Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas pemikiran tasawuf Ibnu Athaillah, khususnya konsep marifat menurut pandangannya.
2. Ibnu Athaillah memahami ajaran tasawuf Syadziliyah yang menekankan taqwa kepada Allah, mengikuti sunnah, dan ridha terhadap takdir Allah.
3. Menurut Ibnu Athaillah, marifat dapat diperoleh melalui usaha
1. MANUSIA & TUHAN
Tasawuf Ibnu Athaillah
Pemikiran Ibnu Athaillah
Berdasarkan biografi dan karya-karya tulis Ibnu Athailah, sudah jelas, bahwa ia seorang ahli
hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu
sepantasnya ia dijuluki sebagai ahli Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya
adalah Kitab al-Hikam.
Untuk memudahkan mendalami pemikiran Ibnu Athaillah, perlu memahami terlebih dahulu
perkembangan pemikiran Ibnu Athaillah, mulai dari karir hingga wafatnya. Hal ini
dilakukan untuk memperjelas dalam mengklasifikasikan pemikiran Ibnu Athaillah, yang
sedikit banyak berorientasi pada nilai-nilai Taswuf yang melekat pada dirinya.
Perkembangan pemikiran Ibnu Athaillah dapat diketahui dari karya tulisnya al-Hikam. Kitab
al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Athaillah pada khusunya dalam paradigma
Tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen
Annuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Athaillah
bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi diseimbangi
dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan suluk, artinya diantara syariat, tharikat dan
hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan
warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum yang bermazhab Maliki dan sebagai
penganut teologi Asyariyah juga ia memiliki posisi sebagai dalam tahrekat Sydziliyah.
Corak Pemikiran Ibnu Athaillah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh
sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf pada Marifat. Selain itu juga bahwa Ibnu
Athaillah merupakan guru ketiga dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan
tasawuf pada kahususnya tentang marifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam
kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. dan mengenal
rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa
syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan sebaik-baiknya
sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
2. Kedua, tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi
yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang
berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan
penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang
dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang
melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat,
berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu
hanyalah permainan (al-lab) dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia
semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya,
asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari
harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan samapi menjadi hamba
dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika
harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju lusush yang tidak
berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha
menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk
dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Abu hasan al-
Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya
mencari langit, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini. Beraktivitas sosial
demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri
sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak
dengan akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa
nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh
Ketujuh, dalam kaitannya dengan mariaft al-Syadzili berpendapat bahwa marifat adalah
salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan
1). Mawahib atau ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya tanpa
usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu marifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras
seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat
sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu Athaillah ini akan berangkat dari teori
marifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta tulisan tulisan Ibnu Athaillah dalam
kitab Hikam.
3. Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental mengenai
eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini kita dapat memahami pemikiran Ibnu
Athaillah dari penglaman puncak (Fick eksperience).
Ibnu Athaillah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak mengandung dari
ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas menjadi lima bagian yaitu :
Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu Athaillah memiliki ajaran pokok dalam Tasawuf
antara lain :
1. Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan
2. Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan
3. Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu Athaillah memberikan penegasan dalam
hikmah sebagai berikut.
??? ??????? ???? ????????? ?????? ???? ????????? ???????? ??? ????????? ??????
?????????? ????? ?????
Artinya : tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang menghendaki
perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu yang Allah telah
menampakannya didalam waktu itu.
Allah Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui segela
sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri.
Maka dari itu apa saja yang terjadi apa saja dialam semesta ini, misalnya jatuh sakit, orang
yang berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta kaya, semua itu
berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah direncanakan sejak semula oleh Allah Swt
dan juga mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam alam wujud ini. Dalam Hal ini
Allah Swt berfirman :
??????? ?????? ???????? ???????????
Artinya : Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir (Q.S: Ar-rod :8)
Oleh sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan
oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini adalah sedungu-dungu atau
sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami akan qudrat dan iradat Allah Swt. Dengan
alasan, karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, berarti dalam
4. garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah yang telah diberikan
kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya bukanlah termasuk
suatu keadaan yang tercela.
Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah itu termasuk
perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap manusia harus menerima ketetapan
(taqdir) Allah ini harus dengan lapang dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Ibnu Athaillah menegaskan pula
dalam hikmah sebagi berikut :
??? ????????? ??????????? ???? ?????????? ???????? ????? ???????? ???? ?????? ????
?????????????????? ????????
