Teks ini membahas tentang implikasi perubahan parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap program Pendidikan Nonformal (PNF) di Indonesia. Parameter pendidikan dalam IPM sekarang tidak lagi menghitung tingkat melek huruf dewasa, namun mengukur rata-rata lama sekolah. Perubahan ini berimplikasi pada peran dan kontribusi PNF untuk mendukung pencapaian pembangunan manusia di Indonesia."
Implikasi parameter HDI bidang pendidikan terhadap Program PNF
1. Implikasi Parameter IPM
bidang pendidikan terhadap
program PNF
Edy Hardiyanto
e.hardiyanto@yahoo.co.id
Abstrak
Paska 2010, Badan PBB yang menangani pembangunan tidak lagi
memperhitungkan capaian keaksaraan sebagai koefisien dalam parameter
pendidikan untuk menghitung Human Development Index (HDI, Indeks
Pembangunan Manusia = IPM) suatu negara. Namun demikian, kontribusi dan
tantangan dunia pendidikan non formal di luar sekolah untuk mendukung
pencapaian tidak serta merta dapat diabaikan dan berhenti.
Kata kunci: IPM, PNF
A. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Paradigma pembangunan meletakkan pemahaman mendasar much
more than the rise or fall of national income (UNDP,2010) sebagai
acuan bagi pembangunan manusia di tataran global. Pembangunan
manusia selanjutnya dimaknai sebagai menciptakan lingkungan
tempat masyarakat dapat mengembangkan potensi dirinya agar
produktif, kreatif sejalan kebutuhan dan minat masing-masing.
Pembangunan oleh karena itu memperluas pilihan agar masyarakat
menjalankan hidup berdasarkan nilai yang dimiliki.
Memperluas secara mendasar pilihan masyarakat adalah upaya
mengembangkan kapabilitas yang diartikan sebagai segala sesuatu
yang dapat dilakukan dan diinginkan selama hidup. Kapabilitas utama
dalam pembangunan manusia adalah hidup sehat kesehatan dan
panjang umur, memiliki pengetahuan, memiliki akses terhadap sumber
daya yang dibutuhkan untuk hidup layak dan berpartisipasi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa semua kapasitas utama ini, banyak
pilihan menjadi langka dan banyak kesempatan tidak dapat digunakan.
Perhatian
pembangunan
yang
menekankan
aspek
manusia
berkembang awal 1980-an sebagai bagian kritik atas pembangunan
ekonomi yang tidak memiliki hubungan dengan pilihan individu
manusia seperti keuntungan ekonomi akibat ‘trickle down effect’ hanya
dirasakan pihak tertentu serta peningkatan masalah sosial seperti
kejahatan, ikatan sosial melemah, HIV/AIDS, polusi dll sejalan
pertumbuhan ekonomi.
2. Sejak tahun 1990, konsep pembangunan manusia diterapkan secara
global dan diterbitkan Human Development Report (laporan
pembangunan manusia) oleh United Nations Development Program
(UNDP, Badan Pembangunan PBB) yang menetapkan peringkat kinerja
pembangunan manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan kategori:
- Tinggi
: IPM > 80,0
- Menengah Atas
: 66,0 – 79,9
- Menengah Bawah
: 50,0 – 65,9
- Rendah
: 50,0 < IPM
1
Pengertian dan Batasan
Laporan pembangunan manusia memperkenalkan pengukuran upaya
pembangunan berdasarkan indikator angka harapan hidup, tingkat
pendidikan yang dicapai dan pendapatan masyarakat sebagai
parameter Human Development Index (Gambar 2.1) selanjutnya
digunakan istilah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Gambar 1. Komponen Human Development Index
Sumber: UNDP
IPM digunakan untuk menekankan bahwa manusia dan kapabilitasnya
menjadi kriteria utama dalam mengukur pembangunan suatu negara,
tidak sekedar pembangunan ekonomi semata. IPM dipakai juga untuk
melihat kebijakan nasional serta menjelaskan dua negara
yang
memperoleh Gross National Income (GNI, Pendapatan National Kotor)
dapat mencapai hasil IPM berbeda. Sebagai contoh Kepulauan Bahama
dan Selandia Baru, sekalipun pendapatan per kapita sama, namun
angka harapan hidup dan angka pencapaian sekolah berbeda jauh.
Selandia baru mendapat IPM lebih tinggi dari Kepulauan Bahama,
kenyataan ini dapat ditelusuri merujuk pada prioritas kebijakan
masing-masing pemerintah.
3. 2
Parameter IPM
Laporan tahun 2010, komposit IPM masih mengandalkan pada tiga
pengukuran yaitu kesehatan, pengetahuan dan pendapatan. Indeks
kesehatan tidak berubah seperti laporan tahunan sebelumnya.
Sedangkan indeks pengetahuan atau pendidikan dan indeks ekonomi
mengalami perubahan. Komposit dan hasil perubahan ini akan
digunakan hingga penyusunan laporan di tahun mendatang, seperti
pendidikan yang sekarang mengabaikan nilai melek huruf. Komposit ini
tetap akan digunakan hingga dilakukan kajian ulang atas indeks yang
berlaku.
2.1. Parameter Kesehatan
Seperti rumusan IPM yang digunakan lebih dahulu, kesehatan diukur
dari angka harapan hidup dihitung menggunakan metode tidak
langsung dengan menggunakan dua data dasar, yaitu rata-rata anak
yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Prosedur
perhitungan oleh BPS memanfaatkan sumber data yang dapat
digunakan seperti Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar
Sensus (SUPAS), dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Angka harapan hidup yang diperoleh indeksnya dibandingkan dengan
parameter UNDP yang menetapkan nilai minimum 25 tahun dan nilai
maksimum 85 tahun.
