Tulisan ini menganalisis kerentanan kemiskinan nelayan di Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood Approach (SLA). SLA menilai lima modal utama yakni modal manusia, alam, sosial, fisik, dan keuangan. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan di Jawa Timur hanya berpendidikan dasar, akses kesehatan dan penguasaan teknologi masih terbatas. Sumber daya perikanan juga mengalami pen
Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
1. 1
PENDEKATAN SLA (SUSTAINABLE LIVELIHOOD APPROACH) PADA MASYARAKAT
NELAYAN
Studi Literatur pada Nelayan di Jawa Timur
Tri Cahyono
Program Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya
Malang
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan masalah pokok yang selalu menjadi topik menarik
dalam tiap-tiap kebijakan pemerintah di penjuru Indonesia. Tidak hanya
pemerintah pusat, pemerintah daerah sekalipun menjadikan kemiskinan sebagai
bahasan kebijakan yang mutlak untuk segera ditanggulangi dengan baik.
Tingginya angka kemiskinan semakin menunjukkan bahwasannya pembangunan
sosial di tingkat nasional maupun daerah belum berjalan dengan baik (optimal).
Padahal, potensi yang dimiliki Indonesia untuk lebih maju dan berkembang
sangatlah tinggi. Hal ini tercermin dari keunggulan daerah yang sangat beragam
dan ditunjang dengan besaran penduduk yang cukup tinggi. Data dari BPS (2011)
menunjukkan, bahwasannya besaran penduduk Indonesia sebesar 257.516.167
jiwa dengan luasan wilayah mencapai 1.904.569 km2
.
Tentu saja, besaran jumlah penduduk dan luasan daerah merupakan
sebuah potensi tersendiri yang perlu diberdayakan dengan baik. Pemberdayaan
tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan keunggulan daerah yang menjadi
cikal-bakal kemampuan daerah bersaing secara ekonomi baik di kancah nasional
maupun internasional. Hingga saat ini, potensi pengembangan derah melalui
Sumberdaya Manusia masih belum terlaksana dengan baik. Terbukti dari data
BPS (2012), jumlah pengangguran di Indonesia 2012 mencapai 760.000 jiwa
(data BPS kuartal I). Selain itu, kualitas sumberdaya manusia di Indonesia secara
pendidikan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Data Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang MP3EI (Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) menyebutkan, bahwasannya
hingga tahun 2011 lebih dari 50% penduduk Indonesia merupakan tamatan
sekolah dasar, dan hanya berkisar 8% yang tamatan diploma/sarjana. Fakta lain
2. 2
menyebutkan, bahwasannya tiap-tiap lulusan diploma/sarjana di Indonesia
belum mampu terserap sepenuhnya oleh dunia kerja lantaran adanya prasyarat
yang cukup rumit (Hadiyanti, 2006).
Terbukti dari total pengangguran yang mencapai 760.000 jiwa, dimana
11,92% (90.592 Jiwa) diantaranya adalah lulusan Diploma dan 12,78% (97.128
Jiwa) adalah lulusan Sarjana (BPS, 2012). Boediono (2009) mengungkapkan,
perekonomian di Indonesia masih belum sepenuhnya pulih pasca krisis, terlihat
dari beberapa sektor yang masih bekerja di bawah kapasitas dan pertumbuhan
ekonomi yang cukup positif belum mampu menyerap pengangguran yang ada,
sehingga hal tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap shock.
Hal ini mengindikasikan bahwasannya pengembangan SDM di Indonesia
masih memerlukan up grading secara menyeluruh agar kualitas SDM semakin
merata dan lebih mantab dalam menjalankan roda ekonomi (pengangguran
mampu diserap sepenuhnya dipasar input). Selain itu, penyediaan infrastruktur
(fisik maupun non fisik) dalam memfasilitasi SDM perlu ditingkatkan lebih jauh.
Sebenarnya, beberapa kebijakan telah digulirkan oleh pemerintah guna
mengurangi ketimpangan ekonomi dan besaran angka pengangguran serta
kemiskinan. Kebijakan yang digulirkan beraneka ragam mulai dari PNPM Mandiri,
PUAP, LKMA dan lain sebagainya. Namun, hingga saat ini masih belum
menunjukkan tanda-tanda yang cukup signifikan terhadap pemerataan
pembangunan. Penelitian yang dilakukan Syukri (Lembaga Penelitian Semeru
2010), membuktikan bahwasannya di Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi
Tenggara, keterkaitan program PNPM terhadap kesesuaian kebutuhan warga
miskin belum nampak secara jelas. Hal ini teridentifikasi dari rendahnya
sustainability partisipasi masyarakat, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan
PNPM di pedesaan.