Artinya tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika Allah
mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu sendiri. Dan tidak akan
ada habisnya kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu
Tidak akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan kejahatan
jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu cenderung pada kejelekan.
Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak henti-hentinya untuk mengerjakan amal
kebaikan jika Allah memberikan sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal usahanya,
tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya manusia harus bergantung pada
Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan atau tindakan diri sendiri. Untuk menegakkan
adab Sufi dan kehalusan budi kepada Allah Swt. Maka hanya kehendak dan daya kekuatan
Allahlah yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.
Pemikiran Ibnu Athaillah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi pada struktur internal
kitab al-Hikam tentang marifat. Tema dasar kitab tersebut adalah marifat. Ia adalah marifat
iluminatif dimana disana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga
memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang mendasarinya.
Dalil metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri adalah absolut
atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara selain Dia adalah relatif atau tidak riil,
atau terbatas. Ini adalah doktrin tauhid (Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai
kesimpulan akhir metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran (al-haqq), dunia adalah
tidak ada, tidak ada selain al-Haqq (the Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual mendalam
yang mengalir dari doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu sendiri.
Mengenai tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni Iman Islam
dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu Athaillah mengambil
syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam tekhnik dzikir yang penting: manusia
terbagi kedalam tiga kategori kelompok dalam kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap
keEsaan.
5. Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada kategori ini,
penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan dan kepatuhan dengan jalan
pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan, bahwa tidak adan Tuhan selain Allah
Muhammad adalah utusaan-Nya, dan itu adalah Islam.
Kategori kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat menegah. Pada kelompok
ini, penegasan keesaannya dengan hati, secara bebas dan dengan kehendak sendiri, dalam
keyakinan dan kepatuhan. Dan itu adalah Iman.
Kategori kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang terpilih. Pada
kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql), mata (iyan), yakin (yakin) dan
kontemplasi (Musyahadah). Dan itu adalah ihsan.
Selain pandangan diatas, Ibnu Athaillah membagi dzikir kedalam tiga tingkatan.
Pertama dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua dzikir yang
dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang terpilih yang mempunyai keyakinan.
Ketiga dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang terpilih yang
merupakan dzikir orang-orang gnostik (arifun) yang menghentikan dzikir mereka sendiri
dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
b. Metafisika Ibnu Athaillah
Dalam berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu Athaillah lebih
memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali yang lebih
mengedepankan Riydhah Fisik.
Nilai-nilai Metafisika Ibu Athaillah dapat dilihat dari berbagai macam pemikirannya,
terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam hal ini Ibnu Athaillah menjelaskan :
sesungguhnya alam dapat mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi
dari segi ketetapan ruhanimu
Benda yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam bentuk
kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung dengan benda-benda tersebut
bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu tidak sejenis badan atau benda-benda alam ini,
maka kehidupan dan pertumbuhan ruh tidak bergantung pada benda-benda dunia akan tetapi
bergantung dan berhubungan kepada terciptanya benda-benda alam tersebut yakni Allah Swt.
Jadi benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan ruhaniayah.
Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut sebaiknya setiap orang haus
selalau berdzikir dan menyingkirkan segala hawa nafsu yang ada pada diri manusia,
sehingga ruh itu bersih dari segala kotoran yang menempel pada kita.
Secara biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar (jasmani) dan
ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat menemukan, mengingat, berfikir,
mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci, dan sejenisnya.
6. Ibnu Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa tubuh mansia
tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian yang mau tidak mau harus di
akuinya. Sedangkan mengenaui ruh, Ibnu Athaillah tetap berpegang pada al-quran,
sebagaimana firman Allah Swt.
??????????????? ???? ???????? ???? ???????? ???? ?????? ?????? ????? ??????????
???? ????????? ?????? ?????????
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. Q.S. Al-Isra : 85)
Ruh termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu pasti tidak akan
dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan tidak nanti, bahkan tidak untuk selama-
lamanya.
Sebenarnya setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal ruh itu ialah
bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia dan bahwa dengan adanya ruh itu lalu
tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat diketahui pula apa yang diakibatkan
oleh adanya kehidupan berfikir, mencintai, menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat
diketahui mngenai ruh ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh yang
merupakan media kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh ruh tersebut lalu
menjadi benda mati, beku dan tidak lagi memiliki gerakan.
