapat se-suatu dari puasanya itu, kecuali lapar dan dahaga”
(HR. An-Nasa’ie).
Kelima, mencukupkan diri ketika berbuka dengan
makanan dan minuman yang halal dan ala kadarnya. Jangan
berlebihan atau memper-turutkan kehendak nafsu. Ingatlah
bahwa, tak ada tempat yang paling dibenci oleh Allah, selain dari
perut yang penuh dengan makanan.
Keenam, menciptakan suasana hati pada saat berbuka
antara harap dan cemas. Harap, artinya mengharap kepada Allah
agar puasa kita diterima di sisi-Nya, sebagai amal ibadah. Dan
cemas jangan-jangan puasa kita ditolak oleh Allah SWT.
27. 27
Jika enam hal di atas dapat kita laksanakan dengan
sebaik-ba-iknya, insyaAllah puasa kita menjadi puasa yang
berkualitas.
43
PPRRIIBBAADDII MMUUTTTTAAQQIIEENN
YYAANNGG DDIIIINNGGIINNKKAANN PPUUAASSAA
eperti yang kita maklum bahwa tujuan pokok
disyari’at-kannya puasa Ramadhan adalah untuk
memperoleh gelar taqwallah (bertaqwa kepada
Allah SWT).
Kata taqwa berasal dari kata kerja waqa, yang artinya hati-
hati, menjaga, memelihara, melindungi, memperbaiki, menjauhi
dan sebagai-nya.
Menjaga, maksudnya menjaga diri dari perbuatan yang
tidak baik, perbuatan maksiat. Memelihara, maksudnya
memelihara hati dan pikiran dari kecenderungan-kecenderungan
yang buruk, jahat maupun merusak, yang dapat merugikan diri
sendiri, terlebih-lebih merugikan orang lain. Melindungi,
maksudnya melindungi diri sendiri dari segala macam kotoran dan
penyakit rohani, seperti iri, dengki, bakhil, serakah dan
sebagainya. Memperbaiki, maksudnya melakukan perbaikan diri
se-cara terus menerus. Jika terlanjur berbuat dosa dan kesalahan,
maka segera bertobat dan tidak mengulanginya lagi di masa-masa
menda-tang. Menjauhi, maksudnya menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat dan dan dosa. Pendeknya, taqwa merupakan
istilah yang amat penting da-lam Islam yang secara umum
diartikan, mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Taqwallah, merupakan tujuan puncak yang menjadi
sumber dari kehidupan rohani orang yang beriman dan puasa
Ramadhan merupakan
44
salah satu saran sekaligus cara untuk mencapai taqwallah
tersebut. Musfassir terkenal Muhammad Abduh mengatakan
bahwa, “Puasa dalam ajaran Islam bukanlah untuk menyiksa diri
atau untuk kepentingan fisik semata. Tetapi puasa adalah untuk
mendidik dan menyucikan jiwa”. Dengan penyucian jiwa tersebut
pada gilirannya akan lahir pribadi-priba-di yang taqwa. Dari
pribadi-pribadi yang taqwa diharapkan tumbuh kelu-arga yang
bertaqwa, dan dari keluarga yang bertaqwa akan terjelma
masyarakat yang bertaqwa, yakni suatu masyarakat yang tumbuh
dan berkembang dengan azas tazkiyah yang selalu menjaga
kesuciaan di-rinya dan mengembangkan rasa tolong menolong,
saling hormat meng-hormati, saling kasih mengasihi yang pada
gilirannya terciptalah suatu masyarakat yang baldhatun
thayyibatun suatu negeri yang masyarakat-nya penuh kedamaian,
ketentraman dan kemakmuran.
Sikap taqwallah yang terhunjam dalam dada seseorang,
akan menampilkan sikap pribadi yang utuh menyeluruh.
Seseorang yang ber-taqwa senantiasa bersikap baik dalam situasi
dan kondisi apapun, baik pada saat suka maupun pada saat duka.
Pada saat sepi sendirian mau-pun di tengah keramaian. Orang
yang bertaqwa akan terpancar dalam sikap dan perbuatannya
sehari-hari yang selalu cenderung kepada per-buatan baik (ihsan).
S
9
29. 29
“Sesungguhnya shadaqah itu dapat memadamkan kemurkaan
Tuhan dan menolak akibat jelek”.
2. Suka Memberi Maaf dan Mau Meminta Maaf
Dalam menjalankan ibadah puasa dituntut tingkat
kesabaran yang tinggi. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa,
“Puasa itu separuh dari kesabaran”. Maksudnya, tanpa didasari
kesabaran, tidak mungkin seseorang dapat menjalankan puasa
dengan baik. Oleh karena itu mari-lah kita latih kesabaran kita
dengan berpuasa untuk melahirkan berba-gai sikap positif, seperti
suka memaafkan kesalahan orang lain dan tidak segan-segan
meminta maaf jika terlanjur berbuat salah. Saking penting-nya
sikap sabar ini, Rasulullah SAW. mengharapkan kepada kita,
agar
47
mampu menahan marah dan meningkatkan kesabaran, seperti
yang dinyatakan dalam hadits berikut ini :
xQ°Î‡Å³É:−¤À¬Ÿ¹°bƒ¼Ç¹¬b£Ëz¯[²ÊŸ
“Seandainya ada orang yang mengajak brkelahi atau mencaci
maki, maka katakanlah, saya sedang berpuasa (2 kali)” (HR.
