SlideShare a Scribd company logo
1 of 265
Download to read offline
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GADJAH MADA

         LAPORAN AKHIR




   STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI
    DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN
       ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL
               BORROWING




                    Diajukan Kepada
        Departemen Keuangan Republik Indonesia
                 Badan Analisa Fiskal
                         2004
UCAPAN TERIMA KASIH
 Laporan ini dapat diselesaikan tepat waktu berkat bantuan berbagai pihak yang tidak
 dapat kami sebutkan satu per satu. Untuk itu Tim PPE FE UGM mengucapkan terima
 kasih yang setinggi-tinginya kepada berbagai pihak tersebut. Ijinkan kami secara
 khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak berikut. Pertama, terima
 kasih kepada Bapak Dr. Anggito Abimanyu, Bapak Dr. Heru Subiyantoro, Bapak
 Noeroso L. Wahyudi, dan Bapak Almizan Ulfa dari Badan Analisa Keuangan
 Departemen Keuangan (yang ketika laporan ini dalam proses penyelesaian telah
 berubah nama menjadi Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama
 Internasional atau disingkat Bapekki) atas kesempatan dan kepercayaan yang
 diberikan kepada PPE FE UGM untuk melaksanakan studi ini. Selain memberi
 kesempatan emas ini, mereka juga tidak pernah henti menyediakan waktu untuk
 diskusi, men-supply data dan memberi saran-saran.

 Tim PPE FE UGM juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. A. Fuad
 Rahmany, Bapak Dr. Rahmat Waluyanto, Bapak Dr. Andin Hadiyanto, dan Bapak
 Kunta Wibawa Dasa Nughraha, Ibu Ayu Sukorini dan Bapak Agung Galih Satwiko
 dari Departemen Keuangan atas waktu yang telah disediakan untuk berdiskusi dan
 memberikan saran perbaikan dan bahkan menyediakan data yang sangat berharga
 dalam mempertajam analisis studi ini. Secara khusus kami mengucapkan terima
 kasih kepada Bapak Rahmat Waluyanto yang sangat antusias menyediakan waktu
 untuk memberi komentar atas laporan awal studi ini di tengah kesibukan beliau yang
 sangat padat serta menyediakan meminjamkan kepustakaan pribadinya.

 Terima kasih kepada Bapak Budi Mulya dari Bank Indonesia atas kesempatan untuk
 berdiskusi masalah manajemen utang serta saran dan masukan yang telah
 diberikan. Saran beliau telah memberi kami perspektif yang lebih komprehensif
 dalam melihat dan menganalisis studi ini.

 Tim PPE FE UGM juga berterima kasih kepada tim LPEM FE UI dan LP3E FE
 UNPAD atas kerja sama yang sangat baik selama ini. Kedua institusi yang ternama
 tersebut dan kami mengerjakan studi dengan tema serupa pada saat yang sama.

 Dalam pelaksanaannya, studi ini melibatkan pula sejumlah asisten peneliti. Untuk itu
 kami mengucapkan terima kasih kepada (berdasarkan urutan nama depan): Aisyah,
 Anang Budi Gunawan, Andhyka Imam Buchori, Anggoro Budi Nugroho, Betti Rosita
 Sari, Nurul Yuniataqwa, Primayanti, Putu Mahendra Diana, R. Sita Dewi
 Kusumaningrum, Silvi Hafianti, dan Vica Sakti Mantong Tendenan. Tanpa mereka,
 studi ini hampir tidak mungkin dapat diselesaikan tepat waktu.

 Semoga studi ini dapat memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan
 mengenai manajemen utang pemerintah di masa mendatang. Segala kesalahan isi
 laporan tetap menjadi tanggung jawab tim peneliti.


                                                         Ketua Tim Peneliti


                                                          Bagus Santoso


                                    ii
ABSTRAK

ABSTRAK - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR
NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN
ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

    Studi ini memiliki tiga ruang lingkup penelitian, yaitu (1) menemukan alternatif terbaik
    kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah, (2) mengidentifikasi efisiensi
    kebijakan pembiayaan yang ada, dan (3) menemukan alternatif terbaik portofolio
    utang komersial jangka menengah. Pertama, dalam studi ini dihitung perkiraan
    natural debt limit (NDL) untuk perekonomian Indonesia, diestimasi fiscal policy
    reaction function, serta dilakukan simulasi rasio utang terhadap PDB. Hasil simulasi
    NDL menunjukkan bahwa rasio utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal
    bayar. Sedangkan hasil estimasi fiscal policy reaction function menunjukkan bahwa
    pemerintah Indonesia telah sangat responsif dan berhati-hati dalam menjalankan
    kebijakan utangnya. Namun dari hasil simulasi rasio utang terhadap PDB
    menunjukkan bahwa Indonesia perlu mengkonversi sebagian utang luar negerinya
    menjadi utang dalam negeri, agar rasio utang luar negeri tersebut dapat mencapai
    15 persen (suatu batas aman agar utang Indonesia berkesinambungan). Kedua,
    hasil estimasi menunjukkan bahwa walaupun biaya utang luar negeri lebih rendah
    dibandingkan dengan utang domestik, namun jika mempertimbangkan adanya biaya
    kondisionalitas yang menyertai utang luar negeri menyebabkan utang luar negeri
    lebih tidak efisien. Ketiga, dalam upaya menemukan alternatif terbaik portofolio utang
    komersial pemerintah jangka menengah, maka beban utang komersial jatuh tempo
    dapat dimoderasi dengan upaya reprofiling utang. Studi ini merekomendasi dua
    metode reprofiling utang.




                                        iii
DAFTAR ISI
BAB 1   PENDAHULUAN
1.1     Tujuan Penelitian……………………………………………………………………………                                                                                  1
1.2     Output dan Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………….                                                                         1
1.3     Latar Belakang……………………………………………………………………………                                                                                     1
1.4     Metodologi Penelitian…………………………………………………………………….                                                                                5
        Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah……………….                                                             5
        Efisiensi Utang Dalam dan Luar Negeri………………………………………………..                                                                       8
        Portofolio Utang Komersial Pemerintah………………………………………………..                                                                       9
        Data yang Digunakan…………………………………………………………………….                                                                                   9

BAB 2   STUDI PUSTAKA MANAJEMEN UTANG
2.1     Latar Belakang……………………………………………………………………...........                                                                             10
2.2     Tinjauan Teoretis Manajemen Utang …………………………………………............                                                                  11
        Definisi.....................................................................................................................   11
        Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian...................................................                                12
        Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal............................................................                             14
        Kesinambungan Fiskal...........................................................................................                 15
        Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan
        Fiskal.......................................................................................................................   16
        Konsolidasi Fiskal....................................................................................................          21
        Koordinasi Fiskal.....................................................................................................          23
        Manajemen Utang Pemerintah................................................................................                      24
        Kesalahan-kesalahan dalam Manajemen Utang...................................................                                    26
        Pembayaran Utang................................................................................................                28
        Restrukturisasi Utang.............................................................................................              30
2.3     Studi Empiris Manajemen Utang……………………………………………………….                                                                             34
        Kasus Negara-negara OECD.................................................................................                       36
        Kasus Negara-negara Emerging Market.............................................................                                42
        Kasus Negara-negara HIPC................................................................................                        43
        Kasus Uni Eropa.................................................................................................                46
        Kasus Eropa Tengah..........................................................................................                    47
        Kasus Sub Sahara..............................................................................................                  47
        Kasus Eritrea.......................................................................................................            48
        Kasus Gabon ......................................................................................................              49
        Kasus Filipina......................................................................................................            49
        Kasus Indonesia...................................................................................................              50




                                                                 iv
BAB 3 STUDI PUSTAKA PASAR OBLIGASI
3.1     Pasar Obligasi Pemerintah..................................................................................           59
        Tujuan Pasar Obligasi Pemerintah......................................................................                59
        Dampak Obligasi Pemerintah terhadap Perekonomian.......................................                               60
        Karakteristik Obligasi Pemerintah........................................................................             61
        Upaya Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi...............................................                             62
        Pasar Obligasi dan Sektor Perbankan.................................................................                  63
3.2     Optimal Borrowing...............................................................................................      64
        Strategi Manajemen Utang.................................................................................             67
        Aspek Manajemen Risiko....................................................................................            68
3.3     Pasar Obligasi Regional......................................................................................         70
3.4     Pemeringkatan Utang Publik...............................................................................             79

