Laporan ini membahas tiga hal utama: (1) menganalisis alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah, (2) menilai efisiensi utang dalam dan luar negeri, dan (3) merekomendasikan reprofiling obligasi pemerintah. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio utang Indonesia masih aman tetapi perlu mengkonversi utang luar negeri menjadi dalam negeri. Utang luar negeri lebih tidak efisien diband
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
1. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GADJAH MADA
LAPORAN AKHIR
STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI
DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN
ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL
BORROWING
Diajukan Kepada
Departemen Keuangan Republik Indonesia
Badan Analisa Fiskal
2004
2. UCAPAN TERIMA KASIH
Laporan ini dapat diselesaikan tepat waktu berkat bantuan berbagai pihak yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu. Untuk itu Tim PPE FE UGM mengucapkan terima
kasih yang setinggi-tinginya kepada berbagai pihak tersebut. Ijinkan kami secara
khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak berikut. Pertama, terima
kasih kepada Bapak Dr. Anggito Abimanyu, Bapak Dr. Heru Subiyantoro, Bapak
Noeroso L. Wahyudi, dan Bapak Almizan Ulfa dari Badan Analisa Keuangan
Departemen Keuangan (yang ketika laporan ini dalam proses penyelesaian telah
berubah nama menjadi Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama
Internasional atau disingkat Bapekki) atas kesempatan dan kepercayaan yang
diberikan kepada PPE FE UGM untuk melaksanakan studi ini. Selain memberi
kesempatan emas ini, mereka juga tidak pernah henti menyediakan waktu untuk
diskusi, men-supply data dan memberi saran-saran.
Tim PPE FE UGM juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. A. Fuad
Rahmany, Bapak Dr. Rahmat Waluyanto, Bapak Dr. Andin Hadiyanto, dan Bapak
Kunta Wibawa Dasa Nughraha, Ibu Ayu Sukorini dan Bapak Agung Galih Satwiko
dari Departemen Keuangan atas waktu yang telah disediakan untuk berdiskusi dan
memberikan saran perbaikan dan bahkan menyediakan data yang sangat berharga
dalam mempertajam analisis studi ini. Secara khusus kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Rahmat Waluyanto yang sangat antusias menyediakan waktu
untuk memberi komentar atas laporan awal studi ini di tengah kesibukan beliau yang
sangat padat serta menyediakan meminjamkan kepustakaan pribadinya.
Terima kasih kepada Bapak Budi Mulya dari Bank Indonesia atas kesempatan untuk
berdiskusi masalah manajemen utang serta saran dan masukan yang telah
diberikan. Saran beliau telah memberi kami perspektif yang lebih komprehensif
dalam melihat dan menganalisis studi ini.
Tim PPE FE UGM juga berterima kasih kepada tim LPEM FE UI dan LP3E FE
UNPAD atas kerja sama yang sangat baik selama ini. Kedua institusi yang ternama
tersebut dan kami mengerjakan studi dengan tema serupa pada saat yang sama.
Dalam pelaksanaannya, studi ini melibatkan pula sejumlah asisten peneliti. Untuk itu
kami mengucapkan terima kasih kepada (berdasarkan urutan nama depan): Aisyah,
Anang Budi Gunawan, Andhyka Imam Buchori, Anggoro Budi Nugroho, Betti Rosita
Sari, Nurul Yuniataqwa, Primayanti, Putu Mahendra Diana, R. Sita Dewi
Kusumaningrum, Silvi Hafianti, dan Vica Sakti Mantong Tendenan. Tanpa mereka,
studi ini hampir tidak mungkin dapat diselesaikan tepat waktu.
Semoga studi ini dapat memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan
mengenai manajemen utang pemerintah di masa mendatang. Segala kesalahan isi
laporan tetap menjadi tanggung jawab tim peneliti.
Ketua Tim Peneliti
Bagus Santoso
ii
3. ABSTRAK
ABSTRAK - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR
NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN
ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING
Studi ini memiliki tiga ruang lingkup penelitian, yaitu (1) menemukan alternatif terbaik
kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah, (2) mengidentifikasi efisiensi
kebijakan pembiayaan yang ada, dan (3) menemukan alternatif terbaik portofolio
utang komersial jangka menengah. Pertama, dalam studi ini dihitung perkiraan
natural debt limit (NDL) untuk perekonomian Indonesia, diestimasi fiscal policy
reaction function, serta dilakukan simulasi rasio utang terhadap PDB. Hasil simulasi
NDL menunjukkan bahwa rasio utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal
bayar. Sedangkan hasil estimasi fiscal policy reaction function menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia telah sangat responsif dan berhati-hati dalam menjalankan
kebijakan utangnya. Namun dari hasil simulasi rasio utang terhadap PDB
menunjukkan bahwa Indonesia perlu mengkonversi sebagian utang luar negerinya
menjadi utang dalam negeri, agar rasio utang luar negeri tersebut dapat mencapai
15 persen (suatu batas aman agar utang Indonesia berkesinambungan). Kedua,
hasil estimasi menunjukkan bahwa walaupun biaya utang luar negeri lebih rendah
dibandingkan dengan utang domestik, namun jika mempertimbangkan adanya biaya
kondisionalitas yang menyertai utang luar negeri menyebabkan utang luar negeri
lebih tidak efisien. Ketiga, dalam upaya menemukan alternatif terbaik portofolio utang
komersial pemerintah jangka menengah, maka beban utang komersial jatuh tempo
dapat dimoderasi dengan upaya reprofiling utang. Studi ini merekomendasi dua
metode reprofiling utang.
iii
4. DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Penelitian…………………………………………………………………………… 1
1.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………………. 1
1.3 Latar Belakang…………………………………………………………………………… 1
1.4 Metodologi Penelitian……………………………………………………………………. 5
Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah………………. 5
Efisiensi Utang Dalam dan Luar Negeri……………………………………………….. 8
Portofolio Utang Komersial Pemerintah……………………………………………….. 9
Data yang Digunakan……………………………………………………………………. 9
BAB 2 STUDI PUSTAKA MANAJEMEN UTANG
2.1 Latar Belakang……………………………………………………………………........... 10
2.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang …………………………………………............ 11
Definisi..................................................................................................................... 11
Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian................................................... 12
Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal............................................................ 14
Kesinambungan Fiskal........................................................................................... 15
Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan
Fiskal....................................................................................................................... 16
Konsolidasi Fiskal.................................................................................................... 21
Koordinasi Fiskal..................................................................................................... 23
Manajemen Utang Pemerintah................................................................................ 24
Kesalahan-kesalahan dalam Manajemen Utang................................................... 26
Pembayaran Utang................................................................................................ 28
Restrukturisasi Utang............................................................................................. 30
2.3 Studi Empiris Manajemen Utang………………………………………………………. 34
Kasus Negara-negara OECD................................................................................. 36
Kasus Negara-negara Emerging Market............................................................. 42
Kasus Negara-negara HIPC................................................................................ 43
Kasus Uni Eropa................................................................................................. 46
Kasus Eropa Tengah.......................................................................................... 47
Kasus Sub Sahara.............................................................................................. 47
Kasus Eritrea....................................................................................................... 48
Kasus Gabon ...................................................................................................... 49
Kasus Filipina...................................................................................................... 49
Kasus Indonesia................................................................................................... 50
iv
5. BAB 3 STUDI PUSTAKA PASAR OBLIGASI
3.1 Pasar Obligasi Pemerintah.................................................................................. 59
Tujuan Pasar Obligasi Pemerintah...................................................................... 59
Dampak Obligasi Pemerintah terhadap Perekonomian....................................... 60
Karakteristik Obligasi Pemerintah........................................................................ 61
Upaya Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi............................................... 62
Pasar Obligasi dan Sektor Perbankan................................................................. 63
3.2 Optimal Borrowing............................................................................................... 64
Strategi Manajemen Utang................................................................................. 67
Aspek Manajemen Risiko.................................................................................... 68
3.3 Pasar Obligasi Regional...................................................................................... 70
3.4 Pemeringkatan Utang Publik............................................................................... 79
BAB 4 DATA
4.1 Sumber dan Jenis Data..................................................................................... 84
4.2 Negara Sampel Studi........................................................................................ 85
Data dalam Tabel dan Grafik............................................................................. 89
4.3 Gambaran Indikator........................................................................................... 89
Rasio Utang terhadap PDB................................................................................ 89
Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB.............................. 93
Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB............................................... 97
Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB..................................................... 101
Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang................................... 105
Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB........................................................... 108
Rasio Utang terhadap Penerimaan................................................................... 111
4.4 Data Indonesia................................................................................................. 113
Rasio Utang terhadap PDB Indonesia............................................................... 114
Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia.............. 114
Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia.............................. 115
Biaya Pinjaman Dalam Negeri........................................................................... 116
Biaya Pinjaman Luar Negeri.............................................................................. 117