Bukhari).
Kalau cuma memberi maaf, mungkin tidak terlalu berat
bagi ki-ta, dibandingkan jika kita disuruh atau dengan kemauan
sendiri meminta maaf kepada orang lain, kendati dua-duanya
merupakan sesuatu yang berat dilakukan. Kenapa demikian?
Karena kalau kita memberi maaf, se-cara psikologis posisi kita di
atas, yakni sebagai pemberi maaf. Tetapi kalau kita yang datang
kepada seseorang untuk meminta maaf, posisi kita berada di
bawah, yakni peminta maaf. Disamping itu, sebagai pe-minta
maaf, ada perasaan takut, kawatir, cemas, kalau-kalau permo-
honan maaf kita ditolaknya. Semuanya ini juga tergantung besar
kecilnya kesalahan yang diperbuat dan dampak yang
ditimbulkannya. Jika kesa-lahannya besar dan mendatangkan
dampak risiko yang besar, maka memberi maaf atau meminta
maaf merupakan sesuatu yang sulit dilaku-kan. Tetapi jiika
kesalahannya ringan saja, atau masih dalam batas ke-wajaran,
maka memberi dan meminta maaf mungkin tidak terlalu sulit di-
lakukan.
Dengan berpuasa di bulan Ramadhan, jiwa kita dilatih
sedemiki-an rupa, agar berjiwa besar dan sanggup memberikan
maaf kepada orang lain serta sanggup meminta maaf, jika terlanjur
berbuat salah kepada orang lain, tidak memandang apakah
kesalahannya itu besar atau kecil.
48
3. Selalu Ingat Kepada Allah dan Meminta Ampun Kepada-Nya
Jika
Melakukan Dosa dan Kesalahan
Puasa sebagai manifestasi dari ketaatan seseorang dalam
me-laksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kondisi
inilah yang menjadikan seseorang mampu mawas diri untuk
membaca cacat cela diri sendiri dan berusaha memperbaikinya
sehingga apabila ia ter-lanjur berbuat kesalahan dan dosa ia akan
segera minta ampun dan bertobat kepada Allah SWT. Sikap inilah
yang diinginkan oleh puasa, dan ini juga merupakan salah satu ciri
orang yang bertaqwa, sebagaimana terlukis dalam Al-Qur’an :
30. 30
‹z—»´j¼°¨^yµ¯ºz œ¯Å«[Ó½—y~¼
µÀ¤c°¬«av—[Šy×[¼a½°«[
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada Sorga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imran ayat
133).
°¸ ³[Ó½°¬“¼[»„nŸ[½¬˜Ÿ[w[µ¿x«[¼
z œ¿µ¯¼ °¸^½³x«[¼z œc~Ÿã[[¼z§w
[½¬˜Ÿ¯Å¬—[¼zˆ¿°«¼ ã[×[]½³x«[
²½°¬˜¿°·¼
49
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatn keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”
(QS. Ali Imran ayat 135).
4. Selalu Bertawakkal Kepada Allah Dalam Setiap Aktivitas Sehari-
hari
Sudah menjadi sunnatullah bahkan kita hidup di dunia ini
memerlukan perjuangan dan setiap perjuangan terkadang
membutuh-kan pengorbanan, baik pengorbanan tenaga, pikiran,
harta, tahta bah-kan nyawa sekalipun. Disamping itu, segala
perjuangan yang kita la-kukan pasti berhadapan dengan berbagai
tantangan dan rintangan. Dan ketahuilah bahwa tantangan dan
rintangan itu merupakan ujian Allah yang perlu kita hadapi dengan
seksama, berjiwa besar dan penuh ke-ikhlasan, sambil
bertawakkal kepada Allah SWT.
Demikian sebagian pribadi muttaqien yang diinginkan
puasa Ramadhan, yang sebenarnya masih banyak lagi sikap
pribadi lainnya yang perlu kita gali dan kembangkan dalam rangka
upaya meningkatkan kualitas puasa kita.
50
TTAAQQWWAA SSEEBBAAGGAAII SSTTAANNDDAARR NNIILLAAII10
31. 31
slam sebagai risalah yang dibawa oleh Rasulullah
SAW. se-bagai rahmatan lil ‘alamiin tidak pernah
absen di dalam ikut serta memecahkan persoalan-
persoalan hidup manusia.
