2. ULASAN
Apoteker Menurut Peraturan Perundang-undangan
Apoteker yang maksud di sini adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
(Pasal 1 poin 5 PP 51/2009).
Apotek itu sendiri adalah sarana dan salah satu Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yakni sarana
yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di antara fasilitas–fasilitas
lainnya seperti instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama (Pasal 1 poin 11 dan poin 13 PP 51/2009).
Standar Pelayanan Kefarmasian
Prinsipnya, dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Di samping itu, penyerahan dan
pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (Pasal 21 ayat1 dan 2 PP
51/2009).
Jadi, terkait soal pemberian obat dari apoteker kepada pasien, ada standar pelayanan yang
wajib dipatuhi oleh apoteker yang bersangkutan. Standar pelayanan ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian.
Menurut Permenkes 35/2014 ini, Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua)
kegiatan, yaitu:
1. Kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
2. Pelayanan farmasi klinik.
Apoteker sebagai Pelaku Usaha
Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal
baik perorangan maupun perusahaan (Pasal 25 ayat 1 PP 51/2009). Ini menunjukkan bahwa
apoteker bertindak juga sebagai pelaku usaha.
Terkait soal kelalaian dalam memberikan obat, sebagai pelaku usaha, apoteker salah satunya
dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 8 ayat 1 huruf a UU Perlindungan Konsumen). Jika
pelaku usaha melanggar kewajiban ini, maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) (Pasal 62 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen).
3. Standar Pelayanan Kefarmasian Terkait Pemberian Obat oleh Apoteker
Standar yang dipersyaratkan ini menjadi tolak ukur untuk menilai kelalaian apoteker dalam
memberikan obat. Secara umum, standar-standar pelayanan Kefarmasian itu antara lain
adalah: (Lampiran Permenkes 35/2014)
1. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain adalah pembentukan informasi obat dan konseling kepada pasien yang
membutuhkan.
2. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi,
mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problem), masalah
farmakoekonomi, dan farmasi sosial (sociopharmacoeconomy).
Sedangkan secara khusus, terkait pemberian obat, standar pelayanan kefarmasian atau yang
khususnya dikenal sebagai Pelayanan farmasi klinik yang wajib dipatuhi apoteker adalah:
(BAB III Lampiran Permenkes 35/2014).
1. pengkajian Resep; meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan
klinis
2. dispensing; terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Di samping itu, profesi apoteker juga mengacu pada Kode Etik Apoteker Indonesia dan
apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya maka apoteker dapat
dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia:
“Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak pasien, dan melindungi makhluk hidup
insani.”
Salah satu penjabarannya: seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada
pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, khasiat, dan cara pakai obat yang tepat.
undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 telah mengatur secara ketat prosedur
pembuatan obat, pengamanan, sampai pendistribusian obat, hanya boleh dilakukan oleh
tenaga kesehatan, dalam hal ini apoteker.
4. Kesimpulan:
Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Apoteker harus memperhatikan standar
pelayanan kefarmasian di Apotek. Disamping itu, apoteker juga harus mengacu pada Kode
Etik Apoteker Indonesia dan apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan
tugasnya maka apoteker dapat dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Apoteker
dapat dijadikan tersangka karena melanggar undang-undnag yang berlaku.