Dapat disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan zat yang
membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam semesta. dengan adanya ruh
manusia menjadi pandai dan alim secara sendirinya, sehingga seluruh malaikat diperintah
oleh Allah untuk tunduk memberi penghormatan kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam
berpendapat bahwa ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri, dan berada dalam
benda-benda lain. Ia adalah jisim Nuraniyah (Nur atau cahaya), dan kedudukannya tinggi
dalam kehidupan manusia.
Selain ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga, tubuh itu
bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh itu tidak dipisah-pisahkan,
atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan kesan kehidupan dan apa-apa yang berhubungan
dengan adanya kehidupan itu, selama tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di
dalamnya.
Adanya zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang datangnya dari
langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia meyakinkan adanya ruh itu dan dan
mempercayainya sejak mereka mengenal agama-agamanya.
Bahkan aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya mereka
mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir, kemudian mereka
mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan ruh tersebut.
7. Paham materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain, kecuali
alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada benda lain, kecuali benda-
benda yang tampak lagi untuk apa yang dinamakan ruh itu dalam alam semesta yang maujud
ini.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Ibnu Athaillah mengemukakan juga selain
manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan imateri, ia
berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat berpengaruh dalam kehidupan dan
pencapaian marifat. Karena itu Ibnu Athaillah pempriortiskan keduanya untuk melakukan
suluk agar jiwa dapat bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang
ditulisnya :
???????? ???? ????????? ????????????? ???? ????? ??????
????????? ????????????????? ??????????
????????????????? ??????????????? ??????????
?????????.
Artinya : keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk dari setiap sifat
yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada untuk menyambut panggilan Zat
yang haq (Allah Swt.), dan dari kehadirat-Nya adalah lebih dekat.
B. Pengertian Marifat Pandangan Ibnu Athaillah
Dari sisi bahasa arif memiliki sighat isim fail yang berarti orang yang mengenal atau
mengetahui, Perkataan arif adalah perkataan umum dalam tasawuf kerenanya arif ditinjau
dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya:
a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung
b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal.
c). mematuhi segala perintah Allah,
d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.
Tetapi Ibnu Athaillah nampaknya disini menegaskan pengertian arif sebagai orang yang
bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu. Seiring pula dengan
Abul Abbas Al-Mursi memprediksi pribadi Ibnu Athaillah sebagai orang yang bijak dan
menjadi tokoh sufi yang bijak pula.
Adapun Marifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui eksistensi Tuhan dan
orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut arif. Pengertian tersebut dapat diperluas
lagi menjadi cara mengenal atau mengetahui eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya. Karena itu, pengertian diatas
menegaskan dua penjelasan.
8. Penjelasan yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara langsung.
Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ain al-ujd. Ibnu Athaillah
menuliskan hikmah sebagai berikut :
???? ?????? ???? ????? ?????? ?????????? ????? ??????
Artinya : Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya.
Cahaya dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan cahaya ini
manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya tersebut merupakan Hakikat
cahaya yang sebenarnya.
Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala sumber,
yakni sinar Ilmu, sinar marifat, dan sinar tauhid. Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang
ditulisnya :
?????????? ???????????? ??????????? ??????????????
Artinya : tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-
sahasianya
Pada kesempatan lain, Ibnu Athaillah menyebutkan ada tiga cahaya yang merupakan bekal
bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan Tuhan dan mensifati wujud Tuhan.
Tiga macam cahaya tersebut adalah ,pertama Syuaaul Bashiirah yakni dengan akalnya
manusia dapat mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat
dengannya. Kedua, Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa mengetahui bahwa
dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah. Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni
dengan kesaksiannya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada
menjadi ada, kemudian menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya
Allah yang tidak berawal dan tidak berakhir.
Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud
Tuhan.
Ibnu Athaillah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah
(petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum meresap
kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak bisa sepenuhnya tertuju
kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa dengan
sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Marifat berkata :
Apabila Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai dunia dan
akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian mencintai dirinya. Dan apabila iman
telah masuk kedalam lubuk hati maka dia akan membenci dunianya dan ditolak kehendak
hawa nafsunya
9. Di satu sisi Ibnu Athaillah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai hidayah dalam
melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab
Al-Hikam sebagai berikut :
Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepadanya,
maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa bermarifat kepada Allah, yang dengan
Maifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat
Penjelaskan kedua, bahwa Marifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan dalam
melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan ini merupakan tonggak
titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari Ikhsan (kebajikan spiritual), yang
memainkan peran penting dalam ajaran Sufi.