Salah satu persoalan hidup yang dihadapi manusia dan ini
sa-ngat mendasar sifatnya adalah tentang bagaimana
menentukan standar nilai manusia. Standar nilai ini berfungsi
sebagai pedoman untuk menilai manusia baik atau buruk, mulia
atau terhina. Disamping itu, standar nilai ini juga dijadikan
pedoman untuk meraih kesuksesan sekaligus mewarnai cita-cita
dan pandangan hidup manusia.
Pada sekitar abad ke enam dan ke tujuh, yakni menjelang
di-bangkitkannya Rasul terakhir Muhammad SAW. sebenarnya
manusia di-berbagai kawasan bumi ini telah mempunyai standar
nilai. Akan tetapi nampaknya masih sangat bersahaja dan
memang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka saat itu.
Diantara mereka ada yang menjadikan kekuatan fisik dan
ke-pandaian berkelahi, berperang, bertempur sebagai standar
nilai. Sehing-ga baik buruk seseorang tergantung kuat tidaknya
fisik. Berani tidaknya berkelahi, pandai tidaknya berperang,
bertempur. Akibatnya, di sana sini berdiri padepokan silat,
perkumpulan-perkumpulan bela diri dan sema-camnya. Ramailah
orang mempelajari ilmu-ilmu kanuragan, ilmu-ilmu ke-saktian,
kekebalan dan sebagainya. Diantara mereka tidak jarang terjadi
saling adu kekuatan, kesaktian, berkelahi, bertempur dan
sebagainya.
51
Sehingga kehidupan mereka tak ubahnya laksana sekumpulan
binatang buas yang hidup di rimba belantara yang tunduk dan
patuh terhadap hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang
berkuasa.
Ada lagi sementara orang yang menjadikan standar nilai
be-rupa harta dan kekuasaan. Dengan memiliki harta yang
banyak, kedudu-kan yang tinggi, ia dijadikan sebagai orang yang
terpandang, terhormat dan berkuasa. Untuk memperoleh predikat
tersebut, ia rela mengorban-kan apa saja. Perebutan harta dan
tahta sudah tidak bisa dihindari lagi. Dan dari perebutan tersebut
tidak jarang terjadi perkelahian, perseng-ketaan dan pertumpahan
darah. Muncullah kelompok-kelompok dalam masyarakat. Ada
kelompok kapital, peodal, rakyat jelata dan sebagainya. Dalamnya
jurang pemisah antara si miskin dengan si kaya. Terjadilah
penindasan kaum yang berkuasa terhadap rakyat jelata. Manusia
sudah bertingkat-tingkat, bergolongan-golongan dan berkasta-
kasta.
Ada pula sekelompok manusia yang menjadikan
kebagusan ru-pa atau kecantikan sebagai standar nilai. Sehingga
masyarakat yang menganut paham ini, pekerjaan sehari-harinya
selalu ditujukan dalam rangka memperbagus fisik, memperindah
bentuk tubuh dan memper-cantik wajah. Semua ini dilakukan oleh
terutama para wanitanya.
Mereka menjunjung tinggi dan mengembangkan budaya
kein-dahan sebagai hal yang utama, sehingga berdirilah salon-
salon kecan-tikan di mana-mana. Akibatnya, manusia dijadikan
barang tontonan dan pajangan, yang seringkali menjadi makanan
empuk bagi nafsu birahi.
Ada lagi sementara orang yang menjadikan keturunan,
warna kulit dan tanah kelahiran sebagai standar nilai. Akibatnya
I
32. 32
sering terjadi karena soal keturunan dan perbedaan warna
kulit, menjadi ajang
52
persengketaan dan perselisihan bahkan peperangan. Akibat soal
tanah kelahiran tidak jarang mengakibatkan pertumpahan darah
yang menge-rikan.
Kalau kita ingin jujur dan mencoba melihat kenyataan
yang ada dalam masyarakat sekarang ini, ternyata standar nilai
yang pernah dia-nut dan berlaku dalam masyarakat tempo dulu,
sampai saat inipun pengaruhnya masih terasa. Walaupun tidak
mendasar sifatnya, ternyata kekuatan fisik, harta, tahta,
kecantikan, warna kulit, keturunan dan tanah kelahiriran masih
mendominasi bagi strata nilai sosial seseorang.
Terkadang soal harta, masih dijadikan ukuran untuk
menilai se-seorang terpandang atau tidak. Golongan orang-orang
berduit, yang kaya, yang punya pangkat jabatan kedudukan,
dikelompokkan ke dalam orang-orang elit, sehingga mereka
merasa enggan bahkan merasa jijik bergabung dengan orang-
orang biasa, rakyat biasa. Kadang-kadang so-al keturunan, ras
dan tanah kelahiran menjadi pertimbangan yang utama di dalam
pergaulan masyarakat, misalnya di dalam soal perkawinan, di-
mana persoalan suku dan adat istiadat masih menjadi
pertimbangan di dalam memilih jodoh.