BAB 5 ALTERNATIF TERBAIK KEBIJAKAN PEMBIAYAAN APBN JANGKA
MENENGAH
5.1 Latar Belakang .................................................................................................. 121
5.2 Kesinambungan Keseimbangan Primer (Primary Balance) .........................…. 126
5.3 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB .................................................... 137
5.4 Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan
Rasio Utang terhadap PDB Indonesia .............................................................. 145
BAB 6 EFISIENSI UTANG
6.1 Pengertian Pinjaman yang Efisien..................................................................... 159
6.2 Country Risk Indonesia...................................................................................... 160
6.3 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia........ 164
6.4 Conditionalities Pinjaman Luar Negeri............................................................... 166
6.5 Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia........................ 169
6.6 Portofolio Utang.................................................................................................. 171
v
6. BAB 7 REPROFILING OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA
7.1 Latar Belakang……………………………………………………………………… 174
7.2 Portofolio Utang Pemerintah……………………………………………………… 175
7.3 Risiko-risiko Obligasi………………………………………………………………. 176
7.4 Beberapa Alternatif Restrukturisasi Utang………………………………………. 177
7.5 Penataan Kembali Maturitas (Reprofiling) dan Konsekuensinya……………... 179
Metode Rata-rata............................................................................................. 179
Metode Rasio Tetap Beban Utang Obligasi Pemerintah Jatuh Tempo
terhadap PDB.................................................................................................. 183
7.6 Reprofiling dan Kapasitas Anggaran Pemerintah………………………………. 189
BAB 8 KESIMPULAN
8.1 Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah……........ 191
8.2 Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri…………………………………. 193
8.3 Reprofiling Obligasi Pemerintah Indonesia……………………………………… 194
Lampiran 1: Daftar Pustaka…………………………………………………….. 197
Lampiran 2: Daftar Pertanyaan In-Depth Interview………………………….. 205
Lampiran 3: In-depth Interview dengan Narasumber………………………….. 207
Lampiran 4: Hasil Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance)
terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB untuk
Indonesia……………………………………………………………. 211
Lampiran 5: Ringkasan Butir-Butir Kesepakatan dalam Letter of Intent
(LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF……………….. 225
vi
7. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang
terhadap PDB (b) …………………………………………………………… 7
Gambar 2.1 Perkembangan Utang Meksiko, 1990-2000..…………………………….. 36
Gambar 2.2 Perkembangan Utang Jerman, 1990-1999.….....……………………….. 37
Gambar 2.3 Perkembangan Utang Belgia, 1989-1998.…………..……………………. 39
Gambar 2.4 Perkembangan Utang Jepang, 1984-1990………………….................... 40
Gambar 2.5 Perkembangan Utang Amerika Serikat, 1990-2002.…………………….. 41
Gambar 2.6 Perkembangan Utang Filipina, 1992-2001..……..……………………….. 50
Gambar 2.7 Perkembangan Utang Indonesia, 1990-2004......................................... 51
Gambar 3.1 Pengeluaran Obligasi Amerika Serikat, Eropa dan Jepang Menurut
Sumber Pendanaan (dalam US$ Miliar)................................................ 64
Gambar 3.2 Utang Publik yang Outstanding di Asia, Desember 2003...................... 73
Gambar 3.3 Yield Obligasi Pemerintah Filipina......................................................... 75
Gambar 3.4 Yield Obligasi Pemerintah Thailand....................................................... 75
Gambar 3.5 Yield Obligasi Pemerintah Indonesia..................................................... 76
Gambar 3.6 Yield Obligasi Pemerintah Malaysia........................................................ 76
Gambar 3.7 Yield Obligasi Pemerintah Singapura.................................................... 77
Gambar 3.8 Rata-rata Bulanan Nilai Tukar MYR (Ringgit) Terhadap USD dan Yen
Jepang................................................................................................... 77
Gambar 3.9 Yield Obligasi Pemerintah Korea Selatan.............................................. 78
Gambar 4.1 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002…. 90
Gambar 4.2 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market,
1990-2002...………………………………………………………………….. 91
Gambar 4.3 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2001....... 91
Gambar 4.4 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002… 92
Gambar 4.5 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2003……. 92
Gambar 4.6 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
OECD, 1988-2002…………………………………………………………… 93
Gambar 4.7 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
Emerging Market, 1990-2001………………………………….…………… 94
Gambar 4.8 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
HIPC, 1984-2000…………………………………………………………….. 95
Gambar 4.9 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
ASEAN, 1990-2002………………………………………………………….. 96
Gambar 4.10 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
Asia, 1990-2002……………………………………………………………… 96
Gambar 4.11 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
OECD, 1988- 2002………………………………………………………...... 97
Gambar 4.12 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
Emerging Market, 1990-2001….............................................................. 98
Gambar 4.13 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
HIPC, 1984-2001……………………………………………………………. 99
Gambar 4.14 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
ASEAN, 1990-2002…………………..........……………………………….. 100
vii
8. Gambar 4.15 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
Asia, 1990-2002……………………………………………………………… 100
Gambar 4.16 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
OECD, 1988-2002………………………..…………………………………. 101
Gambar 4.17 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
Emerging Market, 1990-1999.................................................................. 102
Gambar 4.18 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
HIPC, 1984-2002…………………………………………………………….. 103
Gambar 4.19 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
ASEAN, 1990-2002………………………………..………………………... 104
Gambar 4.20 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Asia,
1990-2002……………………………………………………………………. 104
Gambar 4.21 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di beberapa
Negara OECD, 1988-2002…………………...…………………………….. 105
Gambar 4.22 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa
Negara HIPC, 1990-2001……………………….………………………….. 107
Gambar 4.23 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa
Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………. 107
Gambar 4.24 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa
Negara ASEAN, 1990-2002………………………………………………… 108
Gambar 4.25 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD,
1988-2002……………………………………………………………………. 108
Gambar 4.26 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia,
1990-2002……………………………………………………………………. 109
Gambar 4.27 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN,
1990-2002……………………………………………………………………. 110
Gambar 4.28 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC,
1984-2000……………………………………………………………………. 111
Gambar 4.29 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia., 1980-2004........................……. 114
Gambar 4.30 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia,
1980-2004……………………………………………………………………. 115
Gambar 4.31 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia, 1980-2004 115
Gambar 4.32 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1980-2004…… 116
Gambar 5.1 Rasio Keseimbangan Primer Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ...... 136
Gambar 5.2 Rasio Utang Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ............................… 144
Gambar 6.1 Suku Bunga SIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004.........................................… 160
Gambar 6.2 Suku Bunga LIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004............................................. 160
Gambar 7.1 Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri Pemerintah 1999 –
2010…………………………………………………………………………… 180
Gambar 7.2 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sebelum
Reprofiling)…………………………………………………………………… 181
Gambar 7.3 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sesudah
Reprofiling)…………………………………………………………………… 183
Gambar 7.4 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
4 Persen (Sebelum Reprofiling)……………………………………………. 184
Gambar 7.5 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
4 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………………. 184
Gambar 7.6 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
4,5 Persen (Sebelum Reprofiling)…………………………………………. 185
Gambar 7.7 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
4,5 Persen (Sesudah Reprofiling)…………………………………………. 185
Gambar 7.8 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
5 Persen (SebelumReprofiling)…………………………………………….. 186
Gambar 7.9 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
5 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………………. 186
viii
9. Gambar 7.10 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
5,5 Persen (Sebelum Reprofiling)……………………………………….. 187
Gambar 7.11 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
5,5 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………….. 187
Gambar 7.12 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
6 Persen (Sebelum Reprofiling)………………………………………….. 187
Gambar 7.13 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
6 Persen (Sesudah Reprofiling)………………………………………….. 188
ix
10. DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)............................................... 3
Tabel 1.2 Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan
Tipe Kreditur ................................................................................................ 4
Tabel 2.1 Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001 .................. 11
Tabel 2.2 Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB) .................................................... 14
Tabel 2.3 Negara-Negara yang Sukses dalam Melakukan Konsolidasi Fiskal........... 22
Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Menghambat Persiapan Poverty Reduction Strategy
Papers (PRSP) dan Negara-Negara HIPC yang Mengalaminya ................ 44
Tabel 2.5 Indikator Utang Negara-Negara Berkembang dan HIPC ............................ 45
Tabel 2.6 Utang Luar Negeri Indonesia, 1990-2002 ................................................... 51
Tabel 2.7 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 2000-2003........ ............................. 53
Tabel 2.8 Rasio Keseimbangan Utang Eksternal dengan Ambang Batas Alternatif,
2000............................................................................................................. 55
Tabel 2.9 Komparasi Rata-rata 5 Indikator Utang Indonesia dengan Negara-Negara
OECD dan HIPC, 1992 – 1999................................................................... 56
Tabel 2.10 Struktur Pinjaman Domestik dan Luar Negeri Indonesia , 1992-1999
(dalam US$ juta)......................................................................................... 57
Tabel 2.11 Rasio Utang Luar Negeri terhadap Total Penerimaan untuk Negara-negara