BAB 4   DATA
4.1     Sumber dan Jenis Data.....................................................................................             84
4.2     Negara Sampel Studi........................................................................................            85
        Data dalam Tabel dan Grafik.............................................................................               89
4.3     Gambaran Indikator...........................................................................................          89
        Rasio Utang terhadap PDB................................................................................               89
        Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB..............................                                   93
        Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB...............................................                               97
        Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB.....................................................                           101
        Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang...................................                                  105
        Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB...........................................................                       108
        Rasio Utang terhadap Penerimaan...................................................................                    111
4.4     Data Indonesia.................................................................................................       113
        Rasio Utang terhadap PDB Indonesia...............................................................                     114
        Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia..............                                        114
        Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia..............................                                     115
        Biaya Pinjaman Dalam Negeri...........................................................................                116
        Biaya Pinjaman Luar Negeri..............................................................................              117

BAB 5    ALTERNATIF TERBAIK KEBIJAKAN PEMBIAYAAN APBN JANGKA
         MENENGAH
5.1      Latar Belakang ..................................................................................................    121
5.2      Kesinambungan Keseimbangan Primer (Primary Balance) .........................….                                      126
5.3      Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB ....................................................                          137
5.4      Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan
         Rasio Utang terhadap PDB Indonesia ..............................................................                    145

BAB 6    EFISIENSI UTANG
6.1      Pengertian Pinjaman yang Efisien.....................................................................                159
6.2      Country Risk Indonesia......................................................................................         160
6.3      Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia........                                         164
6.4      Conditionalities Pinjaman Luar Negeri...............................................................                 166
6.5      Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia........................                                169
6.6      Portofolio Utang..................................................................................................   171



                                                              v
BAB 7   REPROFILING OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA
7.1     Latar Belakang………………………………………………………………………                                                                        174
7.2     Portofolio Utang Pemerintah………………………………………………………                                                                 175
7.3     Risiko-risiko Obligasi……………………………………………………………….                                                                  176
7.4     Beberapa Alternatif Restrukturisasi Utang……………………………………….                                                        177
7.5     Penataan Kembali Maturitas (Reprofiling) dan Konsekuensinya……………...                                              179
        Metode Rata-rata.............................................................................................    179
        Metode Rasio Tetap Beban Utang Obligasi Pemerintah Jatuh Tempo
        terhadap PDB..................................................................................................   183
7.6     Reprofiling dan Kapasitas Anggaran Pemerintah……………………………….                                                       189

BAB 8   KESIMPULAN
8.1     Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah……........                                           191
8.2     Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri………………………………….                                                       193
8.3     Reprofiling Obligasi Pemerintah Indonesia………………………………………                                                         194

        Lampiran 1: Daftar Pustaka……………………………………………………..                                                                 197
        Lampiran 2: Daftar Pertanyaan In-Depth Interview…………………………..                                                     205
        Lampiran 3: In-depth Interview dengan Narasumber…………………………..                                                     207
        Lampiran 4: Hasil Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance)
                    terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB untuk
                    Indonesia…………………………………………………………….                                                                    211
        Lampiran 5: Ringkasan Butir-Butir Kesepakatan dalam Letter of Intent
                    (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF………………..                                                 225




                                                             vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1     Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang
               terhadap PDB (b) ……………………………………………………………                                                                     7
Gambar   2.1   Perkembangan Utang Meksiko, 1990-2000..……………………………..                                                        36
Gambar   2.2   Perkembangan Utang Jerman, 1990-1999.….....………………………..                                                      37
Gambar   2.3   Perkembangan Utang Belgia, 1989-1998.…………..…………………….                                                        39
Gambar   2.4   Perkembangan Utang Jepang, 1984-1990…………………....................                                             40
Gambar   2.5   Perkembangan Utang Amerika Serikat, 1990-2002.……………………..                                                    41
Gambar   2.6   Perkembangan Utang Filipina, 1992-2001..……..………………………..                                                     50
Gambar   2.7   Perkembangan Utang Indonesia, 1990-2004.........................................                            51
Gambar   3.1   Pengeluaran Obligasi Amerika Serikat, Eropa dan Jepang Menurut
               Sumber Pendanaan (dalam US$ Miliar)................................................                          64
Gambar   3.2   Utang Publik yang Outstanding di Asia, Desember 2003......................                                   73
Gambar   3.3   Yield Obligasi Pemerintah Filipina.........................................................                  75
Gambar   3.4   Yield Obligasi Pemerintah Thailand.......................................................                    75
Gambar   3.5   Yield Obligasi Pemerintah Indonesia.....................................................                     76
Gambar   3.6   Yield Obligasi Pemerintah Malaysia........................................................                   76
Gambar   3.7   Yield Obligasi Pemerintah Singapura....................................................                      77
Gambar   3.8   Rata-rata Bulanan Nilai Tukar MYR (Ringgit) Terhadap USD dan Yen
               Jepang...................................................................................................   77
Gambar 3.9     Yield Obligasi Pemerintah Korea Selatan..............................................                       78
Gambar 4.1     Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002….                                               90
Gambar 4.2     Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market,
               1990-2002...…………………………………………………………………..                                                                     91
Gambar   4.3   Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2001.......                                          91
Gambar   4.4   Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002…                                               92
Gambar   4.5   Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2003…….                                              92
Gambar   4.6   Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
               OECD, 1988-2002……………………………………………………………                                                                      93
Gambar 4.7     Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
               Emerging Market, 1990-2001………………………………….……………                                                               94
Gambar 4.8     Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
               HIPC, 1984-2000……………………………………………………………..                                                                    95
Gambar 4.9     Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
               ASEAN, 1990-2002…………………………………………………………..                                                                    96
Gambar 4.10    Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara
               Asia, 1990-2002………………………………………………………………                                                                     96
Gambar 4.11    Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
               OECD, 1988- 2002………………………………………………………......                                                                 97
Gambar 4.12    Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
               Emerging Market, 1990-2001…..............................................................                    98
Gambar 4.13    Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
               HIPC, 1984-2001…………………………………………………………….                                                                     99
Gambar 4.14    Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
               ASEAN, 1990-2002…………………..........………………………………..                                                             100



                                                           vii
Gambar 4.15   Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara
              Asia, 1990-2002………………………………………………………………                                                        100
Gambar 4.16   Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
              OECD, 1988-2002………………………..………………………………….                                                       101
Gambar 4.17   Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
              Emerging Market, 1990-1999..................................................................   102
Gambar 4.18   Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
              HIPC, 1984-2002……………………………………………………………..                                                       103
Gambar 4.19   Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara
              ASEAN, 1990-2002………………………………..………………………...                                                     104
Gambar 4.20   Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Asia,
              1990-2002…………………………………………………………………….                                                           104
Gambar 4.21   Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di beberapa
              Negara OECD, 1988-2002…………………...……………………………..                                                  105
Gambar 4.22   Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa
              Negara HIPC, 1990-2001……………………….…………………………..                                                   107
Gambar 4.23   Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa
              Negara Asia, 1990-2002…………………………………………………….                                                    107
Gambar 4.24   Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa
              Negara ASEAN, 1990-2002…………………………………………………                                                     108
Gambar 4.25   Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD,
              1988-2002…………………………………………………………………….                                                           108
Gambar 4.26   Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia,
              1990-2002…………………………………………………………………….                                                           109
Gambar 4.27   Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN,
              1990-2002…………………………………………………………………….                                                           110
Gambar 4.28   Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC,
              1984-2000…………………………………………………………………….                                                           111
Gambar 4.29   Rasio Utang terhadap PDB Indonesia., 1980-2004........................…….                      114
Gambar 4.30   Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia,
              1980-2004…………………………………………………………………….                                                           115
Gambar 4.31   Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia, 1980-2004                                 115
Gambar 4.32   Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1980-2004……                                  116
Gambar 5.1    Rasio Keseimbangan Primer Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ......                             136
Gambar 5.2    Rasio Utang Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ............................…                    144
Gambar 6.1    Suku Bunga SIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004.........................................…                160
Gambar 6.2    Suku Bunga LIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004.............................................             160
Gambar 7.1    Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri Pemerintah 1999 –
              2010……………………………………………………………………………                                                              180
Gambar 7.2    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sebelum
              Reprofiling)……………………………………………………………………                                                         181
Gambar 7.3    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sesudah
              Reprofiling)……………………………………………………………………                                                         183
Gambar 7.4    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              4 Persen (Sebelum Reprofiling)…………………………………………….                                               184
Gambar 7.5    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              4 Persen (Sesudah Reprofiling)…………………………………………….                                               184
Gambar 7.6    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              4,5 Persen (Sebelum Reprofiling)………………………………………….                                              185
Gambar 7.7    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              4,5 Persen (Sesudah Reprofiling)………………………………………….                                              185
Gambar 7.8    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              5 Persen (SebelumReprofiling)……………………………………………..                                               186
Gambar 7.9    Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              5 Persen (Sesudah Reprofiling)…………………………………………….                                               186



                                                    viii
Gambar 7.10   Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              5,5 Persen (Sebelum Reprofiling)………………………………………..           187
Gambar 7.11   Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              5,5 Persen (Sesudah Reprofiling)………………………………………..           187
Gambar 7.12   Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              6 Persen (Sebelum Reprofiling)…………………………………………..            187
Gambar 7.13   Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB
              6 Persen (Sesudah Reprofiling)…………………………………………..            188