Sekarang apa jawaban Islam tentang standar nilai ini.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 Allah memberikan
jawaban :
Åg³[¼z§wµ¯°¨´¤¬r³[}´«[¸¿Ô¿
°¨¯z§[²[[½Ÿy˜c«−ÎÔ_£¼^½˜ƒ°¨´¬˜j¼
zÀ_s°À¬—ã[²[°¨¤b[ã[v´—
53
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
laki-laki dan perempuan, dan Kami telah jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu sekalian saling mengenal
satu dengan lainnya. Karena sesungguhnya yang termulia
diantara kamu di sisi Allah, adalah yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Me-ngetahui, Maha Sadar”.
Dari ayat ini jelaslah bahwa standar untuk menilai manusia
mu-lia atau tidak, baik atau buruk, tergantung kepada prestasi
amaliyahnya dalam berbakti kepada Allah dan berbuat baik
terhadap sesamanya, atas istilah singkatnya, taqwa.
Begitu pentingnya standar nilai berupa taqwa ini, sehingga
di dalam Al-Qur’an berulangkali Allah sebutkan. Bahkan
Rasulullah SAW. sendiri dalam berbagai sabda beliau antara lain
dinyatakan :
°·¤bǪ£ I}´«[¯z§[µ¯ ã[ª½~y¿−À£
“Rasulullah SAW. ditanya, Siapakah manusia yang paling mulia?
Nabi menjawab, Yang lebih bertaqwa” (HR. Bukhari Muslim).
33. 33
Å«É×¼ °¨¯~jÇÅ«Éz”´¿×Å«˜bã[²É
°¨^½¬£Å«Éz”´¿µ¨«½ °§y½‡
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat tubuh-tubuhmu dan tidak
pula rupa-rupamu, akan tetapi Ia akan melihat hati-hatimu”
(HR.Muslim).
54
Menurut Allah dan Rasul-Nya, taqwa adalah standar nilai
manu-sia yang sangat sesuai dengan tabiat dan fitrahnya serta
bersifat univer-sal. Standar nilai ini akan mendorong setiap
manusia untuk bekerja ke-ras, berkarya dan berprestasi dalam
berbuat kebajikan antar sesama dalam rangka mencapai
ketentraman dan kesejahteraan. Bahkan ia juga merupakan
standar nilai yang dapat membuka pandangan dan wawasan
hidup, sehingga tidak akan berpandangan sempit, bagai katak
dalam tempurung. Kenapa demikian? Karena orang yang taqwa
senantiasa mendapatkan kenikmatan hidup, baik rohaniah
maupun jasmaniah, sejak di dunia kini, hingga ke akhirat nanti.
Orang yang bertaqwa senantiasa mendapat bimbingan,
kecinta-an, kemenangan, tempat yang aman dan ketentraman
dari Allah SWT. karena :
µÀ¤c°«[Á«¼ã[¼
“Allah menjadi pemimpin orang yang bertaqwa” (QS. Al-Jasiah
ayat 19).
µÀ¤c°«[`o¿ã[²Ÿ
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang taqwa” (QS. Ali
Imran ayat 76).
µÀ¤c°«[™¯ã[²[Ó½°¬—[¼
“Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”
(QS. At-Taubah ayat 36).
55
µÀ¤c°¬«»_£˜«[¼
“Kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang
yang bertaqwa” (QS. Al-A’raf ayat 128).
]¯µo«µÀ¤c°¬«²[¼
“Orang yang bertaqwa akan mendapat tempat kembali yang baik”
(QS. Shaad ayat 49).
²½¤c¿[½³§¼[½´¯[µ¿x«[´Àk³¼
“Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka
adalah orang-orang yang bertaqwa” (QS. Pushshilat ayat 18).
34. 34
Demikianlah kedudukan dan nilai taqwa di hadapan Allah
SWT. Ia merupakan nilai tertinggi dari sekumpulan nilai apapun. Ia
merupakan derajat yang tertinggi dan paling mulia di sisi Allah
SWT. Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan moment
Ramadhan tahun ini untuk meningkat-kan keimanan dan
ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Sehingga jenjang taqwa yang
menjadi dambaan kita semua, insyaAllah dapat kita raih ber-sama.
56
NNIILLAAII FFIILLOOSSUUFFIISS
PPUUAASSAA RRAAMMAADDHHAANN
alam masalah ibadah, ada kaedah yang
mengatakan bahwa segala sesuatu itu pada
dasarnya dilarang, kecu-ali yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Tetapi dalam masalah
mu’amalah/kemasyarakatan, ada kaedah yang mengata-kan
bahwa segala sesuatu itu pada dasarnya boleh dikerjakan, kecuali
yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam hubungan ini,
maka pelaksanaan ibadah, terutama ibadah mahdhah, seperti
shalat, zakat, puasa dan haji selalu didasarkan atas perintah Allah
SWT. :
ã[[½‹z£[¼ º½§|«[[½b[¼º½¬ˆ«[[½°À£[¼
´n‹z£
“Dan dirikanlah (oleh kamu sekalian) shalat serta tunaikanlah
zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah dengan pinjaman
yang baik” (QS. Al-Muzzammil ayat 20).