HIPC, OECD dan Indonesia, 1992-1999..................................................... 57
Tabel 3.1 Perkembangan Pasar Sekuritas Emerging Market……………………........ 60
Tabel 3.2 Tipe Utang Domestik (Obligasi) menurut Suku Bunga, 2000 (% terhadap
Total Utang)……..…………………………………………………… 61
Tabel 3.3 Penerbit Surat Utang Domestik, 2000 (% terhadap Total Utang)………… 62
Tabel 3.4 Total Pembiayaan Eksternal yang Outstanding, 2001 (% PDB)................. 71
Tabel 3.5 Struktur Obligasi yang Outstanding, 1994 dan 2000 (% terhadap Total
Utang)… ………………………………………………………………………… 72
Tabel 3.6 Kriteria-kriteria Region Negara Klub B………………………………………. 80
Tabel 3.7 Obligasi Denominasi USD yang Beredar di Asia dan Rating-nya, 31
Agustus 2004…………………………………………………………………... 81
Tabel 3.8 Pemeringkatan Obligasi Pemerintah 14 Negara Asia, 12 November
2004……………………………………………………………………………… 82
Tabel 3.9 Pemeringkatan Indonesia Menurut 4 Lembaga Penilai……………………. 83
Tabel 4.1 Rasio Pembayaran Bunga utang terhadap Total Utang di Beberapa
Negara Emerging Market , 1992-1999........................................................ 106
Tabel 4.2 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging
Market, 1992-1999…………….................................................................... 109
Tabel 4.3 Rasio Utang terhadap Penerimaan Beberapa Kelompok Negara,
1992-1999……………………………………………………………………….. 112
Tabel 4.4 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Dalam Negeri …………………………….. 117
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Luar Negeri ……………………………….. 118
Tabel 4.6 Hasil Estimasi Forward Discount dan Biaya Pinjaman Luar Negeri …….. 119
Tabel 4.7 Hasil Estimasi Rata-Rata Biaya Pinjaman…… …………………………….. 120
Tabel 5.1 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Dalam Negeri……………………. 124
Tabel 5.2 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri………………………. 124
x
11. Tabel 5.3 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri dengan Forward
Discount…………………………………………………………………………. 124
Tabel 5.4 NDL Indonesia dengan Rata-rata Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan
Luar Negeri……………………………………………………………………… 125
Tabel 5.5 Biaya Pinjaman untuk Berbagai Macam NDL………………………………. 125
Tabel 5.6 Determinan dari Surplus Anggaran............................................................ 127
Tabel 5.7 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara
Industrialis, 1990-2002………………………………………………………… 128
Tabel 5.8 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara
Emerging Market , 1990-2002……….……………………………………….. 129
Tabel 5.9 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Seluruh
Negara OECD, 1990-2002……………………………………………………. 131
Tabel 5.10 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara
Maju OECD, 1990-2002.………………………………………………………. 132
Tabel 5.11 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-
negara HIPC, 1990-2002…….……………………………………………….. 133
Tabel 5.12 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-
negara ASEAN, 1990-2002…………………………………………………… 134
Tabel 5.13 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia,
1970-2004……………………………………………………………………….. 135
Tabel 5.14 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Keseimbangan
Primer terhadap PDB……...…………………………………………………… 136
Tabel 5.15 Determinan dari Perubahan Rasio Utang terhadap PDB………………….. 138
Tabel 5.16 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Seluruh Negara OECD,
1990-2002…………………………………………………………………..…… 139
Tabel 5.17 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara Maju OECD
1990-2002……………………………………………………………………….. 140
Tabel 5.18 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara HIPC
1990-2002……………………………………………………………………….. 141
Tabel 5.19 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara Emerging
Market, 1990-2002…………….……………………………………………….. 142
Tabel 5.20 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-Negara ASEAN
1990-2002……………………………………………………………………….. 143
Tabel 5.21 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 1970-2004…….. 144
Tabel 5.22 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB.. 145
Tabel 5.23 Dampak Perubahan Tahun Dasar Perhitungan PDB terhadap Rasio
Utang Pemerintah ……………………………………………………………… 146
Tabel 5.24 Asumsi Pendapatan Kapital dan Off-Budget Loss dalam Simulasi Rasio
Keseimbangan Primer terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB.... 147
Tabel 5.25 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untukl Berbagai Tingkat
Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993)………………………….. 148
Tabel 5.26 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat
Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ...........................…....... 150
Tabel 5.27 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer
1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 1993)......................................................... 152
Tabel 5.28 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer
1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 2000) ...................................................... 153
Tabel 5.29 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai
Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993) ......................... 155
Tabel 5.30 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai
Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ......................... 157
Tabel 6.1 Statistik Deskriptif Peringkat Risiko Beberapa Negara Berkembang,
1998-1999……………………………………………………………………….. 162
Tabel 6.2 Suku Bunga T-Bond 10 Tahun................................................……………. 162
Tabel 6.3 Peringkat dan Premi Risiko Beberapa Negara Berkembang……………… 163
xi
12. Tabel 6.4 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri
Indonesia………………………………………………………………………. 165
Tabel 6.5 Nilai dan Bobot Komponen Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri
Indonesia................................................................................................. 165
Tabel 6.6 Serangkaian Conditionalities yang Pernah Diterapkan IMF pada
Negara Debitur........................................................................................ 167
Tabel 6.7 Simulasi Expected Cost of Borrowing Portofolio Utang pada Berbagai
Bobot…………………………………………………………………………... 172
Tabel 7.1 Utang Dalam dan Luar Negeri Indonesia, 1997- 2004............................ 175
Tabel 7.2 Profil Pinjaman Pemerintah, Oktober 2004............................................. 173
Tabel 7.3 Skedul Reprofiling Obligasi Pemerintah, 2004-2020............................... 182
Tabel 7.4 Pembobotan Beban Reprofiling, 2007-2009............................................ 182
Tabel 7.5 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja APBN 2004 dan
RAPBN 2005........................................................................................... 189
Tabel 7.6 Skedul Pembayaran Bunga Utang.......................................................... 190
xii
13. Bab
1
PENDAHULUAN
METODOLOGI - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR
NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN
ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING
1. 1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian atau penelitian secara mendalam dan hati-
hati terhadap manajemen utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah dan
assessment terhadap optimal borrowing.
1.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian
Output utama dan ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Menemukan alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah.
2. Mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada.
3. Menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial jangka menengah.
1.3 Latar Belakang
Sejak krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997, yang akhirnya menjadi krisis multi-
dimensi, perekonomian Indonesia belum dapat pulih sepenuhnya. Tanda-tanda
pemulihan krisis ekonomi mulai nampak, namun belum menunjukkan sinyal yang sangat
prospektif.
Krisis tersebut bermula dari krisis moneter di Thailand dan menular ke Indonesia dan
negara-negara lain di Asia Timur, termasuk misalnya Malaysia dan Korea. Kedua negara
tersebut terakhir telah mampu keluar dari krisis dan kembali menempuh jalur
1
14. pertumbuhan ekonomi tinggi. Sementara itu, Indonesia masih harus berkutat dengan
pertumbuhan ekonomi rendah (yaitu 4 persen nilai proyeksi tahun 2004). Pertumbuhan
ekonomi ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi negara sedang berkembang lain,
yaitu mereka diperkirakan tumbuh sebesar 5,6 persen tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi
yang rendah tersebut membawa konsekuensi serius pada ketidakmampuan menyerap
tingkat pengangguran yang tinggi.
Sebelum krisis menerpa beberapa negara Asia, Indonesia mengalami masa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang (6,8 persen tahun 1985-1994 dan
8,1 persen tahun 1995-1996) dengan defisit APBN yang relatif kecil. Indonesia mengalami
tekanan fiskal dan masalah-masalah domestik yang serius karena perubahan yang
drastis dalam momentum pembangunan ekonomi, dari high phase menjadi low phase.
Selama masa pertumbuhan ekonomi rendah, motor pembangunan terletak pada
pertumbuhan konsumsi rumah tangga, bukan pada investasi, ekspor, ataupun
pengeluaran pemerintah. Meskipun Indonesia sudah mencanangkan tahun 2003 sebagai
Tahun Investasi, namun investor belum terlalu tertarik untuk menginvestasikan dananya
karena berbagai kendala yang ada, baik menyangkut rendahnya kualitas dan kuantitas
infrastruktur, rendahnya insentif investasi dan penegakan kepastian hukum, maraknya
demonstrasi pekerja, maupun relatif mahalnya upah pekerja Indonesia dibandingkan
negara pesaing.
Mendorong laju pertumbuhan ekspor tidaklah mudah. Depresiasi memang membuat nilai
tukar rupiah melemah dan secara teoretis dapat mendorong ekspor. Namun, terdapat
berbagai kendala dalam mempromosikan ekspor, termasuk misalnya besarnya
kandungan bahan baku impor dalam produk ekspor sehingga harga produk tetap mahal.
Bahkan, dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, impor justru meningkat karena
selera masyarakat terhadap produk impor cukup tinggi.
Harapan terakhir mendongkrak pertumbuhan ekonomi rendah ini terletak pada ekspansi
fiskal. Namun manuver ekspansi fiskal menjadi tidak mudah karena peluang
meningkatkan penerimaan negara tidak akan mudah sampai dengan beberapa tahun
mendatang.
Secara teoretis ada empat cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan,
yaitu meningkatkan pajak dan harga sektor publik, mengurangi pengeluaran pemerintah,
mencetak uang, dan utang baru pemerintah (Dornbucsh, 1993). Namun perlu dicatat
beberapa kendala saran teoretis tersebut. Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan
pajak adalah basis pajak yang sempit, banyaknya transaksi informal, dan sulitnya
meningkatkan intensifikasi pemungutan. Meningkatkan harga sektor publik selain dapat
meningkatkan penerimaan juga mengurangi subsidi sehingga dapat mengurangi distorsi
pasar. Namun, kebijakan penurunan subsidi sering menuai penentangan yang besar dari
masyarakat dan menstimulasi inflasi. Pencetakan uang selain akan menstimulasi hiper-
inflasi, juga tidak dapat dilakukan karena undang-undang menempatkan Bank Sentral
independen dari intervensi pemerintah. Pilihan kebijakan utang juga dihadapkan pada
pilihan yang sulit. Pertama, utang luar negeri menjadi tidak mudah, terutama setelah
Indonesia memilih tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan IMF dan itu berarti
utang ditumpukan pada sumber dalam negeri (Abimanyu, 2004). Kedua, pasar dalam
negeri mungkin memiliki keterbatasan untuk menyerap kebutuhan utang pemerintah.