2.2. Parameter Pendidikan
Rumusan pendidikan atau pengetahuan sebelumnya menghitung ratarata angka melek huruf dewasa dan angka partisipasi sekolah (sejak
SD hingga perguruan tinggi). Pada laporan tahunan 2010, parameter
pendidikan berubah dengan menghitung rata-rata lama sekolah
dengan harapan capaian pendidikan masyarakat. Sehingga, laporan
tahunan setelah 2010, kemungkinan besar tidak lagi mencantumkan
rata-rata angka melek huruf dewasa.
2.3. Paramenter Pendapatan
Rumusan pendapatan atau standard hidup sebelum tahun 2009 diukur
melalui GDP per kapita yang disesuaikan berdasarkan Paritas Daya
Beli (dalam Dolar Amerika).
Tetapi pada laporan tahun 2010, pendapatan diukur dari daya beli
yang disesuaikan terhadap Gross National Income (INB, Income
Nasional Bruto) tidak lagi Gross National Product (PNB, Produk
Nasional Bruto). INB mencakup remittance dan pendapatan dari luar
negeri yang memberikan gambaran ekonomi lebih akurat bagi negera
berkembang.
INB menghitung nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dengan
pendapatan dari negara lain seperti bunga dan keuntungan saham
dikurangi pembayaran untuk negara lain. INB meliputi belanja
konsumsi perorangan, investasi kotor perorangan, belanja konsumsi
pemerintah, pendapatan bersih dari asset di luar negeri (penerimaan
4. income bersih) dan nilai kotor ekspor barang dan jasa setelah
dikurangi dua komponen: nilai impor kotor barang maupun jasa serta
pajak usaha tidak langsung. Nilai INB hampir sama dengan PNB jika
tidak dkurangi dengan pajak usaha tidak langsung.
Sebagai contoh, keuntungan perusahaan milik Amerika yang
beroperasi di Inggris akan dihitung sebagai INB Amerika dan PDB
Inggris. Namun tidak dihitung sebagai IND Inggris dan PDB Amerika.
Begitu
pula,
jika
satu
negara
menambah
pinjaman
dan
membelanjakan pendapatan untuk membayar pinjaman akan langsung
mengurangi INB tetapi tidak mengurangi PNB. Konsep PNB sendiri
berhubungan dengan PDB, INB dan INN
Untuk mengukur tingkat perkembangan suatu negara, IPM tidak cukup
dijadikan pijakan. Konsep pembangunan itu sendiri lebih luas dari
cakupan IPM termasuk komposit Inequality-adjusted HDI, Gender
Inequality Index dan Multidimensional Poverty Index. Sebagai contoh,
IPM sendiri belum mereflesikan partisipasi politik atau ketidakadilan
gender. Di dalam IPM dan indeks kompositnya hanya menggambarkan
secara umum beberapa isu utama pembangunan manusia, disparitas
gender dan kemiskinan. Gambaran lengkap tingkat pembangunan
manusia memerlukan analisa informasi dan indikator lain yang dimuat
dalam laporan statistik yang digunakan.
Gambar 2. Nilai IPM (HDI) 2013 (contoh beberapa negara)
Sumber: Aritonang, 2013
B. Pendidikan Nonformal
Dalam lingkup sistem pendidikan nasional, PNF sudah menjadi bagian
dari materi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN). Bersama dengan Pendidikan Formal, diperoleh tingkat
kepercayaan bahwa PNF merupakan jalur yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk setiap warga negara dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan nasional.
5. Dalam turunan peraturan lebih lanjut seperti Peraturan Pemerintah
(PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PPSNP),
PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, PP No. 17
Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
hingga Peraturan Presiden (Perpres) No. 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Tantangan dan peran
maupun kontribusi PNFI menjadi lebih nyata, apalagi jika hendak
dihadapkan terhadap upaya pembangunan manusia. Letak tantangan
dan peran maupun kontribusi PNFI ini dapat dilihat dari kriteria PNF
berdasarkan UUSPN.
1. Kriteria Pendidikan Nonformal
UUSPN belum cukup memberikan gambaran kriteria praktek dan
penyelenggaraan
pendidikan
nonformal,
sedangkan
Peraturan
Pemerintah yang mengatur PNF secara khusus belum ada. Di pihak
lain PP No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah sudah
kurang relevan karena merujuk pada UUSPN No. 2 Tahun 1989. Untuk
itu, UUSPN No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, PP
No. 19 tahun 2005 tentang standar pendidikan nasional, PP No. 17
Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan,
dan Permendiknas No. 49 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan
satuan PNF menjadi sumber referensi utama untuk mendapatkan
kriteria umum, serta referensi lain untuk melengkapi, apalagi ternyata
pendidikan nonformal memiliki sejumlah ragam nama.
a. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang
(UUSPN Pasal 1 Butir 12). Sementara pendidikan formal adalah
jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
(Pasal 1 Butir 11), sedangkan pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan (Pasal 1 Butir 13).
b. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat (UUSPN Pasal 26 Ayat 1).
Pendidikan nonformal pun berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional (UUSPN Pasal 26 Ayat 2). Seiring dengan
pendidikan sepanjang hayat, pendidikan nonformal tidak hanya
diperuntukkan bagi anak school population (Siagian, 1981:61)
Berdasarkan konsep pendidikan seumur hidup (Lihat Gambar I.1),
pendidikan di luar jalur sekolah formal meliputi equivalency
education yang merupakan jalur PNF yang menyediakan pendidikan
dasar bagi warga masyarakat yang disebabkan berbagai alasan
tidak dapat mengenyam pendidikan formal, putus sekolah (DO =
Drop out), putus jenjang. Sementara mereka yang telah
6. meninggalkan pendidikan dasar baik formal maupun non formal
disediakan continuing education, termasuk the opportunity of
enhance their education through informatics (Tinsley dalam Sandov
dan Stanchev, 1988: 81).