¯Àˆ«[°¨À¬—`c§[½´¯[µ¿x«[¸¿Ô¿
²½¤cb°¨¬˜« °¨¬_£µ¯µ¿x«[Ŭ—`c§°§
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa
57
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,
supaya kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah ayat 183).
¹À«[–c~[µ¯dÀ_«[ln}´«[Ŭ—ã¼
µÀ°¬˜«[µ—Á´›ã[²Ÿz §µ¯¼ ØÀ_~
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi ke sana.
Barang-siapa yang ingkar (terhadap kewajiban haji), maka
bahwasanya Allah adalah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam” (QS. Ali ‘Imran ayat 97).
D
11
35. 35
Dari beberapa ayat di atas, terutama yang berkenaan
dengan perintah puasa Ramadhan, pada potongan ayat
µ¿x«[Ŭ—`c§°§
°¨¬_£µ¯ , tersirat dalam ayat ini bahwa melaksanakan puasa
Rama-dhan bukanlah sesuatu yang baru tetapi sudah pernah
dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu, sehingga kalau orang-
orang terdahulu pada sanggup mengerjakannya, maka tentu
kitapun juga dapat melaksa-nakannya. Artinya, persoalan puasa
adalah persoalan yang biasa dilaku-kan oleh manusia, sehingga
secara filosufis boleh dikatakan bahwa puasa Ramadhan itu
merupakan sesuatu yang mudah, enteng atau ri-ngan untuk
dilaksanakan, karena masih dalam batas-batas kemampuan
manusia untuk mengerjakannya.
Kalau kita perhatikan awal ayat 183 surah Al-Baqarah,
kata yang digunakan untuk mewajibkan orang-orang yang beriman
agar berpuasa adalah kutiba. Menurut ilmu bahasa Arab, kata
kutiba ini
58
dinamakan kata kerja yang tersembunyi, bukan kata kerja yang
terbuka/ terang-terangan. Sebab kalau terang-terangan,
seharusnya kata terse-but berbunyi, ¯Àˆ«[°¨À¬—ã[`c§
artinya, Allah mewajibkan kepada kamu sekalian untuk
mengerjakan puasa.
Dengan memakai kata kerja yang tersembunyi ini, seolah-
olah tidak ditegaskan siapa yang memerintahkan mengerjakan
puasa terse-but. Sehingga dari aksentuasi kata tersebut, perintah
puasa Ramadhan ini dianggap mudah untuk dikerjakan. Sama
saja misalnya kalau seo-rang komandan perang memerintahkan
beberapa orang pasukannya melalui seorang utusan (tidak
langsung) untuk maju bertempur ke garis depan dengan kalimat,
kamu diperintahkan untuk maju ke garis depan. Kalimat ini terasa
lebih ringan/enteng, karena ada kesan bahwa bertem-pur di garis
depan itu soal biasa bagi perajurit tersebut, dibandingkan jika
dengan kalimat Komandan memerintahkanmu untuk maju ke garis
depan. Kalimat ini mungkin terasa lebih berat, karena suatu
perintah yang menyertakan subyek pemerintah, terkesan bahwa
perintah terse-but bukan main-main, sehingga terasa lebih berat
jika dilaksanakan.
Jika kita lihat lebih jauh lagi tentang keadaan dan sifat
puasa yang diperintahkan ini, hakikat pelaksanaannya memang
dirasa mudah, ringan dan enteng. Di mana kira-kira letak
kemudahannya?
Pertama, seperti yang telah disinggung sebelumnya
bahwa per-soalan puasa bukan persoalan yang baru,
pelaksanaannya pun sudah pernah dilakukan oleh orang-orang
terdahulu. Setiap orang yang dipi-kulkan suatu kewajiban dan
bersamaan dengan itu diketahuinya pula bahwa kewajiban
tersebut telah dipikulkan kepada orang-orang sebelum dia, maka
secara psikologis akan terhunjam ke dalam jiwanya satu kesan
bahwa kewajiban tersebut adalah kewajiban yang tidak berat,
buktinya
59
orang-orang sebelum dia dapat mengerjakan.
Kedua, ada kalimat yang menyebutkan bahwa
mengerjakan pu-asa itu hanya beberapa hari yang tertentu (
au¼v˜¯¯¿[ ). Tidak di-sebutkan 29 hari atau 30 hari (satu
36. 36
bulan), tapi hanya beberapa hari yang tertentu. Ini juga menurut
hemat kami secara psikologis memberi-kan kesan kepada
seseorang yang mengerjakan puasa bahwa waktu 29 atau 30 hari
dalam berpuasa bukanlah waktu yang lama atau panjang, tapi
hanya sebentar saja.