                                      ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1    Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)...............................................                              3
Tabel 1.2    Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan
             Tipe Kreditur ................................................................................................       4
Tabel 2.1    Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001 ..................                                        11
Tabel 2.2    Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB) ....................................................                        14
Tabel 2.3    Negara-Negara yang Sukses dalam Melakukan Konsolidasi Fiskal...........                                             22
Tabel 2.4    Faktor-Faktor yang Menghambat Persiapan Poverty Reduction Strategy
             Papers (PRSP) dan Negara-Negara HIPC yang Mengalaminya ................                                             44
Tabel 2.5    Indikator Utang Negara-Negara Berkembang dan HIPC ............................                                      45
Tabel 2.6    Utang Luar Negeri Indonesia, 1990-2002 ...................................................                          51
Tabel 2.7    Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 2000-2003........ .............................                                 53
Tabel 2.8    Rasio Keseimbangan Utang Eksternal dengan Ambang Batas Alternatif,
             2000.............................................................................................................   55
Tabel 2.9    Komparasi Rata-rata 5 Indikator Utang Indonesia dengan Negara-Negara
              OECD dan HIPC, 1992 – 1999...................................................................                      56
Tabel 2.10   Struktur Pinjaman Domestik dan Luar Negeri Indonesia , 1992-1999
             (dalam US$ juta).........................................................................................           57
Tabel 2.11   Rasio Utang Luar Negeri terhadap Total Penerimaan untuk Negara-negara
             HIPC, OECD dan Indonesia, 1992-1999.....................................................                            57
Tabel 3.1    Perkembangan Pasar Sekuritas Emerging Market……………………........                                                        60
Tabel 3.2    Tipe Utang Domestik (Obligasi) menurut Suku Bunga, 2000 (% terhadap
             Total Utang)……..……………………………………………………                                                                                61
Tabel 3.3    Penerbit Surat Utang Domestik, 2000 (% terhadap Total Utang)…………                                                    62
Tabel 3.4    Total Pembiayaan Eksternal yang Outstanding, 2001 (% PDB).................                                          71
Tabel 3.5    Struktur Obligasi yang Outstanding, 1994 dan 2000 (% terhadap Total
             Utang)… …………………………………………………………………………                                                                                72
Tabel 3.6    Kriteria-kriteria Region Negara Klub B……………………………………….                                                              80
Tabel 3.7    Obligasi Denominasi USD yang Beredar di Asia dan Rating-nya, 31
             Agustus 2004…………………………………………………………………...                                                                            81
Tabel 3.8    Pemeringkatan Obligasi Pemerintah 14 Negara Asia, 12 November
             2004………………………………………………………………………………                                                                                  82
Tabel 3.9    Pemeringkatan Indonesia Menurut 4 Lembaga Penilai…………………….                                                          83
Tabel 4.1    Rasio Pembayaran Bunga utang terhadap Total Utang di Beberapa
             Negara Emerging Market , 1992-1999........................................................                          106
Tabel 4.2    Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging
             Market, 1992-1999……………....................................................................                          109
Tabel 4.3    Rasio Utang terhadap Penerimaan Beberapa Kelompok Negara,
             1992-1999………………………………………………………………………..                                                                              112
Tabel 4.4    Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Dalam Negeri ……………………………..                                                            117
Tabel 4.5    Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Luar Negeri ………………………………..                                                            118
Tabel 4.6    Hasil Estimasi Forward Discount dan Biaya Pinjaman Luar Negeri ……..                                                 119
Tabel 4.7    Hasil Estimasi Rata-Rata Biaya Pinjaman…… ……………………………..                                                             120
Tabel 5.1    NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Dalam Negeri…………………….                                                           124
Tabel 5.2    NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri……………………….                                                           124




                                                             x
Tabel 5.3    NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri dengan Forward
             Discount………………………………………………………………………….                                                          124
Tabel 5.4    NDL Indonesia dengan Rata-rata Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan
             Luar Negeri………………………………………………………………………                                                         125
Tabel 5.5    Biaya Pinjaman untuk Berbagai Macam NDL……………………………….                                           125
Tabel 5.6    Determinan dari Surplus Anggaran............................................................   127
Tabel 5.7    Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara
             Industrialis, 1990-2002…………………………………………………………                                                  128
Tabel 5.8    Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara
             Emerging Market , 1990-2002……….………………………………………..                                               129
Tabel 5.9    Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Seluruh
             Negara OECD, 1990-2002…………………………………………………….                                                    131
Tabel 5.10   Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara
             Maju OECD, 1990-2002.……………………………………………………….                                                    132
Tabel 5.11   Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-
             negara HIPC, 1990-2002…….………………………………………………..                                                  133
Tabel 5.12   Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara-
             negara ASEAN, 1990-2002……………………………………………………                                                    134
Tabel 5.13   Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia,
             1970-2004………………………………………………………………………..                                                         135
Tabel 5.14   Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Keseimbangan
             Primer terhadap PDB……...……………………………………………………                                                   136
Tabel 5.15   Determinan dari Perubahan Rasio Utang terhadap PDB…………………..                                    138
Tabel 5.16   Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Seluruh Negara OECD,
             1990-2002…………………………………………………………………..……                                                         139
Tabel 5.17   Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara Maju OECD
             1990-2002………………………………………………………………………..                                                         140
Tabel 5.18   Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara HIPC
             1990-2002………………………………………………………………………..                                                         141
Tabel 5.19   Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara Emerging
             Market, 1990-2002…………….………………………………………………..                                                    142
Tabel 5.20   Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-Negara ASEAN
             1990-2002………………………………………………………………………..                                                         143
Tabel 5.21   Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 1970-2004……..                                144
Tabel 5.22   Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB..                              145
Tabel 5.23   Dampak Perubahan Tahun Dasar Perhitungan PDB terhadap Rasio
             Utang Pemerintah ………………………………………………………………                                                      146
Tabel 5.24   Asumsi Pendapatan Kapital dan Off-Budget Loss dalam Simulasi Rasio
             Keseimbangan Primer terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB....                              147
Tabel 5.25   Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untukl Berbagai Tingkat
             Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993)…………………………..                                         148
Tabel 5.26   Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat
             Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ...........................….......                 150
Tabel 5.27   Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer
             1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 1993).........................................................     152
Tabel 5.28   Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer
             1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 2000) ......................................................       153
Tabel 5.29   Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai
             Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993) .........................                   155
Tabel 5.30   Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai
             Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) .........................                   157
Tabel 6.1    Statistik Deskriptif Peringkat Risiko Beberapa Negara Berkembang,
             1998-1999………………………………………………………………………..                                                         162
Tabel 6.2    Suku Bunga T-Bond 10 Tahun................................................…………….               162
Tabel 6.3    Peringkat dan Premi Risiko Beberapa Negara Berkembang………………                                    163



                                                    xi
Tabel 6.4   Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri
            Indonesia……………………………………………………………………….                                                                        165
Tabel 6.5   Nilai dan Bobot Komponen Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri
            Indonesia.................................................................................................   165
Tabel 6.6   Serangkaian Conditionalities yang Pernah Diterapkan IMF pada
            Negara Debitur........................................................................................       167
Tabel 6.7   Simulasi Expected Cost of Borrowing Portofolio Utang pada Berbagai
            Bobot…………………………………………………………………………...                                                                         172
Tabel 7.1   Utang Dalam dan Luar Negeri Indonesia, 1997- 2004............................                                175
Tabel 7.2   Profil Pinjaman Pemerintah, Oktober 2004.............................................                        173
Tabel 7.3   Skedul Reprofiling Obligasi Pemerintah, 2004-2020...............................                             182
Tabel 7.4   Pembobotan Beban Reprofiling, 2007-2009............................................                          182
Tabel 7.5   Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja APBN 2004 dan
            RAPBN 2005...........................................................................................        189
Tabel 7.6   Skedul Pembayaran Bunga Utang..........................................................                      190




                                                          xii
Bab

  1
                   PENDAHULUAN

METODOLOGI - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR
NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN
ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING

1. 1 Tujuan Penelitian


        Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian atau penelitian secara mendalam dan hati-
        hati terhadap manajemen utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah dan
        assessment terhadap optimal borrowing.



1.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian


        Output utama dan ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
        1. Menemukan alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah.
        2. Mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada.
        3. Menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial jangka menengah.