75-
50Age
Continuing
Education
(Non formal &
informal)
25School
(formal education)
0
Population (%)
Equivalency
(Non formal
basic education)
100
Gambar 3. EFA & Lifelong Education
Sumber:Kiichi Oyasu, 2007:2
c. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik (UUSPN Pasal 26 Ayat 3). Kursus dan pelatihan
(UUSPN Pasal 26 Ayat 5, serta penjelasan) diselenggarakan bagi
masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Kursus dan
pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk
mengembangkan kemampuan pesera didik dengan penekanan pada
penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan
sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional.
Kursus dan pelatihan dikembangkan melalui sertifikasi dan
akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional.
d. Satuan pendidikan nonformal (UUSPN Pasal 26 Ayat 4) terdiri dari
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
7. kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenisnya.
Dalam praktek sehari-hari, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) adalah suatu wahana luar sekolah yang dicirikan dan
dikelola oleh suatu komunitas tertentu/masyarakat setempat yang
secara khusus berkonsentrasi dalam berbagai usaha pembelajaran
dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan dinamika kebutuhan
masyarakat tersebut1 (Simanjuntak, 2003:2). SoonKarnLearnRoo
ChumChon atau Community Learning Centre sebagai padanan
PKBM di Thailand (ONFEC, 2007: 32) served as a learning centre, a
community forum, a community training centre, a community
reading centre, as well as a coordination centre for community
development. It was operated through the management of the
community committee to create a sense of ownership, facilitated
and supported by both District and Provincial Non-Formal Education
Centres through operations of CLC Facilitators. Sementara di
Jepang Kominkan bertujuan shall provide the people living in
specific areas such as a city, town, or village with education
adapted to meet the demands of actual life and implement
academic and cultural activities, shall contribute to the cultivation
of residents, improve health, develop character, enliven daily
culture, and enhance social welfare (SED dan ACCU, 2008:16).
Di Cina pun terdapat wadah pendidikan masyarakat sebagaimana
CLC yang dinamakan 亚运村文体中心 (Ya Yun Cun Wen Ti Zhong Xin
= Pusat Olah Raga dan Keaksaraan Masyarakat) (Hardiyanto,
2005:9). PKBM bukan satuan pendidikan seperti sekolah formal di
tanah air melainkan merupakan wadah pendidikan kemasyarakatan
(Zubaedi, 2005:182)
berbagai jenis aktifitas atau program
pendidikan yang dirancang untuk melayani masyarakat sebagai
sekolah masyarakat yang diabdikan untuk membuat pusat-pusat
sekolah masyarakat untuk pendidikan, kebudayaan, aktifitas
rekreasi untuk warga di segala usia.
Melalui PKBM yang dicirikan
sebagai pangkalan kegiatan
pendidikan di masyarakat dapat lebih optimal mengembangkan
dinamika sosial masyarakat dalam pendidikan luar sekolah
dibandingkan dengan menempatkan PKBM sebagai satuan PNF
sebagaimana sekolah pada satuan pendidikan formal. Sehingga
mampu menjamin maksud standar pengelolaan PNF sebagaimana
dikehendaki oleh Permendiknas 49 Tahun 2007.
e. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
1
Simanjuntak, Buhai. (2003). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM):
Peluang dan Tantangan dalam Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat.
Makalah Widya Karya Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan
Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional. Tidak Diterbitkan.
8. penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan (UUSPN Pasal 26 Ayat 6). Standar nasional pendidikan
terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,
dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana
dan berkala (UUSPN Pasal 35 Ayat 1). Standar nasional pendidikan
menurut PPSNP meliputi: standar isi, standar proses, kompetensi
lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana
dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian pendidikan (Pasal 2 Ayat 1).
Kriteria PNF tidak cukup dipahami legal formal berdasarkan definisi
konseptual (Silalahi, 2009:118) atau definisi nominal (Black dan
Champion, 2009:160-161)
tetapi juga kenyataan perlu mendapat
perhatian di tengah masyarakat sebagai definisi operasional (Silalahi,
2009:119), terutama pijakan life long education, atau education
permanente yang memiliki gagasan dasar to create a society where
everybody is learning all the time (Finger dan Asun, 2001: 23). Untuk
memudahkan pemahaman terhadap karakteristik khas PNF di tengah
banyak ragam
definisi operasional, maka dalam pembahasan ini
dilihat dari sisi praktis digunakan istilah PNF sebagai adult education
(AE), kedua istilah ini untuk beberapa keadaan sering disilang-artikan.
PNF sebagai AE karena melihat karakteristik program yang lebih
diorientasikan pada orang dewasa (andragogy), berbeda dari
paedagogy. Sedangkan AE sebagai PNF disebabkan AE lebih dominan
menampilkan bentuk kegiatan pendidikan nonformal. It is an
alternative to the very process of institutionalization, commodification
and expertocracy. Adult education is thus synonymous with learning,
as opposed to formal education (Finger dan Asun, 2001:13). Begitu
pula dalam uraian selanjutnya AE diterjemahkan menjadi Pendidikan
Orang Dewasa (POD) sebagai definisi operasional, meski istilah ini
mungkin tidak dikenal luas karena kurang umum atau konstruk yang
tidak secara secara langsung menjadi bagian dari kenyataan empiris
(Black dan Champion, 2009:159).