Ketiga, adanya beberapa keringanan atau dispensasi
Tuhan terharap orang-orang yang berhalangan/udzur
melaksanakan puasa. Diantaranya misalnya, para manula, orang
yang sakit dan tidak ada ha-rapan kesembuhannya, orang yang
mempunyai pekerjaan berat dan ti-dak punya pilihan pekerjaan
lain. Orang-orang ini diberikan keringanan untuk tidak berpuasa,
jika kalau ia berpuasa akan memayahkan atau memberati mereka.
Namun bagi mereka ada kewajiban membayar fidyah, seperti yang
dinyatakan Allah SWT. :
µÀ¨¯¯˜»¿vŸ¹³½¤À¿µ¿x«[Ŭ—¼
“Bagi orang-orang yang sulit melakukannya (puasa Ramadhan),
hen-daklah mereka membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin” (QS. Ayat 184).
Disamping itu, Allah juga memberikan keringanan kepada
mere-ka yang sakit dan atau sedang berada di dalam perjalanan
(musyafir), boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayarnya
(mengqada’) pada bulan-bulan yang lain. Firman Allah SWT. :
60
ºv˜Ÿz ~Ŭ—¼[Œ¿z¯°¨´¯²§µ°Ÿ
zr[¯¿[µ¯
“Siapa yang sakit diantaramu atau dalam perjalanan, hendaklah ia
mengqada’ (mengganti puasanya) pada hari-hari yang lain” (QS.
Al-Baqarah ayat 184).
Kemudian, bagi wanita hamil dan menyusui, Allah
memberikan keringanan untuk tidak melakukan puasa, dengan
catatan pada bulan yang lain ia wajib membayarnya (mengqada’),
atau kalau terasa mem-beratkan bisa diganti dengan membayar
fidyah, seperti yang diterang-kan hadits beikut ini :
¯½ˆ«[zŸ°«[µ—™‹¼−j¼|—ã[²[
¯½ˆ«[™‹z°«[¼Å¬_o«[µ—¼ ºØˆ«[zƒ¼
“Sesungguhnya Allah ajja wajalla membebaskan puasa dan
separuh shalat bagi musyafir, dan membebaskan puasa bagi
wanita yang hamil dan wanita yang menyusui” (HR. Lima Imam).
Juga bagi wanita yang mengalami haid dan nifas, tidak dibenarkan
ber-puasa, dan jika ia berpuasa juga, maka puasanya batal, dan ia
wajib mengqada’nya pada bulan yang lain.
Demikianlah hakikat ibadah puasa dilihat dari sudut filsafat
dan hukum yang memberikan kesimpulan bahwa ibadah puasa
itu secara
61
37. 37
filosufis merupakan perbuatan yang mudah, ringan dan enteng.
Bahkan secara umum, agama Islam yang kita anut ini adalah
agama kemudahan. Allah menyatakan :
iznµ¯µ¿v«[ÅŸ°¨À¬—−˜j¯¼
“Tidaklah Allah menyebabkan timbulnya kesulitan bagimu dalam
agama” (QS. Al-Hajj ayat 78).
Semoga dengan filsafat kemudahan ini akan mendorong
dan memacu kita untuk selalu meningkatkan kualitas puasa kita
dari hari ke hari hingga mencapai puncaknya nanti.
62
PPUUAASSAA SSEEBBAAGGAAII
TTEERRAAPPII PPSSIIKKOOSSOOMMAATTIISS
uasa sebagai salah satu bentuk ibadah dalam
Islam, ia tentunya bukan semata dogma atau
kebiasaan rutin yang dilaksanakan setiap tahun di
bulan Ramadhan tanpa me-ngetahui maksud dan
manfaatnya, tetapi puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah
yang dapat melahirkan berjuta hikmah dan manfaat yang secara
fungsional dapat dirasakan oleh para pelaku puasa dalam kehi-
dupan sehari-hari.
Salah satu hikmah atau manfaat puasa ditinjau dari segi
kese-hatan jiwa adalah sebagai terapi terhadap penyakit
psikosomatis.
Istilah psikosomatis berasal dari kata psyche atau jiwa,
dan soma atau badan. Istilah ini bermaksud menyatakan
hubungan yang erat antara unsur jiwa dengan unsur badan, dan
keduanya saling berhu-bungan, saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Bila jiwa ditimpa kesu-litan, maka badanpun turut
menderita. Demikian juga sebaliknya, jika ba-dan sakit, jiwapun
ikut merasa susah.
Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kita pernah
mengalami misalnya ketakutan yang amat sangat, sehingga
lantaran saking takut-nya detak jantung kita semakin cepat, badan
jasmani kita terasa lemas tak berdaya dan pikiran kita menjadi
P
12
38. 38
kalut. Akhir dari rasa takut yang berlebihan ini terkadang dapat
membuat orang pingsan tak sadarkan diri, bisa juga
mengakibatkan timbulnya penyakit kronis.