1.3 Latar Belakang


        Sejak krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997, yang akhirnya menjadi krisis multi-
        dimensi, perekonomian Indonesia belum dapat pulih sepenuhnya. Tanda-tanda
        pemulihan krisis ekonomi mulai nampak, namun belum menunjukkan sinyal yang sangat
        prospektif.
        Krisis tersebut bermula dari krisis moneter di Thailand dan menular ke Indonesia dan
        negara-negara lain di Asia Timur, termasuk misalnya Malaysia dan Korea. Kedua negara
        tersebut terakhir telah mampu keluar dari krisis dan kembali menempuh jalur


                                                    1
pertumbuhan ekonomi tinggi. Sementara itu, Indonesia masih harus berkutat dengan
pertumbuhan ekonomi rendah (yaitu 4 persen nilai proyeksi tahun 2004). Pertumbuhan
ekonomi ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi negara sedang berkembang lain,
yaitu mereka diperkirakan tumbuh sebesar 5,6 persen tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi
yang rendah tersebut membawa konsekuensi serius pada ketidakmampuan menyerap
tingkat pengangguran yang tinggi.
Sebelum krisis menerpa beberapa negara Asia, Indonesia mengalami masa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang (6,8 persen tahun 1985-1994 dan
8,1 persen tahun 1995-1996) dengan defisit APBN yang relatif kecil. Indonesia mengalami
tekanan fiskal dan masalah-masalah domestik yang serius karena perubahan yang
drastis dalam momentum pembangunan ekonomi, dari high phase menjadi low phase.
Selama masa pertumbuhan ekonomi rendah, motor pembangunan terletak pada
pertumbuhan konsumsi rumah tangga, bukan pada investasi, ekspor, ataupun
pengeluaran pemerintah. Meskipun Indonesia sudah mencanangkan tahun 2003 sebagai
Tahun Investasi, namun investor belum terlalu tertarik untuk menginvestasikan dananya
karena berbagai kendala yang ada, baik menyangkut rendahnya kualitas dan kuantitas
infrastruktur, rendahnya insentif investasi dan penegakan kepastian hukum, maraknya
demonstrasi pekerja, maupun relatif mahalnya upah pekerja Indonesia dibandingkan
negara pesaing.
Mendorong laju pertumbuhan ekspor tidaklah mudah. Depresiasi memang membuat nilai
tukar rupiah melemah dan secara teoretis dapat mendorong ekspor. Namun, terdapat
berbagai kendala dalam mempromosikan ekspor, termasuk misalnya besarnya
kandungan bahan baku impor dalam produk ekspor sehingga harga produk tetap mahal.
Bahkan, dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, impor justru meningkat karena
selera masyarakat terhadap produk impor cukup tinggi.
Harapan terakhir mendongkrak pertumbuhan ekonomi rendah ini terletak pada ekspansi
fiskal. Namun manuver ekspansi fiskal menjadi tidak mudah karena peluang
meningkatkan penerimaan negara tidak akan mudah sampai dengan beberapa tahun
mendatang.
Secara teoretis ada empat cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan,
yaitu meningkatkan pajak dan harga sektor publik, mengurangi pengeluaran pemerintah,
mencetak uang, dan utang baru pemerintah (Dornbucsh, 1993). Namun perlu dicatat
beberapa kendala saran teoretis tersebut. Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan
pajak adalah basis pajak yang sempit, banyaknya transaksi informal, dan sulitnya
meningkatkan intensifikasi pemungutan. Meningkatkan harga sektor publik selain dapat
meningkatkan penerimaan juga mengurangi subsidi sehingga dapat mengurangi distorsi
pasar. Namun, kebijakan penurunan subsidi sering menuai penentangan yang besar dari
masyarakat dan menstimulasi inflasi. Pencetakan uang selain akan menstimulasi hiper-
inflasi, juga tidak dapat dilakukan karena undang-undang menempatkan Bank Sentral
independen dari intervensi pemerintah. Pilihan kebijakan utang juga dihadapkan pada
pilihan yang sulit. Pertama, utang luar negeri menjadi tidak mudah, terutama setelah
Indonesia memilih tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan IMF dan itu berarti
utang ditumpukan pada sumber dalam negeri (Abimanyu, 2004). Kedua, pasar dalam
negeri mungkin memiliki keterbatasan untuk menyerap kebutuhan utang pemerintah.
Pada sisi pengeluaran, manuver untuk men-fine-tune pengeluaran juga tidak mudah
karena banyak pos APBN yang merupakan pos wajib (misalnya Undang-undang Otonomi
Daerah mewajibkan Menteri Keuangan untuk menganggarkan setidaknya 26 persen dari
penerimaan dalam negeri untuk Dana Alokasi Umum). Pos wajib tersebut mayoritas
merupakan recurrent expenditures, bukan capital expenditures. Angka pengganda untuk
recurrent expenditures lebih rendah daripada capital expenditures.
Dalam ranah teori, paham Keynesian menyarankan ekspansi fiskal untuk mendorong
perekonomian (fiscal stimulus). Keynes (1936) memandang ekspansi fiskal melalui proses


                                          2
angka pengganda (multiplier) akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini
telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil.
Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal
ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor.
Pada sisi lain, paham Neo Klasik memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak
crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena
itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi
peran langsung dalam perekonomian.
Pada masa sebelum krisis, elemen penting dari kebijakan fiskal pada waktu itu adalah
Pengeluaran Rutin dibelanjai dengan penerimaan dalam negeri, baik berupa pajak
maupun bukan pajak, yang utamanya bersumber dari penerimaan sumber daya alam.
Sedangkan Pengeluaran Pembangunan sebagian dibelanjai dengan utang luar negeri
(utang dalam negeri pemerintah belum ada), yang berupa pinjaman bilateral dan
multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Pada tahun 1996, APBN menunjukkan surplus 1,9 persen dari produk domestik bruto
(Gross Domestic Product/PDB), utang pemerintah terhadap luar negeri sebesar US$55,3
miliar atau sekitar 24 persen dari PDB. Pada saat itu pemerintah belum memiliki utang
dalam negeri. Realisasi APBN tahun 1997 Semester I mencatat surplus 1,8 persen dari
PDB dan utang pemerintah tidak banyak berubah (Boediono, 2004).
Rasio utang luar negeri terhadap PDB sebelum krisis terbilang relatif kecil. Sebagai
perbandingan, rasio utang tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata di Asia dan negara
sedang berkembang (Tabel 1.1). Angka pencapaian Indonesia pada waktu itu jauh lebih
baik daripada Afrika, Asia tanpa Cina dan India, dan negara-negara pengutang parah
(Heavily Indebted Poor Countries).
                                       Tabel 1.1
                        Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)
        Keterangan     1995    1996    1997     1998    1999 2000     2001   2002   2003 2004
 Negara
                        41,5    39,4   38,7     43,5    44,7   40,6   40,1   40,9   37,7   35,0
 Berkembang

 Afrika                 72,1    67,7   63,5     65,9    65,5   63,0   61,0   59,3   49,2   46,5


 Asia                   32,6    31,1   32,5     37,0    34,1   30,7   29,9   27,4   25,3   23,8

 Asia Tanpa
                        52,5    51,4   59,1     84,7    72,2   65,4   65,4   57,7   51,7   47,4
 Cina dan India

 Timur Tengah
                        58,5    55,5   54,8     63,0    62,5   59,2   61,2   62,7   54,8   52,2
 dan Turki

 Western Hem.           36,9    35,5   33,7     37,9    44,3   38,7   38,9   45,3   44,1   40,0

 Negara Pengutang
                       125,8   111,6 100,5      99,2    97,2   94,4   92,1   83,5   74,8   70,7
 Parah
 Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003.

Krisis ekonomi membawa ekonomi Indonesia pada ekonomi stagflasi (ekonomi riil yang
macet dan hiper-inflasi) dan menyebabkan Pemerintah Indonesia terjerat dalam utang
yang sangat besar. Utang pemerintah meningkat dengan sangat tajam dari
US$55,3 miliar sebelum krisis menjadi US$134 miliar (83 persen PDB) di awal tahun
2000. Kondisi utang yang parah tersebut disebabkan karena tiga kebijakan utama yang
dilakukan pada waktu itu, yaitu BLBI, Kebijakan Penjaminan Bank, dan Kebijakan