POD telah menapaki perjalanan panjang seperti di Amerika Serikat,
the process goes on through the media of radio, motion pictures, press
and classroom; for farmers, parents, businessmen, workers, and
housewives; in schools, libraries, museums, settlement houses, and
public auditoriums; with programs ranging from social dancing to
Sanskrit and services ranging from child-care training to old-age
counseling (Sheats, Jayne dan Spence, 1954: 2). Praktek POD (Hely,
1962: 16-17) sampai abad sembilan belas dipengaruhi oleh
philantrophic and religious motives, kemudian menjadi a dynamic of
social change saat pendidikan bagi pekerja pabrik dan tambang di
Inggris dan Denmark dipandang sebagai sarana meningkatkan
partisipasi sosial dan politik menjelang abad kedua puluh. Saat ini,
praktek POD dapat didekati dari tiga skenario: the business school,
9. risk group dan leisure society scenario (Finger dan Asun, 2001:134135). Skenario pertama menempatkan POD sebagai bagian penting
business training and development efforts yang mengarahkan entitas
usaha pada learning organization. Skenario kedua menekankan
praktek
POD
terhadap
akselerasi
kemajuan
industri
yang
mengakibatkan pengangguran dan pendatang baru. Skenario ketiga
menjelaskan praktek POD berkenaan dengan krisis ekonomi yang
memunculkan learning in terms of leisure seperti belajar dekorasi
interior, memasak, membatik.
Penyelenggaraan POD di Amerika Serikat menurut Robert Blakely
(Hely, 1962:101-102) is carried on by established educational
institutions, from elementary schools through universities; informal
educational institutions such as libraries, museums, theatres,
orchestras etc; social organizations – corporations, unions,
government agencies, etc; voluntary organizations: churches,
neighbouhood groups, community committees, clubs and councils,
state/national/international
associations,
societies,
federations,
leagues. Penyelenggaraan ini berdasarkan responden National Center
for Education Statistics tahun 1980 POD consist of courses and other
educational activities, organized by a teacher or sponsoring agency,
and taken by persons beyond compulsory school age. Excluded is fulltime attendance in a program leading toward a high school diploma or
an academic degree (Cross, 1981:51)
Pemilihan bentuk dan metode POD didasarkan pada (Hely, 1962:119120) the stage of society existing dan the adult institutions or
organizations which have been established on the basis of a clear
understanding of social purposes and existing social norms. The
methods used in adult education are extremely varied; they are
designed to meet the needs and aspirations of widely differing
societies. It does not matter whether this method is apparently formal
classroom instruction, or informal study group processes. Audio-visual
aids may provide the basic techniques, or there may be a situation in
wich, as in community development programmes, learning is through
action; in all cases the need for student participations is recognized.
Terdapat enam prinsip POD menurut Brookfield (Galbraith, 1991:6),
yakni:
a. Participation is voluntary, WB mengikuti pembelajaran atas pilihan
sendiri;
b. A respect di antara WB untuk satu sama lain mengembangkan diri;
c. Fasilitasi merupakan proses collaborative;
d. WB dan fasilitator melibatkan diri dalam proses reflection upon
activity, collaborative analysis of activity, new activity, further
reflection, and collaborative analysisi and so on;
e. Fasilitasi mengembangkan WB dalam a spirit of critical reflection;
f. Fasilitasi menekankan self-directed, empowered adults.
10. Mengacu pada The Art and Science of Teaching yang membedakan
paradigma andragogy (andr= dewasa, agogy=memimpin, Latin)
terhadap paedagogy (paid= anak, agogy=memimpin, Latin), Abdulhak
(2000,1) menyebut empat konsep yang menjadikan ciri POD, yaitu:
konsep diri, pengalaman hidup, kesiapan untuk belajar dan orientasi
belajar yang selalu disesuaikan dengan minat dan kebutuhan.
Sedangkan menurut Knowles (Finger dan Asun, 2001:70) untuk
melihat POD dapat digunakan kategori berikut:
a. The learner (warga belajar, WB) memiliki status kemandirian;
b. The need to know oleh fasilitator diartikulasikan dan WB berusaha
memenuhi kebutuhannya;
c. The role of experience menjadi sumber dan pijakan dasar untuk
belajar;
d. Learning, diawali dari kebutuhan intrinsic seseorang
untuk
berkembang dan mengaktualisasikan diri.
e. Learning content, berawal dari masalah hidup berkaitan dengan
WB.
f. Motivation, merupakan citra intrinsic.
Dengan memperhatikan secara seksama rentang dan kategori program
PNF, maka sasaran pencapaian jalur PNF lebih lebar dan luas
dibandingkan jalur pendidikan formal.
Dilihat pada sasaran peserta didik, PNF memiliki besaran mulai dari
usia pra sekolah dan paska sekolah. Besaran ini tentu saja
menciptakan jenis dan bentuk program yang sesuai. Apabila didekati
oleh kerangka berpikir komponen pembangunan manusia, maka
program PNF dapat menyasar pada bidang materi kesehatan, dan
pendapatan
terutama
peningkatan
pendapatan,
begitu
pula
pencapaian lama waktu sekolah setelah komponen melek huruf tidak
lagi menjadi komponen IPM.
Sejak Laporan Global IPM 2010 diterbitkan, dimensi pengetahuan tidak
lagi mencantumkan melek huruf sebagai bagian dari indikator yang
turut menentukan indek pencapaian pendidikan suatu negara. Indeks
pendidikan dihitung berdasarkan rata-rata lama sekolah (dalam tahun)
dan pencapaian pendidikan sekolah diharapkan (dalam tahun).