Pada sisi pengeluaran, manuver untuk men-fine-tune pengeluaran juga tidak mudah
karena banyak pos APBN yang merupakan pos wajib (misalnya Undang-undang Otonomi
Daerah mewajibkan Menteri Keuangan untuk menganggarkan setidaknya 26 persen dari
penerimaan dalam negeri untuk Dana Alokasi Umum). Pos wajib tersebut mayoritas
merupakan recurrent expenditures, bukan capital expenditures. Angka pengganda untuk
recurrent expenditures lebih rendah daripada capital expenditures.
Dalam ranah teori, paham Keynesian menyarankan ekspansi fiskal untuk mendorong
perekonomian (fiscal stimulus). Keynes (1936) memandang ekspansi fiskal melalui proses
2
15. angka pengganda (multiplier) akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini
telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil.
Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal
ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor.
Pada sisi lain, paham Neo Klasik memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak
crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena
itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi
peran langsung dalam perekonomian.
Pada masa sebelum krisis, elemen penting dari kebijakan fiskal pada waktu itu adalah
Pengeluaran Rutin dibelanjai dengan penerimaan dalam negeri, baik berupa pajak
maupun bukan pajak, yang utamanya bersumber dari penerimaan sumber daya alam.
Sedangkan Pengeluaran Pembangunan sebagian dibelanjai dengan utang luar negeri
(utang dalam negeri pemerintah belum ada), yang berupa pinjaman bilateral dan
multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Pada tahun 1996, APBN menunjukkan surplus 1,9 persen dari produk domestik bruto
(Gross Domestic Product/PDB), utang pemerintah terhadap luar negeri sebesar US$55,3
miliar atau sekitar 24 persen dari PDB. Pada saat itu pemerintah belum memiliki utang
dalam negeri. Realisasi APBN tahun 1997 Semester I mencatat surplus 1,8 persen dari
PDB dan utang pemerintah tidak banyak berubah (Boediono, 2004).
Rasio utang luar negeri terhadap PDB sebelum krisis terbilang relatif kecil. Sebagai
perbandingan, rasio utang tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata di Asia dan negara
sedang berkembang (Tabel 1.1). Angka pencapaian Indonesia pada waktu itu jauh lebih
baik daripada Afrika, Asia tanpa Cina dan India, dan negara-negara pengutang parah
(Heavily Indebted Poor Countries).
Tabel 1.1
Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)
Keterangan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Negara
41,5 39,4 38,7 43,5 44,7 40,6 40,1 40,9 37,7 35,0
Berkembang
Afrika 72,1 67,7 63,5 65,9 65,5 63,0 61,0 59,3 49,2 46,5
Asia 32,6 31,1 32,5 37,0 34,1 30,7 29,9 27,4 25,3 23,8
Asia Tanpa
52,5 51,4 59,1 84,7 72,2 65,4 65,4 57,7 51,7 47,4
Cina dan India
Timur Tengah
58,5 55,5 54,8 63,0 62,5 59,2 61,2 62,7 54,8 52,2
dan Turki
Western Hem. 36,9 35,5 33,7 37,9 44,3 38,7 38,9 45,3 44,1 40,0
Negara Pengutang
125,8 111,6 100,5 99,2 97,2 94,4 92,1 83,5 74,8 70,7
Parah
Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003.
Krisis ekonomi membawa ekonomi Indonesia pada ekonomi stagflasi (ekonomi riil yang
macet dan hiper-inflasi) dan menyebabkan Pemerintah Indonesia terjerat dalam utang
yang sangat besar. Utang pemerintah meningkat dengan sangat tajam dari
US$55,3 miliar sebelum krisis menjadi US$134 miliar (83 persen PDB) di awal tahun
2000. Kondisi utang yang parah tersebut disebabkan karena tiga kebijakan utama yang
dilakukan pada waktu itu, yaitu BLBI, Kebijakan Penjaminan Bank, dan Kebijakan
3
16. Rekapitulasi Perbankan. Pemerintah dihadapkan pada kenyataan, bahwa dari semula
memiliki tingkat utang pemerintah yang rendah menjadi tinggi, dan dari semula tidak
memiliki utang dalam negeri menjadi memiliki utang dalam jumlah yang sangat besar
(Rp643 triliun).
Dari jumlah total Rp643 triliun tersebut, sekitar dua per tiga timbul karena kebijakan
rekapitalisasi perbankan, sekitar seperempat berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya
berasal dari kebijakan penjaminan bank. Kenaikan utang yang tajam ini bukan untuk
pengeluaran baru (new spending), tetapi lebih disebabkan oleh kombinasi dari kekeliruan
kebijakan pada masa lampau dan oleh krisis ekonomi.
Utang yang tiba-tiba ini muncul karena pemerintah pada waktu itu dihadapkan pada
pilihan yang sulit untuk segera keluar dari krisis. Dengan regulasi dan supervisi yang
sangat lemah pada periode sebelum krisis menyebabkan swasta dapat dengan leluasa
meminjam langsung dari luar negeri. Bagi kreditor luar negeri, mereka melihat utang
swasta tersebut sebagai public and publicly guaranteed karena keluarga dari orang-orang
berpengaruh pada waktu itu terlibat dalam usaha. Ketika krisis terjadi dan pengusaha
gagal bayar, perbankan ikut limbung, dan kreditor memaksa pemerintah untuk mengambil
alih utang-utang tersebut. Pemerintah dihadapkan pada contingent liabilities serius. IMF
(2003) menghitung bahwa besarnya contingent liabilities akibat krisis lebih dari 50 persen
PDB.
Konsekuensi dari utang yang tiba-tiba tersebut adalah kemampuan APBN sebagai
stimulus fiskal semakin lemah karena besarnya beban pos-pos pengeluaran yang
merupakan kewajiban dan komitmen yang harus dijalankan (termasuk komitmen
membayar pokok dan bunga pinjaman). Hal ini menyebabkan kebijakan fiskal berubah
peran dari stimulus fiskal menjadi kesinambungan fiskal (Rahmany, 2004). Dengan
berubahnya peran tersebut, peran pemerintah sebagai agen pembangunan melalui
capital expenditures menjadi semakin lemah. Namun, peran kesinambungan fiskal ini pun
tidak mudah. Jika APBN tidak dikelola dengan hati-hati, maka kemungkinan gagal bayar
mungkin terjadi.
Tabel 1.2
Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan Tipe Kreditur
Keterangan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Utang Total
(Milliar US$) 1.864,6 1.948,2 2.030,4 2.201,2 2 235,3 2.201,9 2.170,2 2.191,5 2.219,2 2.211,6
Maturitas(%):
Jangka
Pendek 14,6 15,0 14,6 12,5 11,5 10,7 9,8 10,2 10,4 10,8
Jangka
Panjang 85,4 85,0 85,4 87,5 88,5 89,3 90,2 89,8 89,6 89,2
Tipe
Kreditor(%):
Official 44,0 42,1 39,4 38,4 38,2 37,4 38,9 39,9 40,1 39,8
Bank 24,1 27,5 29,6 29,2 28,7 28,7 28,0 27,2 26,8 27,2
Swasta 31,9 30,4 31,0 32,4 33,2 33,8 33,1 32,9 33,1 32,9
Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003, diolah.
Mayoritas utang Indonesia adalah utang jangka menengah. Perbandingan data
internasional menunjukkan bahwa mayoritas utang di negara sedang berkembang adalah
utang jangka panjang. Selain itu, mayoritas utang berasal dari pinjaman resmi (official)
dan bank (Tabel 1.2).
4
17. Dornbusch (1993) mencatat bahwa dalam hal pinjaman luar negeri, kebanyakan kreditur
tidak dalam posisi meng-amortisasi utang. Karena itu, pembedaan utang dalam jangka
pendek-menengah-panjang menjadi tidak relevan. Namun, pendapat Dornbusch (1993)
tidak seluruhnya benar untuk kasus Indonesia, karena utang tidak otomatis bisa roll-over.
Karena itu, usaha serius untuk reprofiling utang perlu dilakukan. Reprofiling akan berhasil
jika kredibilitas pemerintah dinilai baik oleh pelaku pasar
Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban
fiskal yang lain jika perekonomian mengalami shocks. Aktifitas semi-fiskal (quasi fiscal)
dari BUMN dan BUMD dapat merupakan contingent liabilities jika mereka tidak dikelola
dengan benar. BUMN dan BUMD memang terpisah dari keuangan negara (APBN), tetapi
aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan public and publicly guaranteed dan
semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham dan alasan “too big to fail”.
Pemerintah bekerja sama dengan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”.
Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari
general governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari general
governments terhadap PDB maksimal 60 persen. Dalam kedua produk hukum tersebut
juga diatur bahwa Pinjaman Daerah dengan dana dari luar negeri harus melalui skema
penerusan pinjaman (on lending).