                                                 3
Rekapitulasi Perbankan. Pemerintah dihadapkan pada kenyataan, bahwa dari semula
     memiliki tingkat utang pemerintah yang rendah menjadi tinggi, dan dari semula tidak
     memiliki utang dalam negeri menjadi memiliki utang dalam jumlah yang sangat besar
     (Rp643 triliun).
     Dari jumlah total Rp643 triliun tersebut, sekitar dua per tiga timbul karena kebijakan
     rekapitalisasi perbankan, sekitar seperempat berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya
     berasal dari kebijakan penjaminan bank. Kenaikan utang yang tajam ini bukan untuk
     pengeluaran baru (new spending), tetapi lebih disebabkan oleh kombinasi dari kekeliruan
     kebijakan pada masa lampau dan oleh krisis ekonomi.
     Utang yang tiba-tiba ini muncul karena pemerintah pada waktu itu dihadapkan pada
     pilihan yang sulit untuk segera keluar dari krisis. Dengan regulasi dan supervisi yang
     sangat lemah pada periode sebelum krisis menyebabkan swasta dapat dengan leluasa
     meminjam langsung dari luar negeri. Bagi kreditor luar negeri, mereka melihat utang
     swasta tersebut sebagai public and publicly guaranteed karena keluarga dari orang-orang
     berpengaruh pada waktu itu terlibat dalam usaha. Ketika krisis terjadi dan pengusaha
     gagal bayar, perbankan ikut limbung, dan kreditor memaksa pemerintah untuk mengambil
     alih utang-utang tersebut. Pemerintah dihadapkan pada contingent liabilities serius. IMF
     (2003) menghitung bahwa besarnya contingent liabilities akibat krisis lebih dari 50 persen
     PDB.
     Konsekuensi dari utang yang tiba-tiba tersebut adalah kemampuan APBN sebagai
     stimulus fiskal semakin lemah karena besarnya beban pos-pos pengeluaran yang
     merupakan kewajiban dan komitmen yang harus dijalankan (termasuk komitmen
     membayar pokok dan bunga pinjaman). Hal ini menyebabkan kebijakan fiskal berubah
     peran dari stimulus fiskal menjadi kesinambungan fiskal (Rahmany, 2004). Dengan
     berubahnya peran tersebut, peran pemerintah sebagai agen pembangunan melalui
     capital expenditures menjadi semakin lemah. Namun, peran kesinambungan fiskal ini pun
     tidak mudah. Jika APBN tidak dikelola dengan hati-hati, maka kemungkinan gagal bayar
     mungkin terjadi.
                                         Tabel 1.2
       Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan Tipe Kreditur

 Keterangan         1995      1996      1997      1998           1999      2000      2001      2002      2003     2004

Utang Total
(Milliar US$)      1.864,6    1.948,2   2.030,4   2.201,2       2 235,3   2.201,9   2.170,2   2.191,5   2.219,2   2.211,6

Maturitas(%):
Jangka
Pendek              14,6      15,0      14,6       12,5          11,5       10,7      9,8      10,2      10,4     10,8

Jangka
Panjang             85,4      85,0      85,4       87,5          88,5       89,3     90,2      89,8      89,6     89,2

Tipe
Kreditor(%):

Official            44,0      42,1      39,4       38,4          38,2       37,4     38,9      39,9      40,1     39,8

Bank                24,1      27,5      29,6       29,2          28,7       28,7     28,0      27,2      26,8     27,2

Swasta              31,9      30,4      31,0       32,4          33,2       33,8     33,1      32,9      33,1     32,9

Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003, diolah.

     Mayoritas utang Indonesia adalah utang jangka menengah. Perbandingan data
     internasional menunjukkan bahwa mayoritas utang di negara sedang berkembang adalah
     utang jangka panjang. Selain itu, mayoritas utang berasal dari pinjaman resmi (official)
     dan bank (Tabel 1.2).


                                                            4
Dornbusch (1993) mencatat bahwa dalam hal pinjaman luar negeri, kebanyakan kreditur
         tidak dalam posisi meng-amortisasi utang. Karena itu, pembedaan utang dalam jangka
         pendek-menengah-panjang menjadi tidak relevan. Namun, pendapat Dornbusch (1993)
         tidak seluruhnya benar untuk kasus Indonesia, karena utang tidak otomatis bisa roll-over.
         Karena itu, usaha serius untuk reprofiling utang perlu dilakukan. Reprofiling akan berhasil
         jika kredibilitas pemerintah dinilai baik oleh pelaku pasar
         Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban
         fiskal yang lain jika perekonomian mengalami shocks. Aktifitas semi-fiskal (quasi fiscal)
         dari BUMN dan BUMD dapat merupakan contingent liabilities jika mereka tidak dikelola
         dengan benar. BUMN dan BUMD memang terpisah dari keuangan negara (APBN), tetapi
         aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan public and publicly guaranteed dan
         semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham dan alasan “too big to fail”.
         Pemerintah bekerja sama dengan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17
         Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan
         Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit
         Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
         Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”.
         Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari
         general governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari general
         governments terhadap PDB maksimal 60 persen. Dalam kedua produk hukum tersebut
         juga diatur bahwa Pinjaman Daerah dengan dana dari luar negeri harus melalui skema
         penerusan pinjaman (on lending).



1.4 Metodologi Penelitian


Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah
         Tim PPE FE UGM memandang bahwa studi kesinambungan fiskal (fiscal sustainability)
         perlu dilakukan secara mendalam dan hati-hati. Untuk menemukan formula optimal
         pembiayaan (alternative financing) APBN yang mencakup pembiayaan dalam dan luar
         negeri, Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Functions dan
         melakukan simulasi untuk mengetahui besarnya keseimbangan primer bagi Indonesia.
         Namun, sebelum estimasi Fiscal Policy Reaction Functions dan simulasi dilakukan,
         besarnya Natural Debt Limit (NDL) untuk Indonesia perlu diestimasi terlebih dahulu.

         Natural Debt Limit (NDL)
         NDL merupakan batas yang dikendaki oleh pemerintah dimana pengeluaran ditekan pada
         tingkat yang minimum dan tidak menciptakan utang melebihi batas yang dapat dibayar.
         Mendoza dan Oviedo (2004) mendefinisikan Natural Debt Limit (NDL) sebagai nilai
         anuitas dari keseimbangan fiskal atau Primary Balance (PB) pada saat terjadi krisis fiskal.
         Krisis fiskal sendiri didefinisikan sebagai keadaan setelah adanya goncangan penerimaan
         pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut disesuaikan pada tingkat minimum pada
         periode yang panjang.
         NDL dipengaruhi oleh rasio penerimaan terhadap PDB, rasio pengeluaran terhadap PDB,
         suku bunga pinjaman dan tingkat pertumbuhan, walaupun dalam keadaan krisis fiskal.
         Secara umum, NDL diturunkan dari kemungkinan dinamis keseimbangan primer.




                                                     5
Fiscal Policy Reaction Function
Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Function untuk
mengevaluasi formula optimal pembiayaan APBN. Model Fical Policy Reaction Function
menggunakan variabel dependen primary balance dan first difference rasio utang
terhadap PDB. Model tersebut diestimasi dengan data runtut waktu dan data panel.
Pendekatan Fiscal Policy Reaction Function dapat dijelaskan dengan model sederhana
berikut. Utang pada periode t+1 (Bt+1) merupakan penjumlahan utang periode t (Bt)
ditambah kebutuhan pembiayaan Ft (IMF, 2003)
    Bt + 1 = Bt + F t                                                         (1.1)

Persamaan (1.1) dapat ditulis ulang menjadi

    B t + 1 = (1 + r ) B t + S t − R t = (1 + r ) B t − P t                   (1.2)

St adalah pengeluaran selain bunga, Rt adalah penerimaan pemerintah, sehingga Rt - St =
Pt adalah primary surplus, dan r adalah suku bunga pinjaman.
Persamaan (1.2) dapat ditulis ulang dalam bentuk rasio terhadap PDB (Y) sebagai
berikut.


   Bt + 1 Y t + 1
                  = (1 + r ) t − t
                            B   P
   Yt +1 Yt                 Yt Yt
                                                                              (1.3)
   (1 + g ) bt + 1 = (1 + r ) bt − pt

Utang akan berkesinambungan jika setidaknya bt+1 = bt, sehingga pt = bt (r-g). Dengan
demikian, tingkat primary surplus (terhadap PDB) dapat digunakan sebagai target
operasional Fiscal Reaction Function, yaitu:


   p t = α + ∑ J = 1β j X jt + ρ b t − 1 + ε t
               j
                                                                              (1.4)


Vektor Xj adalah variabel makro ekonomi yang mempengaruhi primary surplus. Dalam
model ini koefisien ρ diharapkan positif untuk memastikan terjadinya long-run solvency.
Model pada Persamaan (1.4) dapat diestimasi dengan data runtut waktu (data runtut
waktu Indonesia) atau panel (data dari beberapa negara). Namun, jika kita membahas
besarnya primary surplus yang optimal maka besarnya primary surplus Indonesia harus
dibandingkan dengan standar internasional (benchmarking). Karena itu Tim PPE FE UGM
mengestimasi model tersebut dengan data panel dan diestimasi dengan metode Fixed
Effects Generalized Least Square. Persamaan (1.4) dapat dimodifikasi untuk
mengakomodasi cross-section components (dilambangkan dengan sub-script i).


   p it = α i + ∑ J = 1β j X ijt + ρ b it − 1 + ε it
                  j
                                                                              (1.5)