2. Kaitan Pendidikan Nonformal dan Pencapaian IPM
Dengan pengecualian indeks tuna aksara pada Laporan Global IPM
2010, dan indeks pendidikan hanya meletakkan pada kriteria
pendidikan sekolah formal. Maka dinamika PNF memerlukan
paradigma berpikir baru dalam memberikan sumbangan positif
terhadap peningkatan IPM.
Indeks tuna aksara yang tidak lagi dimasukkan dalam indikator
dimensi pengetahuan IPM telah mewakili keberhasilan program PNF
terutama dalam menyelenggarakan pendidikan keaksaraan selama ini.
Ditambah dengan kenyataan laju pertumbuhan negatif atas jumlah
nir-aksarawan yang tidak berbanding lurus dengan upaya pendidikan
11. keaksaraan, hal ini disebabkan oleh karena jumlah nir-aksarawan yang
berusia di atas 45 tahun telah berkurang secara alami akibat
kematian. Sehingga sejak lima tahun belakang, program keaksaraan
menjadi kurang signifikan mengingat laju pertumbuhan negatif
penduduk alami yang disebabkan oleh kematian. Hal ini tentu berbeda
untuk kasus nir-aksarawan di daerah terpencil dan daerah terasing.
Akan tetapi masih perlu diwaspadai, terhadap gejala menjadi niraksarawan baru atau menjadi nir-aksarawan kembali. Hal ini mungkin
terjadi dan ditengarai sebagai akibat kecenderungan pemanfaatan
hasil teknologi komunikasi yang secara massif, seperti telepon
genggam dan sejenisnya.
Sejak memasuki akhir 2010, kontribusi PNF terhadap pencapaian IPM
akan menjadi signifikan apabila menyandingkan program sesuai
dengan indikator pencapaian hasil pembangunan manusia yang
mengacu pada beberapa dimensi IPM di luar kategori pengetahuan
atau pendidikan yang menjadi garapan utama jalur pendidikan formal.
Sejumlah indikator yang menyediakan ruang gerak untuk PNF
menyumbangkan peran positif terutama dengan mendekatkan pada
tema kesehatan, mewujudkan kehidupan yang layak, pemenuhan
pasar kerja, pemberdayaan perempuan dan pengentasan kemiskinan.
Untuk tema kesehatan, PNF dapat memnyumbangkan program dan
materi pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah mengenai perilaku
hidup sehat, reproduksi, hingga mengusung nutrisi. Selain dapat pula
meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat di luar sekolah
atas persoalan HIV/AIDS, sanitasi lingkungan, pemilihan dan
penggunaan kontrasepsi dengan sehat dan bertanggung jawab,
perawatan bayi dan keluarga, dan lain sebagainya.
Untuk tema mewujudkan kehidupan yang layak, sumbangan program
PNF memberikan kesempatan untuk berkiprah dalam konservasi alam,
peningkatan daya dukung lingkungan, pengelolaan daur ulang
sampah, pemanfaatan lahan kosong atau pekarangan, konversi bahan
bakar minyak menjadi gas, pemanfaatan energi listrik alternatif,
penggunaan ruang terbuka hijau hingga pemeliharaan daerah aliran
sungai.
Untuk tema pemenuhan pasar kerja, PNF dapat menyediakan pilihan
program pendidikan dan pelatihan serta kursus keterampilan,
termasuk pendidikan kewirausahaan. Program ini akan memberikan
imbas langsung pada peningkatan hasil dan pendapatan per kapita
yang menjadi indikator utama IPM.
Sedangkan
pemberdayaan
perempuan,
program
PNF
dapat
menhantarkan program yang membuka peluang kebebasan bagi
perempuan memilih dan memanfaatkan waktu senggang di luar
merawat dan mengasuh anggota keluarga. Pilihan yang dapat
disedikan dapat beragam mulai dari pelatihan keterampilan, kursus
12. singkat termasuk pengajian rutin yang
bahasan aktual masalah yang dihadapi.
mengedapanlan
muatan
Tema pengentasan kemiskinan dapat memberikan PNF keleluasaan
dalam mengembangkan program bagi anak jalanan, pekerja anak,
tuna wisma dan pekerja kurang terampil melalui bentuk kegiatan
pelatihan dan kursus disesuaikan dengan kebutuhan sasaran peserta
didik.
3. Implikasi Pendidikan Nonformal terhadap Pencapaian IPM
Kerumitan dan kompleksitas peran dan kontribusi PNF terhadap
pencapaian IPM menjadi bertambah rumit dan kompleks manakala
kontak langsung dengan program pengurangan penduduk buta aksara
tidak diperhitungkan. Setelah parameter IPM bidang pendidikan tidak
lagi melaporkan rata-rata penduduk buat aksara sebagai koefisien,
masa depan PNF dalam menapaki tanggung jawb terhadap
pembangunan manusia di masa yang akan datang semakin penuh
tantangan. Terutama di tataran praktis penyusun dan pengambil
kebijakan di daerah, perencana dan penentu kebijakan akan berpikir
ulang untuk menetapkan program tanpa memiliki imbas langsung
terhadap pencapaian IPM dan tentu saja ini berdampak terhadap
kucuran alokasi anggaran.