63
Reaksi somatisasi bisa mengenai semua fungsi dan
sistem or-ganis yang penting dari badan. Misalnya, alat
pencernaan dari lambung atau perut, sistem kelenjar, sistem
peredaran darah, alat pernafasan, alat kelamin, sistem
persendian, kulit, jantung dan sebagainya.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa setiap fungsi
organis atau somatis yang terganggu oleh emosi-emosi yang kuat
bisa menjadi basis timbulnya macam-macam gangguan
psikosomatis.
Penyakit darah tinggi (hypertensi) merupakan penyakit
jasmani yang cukup berbahaya. Penyakit ini ternyata ditimbulkan
oleh adanya emosi-emosi yang kuat, yang dimanifestasikan dalam
kerja jasmani dan langsung mengenai sistem peredaran darah,
hingga mempengaruhi de-tak jantung dan tekanan darah.
Hasil eksperimen para ahli kesehatan menunjukkan
bahwa ke-kalutan, kecemasan dan kemarahan yang berlebihan
atau kurang ter-kendali cenderung meningkatkan tekanan darah
dan mempercepat de-tak jantung. Jika kondisi ini sering terjadi dan
berlangsung lama serta sulit mengadakan penyesuaian, maka
pada gilirannya nanti seseorang yang terkondisi seperti ini akan
diserang penyakit darah tinggi.
Gangguan-gangguan emosional yang serius dan kronis
bisa memprodusir respons-respons fisiologis yang mengakibatkan
kerusakan struktural pada tubuh, yang pada gilirannya nanti bisa
mengakibatkan kematian.
Orang yang sering marah, dongkol, benci, cemas dan
takut, bi-asanya akan tidak berselera makan, akibatnya bila
berlarut-larut dapat mengganggu pencernaan. Demikian juga
orang selalu agresif dalam
64
memeram rasa kebencian pada orang lain bisa dijangkiti tekanan
darah tinggi yang apabila berlarut-larut bisa mengancam
keselamatan jiwanya.
Pada abad modern sekarang ini, gangguan-gangguan
psikolo-gis dengan bermacam-macam simptom penyakit,
nampaknya semakin bertambah banyak saja. Keadaan ini
dicerminkan oleh banyak pasien yang menderita gangguan mental
berupa stress, baik yang ringan mau-pun yang berat, yang pada
gilirannya dapat merambat pada tubuh dan menyebabkan
seseorang menjadi sakit.
Dr. Dadang Hawari, seorang ahli jiwa mengatakan bahwa,
“Se-karang ini telah terjadi perubahan pola penyakit. Kalau dulu
banyak pe-nyakit yang sifatnya infeksi, sekarang berubah menjadi
penyakit nonin-feksi”. Perubahan penyakit infeksi ke noninfeksi
disebabkan oleh adanya perubahan gaya hidup manusia yang
belakangan ini cenderung serba terburu-buru, serba ambisi, sering
memaksakan kehendak tanpa meng-ukur kemampuan diri,
akibatnya dapat menimbulkan stress. Seseorang sering
mengalami stress dapat mengganggu keseimbangan saraf oto-
nom dengan gejala-gejala seperti, gatal-gatal, sakit maag, tukak
lam-bung, mencret-mencret, sesak nafas atau asma, terlalu sering
39. 39
kencing dan sebagainya. Stress yang membawa akibat penyakit-
penyakit ini disebut gangguan psikosomatis.
Gangguan psikosomatis pada umumnya diderita oleh
masyara-kat ekonomi menengah ke atas. Penyakit yang semacam
ini kebanyakan dialami oleh para direktur, manajer atau para
pelaksana eksekutif per-usahaan yang pada umumnya menduduki
posisi menengah ke atas serta memikul tanggung jawab yang
besar.
Kasus yang paling banyak dari gangguan psikosomatis
adalah
65
terserangnya penyakit darah tinggi (hypertensi), kejang jantung
(angina pectoris) dan pembekuan dalam pembuluh nadi (coronary
trombosis) yang semua penyakit ini seringkali mengakibatkan
kematian.
Puasa Ramadhan yang merupakan perintah Allah, dengan
me-nekankan pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan tiap
hari, seperti kebiasaan makan dan minum pada waktu-waktu
tertentu, kebiasaan me-lakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang sah pada waktu yang disukai dan beberapa
kesenangan dunia lainnya, ketika seseorang mela-kukan puasa
maka kebiasaan-kebiasaan dan kesenangan tersebut harus
dikurangi dan dikendalikan sesuai dengan aturan puasa. Jika
perintah puasa ini tidak ditujukan kepada orang-orang yang
beriman , maka ten-tu perintah ini tidak akan terrealisasi. Tetapi
karena perintah puasa ini ditujukan kepada orang-orang yang
beriman maka dengan penuh kesa-daran mereka laksanakan
perintah puasa ini sebagai bukti pengabdian-nya kepada Allah
SWT. Sebab mereka yakin bahwa dengan melaksana-kan ibadah
puasa akan melahirkan kesenangan jiwa, jiwanya akan lega dan
tenteram dengan membawa efek yang sangat berarti bagi
kesehat-an jasmani sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr.