Beberapa topik diatas akan sangat menarik lagi ketika di kerucutkan pada
permasalahan pembangunan yang terjadi pada nelayan di Indonesia saat ini,
khususnya di Jawa Timur. Di Jawa Timur sendiri, pada tahun 2011 besaran jumlah
penduduk mencapai 5.662.087 jiwa dengan angka kemiskinan mencapai 14,23
3. 3
(BPS, 2012). Besaran angka kemiskinan tersebut, sebagian besar sebarannya
berada di pedesaan utamanya dipesisir. Hal ini dapat diidentifikasi dari data BPS
2010 yang tertuang dalam gambar 1 berikut :
Gambar 1 ; Sebaran Penduduk Miskin Berdasar Sektor Basis (Jawa Timur)
Dari gambar 1 dapat diterjemahkan bahwa daerah tapal kuda atau
daerah yang berada di pesisir pantai merupakan kantong kemiskinan yang
berbasis perikanan (subsektor dari Pertanian). Pada peta potret kemiskinan
nelayan diketahui terdapat 20 kabupaten yang berada di daerah pesisir pantai.
Dari keduapuluh kabupaten tersebut terdapat 4,1 juta jiwa penduduk miskin
pada tahun 2009, sedangkan jumlah penduduk miskin Jawa Timur sebesar 6,02
juta jiwa (tahun 2009). Dengan kata lain, 68 persen penduduk miskin di Jawa
Timur terdapat di daerah pesisir pantai, baik pantai utara maupun pantai selatan
Jawa Timur serta pulau Madura.
Tingkat kerentanan kemiskinan yang ada di Jawa Timur utamanya yang
menyelimuti kaum nelayan menjadi problematika yang menarik untuk
diidentifikasi lebih lanjut. Untuk itulah, tujuan utama dari tulisan ini yaitu untuk
mengidentifikasi tingkat kerentanan kemiskinan nelayan di jawa timur dengan
menggunakan pendekatan SLA. Sedangkan metode penelitian menggunakan
pendekatan studi literatur dengan mengandalkan data-data skunder hasil
peneliti terdahulu dan beberapa data terkait penulisan ini.
4. 4
Konsep SLA
Konsep yang dikembangkan di Inggris pada akhir dekade 1990an ini
sangat relevan diterapkan untuk kawasan sedang berkembang. Pendekatan
pembangunan dengan konsep sustainable livelihood system adalah pendekatan
pembangunan kontemporer yang berusaha mengoreksi pendekatan
pembangunan yang berkonsep modernisasi dan dikenal sangat tidak akrab
terhadap lingkungan. Pendekatan sustainable livelihood system berusaha
mencapai derajat pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi secara adil
dan seimbang dengan mengkombinasikan aktivitas dan utilisasi modal-modal
yang ada dalam tata sistem-kehidupan. Berikut kerangka dari Konsep SLA
Gambar 2 ; Sustainable Livelihood Framework
Sumber: Farrington et. al. (1999) dalam Saragih dkk 2007.
Dari gambar 2, dapat dipahami bahwa prinsip penting yang harus
dipegang untuk memahami konsep pengembangan komunitas dengan
pendekatan sustainable livelihood mechanism adalah: (Dharmawan, 2006)
Landasan etika pembangunan adalah ekosentrisme, yaitu menghargai
kesejajaran antara kepentingan manusia dan alam secara seimbang.
Artinya, manusia dan alam hidup seiring sejalan dan memiliki hak serta
kewajiban yang sama. Etika ini menghindari perilaku eksploitatif terhadap
alam yang berlebihan demi pencapaian derajat kesejahteraan manusia.
Ideologi environmentalisme dan eco-modernisme melandasi gerakan
sosial masyarakat dalam berperilaku dan menyikapi pelestarian
5. 5
lingkungan. Ideologi ini tetap menempatkan pencapaian kehidupan
manusia yang sejahtera, dalam waktu yang bersamaan tetap memandang
penting pula untuk mengupayakan penyelamatan dan kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan demi kehidupan manusia dan alam itu
sendiri.