Berdasarkan
besaran
program
yang
menjadi
primadona
penyelenggara PNF dan secara massif merupakan andalan pemerintah,
dalam konteks peningkatan IPM dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pendidikan Keaksaraan
Di tengah keberhasilan program penuntasan penduduk buta aksara
secara nasional masih menyisakan sembilan provinsi dengan
penduduk buta aksara di atas 200 ribu orang (lihat tabel 1.1)
Tabel 1.1. Sembilan Provinsi dengan Penduduk Buta Aksara di atas
200 ribu jiwa 2)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
2
Propinsi
Sumatera Utara
Lampung
Papua
Bali
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Penduduk Buta Aksara
210.127 orang
236.797 orang
243.768 orang
257.206 orang
350.849 orang
520.247 orang
870.115 orang
1.568.111 orang
2.531.237 orang
Yulaelawati, Ella (2011) Paparan Kebijakan Direktorat Pembinaan
Pendidikan Masyarakat Tahun 2012. Tidak Diterbitkan
13. Di beberapa daerah terutama sembilan provinsi pada tabel di atas,
tentu penuntasan penduduk buta aksara mendatangkan beban
biaya penyelenggaraan program keaksaraan dasar dan beban
psikologis menyandang daerah berpenduduk buta aksara.
Kesempatan menjadi terbatas bagi penduduk buta aksara dalam
berperan aktif dalam pembangunan, seperti pemilih aktif hingga
memanfaatkan
fasilitas
pembangunan
yang
mensyaratkan
kemampuan aksara.
Sehingga bagi sembilan provinsi ini, keaksaraan dasar dapat
menjadi prioritas program PNF, sehingga hasil program yang
dicapai secara statistik adalah penerbitan Surat Keterangan Melek
Aksara (SUKMA) sebanyak jumlah penduduk buta aksara dan telah
menyelesaikan jangka waktu 144 jam pembelajaran.
Bagi provinsi lain, program keaksaraan dapat menetapkan layanan
paska keaksaraan dasar seperti Keaksaraan Usaha Mandiri dan
Multi
Keaksaraan
mencakup
keaksaraan
kewirausahaan,
keaksaraan kritis, keaksaraan lingkungan, keaksaraan media,
keaksaraan bencana, dan keaksaraan perdamaian3.
Penyelenggara program PNF dapat mengemas muatan multi
keaksaraan dengan beorietansi pada pemenuhan parameter IPM
seperti kesehatan dan pendapatan masyarakat. Sehingga
kedekatan dan kemitraan dengan pengampu kebijakan di bidang
kesehatan dan pendapatan masyarakat menjadi mutlak, agar
praktek didaktik, metodologi serta satuan pendidikan pada jalur
PNF dapat menopang keberhasilan peningkatan derajat kesehatan
dan pendapatan masyarakat.
Dengan demikian, cukup besar peluang pendidikan keaksaraan
untuk diproyeksikan memberikan jawaban atas analisa Kementrian
Pedesaan dan Daerah Tertinggal terhadap aspek penyebab
ketertinggalan sejumlah daerah terutama dikarenakan SDM
(17.41%) dan perekonomian lokal (18.35%)4. Hanya diperlukan
kemauan kuat dan semangat tinggi dalam menyusun serta
menjalani ‘roadmap’ pendidikan keaksaraan.
b. Pendidikan Kesetaraan
Beberapa tahun terakhir ini, pengelolaan pendidikan kesetaraan
berada di bawah kendali sekolah di jalur pendidikan formal.
Pelaksanaan hingga saat ini, ditengarai masih belum berjalan
3
4
Yulaelawati, Ella. (2011). Paparan Kebijakan Direktorat Pembinaan
Pendidikan Masyarakat Tahun 2012. Tidak Diterbitkan
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan
Informal. (2013). Paparan Peningkatan Kapasitas Program
Pendidikan Masyarakat di Wilayah 3 T. Tidak Diterbitkan.
14. seperti diharapkan. Tentu saja ini lebih disebabkan oleh teknis di
lapangan yang mengabaikan karakteristik out-of-school community
(Call Institute, 2013), sedangkan sekolah kental dengan
karakteristik penduduk sekolah dengan perlakuan belajar yang
kurang memperhatikan struktur pengalaman peserta didik.
Integrasi pengelolaan kesetaraan melalui jalur formal, diharapkan
dapat meningkatkan prevalensi koefisien lama sekolah. Karena
selama ini, lulusan penyelenggaraan equivalency non formal basic
education belum dikalkulasi menjadi suplemen pada koefisien
pencapain lama sekolah.
c. Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH, Life Skills Education)
Kategori pendidikan ini muncul di tengah kenyataan banyak
generasi muda yang berada dalam kelompok usia produktif untuk
bekerja tidak memiliki kesempatan, karena peluang kerja terbatas.
Padahal kelompok usia ini memiliki kapasitas fisik dan intelektual,
bahkan banyak yang sia-sia tidak mendapat perhatian, sehingga
diperlukan panduan dan motivasi agar tidak menjadikan mereka
masalah sosial.
Kecakapan hidup menurut model Targeting Life Skills (TLS) yang
dikembangkan Hendricks adalah skills that help an individual be
successful in living a productive and satisfying life. Berdasarkan
batasan ini Badan Kesehatan PBB mengartikan kecakapan hidup
sebagai the abilities for adaptive and positive behavior that enable
individual to deal effectively with demands and challenges every
day life (Francis, 2012).
Oleh karena itu, PKH menekankan pada kecakapan berpikir,
kecakapan sosial dan kecakapan negosiasi untuk membantu
pemuda berkembang menjadi orang dewasa yang bertanggung
jawab. PKH merupakan program yang memberikan nilai tambah
bagi pemuda untuk memahami dan mengukur kecakapan,
kemampuan dan kebutuhan perkembangan diri mereka sehingga
dapat memberikan kontribusi produktif.