Pada kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql), mata (iyan),
yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut
sebagai makasib atau atau badzi al-majhud.
Dalam hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa Marifat bisa
dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada Allah. dalam hikmah yang
ditulis sebagai berikut :
?????? ?????? ??????? ????????????? ?????????? ????????????? ??????? ???? ???????
???????? ??????????? ??????? ???????? ???????????
Artinya : Amma Badu : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin yang
memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang sejak permulaannya
itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak kesudahannya akan samapai kepada-Nya,
Permulaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek akan
membuahkan hasil yang jelak pula. Demikian pula apabila seseorang itu mempunyai
keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia memulainya dengan cara yang baik dan
usaha yang sungguh sungguh (suluk), niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu
akan tercapai dengan baik pula.
Sebaliknya jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara yang baik
dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh (suluk), maka sudah barang
tentu keinginannya itu hanya tinggal keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.
Dalam hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu Athaillah menuliskan dalam Kitab Al-
Hikam bahwa arif dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata, sebagaimana Hikmah
dibawah ini :
Artinya : bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu padahal
Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu.
Artinya : bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu
dari segala sesuatu.
10. Dalam hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli (penzahiran)
sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus berlanjut sepanjang evolusi
keruhanian berlangsung (yaitu pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania
menuju Allah).
Mata yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur tauhid dan
keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat disisi Allah saja yang dapat melihat ke
Esaan yang mutlak (yaitu Allah) yaitu mereka yang berada dalam peringkat tinggi yaitu
Tajalli Dzat. Dalam hal ini Ibnu athaillah menyebutkan :
?????????? ??????????? ???????????? ??????? ????????
??????????? ??????? ??? ???????????.
Artinya : Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang
ada dalam rongga dada.
Sedangkan dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman Al-
Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi qalbunya, tanpa
adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan kilatan dalam
kilatan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya siang.
Begitupun qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi siang yang
nikmat, tiada malam sama sekali. Sejalan dengan Ibnu Athaillah yang menyebutkan :
Artinya : Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak
dhahir pada segala sesuatu
Berangkat dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa marifat pandangan Ibnu
Athaillah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan
dua jalan.
Pertama, adalah mawahib atau ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi
anugrah tersebut.
Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu marifat akan dapat diperoleh melalui
usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu,
puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
C. Macam macam Marifat Pandangan Ibnu Athaillah
Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah (komentar) dari beberap
komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari hikmah yaitu kitab khusus yang
menerangkan tiga bagian pokok; aforisme, risalah dan munajat (doa). aforisme atau
aksioma-aksioma spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi
dari seluruh bagian lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam
bagain aforisme.
11. Aforisme mengenai Marifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah marifat iluminatif,
dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan
karya itu keutuhan dan pandangan yang menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Marifat
Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Marifat, dapat dilihat dari tinggkatan-tingkatan
sufisme yang ditulis Ibnu Athailah yakni dibagi mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati
(syuaau lbashirah) atau dapat disebut cahaya akal, mata hati (Ainul bashirah) atau dapat
disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat disebut cahaya
Illahi
Sinar Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan Mata
hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya) Allah,
dan Hakikat Mata hati itulah yang menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan adam
(ketiadaanmu) dan bukan pula wujudmu.
Fikiran itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran yang timbul
karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang salik yang mengambil dalil :
Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik, ialah mereka ahli Itibar. Sedangkan yang
kedua mereka yang terbuka hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan
adanya benda yang dijadikan.
Mengenai yang pertama dapat disebut dengan marifat orang salih dan mengenai yang kedua
dapat disebut marifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan adanya alam, ada yang
langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga ia berkata : Karena adanya pencipta,
maka terjadilah yang dicipta, dan sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga
berkata adanya ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.
hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal (Singkat), tetapi
setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan,
ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan
perincian).
Ilmu adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah ilmu adalah ilham
dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu itu dapat juga disebut ilmu ladunni.
D. Metode Pencapaian Marifat Pandangan Ibnu Athaillah
Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti
ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al
haqiah) segera memeperingatkan kepadanya, bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia
masih berada di depanmu! demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya,
melainkan diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu
ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.
Aforisme Tentang Pencapaian Marifat
??????????? ??? ???????? ???????????? ????? ???????? ???? ??????????? ?????????
12. Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa tenang, atau
bersandar pada sesuatu selain Allah.