Mengubah persepsi tentang pembangunan dari ciri eksploitatif ke ciri
kearifan terhadap alam.
Konsep rural sustainable development selalu mengintegrasikan
kepentingan alam dan manusia dalam satu kesatuan paket-kepentingan
yang diperjuangkan secara bersama-sama.
Pendekatan participatory sustainable community empowerment yang
menyertai proses-proses pengambilan keputusan, mengindikasikan
adanya komitmen yang kuat atas pencapaian cita-cita keadilan
lingkungan.
Terdapat lima modal yang yang membangun sistem kehidupan
masyarakat dan merupakan karakter konservatisme dan populisme yang
menjiwai pendekatan sustainable livelihood system. Kelima modal tersebut
adalah modal manusia (human capital), modal alam (natural capital), modal
social (social capital), modal fisik (physical capital), dan modal keuangan
(financial capital). Setiap modal berstatus sama dan sederajat posisinya.
Ciri konservatisme dalam pendekatan ini diketahui dari peletakkan
natural capital sebagai entitas modal yang terpisah. Dalam ekonomi
konvensional, modal alam diartikan sebagai tanah (land) yang menjadi
sumberdaya dan sekaligus tempat produksi semata-mata. Dengan memandang
alam sebagai modal, maka tidak hanya tanah yang diakui eksistensinya,
melainkan juga biodiversity, air, udara, hutan, sungai, tanah, jasad-renik, dan
sebagainya. Terdapat asumsi yang dipegang dalam hal ini, yaitu sistem
kehidupan akan terus berlanjut jika dan hanya jika modal alam dilestarikan
eksistensinya.
6. 6
Sedangkan ciri populisme ditunjukkan oleh kehadiran social capital
(modal sosial) dalam sistem. Modal sosial dianggap sangat penting dalam
konsep pembangunan kontemporer, karena fungsinya sebagai pemersatu
elemen-elemen masyarakat. Tiga komponen utama yang penting dalam hal ini
adalah: (1) trust (2) social networking; dan (3) norms and institutions.
Ketiga bentuk modal lain yaitu human capital berupa kemampuan,
keterampilan dan kapasitas sumberdaya manusia; financial capital berupa uang
dan physical capital berupa infrastruktur fisik penopang pembangunan. Kelima
bentuk modal dimanfaatkan searif mungkin untuk menyongsong derajat
kesejahteraan masyarakat serta kelestarian alam.
Menurut Allison (2003), Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau
Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan diterapkan untuk
menginformasikan desain intervensi kebijakan dan pengembangan yang
bertujuan mengurangi kemiskinan di negara-negara kurang berkembang. Dalam
penelitiannya, SLA yang digunakan sebagai kerangka kerja untuk berpikir tentang
manajemen dan kebijakan dapat membantu untuk membangun pemahaman
yang lebih baik tentang peran dan fungsi sektor perikanan perairan pantai dalam
ekonomi pesisir yang lebih luas. SLA merupakan pengalaman baru dengan
aplikasi terhadap isu-isu manajemen dalam perikanan berskala kecil di negara
berkembang, dan memeriksa potensinya sebagai kerangka kerja untuk memandu
kebijakan dan manajemen dalam perikanan perairan pantai.
Pendekatan mata pencaharian digunakan sesuai dengan tujuan penelitian
atau program. Dalam praktek pembangunan, sering digunakan sebagai alat
'proses' untuk mengaktifkan peserta dalam program-program pembangunan
yang datang dari berbagai sektor (misalnya pemerintah daerah, pengembangan
usaha, kesehatan, transportasi, sumber daya alam) untuk bekerja sama dalam
mengidentifikasi kendala utama dan peluang untuk pengembangan intervensi
(Ashley dan Carney, 1999). SLA juga banyak digunakan sebagai sebuah proyek
dan kerangka desain program. Manajemen program atau proyek-proyek
pembangunan dapat difokuskan untuk mempertahankan mata pencaharian
7. 7
dengan definisi yang sesuai tujuan mereka, sarana verifikasi pencapaian tujuan
dan indikator untuk memantau kemajuan.