Varian program PKH disadari tidak memiliki interaksi langsung
terhadap koefisien parameter capaian IPM. Akan tetapi, akibat
negatif program PKH yang diterlantarkan dapat memberikan imbas
tidak diharapkan antara lain terhadap parameter kesehatan bahkan
pendapatan per kapita.
d. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Penelitian Elizabeth Pungello (Siscawaty, 2012) menunjukkan hasil
positif kelompok responden yang mengikuti PAUD setelah tiga
puluh tahun. Responden selain secara akademis rata-rata berhasil
menyelesaikan
pendidikan
tinggi,
juga
memperlihatkan
kemampuan kerja yang konsisten.
15. Keberhasilan responden setelah tiga puluh tahun, berdasarkan
penelitian ini dilihat sebagai asosiasi terhadap pengalaman
pendidikan anak usia dini.
Untuk itu, dalam menyongsong kebangkitan dan menghantarkan
seratus tahun kemerdekaan Republik Indonesia, PAUD menjadi
pilihan strategis mempersiapkan generasi untuk tiga puluh tahun
mendatang.
PAUD tidak memiliki korelasi langsung terhadap pencapaian dan
peningkatan IPM, namun secara potensial memberikan dukungan
jangka panjang atas pencapaian derajat IPM.
e. Pendidikan Kepemudaan
Pendidikan ini memusatkan pada karakteristik sasaran
peserta didik yaitu pemuda. Banyak ragam program dan
kelembagaan yang menyelenggarakan pendidikan bagi
pemuda. Penyelenggara pendidikan kepemudaan ini tidak
identik sebagai instansi di bawah kementrian pendidikan dan
kebudayaan.
Andaikata instansi maupun lembaga yang ada benar
menyelenggarakan pendidikan kepemudaan, tentu norma dan
acuan penyelenggaraan pendidikan harus mendapat perhatian
antara lain pemenuhan delapan standar nasional pendidikan.
Terlepas dari pemenuhan norma dan acuan penyelenggaraan,
hasil pendidikan kepemudaan tidak dapat memberikan
sumbangan langsung terhadap pencapaian dan peningkatan
IPM. Seperti hasil
penyelenggaraan PAUD, pendidikan
kepemudaan pun hanya mampu menunjukkan potensi jangka
panjang atas pencapaian IPM. Kecuali apabila pendidikan
kepemudaan memiliki muatan yang serta merta langsung
berkaitan dengan koefisien parameter IPM, seperti kesehatan,
dan peningkatan pendapatan.
f. Pendidikan Pemberdayaan Perempuan
Sasaran pendidikan ini mengutamakan perempuan, terutama
mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak dantinggal
di daerah pedesaan, terpencil atau tertinggal.
Karakteristik
program
pendidikan
ini
lebih
banyak
menawarkan materi kesehatan dan peningkatan pendapatan
keluarga, sehingga dapat dikalkulasi memiliki kontribusi
terhadap pencapaian dan peningkatan IPM. Namun, harus
dipahami bahwa penyelenggaraan pendidikan pemberdayaan
perempuan kerap kali berada di luar kendali instansi/lembaga
di bawah kementrian pendidikan dan kebudayaan. Sehingga,
16. sumbangan hasil pendidikan pemberdayaan perempuan
terhadap IPM tidak mudah diklaim sebagai kontribusi PNF.
g. Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan Kerja,
Pendidikan
Keterampilan
dan
Pelatihan
Kerja
jelas
memberikan pengaruh langsung terhadap peningkatan
pendapatan seseorang. Akan tetapi, proses pendidikan yang
bersifat individu tidak selaras dengan perhitungan ekonomis
pendapatan yang kerap dilakukan secara makro. Sehingga
kalkulasi
sumbangan
perorangan
terhadap
koefisien
pendapatan
hanya
menambah
rumit
perhitungan
dibandingkan dengan mengkalkulasi pendapatan makro yang
diperoleh dibagi jumlah penduduk.
Oleh karena itu, sumbangan pendidikan keterampilan dan
pelatihan kerja menjadi domain bidang ekonomi dibandingkan
dengan
domain
pendidikan.
Kecuali
kelak
dapat
dikembangkan formula yang menunjukkan nilai ekonomis
kategori pendidikan ini.
h. Pendidikan
Lain yang
kemampuan peserta didik.
ditujukan
untuk
mengembangkan
Masih ada praktek pendidikan selain tujuh kategori di atas,
dan seperti kenyataan umum jenis PNF, pendidikan lain ini
pun hanya menunjukkan potensi terhadap pencapaian dan
peningkatan IPM baik di tingkat daerah maupun di tingkat
nasional.
Korelasi program PNF terhadap pencapaian dan peningkatan IPM
di daerah maupun secara nasional tidak dapat dilihat langsung
karena bersifat potensial, apalagi sejak laporan tahun 2010
koefisien melek aksara tidak disertakan sebagai dasar
perhitungan indeks pendidikan.
Sementara itu kesetaraan sebagai basic nonformal education,
selama ini secara politis belum diperhitungkan dalam kalkulasi
indeks rata-rata penduduk yang menyelesaikan pendidikan
sekolah. Begitu pula, ketika kesetaraan sudah dikelola oleh jalur
formal dala tiga tahun terakhir, belum ada kemauan politis
terhadap hasil lulusan kesetaraan dalam memperhitungkan
indeks rata-rata penduduk menyelesaikan pendidikan.