1.4 Metodologi Penelitian
Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah
Tim PPE FE UGM memandang bahwa studi kesinambungan fiskal (fiscal sustainability)
perlu dilakukan secara mendalam dan hati-hati. Untuk menemukan formula optimal
pembiayaan (alternative financing) APBN yang mencakup pembiayaan dalam dan luar
negeri, Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Functions dan
melakukan simulasi untuk mengetahui besarnya keseimbangan primer bagi Indonesia.
Namun, sebelum estimasi Fiscal Policy Reaction Functions dan simulasi dilakukan,
besarnya Natural Debt Limit (NDL) untuk Indonesia perlu diestimasi terlebih dahulu.
Natural Debt Limit (NDL)
NDL merupakan batas yang dikendaki oleh pemerintah dimana pengeluaran ditekan pada
tingkat yang minimum dan tidak menciptakan utang melebihi batas yang dapat dibayar.
Mendoza dan Oviedo (2004) mendefinisikan Natural Debt Limit (NDL) sebagai nilai
anuitas dari keseimbangan fiskal atau Primary Balance (PB) pada saat terjadi krisis fiskal.
Krisis fiskal sendiri didefinisikan sebagai keadaan setelah adanya goncangan penerimaan
pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut disesuaikan pada tingkat minimum pada
periode yang panjang.
NDL dipengaruhi oleh rasio penerimaan terhadap PDB, rasio pengeluaran terhadap PDB,
suku bunga pinjaman dan tingkat pertumbuhan, walaupun dalam keadaan krisis fiskal.
Secara umum, NDL diturunkan dari kemungkinan dinamis keseimbangan primer.
5
18. Fiscal Policy Reaction Function
Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Function untuk
mengevaluasi formula optimal pembiayaan APBN. Model Fical Policy Reaction Function
menggunakan variabel dependen primary balance dan first difference rasio utang
terhadap PDB. Model tersebut diestimasi dengan data runtut waktu dan data panel.
Pendekatan Fiscal Policy Reaction Function dapat dijelaskan dengan model sederhana
berikut. Utang pada periode t+1 (Bt+1) merupakan penjumlahan utang periode t (Bt)
ditambah kebutuhan pembiayaan Ft (IMF, 2003)
Bt + 1 = Bt + F t (1.1)
Persamaan (1.1) dapat ditulis ulang menjadi
B t + 1 = (1 + r ) B t + S t − R t = (1 + r ) B t − P t (1.2)
St adalah pengeluaran selain bunga, Rt adalah penerimaan pemerintah, sehingga Rt - St =
Pt adalah primary surplus, dan r adalah suku bunga pinjaman.
Persamaan (1.2) dapat ditulis ulang dalam bentuk rasio terhadap PDB (Y) sebagai
berikut.
Bt + 1 Y t + 1
= (1 + r ) t − t
B P
Yt +1 Yt Yt Yt
(1.3)
(1 + g ) bt + 1 = (1 + r ) bt − pt
Utang akan berkesinambungan jika setidaknya bt+1 = bt, sehingga pt = bt (r-g). Dengan
demikian, tingkat primary surplus (terhadap PDB) dapat digunakan sebagai target
operasional Fiscal Reaction Function, yaitu:
p t = α + ∑ J = 1β j X jt + ρ b t − 1 + ε t
j
(1.4)
Vektor Xj adalah variabel makro ekonomi yang mempengaruhi primary surplus. Dalam
model ini koefisien ρ diharapkan positif untuk memastikan terjadinya long-run solvency.
Model pada Persamaan (1.4) dapat diestimasi dengan data runtut waktu (data runtut
waktu Indonesia) atau panel (data dari beberapa negara). Namun, jika kita membahas
besarnya primary surplus yang optimal maka besarnya primary surplus Indonesia harus
dibandingkan dengan standar internasional (benchmarking). Karena itu Tim PPE FE UGM
mengestimasi model tersebut dengan data panel dan diestimasi dengan metode Fixed
Effects Generalized Least Square. Persamaan (1.4) dapat dimodifikasi untuk
mengakomodasi cross-section components (dilambangkan dengan sub-script i).
p it = α i + ∑ J = 1β j X ijt + ρ b it − 1 + ε it
j
(1.5)
6
19. Pada prinsipnya skenario kebijakan surplus primer optimal dilakukan sebagai berikut
(seperti terlihat pada Gambar 1.1)1. Jika posisi utang Indonesia pada periode t-1 adalah
sebesar bt-1 dan besarnya p Indonesia pada periode t yang dipilih pemerintah berada di
bawah nilai prediksi rata-rata antar negara (titik A pada Gambar 1.1) maka p harus
dinaikkan untuk dapat mencapai rata-rata tersebut dan mencapai kesinambungan fiskal.
Ada empat pilihan tersedia bagi pemerintah.
1. Pertama, besarnya p langsung dinaikkan menuju titik E. Dalam hal ini besarnya b
tidak berubah pada periode t.
2. Kedua, otoritas menaikkan p tidak setinggi AE, tetapi hanya fraksi dari itu (misal
AB). Pilihan ini berakibat bt meningkat. Untuk mencapi fiscal sustainability
pemerintah dapat memilih jalur semacam garis BG.
3. Ketiga, pemerintah menolak menaikkan p dan mempertahankannya pada
ketinggian A (mengikuti garis AF). Strategi ini akan membawa kondisi fiskal pada
situasi unsustainable dan nilai b akan meningkat pada periode t serta berpotensi
menuju krisis utang. Jika akhirnya pemerintah memilih fiscal sustainability maka
besarnya surplus yang harus diadakan menjadi sangat besar.
4. Keempat, pemerintah justru mengurangi besarnya surplus menuju defisit. Jika
pemerintah melakukan anggaran defisit dan ingin mencapai sustainability pada
periode berikutnya maka pemerintah dapat memilih jalur AJ.
Gambar 1.1
Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang terhadap PDB (b)
Utang Nol
B
pt
Nilai
H prediksi p
D
G
J
E
B
F
I A Krisis utang
p dan b = 0
bt-1* bt-1|Xt
Opsi sebaliknya tersedia jika posisi awal p pada periode t berada di atas nilai prediksi
rata-rata antar negara (Titik B pada Gambar 1.1). Terdapat tiga opsi bagi pemerintah.
1. Pertama, p langsung dikurangi dari titik B menuju E. Dalam hal ini fiscal
sustainability tercapai, dan nilai b pada periode t tidak berubah.
1
Gambar 1.1 lebih merupakan ancangan berpikir. Dalam prakteknya saran yang akan diberikan didasarkan pada
hasil estimasi data empiris.
7
20. 2. Kedua, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan besarnya p pada jalur
BH. Jika strategi ini ditempuh, maka fiscal sustainability dapat dipertahankan
serta stok utang akan cepat berkurang menuju nol. Strategi kedua ini juga
merupakan strategi yang baik jika tujuan pemerintah yang utama adalah ``segera
melunasi utang.
3. Ketiga, pemerintah mengambil kebijakan semacam jalur BI pada Gambar 1.1.
Output strategi ketiga adalah besarnya p dan b akan turun dalam jangka panjang.
Berdasarkan metode yang diusulkan pada bagian ini dan hasil wawancara pada bagian
sebelumnya, dapat dihasilkan ide-ide kreatif untuk mencari formula optimal alternatif
kebijakan utang pemerintah Indonesia. Dengan metodologi ini pemerintah memiliki
berbagai skenario besarnya surplus (primary balance) yang dipilih serta konsekuensi stok
utang.
Dengan menggunakan hasil analisis pada Fiscal Policy Reaction Functions dapat
dibandingkan kinerja fungsi reaksi Indonesia dengan negara-negara maju yang kinerja
pengelolaan utangnya baik dan dengan negara-negara pengutang parah. Dengan
pendekatan ini dilakukan evaluasi, apakah fungsi reaksi Indonesia lebih mendekati negara
yang mengelola utang dengan baik ataukah lebih mendekati negara pengutang parah.
Simulasi Keseimbangan Primer
Metode yang digunakan dalam simulasi keseimbangan primer dan utang Indonesia ini
sama dengan metode yang digunakan oleh Bank Dunia (2002). Namun kemudian
dilakukan perubahan untuk beberapa asumsi agar hasil simulasi ini lebih dekat dengan
kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Simulasi ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar penurunan rasio utang terhadap
PDB yang terjadi melalui berbagai asumsi keadaan fiskal dan makroekonomi Indonesia
yang mungkin dicapai. Dalam simulasi ini, dilakukan prediksi untuk rasio keseimbangan
primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB dari tahun 2004 sampai dengan
2010. Rasio utang terhadap PDB yang menjadi dasar simulasi adalah rasio tahun 2004.
Dalam simulasi ini perubahan yang terjadi pada rasio utang terhadap PDB dipengaruhi
oleh selisih antara pertumbuhan PDB dengan rata-rata suku bunga yang dibayarkan
pada utang pemerintah, primary fiscal surplus, capital revenue serta off budget losses.
Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri
Untuk mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada, Tim
PPE FE UGM melakukan tiga hal. Pertama, yang dilakukan adalah wawancara terfokus
dan mendalam (in-depth interview). Fokus topik yang ditanyakan adalah evaluasi efisiensi
kebijakan pembiayaan APBN dan kebijakan utang.