                                                       6
Pada prinsipnya skenario kebijakan surplus primer optimal dilakukan sebagai berikut
     (seperti terlihat pada Gambar 1.1)1. Jika posisi utang Indonesia pada periode t-1 adalah
     sebesar bt-1 dan besarnya p Indonesia pada periode t yang dipilih pemerintah berada di
     bawah nilai prediksi rata-rata antar negara (titik A pada Gambar 1.1) maka p harus
     dinaikkan untuk dapat mencapai rata-rata tersebut dan mencapai kesinambungan fiskal.
     Ada empat pilihan tersedia bagi pemerintah.
          1. Pertama, besarnya p langsung dinaikkan menuju titik E. Dalam hal ini besarnya b
             tidak berubah pada periode t.
          2. Kedua, otoritas menaikkan p tidak setinggi AE, tetapi hanya fraksi dari itu (misal
             AB). Pilihan ini berakibat bt meningkat. Untuk mencapi fiscal sustainability
             pemerintah dapat memilih jalur semacam garis BG.
          3. Ketiga, pemerintah menolak menaikkan p dan mempertahankannya pada
             ketinggian A (mengikuti garis AF). Strategi ini akan membawa kondisi fiskal pada
             situasi unsustainable dan nilai b akan meningkat pada periode t serta berpotensi
             menuju krisis utang. Jika akhirnya pemerintah memilih fiscal sustainability maka
             besarnya surplus yang harus diadakan menjadi sangat besar.
          4. Keempat, pemerintah justru mengurangi besarnya surplus menuju defisit. Jika
             pemerintah melakukan anggaran defisit dan ingin mencapai sustainability pada
             periode berikutnya maka pemerintah dapat memilih jalur AJ.
                                      Gambar 1.1
         Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang terhadap PDB (b)


           Utang Nol
                                              B
pt
                                                                    Nilai
                 H                                                  prediksi p
                                                  D
                                                                         G
                                                                                  J
                                          E


                                          B
                                                                                       F
             I                            A                                                 Krisis utang

         p dan b = 0

                                          bt-1*                              bt-1|Xt

     Opsi sebaliknya tersedia jika posisi awal p pada periode t berada di atas nilai prediksi
     rata-rata antar negara (Titik B pada Gambar 1.1). Terdapat tiga opsi bagi pemerintah.
          1. Pertama, p langsung dikurangi dari titik B menuju E. Dalam hal ini fiscal
             sustainability tercapai, dan nilai b pada periode t tidak berubah.



     1
      Gambar 1.1 lebih merupakan ancangan berpikir. Dalam prakteknya saran yang akan diberikan didasarkan pada
     hasil estimasi data empiris.



                                                         7
2. Kedua, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan besarnya p pada jalur
                BH. Jika strategi ini ditempuh, maka fiscal sustainability dapat dipertahankan
                serta stok utang akan cepat berkurang menuju nol. Strategi kedua ini juga
                merupakan strategi yang baik jika tujuan pemerintah yang utama adalah ``segera
                melunasi utang.
             3. Ketiga, pemerintah mengambil kebijakan semacam jalur BI pada Gambar 1.1.
                Output strategi ketiga adalah besarnya p dan b akan turun dalam jangka panjang.
         Berdasarkan metode yang diusulkan pada bagian ini dan hasil wawancara pada bagian
         sebelumnya, dapat dihasilkan ide-ide kreatif untuk mencari formula optimal alternatif
         kebijakan utang pemerintah Indonesia. Dengan metodologi ini pemerintah memiliki
         berbagai skenario besarnya surplus (primary balance) yang dipilih serta konsekuensi stok
         utang.
         Dengan menggunakan hasil analisis pada Fiscal Policy Reaction Functions dapat
         dibandingkan kinerja fungsi reaksi Indonesia dengan negara-negara maju yang kinerja
         pengelolaan utangnya baik dan dengan negara-negara pengutang parah. Dengan
         pendekatan ini dilakukan evaluasi, apakah fungsi reaksi Indonesia lebih mendekati negara
         yang mengelola utang dengan baik ataukah lebih mendekati negara pengutang parah.

         Simulasi Keseimbangan Primer
         Metode yang digunakan dalam simulasi keseimbangan primer dan utang Indonesia ini
         sama dengan metode yang digunakan oleh Bank Dunia (2002). Namun kemudian
         dilakukan perubahan untuk beberapa asumsi agar hasil simulasi ini lebih dekat dengan
         kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
         Simulasi ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar penurunan rasio utang terhadap
         PDB yang terjadi melalui berbagai asumsi keadaan fiskal dan makroekonomi Indonesia
         yang mungkin dicapai. Dalam simulasi ini, dilakukan prediksi untuk rasio keseimbangan
         primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB dari tahun 2004 sampai dengan
         2010. Rasio utang terhadap PDB yang menjadi dasar simulasi adalah rasio tahun 2004.
         Dalam simulasi ini perubahan yang terjadi pada rasio utang terhadap PDB dipengaruhi
         oleh selisih antara pertumbuhan PDB dengan rata-rata suku bunga yang dibayarkan
         pada utang pemerintah, primary fiscal surplus, capital revenue serta off budget losses.


Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri

         Untuk mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada, Tim
         PPE FE UGM melakukan tiga hal. Pertama, yang dilakukan adalah wawancara terfokus
         dan mendalam (in-depth interview). Fokus topik yang ditanyakan adalah evaluasi efisiensi
         kebijakan pembiayaan APBN dan kebijakan utang.
         Kedua, dilakukan analisis data kuantitatif biaya pinjaman dan portofolio utang yang
         optimal. Data yang digunakan dalam analisis efisiensi dan portofolio utang diperoleh dari
         Departemen Keuangan dan Bloomberg Online.
         Ketiga, analisis deskriptif country risk dan biaya kondisional biaya pinjaman luar negeri.
         Analisis country risk Indonesia dilakukan untuk mengetahui persepsi Internasional
         terhadap risiko untuk melakukan investasi di Indonesia. Analisis biaya kondisionalitas
         dilakukan dengan cara mengamati pengalaman empiris beberapa negara, termasuk
         Indonesia, dalam memperoleh pinjaman dari kreditur asing.




                                                     8
Portofolio Utang Komersial Pemerintah

         Reprofiling dalam konteks manajemen utang merupakan upaya memindahkan beban
         utang yang terkonsentrasi pada satu periode tertentu dengan cara memperpanjang
         periode maturitas. Konsekuensi yang dihadapi pemerintah adalah suku bunga kupon
         akan naik, kepercayaan pasar dapat turun dan beban pembiayaan memanjang. Namun
         keuntungannya adalah risiko default dapat dihindarkan sehingga kredibilitas pemerintah
         dapat terjaga. Sasaran reprofiling adalah membuat profil dan skedul pembayaran beban
         utang obligasi pemerintah menjadi lebih moderat.
         Dalam melakukan studi tentang reprofiling utang Pemerintah Indonesia, Tim PPE FE
         UGM menggunakan data pembayaran bunga, pokok pinjaman dan maturitas tahunan
         dari tahun 2004-2020. Dari observasi yang dilakukan kemudian dapat diidentifikasi profil
         maturitas obligasi Pemerintah Indonesia. Selain itu dikumpulkan juga berbagai keterangan
         dari staf (melalui wawancara) dan publikasi Departemen Keuangan RI perihal maturitas
         utang Indonesia jangka menengah.


Data yang Digunakan

         Data yang digunakan dalam studi manajemen utang ini diperoleh dari International
         Financial Statistics (IFS), Government Financial Statistics (GFS), Global Development
         Finance, Key Indicator Asian Development Bank 2004, OECD Outlook 2004, Statistik
         Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Departemen Keuangan dan Bloomberg
         Online. Data-data yang dikumpulkan adalah data untuk Central Government dengan
         pendekatan Cash Basis. Tim PPE FE UGM melakukan perbandingan data-data yang
         telah dikumpulkan. Untuk Indonesia data yang dikumpulkan diusahakan dalam seri yang
         sepanjang mungkin.