Pendekatan SLA ; Indentifikasi Kerentanan Kemiskinan Nelayan di Jawa Timur
Dalam pendekatan SLA, beberapa kerentanan kemiskinan sering kali di
tinjau dari lima faktor utama yaitu ; (1) modal manusia, (2) modal alam, (3)
modal keuangan, (4) modal fisik, dan (5) modal sosial. Dari kelima faktor
tersebut, tentu saja hanya di gambarkan dalam bentuk data-data kuantitatif
semata lantaran permasalahan yang dicakup dari kelima fator tersebut sangatlah
luas. Untuk itu, kelima faktor tersebut memerlukan beberapa modifikasi yang
tentu saja tidak menghilangkan makna dasar dari SLA itu sendiri. Adapun
identifikasinya yaitu dilihat dari ;
1. Tingkat pendidikan, aksesibilitas kesehatan dan penguasaan teknologi.
Ditinjau dari tingkat pendidikan, sebagian besar nelayan hanya
mengenyam bangku sekolah dasar. Dan bahkan tak jarang yang tidak lulus
sekolah dasar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlambang (2012)
menyebutkan, dari beberapa daerah di Jawa Timur (Tulungagung, Banyuwangi,
Malang, dan Probolinggo) berkisar 70% nelayan hanya berpendidikan sekolah
dasar, sisanya yang 30% berpendidikan SMP, SMA dan bahkan ada yang tidak
lulus sekolah dasar. Sedangkan untuk pendidikan informal, Herlambang (2012)
menyebutkan bahwa sekitar 90% nelayan tidak pernah mengikuti (tidak pernah
terlibat), dan hanya 10% yang pernah terlibat dalam pendidikan informal, itupun
lantaran ada program dari pemerintah yang notabene diikuti oleh nelayan besar
yang sebagian adalah juragan kapal.
Ditinjau dari akses kesehatan, sebagian besar nelayan telah memperoleh
akses yang layak lantaran tiap-tiap daerah di kampung nelayan setidak-tidaknya
terdapat paramedis ataupun puskesmas pembantu. Tercermin dari penelitian
yang dilakukan oleh Mintaroem dan Farisi (2000) bahwasannya untuk Jawa
Timur sendiri pembangunan akses kesehatan di kampung nelayan telah
8. 8
menunjukkan perbaikan, hal ini dapat diidentifikasi dari adanya puskesmas-
puskesmas pembantu dan minimal telah tersedia paramedis (mantri desa).
Sedangkan jika ditinjau dari penguasaan teknologi, sebagian besar
nelayan masih mengandalkan tradisi-tradisi lama lantaran perubahan teknologi
yang terjadi dibidang perikanan (utamanya nelayang tradisional) sifatnya sangat
lambat. Tercermin dari beberapa perangkat-perangkat elektronik canggih (GPS)
masih sangat jarang dijumpai. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Herlambang (2012) dimana dalam penangkapan ikan, nelayan
masing mengandalkan kapal-kapal sederhana dengan perangkat teknologi
cenderung tidak ada yang mengalami perubahan, dan bahkan hasil tangkapan
masih dijual dalam produk primer tanpa ada sentuhan teknologi yang lebih
modern. Untuk itulah, sebagian nelayan yang digambarkan oleh Herlambang
selalu diombang-ambingkan dengan ketidakpastian baik dari segi pendapatan
maupun dari segi keselamatan selama berada di laut.
2. Aset-aset yang dimiliki.
Ditinjau dari segi kepemilikan aset, umumnya nelayan di Jawa Timur
hanya mengandalkan aset produksi yang terbatas. Kurangnya modal untuk
melaut menjadikan beberapa aset produksi tidak diperbaharui (dirawat dengan
baik) secara berkala. Suyanto (2011) mengemukakan, keterbatasan aset yang
dimiliki oleh nelayan Jawa Timur menjadikan proses penangkapan berlangsung
tidak optimal, hal ini dikarenakan beberapa tangkapan hanya dilakukan
dipinggiran pantai dan tidak mampu menjangkau ke lautan yang lebih jauh.
Minimnya aset tersebut menjadikan jeratan kemiskinan di sektor perikanan
(sebagai nelayan) semakin kuat. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh LPPM Unair (2009) yangmana jeratan kemiskinan di sektor
perikanan (nelayan tangkap) selain dipengaruhi oleh minimnya aset, tetapi juga
dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat nelayan yang cenderung berfoya-foya
ketika tangkapan melimpah tanpa memperhatikan pola menabung untuk
perbaikan aset-aset langsung dalam jangka panjang.