Kedua, dilakukan analisis data kuantitatif biaya pinjaman dan portofolio utang yang
optimal. Data yang digunakan dalam analisis efisiensi dan portofolio utang diperoleh dari
Departemen Keuangan dan Bloomberg Online.
Ketiga, analisis deskriptif country risk dan biaya kondisional biaya pinjaman luar negeri.
Analisis country risk Indonesia dilakukan untuk mengetahui persepsi Internasional
terhadap risiko untuk melakukan investasi di Indonesia. Analisis biaya kondisionalitas
dilakukan dengan cara mengamati pengalaman empiris beberapa negara, termasuk
Indonesia, dalam memperoleh pinjaman dari kreditur asing.
8
21. Portofolio Utang Komersial Pemerintah
Reprofiling dalam konteks manajemen utang merupakan upaya memindahkan beban
utang yang terkonsentrasi pada satu periode tertentu dengan cara memperpanjang
periode maturitas. Konsekuensi yang dihadapi pemerintah adalah suku bunga kupon
akan naik, kepercayaan pasar dapat turun dan beban pembiayaan memanjang. Namun
keuntungannya adalah risiko default dapat dihindarkan sehingga kredibilitas pemerintah
dapat terjaga. Sasaran reprofiling adalah membuat profil dan skedul pembayaran beban
utang obligasi pemerintah menjadi lebih moderat.
Dalam melakukan studi tentang reprofiling utang Pemerintah Indonesia, Tim PPE FE
UGM menggunakan data pembayaran bunga, pokok pinjaman dan maturitas tahunan
dari tahun 2004-2020. Dari observasi yang dilakukan kemudian dapat diidentifikasi profil
maturitas obligasi Pemerintah Indonesia. Selain itu dikumpulkan juga berbagai keterangan
dari staf (melalui wawancara) dan publikasi Departemen Keuangan RI perihal maturitas
utang Indonesia jangka menengah.
Data yang Digunakan
Data yang digunakan dalam studi manajemen utang ini diperoleh dari International
Financial Statistics (IFS), Government Financial Statistics (GFS), Global Development
Finance, Key Indicator Asian Development Bank 2004, OECD Outlook 2004, Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Departemen Keuangan dan Bloomberg
Online. Data-data yang dikumpulkan adalah data untuk Central Government dengan
pendekatan Cash Basis. Tim PPE FE UGM melakukan perbandingan data-data yang
telah dikumpulkan. Untuk Indonesia data yang dikumpulkan diusahakan dalam seri yang
sepanjang mungkin.
9
22. Bab STUDI PUSTAKA
2
MANAJEMEN
UTANG
STUDI PUSTAKA – STUDI MANAJEMEN UTANG
LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH
DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL
BORROWING
2.1 Latar Belakang
Pemerintah adalah suatu lembaga yang mengemban amanat rakyat untuk
menyelenggarakan kehidupan bernegara. Secara khusus, pemerintah dapat
merepresentasikan suatu negara. Pemerintah suatu negara wajib menjalankan tiga fungsi
pemerintah, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut,
pemerintah membutuhkan dana.
Dalam mengatur anggaran pengeluaran dan penerimaan, pemerintah menjalankan
kebijakan fiskal. Operasionalisasi kebijakan ini dapat berupa pengeluaran konsumsi,
pengeluaran investasi dan pengelolaan pendapatan.
Keseluruhan fungsi fiskal ini dapat tercapai secara berkelanjutan jika penerimaan negara
(pemerintah) sesuai dengan kebutuhan pengeluarannya. Jika tidak, dibutuhkan alternatif
pembiayaan tambahan yang mencakup pendanaan internal dan eksternal. Sehubungan
dengan pendanaan eksternal, utang menjadi suatu alternatif kebijakan pembiayaan
negara.
Todaro (2000) secara khusus berpendapat bahwa saving gap (kesenjangan tabungan
dan kebutuhan investasi) dapat menjadi penyebab utang luar negeri. Jika akumulasi
kapital domestik menurun, maka diperlukan modal dari luar negeri untuk mengolah
sumber daya domestik tersebut. Todaro menyebutnya sebagai imported capital. Selain
itu, defisit transaksi berjalan dalam neraca perdagangan juga dapat menyebabkan
terjadinya kesenjangan kapasitas pembayaran.
Perhatian terhadap utang dan defisit memiliki arti penting dalam analisis keuangan
pemerintah. Hal ini disebabkan karena defisit yang dibiayai oleh bank sentral dengan
pencetakan uang akan mendorong terjadinya inflasi. Sementara defisit yang dibiayai
dengan surat utang akan menimbulkan efek crowding-out (dengan asumsi-asumsi
tertentu).
10
23. Pada dasarnya, tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki utang. Ketidakseimbangan
aliran modal umumnya terjadi. Utang tidak selalu merugikan, sejauh dikelola dengan baik.
Pada tahun 2001, OECD Economic Outlook mencatat bahwa negara industri maju di
dunia pun mempunyai rekening pinjaman dalam struktur PDB mereka. Sebagai contoh,
Jepang dan Itali memiliki rasio utang terhadap PDB yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001
Persentase Utang Persentase Utang
Negara Negara
terhadap PDB terhadap PDB
Jepang 119 Irlandia 54
Italia 108 Spanyol 53
Belgia 105 Finlandia 51
Kanada 101 Swedia 49
Yunani 100 Jerman 46
Denmark 67 Austria 40
Inggris 64 Belanda 27
Amerika Serikat 62 Australia 26
Perancis 58 Norwegia 24
Portugal 55
Sumber: OECD Economic Outlook, 2001.
Utang akan aman bagi kondisi fiskal suatu negara jika pemerintah mampu memelihara
kestabilan antara penerimaan pinjaman yang diperoleh dengan kemampuan pembayaran
kembali. Jika tidak, maka utang akan mengganggu kestabilan ruang gerak pembiayaan
negara. Stabilitas yang harus dicapai inilah yang disebut sebagai kesinambungan fiskal
(fiscal sustainability).
2.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang
Definisi
Ada berbagai pengertian kesinambungan fiskal. Ayumu Yamauchi (2004) berpendapat
bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi jika nilai sekarang (present value) dari batasan
pengeluaran (expenditure constraint) yang akan datang dapat dipenuhi tanpa harus
melakukan koreksi atau penyesuaian fiskal untuk mencapai keseimbangan. Barnhill dan
Kopits (2003) melihat bahwa kesinambungan fiskal merupakan interaksi antara
keseimbangan anggaran primer dengan parameter kunci, yaitu pertumbuhan dan tingkat
bunga yang mempengaruhi pembayaran utang publik. Sementara Blanchard et.al. (1990),
berpandangan bahwa posisi utang yang aman akan tercapai bila rasio utang mengarah
kepada keadaan semula.
Pengertian kesinambungan fiskal yang lain lebih melihat pertumbuhan ekonomi sebagai
penyeimbang stok utang dan kemampuan fiskal. Jika PDB tumbuh lebih tinggi daripada
pertumbuhan stok utang dan kontinyu, maka posisi fiskal akan aman bagi pembayaran
utang. Pendapat ini dikemukakan misalnya oleh Joseph Ntamatungiro (2004) dan
Sebastian Edwards (2002). Ntamatungiro menekankan bahwa fiskal akan aman jika
terdapat kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, Edwards berpendapat
bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner.
IMF dan Bank Dunia secara sederhana mendefinisikan kesinambungan utang luar negeri
(external debt sustainability) suatu negara sebagai kemampuannya dalam memenuhi
kewajiban berjalan dan yang akan datang secara penuh tanpa perlu adanya penjadwalan
11
24. kembali atau tunggakan (arrears). Sementara itu, Uni Eropa memiliki fiscal-financial
programme sebagai panduan stabilitas fiskal-finansial negara-negara anggotanya.
Kesinambungan fiscal-financial programme suatu negara didefinisikan sebagai ketiadaan
risiko gagal bayar, yaitu tingkat utang harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang
(present value) semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang (Buiter dan
Graf, 2002).
Pada umumnya negara debitur akan menghadapi banyak permasalahan menyangkut
utang yang dilakukan, antara lain solvabilitas, likuiditas, kesinambungan dan kerentanan.
Menurut Geithner (2002), solvabilitas terjadi jika Present Discounted Value (PDV) dari
pengeluaran primer (E) saat ini dan masa yang akan datang tidak melebihi PDV
pendapatan (Y) saat ini dan yang akan datang dikurangi initial indebtedness (utang mula-
mula/Dt-1). Secara matematis, kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut:
∞ ∞
E1+ i Y1+i
∑
i =0
1
≤∑
i =0
1
− (1 + rt ) Dt −1 (2.1)
C (1 + r
i =1
t +1 ) C (1 + r
i =1
t +1 )
Likuiditas terjadi jika kondisi solvabilitas dapat terpenuhi atau ketika aset likuid dan dana
yang ada dapat memenuhi maturitas utang. Kerentanan terjadi jika terdapat goncangan
pada solvabilitas dan likuiditas keuangan negara. Sedangkan kesinambungan dalam hal
utang didefinisikan sebagai situasi dimana peminjam dapat memenuhi kewajiban
utangnya tanpa harus melakukan koreksi pada keseimbangan penerimaan dan
pengeluaran masa yang akan datang.
Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian
Sebagai pelaku ekonomi, pemerintah juga mempunyai andil dalam perkembangan
perekonomian suatu negara. John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory
of Employment, Interest and Money (1936) menyarankan dilakukannya kebijakan
pemerintah yang ekspansif untuk membantu mengurangi pengangguran akibat depresi
ekonomi.
Hal ini berbeda dengan pendapat David Ricardo (1772-1823). Ricardo berpendapat
bahwa upaya pemerintah untuk mempengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal tidak
akan berhasil. Jika terjadi defisit anggaran dan pemerintah melakukan pinjaman untuk
menutupinya, maka ini sebenarnya merupakan pajak yang tertunda. Berdasarkan
ekspektasi rasionalnya, konsumen akan beranggapan bahwa pemerintah akan
mengkompensasikan dana pinjaman tersebut dengan cara menaikkan pajak di masa
yang akan datang. Inilah yang disebut sebagai Ekuivalensi Ricardian (Ricardian
Equivalence).
Menurut aliran Neoklasik, pinjaman yang dilakukan pemerintah terhadap publik akan
berakibat pada berkurangnya investasi swasta. Hal ini disebabkan penurunan cadangan
dana publik akan diikuti oleh meningkatnya tingkat bunga. Dengan biaya modal yang
tinggi investasi swasta menjadi tertekan dan pertumbuhan ekonomi akan menurun.
Fenomena ini disebut sebagai crowding out.
Friedman (1987) menegaskan potensi terjadinya crowding-out ini pada masa-masa rawan
defisit fiskal, bahkan pada saat perekonomian mencapai full-employment. Dalam
penelitiannya, ia menemukan bahwa utang pemerintah akan berhubungan dengan
penyerapan utang swasta. Selain itu utang juga berhubungan dengan tingkat pendapatan.
Teorinya didasarkan pada dua hipotesis perilaku pemberi pinjaman, yaitu:
12
25. 1. Modigliani’s Life-Cycle Hypothesis of Saving
Pada perekonomian maju dengan sebaran populasi yang stabil, individu akan
menyimpan dana pada berbagai pilihan dimana terdapat kestabilan hubungan antara
pendapatan dengan kesejahteraan ekonomi secara agregat.
2. Risk-Averse Portfolio Behavior Theory
Investor akan menanamkan dananya pada portfolio yang meminimalisir risiko dan
memaksimalkan keuntungan.
Swasta akan mengambil pinjaman berdasarkan pada faktor-faktor seperti tingkat
keuntungan usaha, ketersediaan kredit, tingkat pajak, risiko ekonomi maupun non
ekonomi dan regulasi tentang kepailitan. Dengan adanya rasionalitas sektor swasta, maka
kenaikan tingkat utang pemerintah akan direspon sebagai ekspektasi kenaikan pajak di
masa mendatang. Jika hal ini terjadi maka Ricardian equivalence akan berlaku.
Berkaitan dengan defisit fiskal, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian akan
berbeda. Hal ini bergantung pada cara pemerintah mengatasi kekurangan tersebut.
Hoogendorn (1996) melengkapi analisis dengan 2 kemungkinan solusi yang diambil
pemerintah untuk keluar dari defisit. Pertama, melakukan pinjaman ke swasta. Sejalan
dengan pemikiran Neoklasik, skenario ini akan melahirkan efek tekanan terhadap swasta
dalam hal kesempatan berinvestasi. Kedua, menambah penerimaan pajak, misalnya
melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan perbaikan administrasi.
Defisit fiskal juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Mankiw (2003)
mencatat tiga efek yang dapat ditimbulkan oleh ekspansi anggaran pemerintah yang
terlampau eksesif. Pertama, terjadinya ekspansi di sektor moneter yang berujung pada
peningkatan jumlah uang beredar (inflasi). Kedua, jika tidak ditangani dengan baik, akan
berlanjut dengan pelarian modal (capital flight) ke luar negeri. Di beberapa negara,
persentase capital flight terhadap utang pemerintah menunjukkan angka yang cukup
tinggi. Bahkan, Venezuela pernah memiliki persentase capital flight terhadap utang
pemerintah sebesar 240 persen pada akhir tahun 1988. Indonesia pernah mengalami
capital flight yang besar pada puncak krisis 1998. Ketiga, dalam jangka panjang akan
timbul pergeseran beban utang ke generasi yang akan datang.
Dampak kontradiktif perilaku fiskal terhadap pasar uang juga diamati oleh Brandon dan
Marquez (1988). Studinya tentang dampak pemotongan pengeluaran pemerintah
terhadap suku bunga di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa suku
bunga cenderung menurun jika pemerintah berhenti berekspansi.
Konservatisme fiskal juga memiliki pengaruh terhadap perekonomian. Di negara-negara
maju seperti Jepang, Jerman (Chouraqui, 1986) dan Amerika Serikat (Friedman, 1981),
rasio utang terhadap PDB justru distabilkan dalam jangka pendek. Utang Amerika Serikat
pasca Perang Dunia II yang umumnya bersifat jangka panjang dikonversikan dalam
jangka pendek untuk segera diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko di
masa depan.
Buiter (1983) mengutarakan kemungkinan adanya ruang bagi pemerintah untuk
melakukan intervensi terhadap perekonomian. Hal ini berdasarkan teori Neo-Keynesian
tentang peran penting campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada
dua alasan pemerintah melakukan campur tangan dalam perekonomian. Pertama,
intervensi karena alasan distribusi. Pemerintah dapat melakukan redistribusi pendapatan
untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya melalui reformasi
pajak dan struktur yang progresif. Kedua, untuk mengatasi kegagalan pasar. Sebagai
contoh, jaminan kredit untuk mengatasi asymmetric information mengenai usaha yang
akan didanai olehnya.
13
26. Buiter yakin bahwa anggaran pemerintah mampu menstabilkan permintaan agregatif
masyarakat pada saat tertentu. Hal ini melibatkan pajak dan transfer (termasuk subsidi),
ketika variabel konsumsi dan investasi tidak berubah.
Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal
Selain dampak aktivitas fiskal terhadap perekonomian, kondisi perekonomian suatu
negara juga dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal pemerintah negara tersebut.
Inflasi yang tinggi, perubahan nilai tukar dan tingkat keterbukaan ekonomi dan
perdagangan merupakan contoh hal-hal yang dapat mempengaruhi operasi keuangan
pemerintah baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran.
Rosen (1999) menyatakan bahwa aktivitas konsumsi, penjualan dan akumulasi kekayaan
merupakan sumber pendapatan negara yang utama. Pajak memainkan peranan vital bagi
kelangsungan fiskal pemerintah. Di Inggris dan Eropa, pajak pertambahan nilai (Value
Added Tax/VAT) menjadi sumber penerimaan penting walaupun kebijakan ini tidak lazim
di Amerika Serikat. Jenis pajak yang dominan di Amerika Serikat adalah pajak penjualan.
Pada tahun 1994, total pajak penjualan di tingkat negara bagian mencapai 38 persen dari
total penerimaan negara di Amerika Serikat. Namun penerimaan dari pajak ini sangat
bergantung pada aktivitas perekonomian. Jika aktivitas perekonomian mengalami
kelesuan maka penerimaan pajak pun akan mengalami tekanan.
Menurut Buiter dan Juan (1993), tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit
primer melalui penurunan nilai riil dari penerimaan pajak. Sementara itu, jika swasta
memiliki piutang dalam bentuk mata uang domestik dengan bunga tetap maka inflasi akan
mempengaruhi nilai riil penerimaan piutang tersebut.
Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap
beban fiskal. Pada tahun 1981-1983 Meksiko mengalami sudden stop, yaitu terhentinya
aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya
kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak
menentu. Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan. Krisis yang dialami
Meksiko ini dikenal sebagai ‘Tequila Crisis’. Nilai aliran devisa masuk yang tertunda
mencapai 20 persen dari total PDB Meksiko saat itu. Selain Meksiko, Calvo (2004) juga
mendeteksi gejala sudden stop di negara-negara berkembang lainnya.
Terjadinya sudden stop didorong oleh faktor eksternal dan internal. Contoh variabel
eksternal adalah efek domino (contagious effect). Sedangkan variabel internal meliputi
tarif, situasi politik dan tata kelola. Adanya dolarisasi utang-utang domestik (Domestic
Liabilities Dollarization/DLD) membuat posisi fiskal pemerintah terbuka terhadap
goncangan. Namun hal ini dilakukan untuk menarik minat kreditur, mengingat preferensi
memegang dolar sangat tinggi.
Tabel 2.2
Biaya Restrukturisasi Finansial ( % PDB)
Negara Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB)
Indonesia, 1997 47
Thailand, 1997 29
Chili, 1981-1987 29
Meksiko, 1994-1999 19
Korea, 1997 17
Swedia, 1990-1993 4
Amerika Serikat, 1980-1992 2
Sumber : IMF, 2000
Selain di Amerika Latin, dampak perekonomian terhadap fiskal juga terjadi di Asia.
Pengalaman menunjukkan bahwa krisis Asia pada periode 1997-1998 segera diikuti oleh
14
27. bertambahnya utang publik. Penurunan nilai tukar beberapa negara Asia pada saat itu
mengakibatkan kredit macet yang ditanggung oleh sektor perbankan. Kredit macet
tersebut harus segera diambil alih oleh pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya
penjaminan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Biaya restrukturisasi finansial
di Indonesia sendiri relatif lebih besar dibandingkan beberapa negara lainnya (Tabel 2.2).