Korelasi besaran program PNF sebagaimana disampaikan di atas
terhadap parameter IPM, baik secara riil maupun potensial
berpengaruh terhadap pencapaian dan peningkatan indeks IPM
dapat digambarkan sebagai berikut:
18. C. Kesimpulan
Tiga kesimpulan yang dapat diperoleh setelah memahami IPM
dan karakteristik PNF adalah:
1. Korelasi PNF memiliki kaitan tidak langsung terhadap
pencapaian IPM
2. Potensi PNF memberikan dampak ikutan terhadap pencapaian
IPM, dan
3. Kedekatan PNF terhadap pencapaian IPM tidak nampa setelah
melek aksara tidak menjadi dasar perhitungan parameter
Sehingga sebagai rekomendasi untuk menjawab sumbangan PNF
terhadap pencapaian IPM diperlukan perangkat, pengumpulan, analisa
data lebih cermat bukan hanya semata mengandalkan kalkulasi
statistik yang menunjukkan korelasi linear sederhana.
Dengan demikian pemerhati, praktisi PNF tidak perlu merendahkan diri
jika menghadapi pertanyaan atas kontribusi PNF bagi pencapaian IPM.
Sikap kooperatif untuk menunjukkan kontribusi PNF terhadap IPM
membutuhkan kerangka pikir, paradigm atas kenyataan pendidikan
terhadap pembangunan secara umum dibandingkan terhadap kalkulasi
ekonomi pembangunan secara khusus.
19. Daftar Bacaan
Abdulhak, Ishak. (2000) Strategi Membangun
Pembelajaran Orang Dewasa, Bandung: Andira.
Motivasi
dalam
Black, James A. dan Dean J. Champion. (2009). Methods and Issues in
Social Research, Diterjemahkan oleh: E. Koswara, Dira Salam,
dan Alfin Ruzhendi, Cetakan Keempat, Bandung: Refika Aditama.
Call
Institute. (2013). Lifelong Learning: Engaging for future
betterment.
ON
LINE.
Tersedia
pada:
http://callhardy.blogspot.com/2013/03/lifelong-learning-engaging-forfuture.html?m=1 Diunduh pada hari Rabu, 5 Juni 2013 jam
22.45.
Cross, Patricia K. (1981). Adults as Learners: Increasing Participation
and Facilitating Learning, San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Finger, Matthias dan Jose Manuel Asun. (2001). Adult Education at The
Crossroads: Learning Our Way Out, London dan New York: Zed
Books.
Francis, Margaret. (2012) Life Skills Education. ON LINE. Tersedia
pada:http://changingminds.org/articles/articles/life_skills_educati
on.htm Diunduh pada hari Rabu, 29 Pebruari 2012 jam 03.05.
Galbraith, Michael W. (1991). Adult Learning Methods: A guide for
Effective Instruction. Second Printing, Florida: Krieger Publishing
Company.
Hardiyanto, Edy (2005) Menurut Siapa? PKBM tidak ada di Cina?. Gita
Setra: Himbauan Dari dan Untuk Lapangan. Edisi Juni 2005. Th
XXIII Nomor 64.
Hely, A.S.M. (1962). New Trends in Adult Education: From Elsinore to
Montreal, Paris: UNESCO.
Aritonang, Margareth S. (2013) RI makes progress in HDI,
but
still
below
regional
average.
ON
LINE.
Tersedia
pada:
http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/16/ri-makesprogress-hdi-still-below-regional-average.html Diunduh pada hari
Rabu, 21 Agustus 2013 jam 10.20.
ONFEC. (2007). Development of Literacy and Nonformal Education in
Thailand, Bangkok: Office of the Non-Formal Education
Commission, Office of the Permanent Secretary, Ministry of
Education, Kingdom of Thailand.
20. Oyasu, Kiichi (2007) Expanding Learning and Time Space, Systematic
Resource Development and Capacity Building Presentation, Hanoi
– Vietnam September 2 – 5.
Sandov, Blagovest and Ivan Stanchev (Ed.) (1988) Children hildren in
the Information Age: Opportunities for Creativity, Innovation and
New Activities. Selected Papers from the Second International
Conference, Sofia, Bulgaria, 19-23 May 1987, Oxford et.al.:
Pergamon Press.
SED dan ACCU. (2008). Kominkan: Community Learning Centers (CLC)
of Japan, Tokyo: Social Education Division and Asia/Pacific
Cultural Centre for UNESCO.
Sheats, Paul H., Clarence D. Jayne dan Ralph B. Spence. (1954). Adult
Education: The Community Approach, New York: Dryden Press.
Siagian, S.P. (1981). Sistem Informasi untuk Pengambilan Keputusan.
Cetakan VI, Jakarta: Gunung Agung.
Siscawaty, Evy. (2012). Manfaat Pengasuhan Anak Bermutu Tinggi
tetap terasa Ketika Individu telah berusia 30 Tahun. ON LINE.
Tersedia
pada:
http://www.faktailmiah.com/2012/05/14/manfaat-pengasuhananak-bermutu-tinggi-tetap-terasa-ketika-individu-telah-berusia30-tahun.html Diunduh pada hari Minggu, 21 September 2012
jam 13.30.
Silalahi, Ulber. (2009). Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika
Aditama.
Tunggara, Ki dan Jatmiko (2006) Makali Heri Santoto dan PKBM AlHikmah: Gigih Berjuang Melawan Tri Buta. MISI: Majalah Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal. Figur. Vol 1.
Edisi 1. Desember 2006.
UNDP (2010) Human Development Report 2010. ON LINE. Tersedia
pada:
http://hdr.undp.org/en/media/HDR_20072008_EN_Complete.pdf
Diunduh pada hari Rabu, 15 Juni 2011 jam 03.30.
Zubaedi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan
Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.