9. 9
3. Keberlanjutan sumberdaya alam.
Sumberdaya alam (laut) yang merupakan tempat utama mencari
kepingan rupiah bagi nelayan untuk saat ini sangat tidak stabil kelangsungan
ekosistemnya. Hal ini dapat diidentifikasi dari seringnya nelayan melakukan
perpindahan wilayah tangkapan dan semakin menurunnya jumlah tangkapan. Di
wilayah selatan Jawa Timur , kapal-kapal besar dari India, Cina dan beberapa
negara lain sengaja berdiam selama beberapa hari bahkan berminggu-minggu
untuk melakukan eksploitasi ikan-ikan laut dan notabene cenderung merusak
ekosistem laut, sehingga nelayan-nelayan tangkap dengan kapasitas produksi
kecil kian lama kian mengalami penurunan jumlah tangkapan (Putro, 2009).
Selain dilihat dari tingginya eksploitasi laut oleh kapal-kapal besar negara
asing, faktor lain yang sangat mengganggu adalah daya tawar nelayan yang
sebagian masih rendah lantaran adanya pasar oligopsoni yang umunya dibentuk
sendiri oleh para tengkulak-tengkulak (pembeli yang melakukan kerjasama). Hal
ini di ungkapkan oleh penelitian yang dilakukan BALITBANG Jawa Timur (2011),
dimana tengkulak memainkan peran cukup krusial (tengkulak dan pemodal
seringkali melakukan kerjasama) dikalangan nelayan sehingga nilai tawar nelayan
menjadi sangat rendah. Tak heran jika proses penangkapan ikan di kalangan
nelayan Jawa Timur untuk saat ini sebagian tidak memperhatikan kualitas ikan
tetapi mengarahkan pada kuantitas yang semakin banyak. Untuk itulah, wilayah
tangkapan seringkali berubah-ubah dan cenderung tidak seimbang dengan
kapasitas kapal yang digunakan. Misalnya kapan dengan kapasitas 10 GT (Gross
Ton) yang umumnya hanya digunakan untuk jarak 10 hingga 13 mil dari pantai,
maka dipaksa untuk menempuh jarak hingga 20 bahkan ada yang mencapi 50 mil
(LPPM Unair, 2009).
10. 10
Daftar Pustaka
Allison, Edward H. 2003. Potential Applications Of A ‘Sustainable Livelihoods
Approach’ To Management And Policy Development For European Inshore
Fisheries.
BALITBANG. 2011. Kajian Potensi Sumberdaya Alam Berbasis Eksport.
BALITBANG Jawa Timur. Surabaya.
Boediono. 2009. Kebijakan Fiskal : Sekarang dan Selanjutnya. Kompas. Jakarta.
BPS Jawa Timur. 2010. Sebaran Penduduk Miskin Berdasarkan Sektor Basis.
_____________. 2012. Angka Kemiskinan Jawa Timur.
BPS. 2011. Jumlah Penduduk Indonesia.
Data Perpres No. 32. 2011. MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Herlambang, Andhika P. 2012. Analisis Tingkar Masyarakat Nelayan Perikanan
Tangkap Jawa Timur. Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya. Malang.
LPPM Universitas Airlangga. 2009. Pemberdayaan Nelayan dalam Upaya
Mengurangi Kemiskinan di Kalangan Nelayan. LPPM Universitas Airlangga.
Surabaya.
Mintaroem, H. Karjadi dan Farisi, M. Imam. 2000. Nelayan Tradisional di
Madura ;Studi Sosial-Budaya terhadap Aktivitas Perekonomian Nelayan di
desa Bandara Kabupaten Pamekasan. Universitas Terbuka, Lembaga
Penelitian-Pusat Studi Indonesia.
Putro, R. Harjanto. 2009. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Mengelola Sumberdaya Perikanan Laut di Lamongan Jawa Timur.
Departemen Ilmu Administrasi, FISIP, Universitas Airlangga. Surabaya.
Saragih, dkk. 2007. Kerangka Kehidupan Berkelanjutan ; Sustainable Livelihood
Framwork.
Suyanto, Bagong. 2011. Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan
Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan Harga
BBM. Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga. Surabaya.
11. 11
Syukri, Muhammad dkk. Studi Kualitatif Dampak PNPM-Perdesaan Tahun 2010 di
Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tenggara. Lembaga Penelitian
Semeru. Jakarta.