Carrel bahwa “Ketentraman yang ditimbulkan karena ibadah dan
doa merupakan per-tolongan yang besar bagi pengobatan”.
Kemudian Dr. Mac Fadon, seorang dokter kenamaan di
Amerika Serikat mengatakan, “Setiap manusia berhajat pada
puasa sekalipun dia tidak sakit. Sebab, makanan-makanan
beracun yang terhimpun bersama dengan obat-obatan dalam
tubuh menjadikan ia seperti orang yang sa-kit, dapat memberatkan
badannya dan mengurangi kesegaran”. Penga-ruh puasa terhadap
suatu penyakit memang berbeda-beda sesuai de-ngan perbedaan
penyakitnya. Paling banyak penyakit yang dapat disembuhkan
dengan puasa adalah penyakit perut, darah tinggi dan
66
penyakit tulang/urat atau rematik.
Dengan berpuasa di bulan Ramadhan, kita dilatih untuk
bersi-kap sabar. Sabar dalam mengendalikan hawa nafsu, sabar
dalam melak-sanakan kewajiban sebagai hamba Allah dan
sebagai ummat yang hidup dalam masyarakat, sabar terhadap
hal-hal yang kurang disukai, sabar dalam menahan amarah, dan
sebagainya. Pengaruh dari sabar ini sa-ngat penting artinya
sehingga seseorang yang terlatih kesabarannya akan dapat
menggunakan akal sehat dan emosinya secara harmonis dalam
upaya menyelesaikan segala permasalahan hidupnya.
Dengan memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah, insyaAllah jiwa kita akan menjadi tenteram, sikap
percaya pada diri sendiri akan semakin kuat, dan ketegaran
dalam menghadapi sega-la problema hidup semakin mantap yang
41. 41
sebagai per-wujudan dari adanya hubungan vertikal antara hamba
dengan khaliqnya, namun keterkaitan dengan soal
kemasyarakatan tetap melekat dengan indah dan rapi.
Islam tak pernah membiarkan ummatnya terbelenggu dan
ter-kukung oleh formalisme ibadah semata, sehingga melupakan
tanggap sosialnya, baik terhadap keluarga, tetangga maupun
masyarakat.
Dalam hubungan ini, pada waktu-waktu tertentu Khalifah
Umar bin Khattab sering berkeliling di sekitar masjidil Haram untuk
melihat apakah masih ada kaum muslimin yang berada di masjid
untuk melaku-kan ibadah padahal saat jam tersebut adalah saat
waktu bekerja atau mencari nafkah bagi kaum prianya untuk
keperluan keluarga dan anak-anaknya, sehingga jika ada yang
masih berada di masjid pada jam-jam tersebut, khalifah pasti akan
menegurnya. Tindakan ini beliau lakukan disadarkan atas firman
Allah SWT. yang berbunyi :
Šy×[ÅŸ[¼z„c³Ÿ º½¬ˆ«[dÀŒ£[wŸ
69
°¨¬˜«[zÀg§ã[[¼z§w[¼ ã[−ŒŸµ¯[½œc^[¼
²½o¬ b
“Apabila telah ditunaikan sahalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jumu’ah
ayat 10).
Rasulullah SAW. membagi waktu kesehariannya menjadi
tiga bagian. Sebagian waktu beliau gunakan untuk mengabdi
kepada Allah SWT. dalam bentuk ibadah ritual, sebagian lagi
beliau gunakan untuk membina keluarga dan sisanya untuk diri
beliau sendiri. Sisa waktu untuk diri sendiri inilah kemudian
sebagian besar beliau gunakan untuk kepentingan
ummat/masyarakat.
Seorang muslim yang taat tentu memiliki tingkat
kepedulian masyarakat yang tinggi. Dalam kehidupannya ia selalu
menyatu dalam lingkungan sosialnya sebagai perwujudan
ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Suka duka yang dialami
masyarakat menjadi tanggung jawab bersama. Keprihatinan dalam
masyarakat merupakan kepedihan bersa-ma yang harus kita
tanggulangi bersama pula. Kenapa demikian? Karena kita adalah
ummat yang satu, ummatan wahidah”. Firman Allah SWT. :
²¼v_—Ÿ°¨^y³[¼ ºvn[¼»¯[°¨c¯[¶x·²[
“Sesungguhnya ummat ini adalah ummat yang satu, dan Akulah
Tuhan kamu. Oleh karena itu hendaklah kamu menyembah
kepada-Ku” (QS. Al-Anbiya ayat 92).
70
A. Yusuf Ali dalam bukunya The Holy Qur’an
menyatakan bah-wa perkataan Ummatan Wahidah ayat di atas
lebih tepat diartikan Brother hood (persaudaraan), “This is best
translated by brother hood here”.