Kesinambungan Fiskal
Kesinambungan fiskal diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu indikator
surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Menurut Cuddington (1996), defisit atau
surplus keseimbangan primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan
indikator utama dalam pengukuran ketahanan fiskal. Secara matematis, besar utang pada
periode t merupakan utang pada periode sebelumnya (t-1) ditambah bunga, dikurangi
surplus primer. Besar utang tersebut dirumuskan sebagai berikut.
Bt = (1 + rt) Bt – n – SURPB (2.2)
Di mana :
Bt: jumlah utang pemerintah yang beredar pada tahun t
rt: tingkat bunga
SURPB: surplus pada keseimbangan primer
Keseimbangan primer adalah selisih antara anggaran dan pengeluaran pemerintah di luar
bunga dan cicilan utang. Menurut definisi Accounting Approach yang diperkenalkan oleh
Cuddington, defisit atau surplus pada keseimbangan primer akan berkesinambungan bila
keseimbangan primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi (PDB) tidak boleh lebih rendah dari suku bunga utang.
Dalam hal ini, surplus primer dari ekspor dipandang sebagai kompensator bagi ketahanan
utang. Namun ukuran ini tidak cocok untuk negara berkembang. Cuddington (1996)
menyatakan bahwa metode ini hanya cocok untuk negara-negara yang ekspornya maju.
Aplikasi Accounting Approach ini harus memperhatikan kemungkinan penggunaan
pencetakan uang sebagai sumber pembiayaan fiskal. Oleh karena itu, surplus (SURPB) di
atas harus diterjemahkan sebagai surplus primer ditambah penerimaan dari pencetakan
uang yang berkesinambungan (sebagai rasio dari PDB).
Metode lain yang diperkenalkan oleh Cuddington adalah Present Value Budget Constraint
(PVBC). Cuddington berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan tercapai jika nilai
sekarang (Present Value) dari utang pemerintah sama dengan nilai sekarang dari surplus
primer yang diharapkan.
N SURPBt + j
Bt − 1 = ∑ (2.3)
j =0 (1 + r ) j +1
Metode ini menekankan suatu kondisi di mana nilai sekarang dari akumulasi utang di
masa mendatang sama dengan nol sehingga akan menjaga kelangsungan anggaran
negara. Artinya pertumbuhan utang harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat
bunga.
Sementara itu, Branson (1990) menggunakan pendekatan analisis keseimbangan
eksternal dan internal melalui persamaan dinamis utang. Persamaan tersebut
memasukkan unsur pencetakan uang (seignorage) dalam menganalisis dinamisasi utang
selain menggunakan primary surplus. Secara matematis, persamaan tersebut dituliskan
sebagai berikut.
15
28. db = ( r − n ) * b + p − s (2.4)
Di mana :
b: rasio utang terhadap PDB
db: aritmathic annual growth (debt)
r: suku bunga riil
n: tingkat pertumbuhan PDB riil
p: primary defisit after grants
s: rasio seignorage terhadap PDB.
Untuk negara yang memiliki utang, rasio utang terhadap PDB (b) negara tersebut bernilai
positif. Jika selisih antara rasio utang terhadap PDB dengan pertumbuhan riil (r-n) positif
maka utang akan meningkat karena peningkatan suku bunga. Oleh karena itu, untuk
mencapai proses stabil maka selisih antara rasio defisit primer dengan rasio pencetakan
uang terhadap PDB (p-s) harus negatif.
IMF dan Bank Dunia menganalisis utang eksternal dengan pendekatan PVBC tersebut.
Apabila pengampunan utang diberikan, NPV (Net Present Value) utang luar negeri suatu
negara akan stabil pada tingkat steady state relatif terhadap PDB. Menurut Edwards
(2002), keadaan ini merupakan keadaan yang aman karena rasio utang sektor publik
terhadap PDB bersifat stasioner.
Ada tiga ciri utama yang dijadikan patokan oleh IMF dan Bank Dunia dalam menerapkan
pendekatan ini PVBC ini. Pertama, jika negara menerapkan reformasi ekonomi yang
sesuai, rasio utang terhadap PDB yang dicapai setelah pengampunan utang akan
berkesinambungan dalam jangka panjang. Kedua, dalam jangka panjang negara debitur
akan dapat mempertahankan akses ke pembiayaan longgar. Ketiga, lebih rendahnya
NPV dibandingkan face value karena negara miskin memiliki akses ke pembiayaan
longgar yang disubsidi.
Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan
Fiskal
Penilaian terhadap kesinambungan fiskal pemerintah memerlukan indikator yang jelas
dan terukur untuk mengestimasi tekanan utang luar negeri. Chouraqui, Hagemann dan
Sartor (1999) menegaskan bahwa suatu indikator minimal harus memenuhi tiga
persyaratan yaitu implementasi dan interpretasi yang sesuai dengan karakteristik negara
terkait, penjabarannya didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi positif (bukan normatif),
dan adanya kesamaan persepsi dalam perbandingan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari perbedaan-perbedaan pengukuran dalam hubungan antarnegara.
Chouraqui, Hagemann dan Sartor (1999) juga menekankan pentingnya konsistensi
kebijakan fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran
kinerja. Dalam observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut,
Chouraqui menemukan bahwa Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan
cara efektif untuk saling mengontrol secara kolektif kestabilan fiskal masing-masing
negara anggota. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan negara-negara Eropa Barat
pasca Perang Dunia II berangkat dari kondisi perekonomian yang sama.
Beberapa alasan CAB digunakan sebagai indikator perubahan kebijakan fiskal adalah:
1. CAB merupakan ukuran dasar kebijakan fiskal yang dapat membedakan antara
anggaran seimbang pemerintah yang berubah-ubah dengan yang tetap.
2. Melihat pengaruh kebijakan pada tahun-tahun selanjutnya pada keuangan publik.
3. CAB dapat menganalisis reaksi perubahan wewenang dalam lingkungan ekonomi.
16
29. Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesinambungan fiskal.
Fungsi identitas yang dielaborasi oleh Buiter mencantumkan banyak variabel yang terkait
dengan penentuan stabilitas fiskal sebagai berikut.
C t − Tt − E t N t* − Ft + At − PRIV t + it Btd−1 + it* E t ( Bt*−1 − Rt*−1 )
≡ B td − Btd−1 + E t ( B t* − B t*−1 ) + H t − H t −1 − E t ( R t* − R t*−1 ) (2.5)
Di mana:
Ct: konsumsi pemerintah pada periode t
Tt: pajak setelah dikurangi transfer dan subsidi
Et: nilai tukar di pasar spot
N t* : nilai bantuan luar negeri dalam mata uang asing
Ft: aliran kas dari sektor publik
At: pembentukan modal domestik di sektor publik
PRIVt: dana hasil privatisasi
it : suku bunga utang publik domestik
Btd−1 : nilai nominal face value kewajiban domestik pemerintah termasuk tunggakan
maupun yang sedang berjalan
it* : suku bunga utang dalam denominasi mata uang asing
Bt*−1 : nilai nominal kewajiban luar negeri termasuk bunga, tunggakan dan
kewajiban bank sentral dalam denominasi mata uang asing
Rt*−1 : cadangan devisa
H t −1 : stok uang beredar
Dalam hal ketahanan utang, ada dua pendapat mengenai wacana indikator, yaitu mereka
yang berpegang pada surplus primer dan yang berpegang pada rasio utang terhadap
PDB. Beberapa penulis seperti Cohen (2000) dan Marks (2003) menggunakan parameter
rasio utang terhadap PDB sebagai indikator ketahanan fiskal. Pertumbuhan utang luar
negeri tidak boleh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonominya.
Turunnya rasio utang terhadap PDB tidak berarti adanya peningkatan posisi keuangan
pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara,
penipisan sumber-sumber kepemilikan publik dan penurunan modal tetap pemerintah.
Menurut Cuddington (1996), aliran surplus primer merupakan fondasi utama bagi
ketahanan fiskal pemerintah terhadap utang. Cuddington mendefinisikan surplus primer
sebagai selisih antara penerimaan dan pengeluaran primer, tidak termasuk pembayaran
bunga dan cicilan utang. Harinowo (2004) juga menegaskan bahwa surplus yang dicapai
akan digunakan untuk melakukan kembali pembayaran utang yang telah jatuh tempo.
Buiter (1995) menawarkan 3 pilihan proksi yang berbeda dalam mengukur
kesinambungan fiskal, yaitu rasio utang publik terhadap PDB, one-period primary gap,
dan permanent primary gap. Buiter menyebut penurunan rasio utang terhadap PDB
sebagai indikasi kemampuan menjaga solvabilitas jangka panjang. Buiter juga
mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat mempengaruhi solvabilitas fiskal, yaitu: 1)
rasio utang terhadap PDB, 2) rasio surplus primer terhadap PDB, 3) suku bunga jangka
panjang dan 4) pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Primary Gap adalah selisih antara surplus primer aktual dan surplus primer yang
diharapkan. Jika primary gap dihitung pada satu periode saja (t), maka hal ini disebut
sebagai one-period primary gap. Namun, jika mempertimbangkan faktor solvabilitasnya
sampai akhir periode utang maka primary gap tersebut disebut sebagai permanent
primary gap.
17