                                                    9
Bab            STUDI PUSTAKA
  2
                 MANAJEMEN
                   UTANG
STUDI PUSTAKA – STUDI MANAJEMEN UTANG
LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH
DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL
BORROWING

2.1 Latar Belakang


       Pemerintah adalah suatu lembaga yang mengemban amanat rakyat untuk
       menyelenggarakan kehidupan bernegara. Secara khusus, pemerintah dapat
       merepresentasikan suatu negara. Pemerintah suatu negara wajib menjalankan tiga fungsi
       pemerintah, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut,
       pemerintah membutuhkan dana.
       Dalam mengatur anggaran pengeluaran dan penerimaan, pemerintah menjalankan
       kebijakan fiskal. Operasionalisasi kebijakan ini dapat berupa pengeluaran konsumsi,
       pengeluaran investasi dan pengelolaan pendapatan.
       Keseluruhan fungsi fiskal ini dapat tercapai secara berkelanjutan jika penerimaan negara
       (pemerintah) sesuai dengan kebutuhan pengeluarannya. Jika tidak, dibutuhkan alternatif
       pembiayaan tambahan yang mencakup pendanaan internal dan eksternal. Sehubungan
       dengan pendanaan eksternal, utang menjadi suatu alternatif kebijakan pembiayaan
       negara.
       Todaro (2000) secara khusus berpendapat bahwa saving gap (kesenjangan tabungan
       dan kebutuhan investasi) dapat menjadi penyebab utang luar negeri. Jika akumulasi
       kapital domestik menurun, maka diperlukan modal dari luar negeri untuk mengolah
       sumber daya domestik tersebut. Todaro menyebutnya sebagai imported capital. Selain
       itu, defisit transaksi berjalan dalam neraca perdagangan juga dapat menyebabkan
       terjadinya kesenjangan kapasitas pembayaran.
       Perhatian terhadap utang dan defisit memiliki arti penting dalam analisis keuangan
       pemerintah. Hal ini disebabkan karena defisit yang dibiayai oleh bank sentral dengan
       pencetakan uang akan mendorong terjadinya inflasi. Sementara defisit yang dibiayai
       dengan surat utang akan menimbulkan efek crowding-out (dengan asumsi-asumsi
       tertentu).


                                           10
Pada dasarnya, tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki utang. Ketidakseimbangan
           aliran modal umumnya terjadi. Utang tidak selalu merugikan, sejauh dikelola dengan baik.
           Pada tahun 2001, OECD Economic Outlook mencatat bahwa negara industri maju di
           dunia pun mempunyai rekening pinjaman dalam struktur PDB mereka. Sebagai contoh,
           Jepang dan Itali memiliki rasio utang terhadap PDB yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat
           pada Tabel 2.1.
                                               Tabel 2.1
                        Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001
                                      Persentase Utang                          Persentase Utang
                     Negara                                     Negara
                                       terhadap PDB                              terhadap PDB
              Jepang                        119            Irlandia                    54
              Italia                        108            Spanyol                     53
              Belgia                        105            Finlandia                   51
              Kanada                        101            Swedia                      49
              Yunani                        100            Jerman                      46
              Denmark                        67            Austria                     40
              Inggris                        64            Belanda                     27
              Amerika Serikat                62            Australia                   26
              Perancis                       58            Norwegia                    24
              Portugal                       55
           Sumber: OECD Economic Outlook, 2001.

           Utang akan aman bagi kondisi fiskal suatu negara jika pemerintah mampu memelihara
           kestabilan antara penerimaan pinjaman yang diperoleh dengan kemampuan pembayaran
           kembali. Jika tidak, maka utang akan mengganggu kestabilan ruang gerak pembiayaan
           negara. Stabilitas yang harus dicapai inilah yang disebut sebagai kesinambungan fiskal
           (fiscal sustainability).




2.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang


Definisi
           Ada berbagai pengertian kesinambungan fiskal. Ayumu Yamauchi (2004) berpendapat
           bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi jika nilai sekarang (present value) dari batasan
           pengeluaran (expenditure constraint) yang akan datang dapat dipenuhi tanpa harus
           melakukan koreksi atau penyesuaian fiskal untuk mencapai keseimbangan. Barnhill dan
           Kopits (2003) melihat bahwa kesinambungan fiskal merupakan interaksi antara
           keseimbangan anggaran primer dengan parameter kunci, yaitu pertumbuhan dan tingkat
           bunga yang mempengaruhi pembayaran utang publik. Sementara Blanchard et.al. (1990),
           berpandangan bahwa posisi utang yang aman akan tercapai bila rasio utang mengarah
           kepada keadaan semula.
           Pengertian kesinambungan fiskal yang lain lebih melihat pertumbuhan ekonomi sebagai
           penyeimbang stok utang dan kemampuan fiskal. Jika PDB tumbuh lebih tinggi daripada
           pertumbuhan stok utang dan kontinyu, maka posisi fiskal akan aman bagi pembayaran
           utang. Pendapat ini dikemukakan misalnya oleh Joseph Ntamatungiro (2004) dan
           Sebastian Edwards (2002). Ntamatungiro menekankan bahwa fiskal akan aman jika
           terdapat kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, Edwards berpendapat
           bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner.
           IMF dan Bank Dunia secara sederhana mendefinisikan kesinambungan utang luar negeri
           (external debt sustainability) suatu negara sebagai kemampuannya dalam memenuhi
           kewajiban berjalan dan yang akan datang secara penuh tanpa perlu adanya penjadwalan

                                                  11
kembali atau tunggakan (arrears). Sementara itu, Uni Eropa memiliki fiscal-financial
        programme sebagai panduan stabilitas fiskal-finansial negara-negara anggotanya.
        Kesinambungan fiscal-financial programme suatu negara didefinisikan sebagai ketiadaan
        risiko gagal bayar, yaitu tingkat utang harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang
        (present value) semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang (Buiter dan
        Graf, 2002).
        Pada umumnya negara debitur akan menghadapi banyak permasalahan menyangkut
        utang yang dilakukan, antara lain solvabilitas, likuiditas, kesinambungan dan kerentanan.
        Menurut Geithner (2002), solvabilitas terjadi jika Present Discounted Value (PDV) dari
        pengeluaran primer (E) saat ini dan masa yang akan datang tidak melebihi PDV
        pendapatan (Y) saat ini dan yang akan datang dikurangi initial indebtedness (utang mula-
        mula/Dt-1). Secara matematis, kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut:

                ∞                                 ∞
                              E1+ i                            Y1+i
                ∑
                i =0
                        1
                                                 ≤∑
                                                 i =0
                                                         1
                                                                                 − (1 + rt ) Dt −1   (2.1)
                       C (1 + r
                       i =1
                                      t +1   )          C (1 + r
                                                        i =1
                                                                      t +1   )

        Likuiditas terjadi jika kondisi solvabilitas dapat terpenuhi atau ketika aset likuid dan dana
        yang ada dapat memenuhi maturitas utang. Kerentanan terjadi jika terdapat goncangan
        pada solvabilitas dan likuiditas keuangan negara. Sedangkan kesinambungan dalam hal
        utang didefinisikan sebagai situasi dimana peminjam dapat memenuhi kewajiban
        utangnya tanpa harus melakukan koreksi pada keseimbangan penerimaan dan
        pengeluaran masa yang akan datang.


Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian
        Sebagai pelaku ekonomi, pemerintah juga mempunyai andil dalam perkembangan
        perekonomian suatu negara. John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory
        of Employment, Interest and Money (1936) menyarankan dilakukannya kebijakan
        pemerintah yang ekspansif untuk membantu mengurangi pengangguran akibat depresi
        ekonomi.
        Hal ini berbeda dengan pendapat David Ricardo (1772-1823). Ricardo berpendapat
        bahwa upaya pemerintah untuk mempengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal tidak
        akan berhasil. Jika terjadi defisit anggaran dan pemerintah melakukan pinjaman untuk
        menutupinya, maka ini sebenarnya merupakan pajak yang tertunda. Berdasarkan
        ekspektasi rasionalnya, konsumen akan beranggapan bahwa pemerintah akan
        mengkompensasikan dana pinjaman tersebut dengan cara menaikkan pajak di masa
        yang akan datang. Inilah yang disebut sebagai Ekuivalensi Ricardian (Ricardian
        Equivalence).
        Menurut aliran Neoklasik, pinjaman yang dilakukan pemerintah terhadap publik akan
        berakibat pada berkurangnya investasi swasta. Hal ini disebabkan penurunan cadangan
        dana publik akan diikuti oleh meningkatnya tingkat bunga. Dengan biaya modal yang
        tinggi investasi swasta menjadi tertekan dan pertumbuhan ekonomi akan menurun.
        Fenomena ini disebut sebagai crowding out.
        Friedman (1987) menegaskan potensi terjadinya crowding-out ini pada masa-masa rawan
        defisit fiskal, bahkan pada saat perekonomian mencapai full-employment. Dalam
        penelitiannya, ia menemukan bahwa utang pemerintah akan berhubungan dengan
        penyerapan utang swasta. Selain itu utang juga berhubungan dengan tingkat pendapatan.
        Teorinya didasarkan pada dua hipotesis perilaku pemberi pinjaman, yaitu:




                                                               12
1. Modigliani’s Life-Cycle Hypothesis of Saving
    Pada perekonomian maju dengan sebaran populasi yang stabil, individu akan
    menyimpan dana pada berbagai pilihan dimana terdapat kestabilan hubungan antara
    pendapatan dengan kesejahteraan ekonomi secara agregat.
2. Risk-Averse Portfolio Behavior Theory
    Investor akan menanamkan dananya pada portfolio yang meminimalisir risiko dan
    memaksimalkan keuntungan.
Swasta akan mengambil pinjaman berdasarkan pada faktor-faktor seperti tingkat
keuntungan usaha, ketersediaan kredit, tingkat pajak, risiko ekonomi maupun non
ekonomi dan regulasi tentang kepailitan. Dengan adanya rasionalitas sektor swasta, maka
kenaikan tingkat utang pemerintah akan direspon sebagai ekspektasi kenaikan pajak di
masa mendatang. Jika hal ini terjadi maka Ricardian equivalence akan berlaku.
Berkaitan dengan defisit fiskal, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian akan
berbeda. Hal ini bergantung pada cara pemerintah mengatasi kekurangan tersebut.
Hoogendorn (1996) melengkapi analisis dengan 2 kemungkinan solusi yang diambil
pemerintah untuk keluar dari defisit. Pertama, melakukan pinjaman ke swasta. Sejalan
dengan pemikiran Neoklasik, skenario ini akan melahirkan efek tekanan terhadap swasta
dalam hal kesempatan berinvestasi. Kedua, menambah penerimaan pajak, misalnya
melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan perbaikan administrasi.
Defisit fiskal juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Mankiw (2003)
mencatat tiga efek yang dapat ditimbulkan oleh ekspansi anggaran pemerintah yang
terlampau eksesif. Pertama, terjadinya ekspansi di sektor moneter yang berujung pada
peningkatan jumlah uang beredar (inflasi). Kedua, jika tidak ditangani dengan baik, akan
berlanjut dengan pelarian modal (capital flight) ke luar negeri. Di beberapa negara,
persentase capital flight terhadap utang pemerintah menunjukkan angka yang cukup
tinggi. Bahkan, Venezuela pernah memiliki persentase capital flight terhadap utang
pemerintah sebesar 240 persen pada akhir tahun 1988. Indonesia pernah mengalami
capital flight yang besar pada puncak krisis 1998. Ketiga, dalam jangka panjang akan
timbul pergeseran beban utang ke generasi yang akan datang.
Dampak kontradiktif perilaku fiskal terhadap pasar uang juga diamati oleh Brandon dan
Marquez (1988). Studinya tentang dampak pemotongan pengeluaran pemerintah
terhadap suku bunga di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa suku
bunga cenderung menurun jika pemerintah berhenti berekspansi.
Konservatisme fiskal juga memiliki pengaruh terhadap perekonomian. Di negara-negara
maju seperti Jepang, Jerman (Chouraqui, 1986) dan Amerika Serikat (Friedman, 1981),
rasio utang terhadap PDB justru distabilkan dalam jangka pendek. Utang Amerika Serikat
pasca Perang Dunia II yang umumnya bersifat jangka panjang dikonversikan dalam
jangka pendek untuk segera diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko di
masa depan.
Buiter (1983) mengutarakan kemungkinan adanya ruang bagi pemerintah untuk
melakukan intervensi terhadap perekonomian. Hal ini berdasarkan teori Neo-Keynesian
tentang peran penting campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada
dua alasan pemerintah melakukan campur tangan dalam perekonomian. Pertama,
intervensi karena alasan distribusi. Pemerintah dapat melakukan redistribusi pendapatan
untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya melalui reformasi
pajak dan struktur yang progresif. Kedua, untuk mengatasi kegagalan pasar. Sebagai
contoh, jaminan kredit untuk mengatasi asymmetric information mengenai usaha yang
akan didanai olehnya.




                                   13
Buiter yakin bahwa anggaran pemerintah mampu menstabilkan permintaan agregatif
        masyarakat pada saat tertentu. Hal ini melibatkan pajak dan transfer (termasuk subsidi),
        ketika variabel konsumsi dan investasi tidak berubah.


Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal
        Selain dampak aktivitas fiskal terhadap perekonomian, kondisi perekonomian suatu
        negara juga dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal pemerintah negara tersebut.
        Inflasi yang tinggi, perubahan nilai tukar dan tingkat keterbukaan ekonomi dan
        perdagangan merupakan contoh hal-hal yang dapat mempengaruhi operasi keuangan
        pemerintah baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran.
        Rosen (1999) menyatakan bahwa aktivitas konsumsi, penjualan dan akumulasi kekayaan
        merupakan sumber pendapatan negara yang utama. Pajak memainkan peranan vital bagi
        kelangsungan fiskal pemerintah. Di Inggris dan Eropa, pajak pertambahan nilai (Value
        Added Tax/VAT) menjadi sumber penerimaan penting walaupun kebijakan ini tidak lazim
        di Amerika Serikat. Jenis pajak yang dominan di Amerika Serikat adalah pajak penjualan.
        Pada tahun 1994, total pajak penjualan di tingkat negara bagian mencapai 38 persen dari
        total penerimaan negara di Amerika Serikat. Namun penerimaan dari pajak ini sangat
        bergantung pada aktivitas perekonomian. Jika aktivitas perekonomian mengalami
        kelesuan maka penerimaan pajak pun akan mengalami tekanan.
        Menurut Buiter dan Juan (1993), tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit
        primer melalui penurunan nilai riil dari penerimaan pajak. Sementara itu, jika swasta
        memiliki piutang dalam bentuk mata uang domestik dengan bunga tetap maka inflasi akan
        mempengaruhi nilai riil penerimaan piutang tersebut.
        Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap
        beban fiskal. Pada tahun 1981-1983 Meksiko mengalami sudden stop, yaitu terhentinya
        aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya
        kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak
        menentu. Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan. Krisis yang dialami
        Meksiko ini dikenal sebagai ‘Tequila Crisis’. Nilai aliran devisa masuk yang tertunda
        mencapai 20 persen dari total PDB Meksiko saat itu. Selain Meksiko, Calvo (2004) juga
        mendeteksi gejala sudden stop di negara-negara berkembang lainnya.
        Terjadinya sudden stop didorong oleh faktor eksternal dan internal. Contoh variabel
        eksternal adalah efek domino (contagious effect). Sedangkan variabel internal meliputi
        tarif, situasi politik dan tata kelola. Adanya dolarisasi utang-utang domestik (Domestic
        Liabilities Dollarization/DLD) membuat posisi fiskal pemerintah terbuka terhadap
        goncangan. Namun hal ini dilakukan untuk menarik minat kreditur, mengingat preferensi
        memegang dolar sangat tinggi.
                                               Tabel 2.2
                                Biaya Restrukturisasi Finansial ( % PDB)
                   Negara                        Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB)
                   Indonesia, 1997                                  47
                   Thailand, 1997                                    29
                   Chili, 1981-1987                                 29
                   Meksiko, 1994-1999                               19
                   Korea, 1997                                      17
                   Swedia, 1990-1993                                 4
                   Amerika Serikat, 1980-1992                        2
                Sumber : IMF, 2000

        Selain di Amerika Latin, dampak perekonomian terhadap fiskal juga terjadi di Asia.
        Pengalaman menunjukkan bahwa krisis Asia pada periode 1997-1998 segera diikuti oleh


                                            14
bertambahnya utang publik. Penurunan nilai tukar beberapa negara Asia pada saat itu
        mengakibatkan kredit macet yang ditanggung oleh sektor perbankan. Kredit macet
        tersebut harus segera diambil alih oleh pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya
        penjaminan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Biaya restrukturisasi finansial
        di Indonesia sendiri relatif lebih besar dibandingkan beberapa negara lainnya (Tabel 2.2).


Kesinambungan Fiskal

        Kesinambungan fiskal diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu indikator
        surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Menurut Cuddington (1996), defisit atau
        surplus keseimbangan primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan
        indikator utama dalam pengukuran ketahanan fiskal. Secara matematis, besar utang pada
        periode t merupakan utang pada periode sebelumnya (t-1) ditambah bunga, dikurangi
        surplus primer. Besar utang tersebut dirumuskan sebagai berikut.
               Bt = (1 + rt) Bt – n – SURPB                                               (2.2)
        Di mana :
        Bt:       jumlah utang pemerintah yang beredar pada tahun t
        rt:       tingkat bunga
        SURPB: surplus pada keseimbangan primer

        Keseimbangan primer adalah selisih antara anggaran dan pengeluaran pemerintah di luar
        bunga dan cicilan utang. Menurut definisi Accounting Approach yang diperkenalkan oleh
        Cuddington, defisit atau surplus pada keseimbangan primer akan berkesinambungan bila
        keseimbangan primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan.
        Tingkat pertumbuhan ekonomi (PDB) tidak boleh lebih rendah dari suku bunga utang.
        Dalam hal ini, surplus primer dari ekspor dipandang sebagai kompensator bagi ketahanan
        utang. Namun ukuran ini tidak cocok untuk negara berkembang. Cuddington (1996)
        menyatakan bahwa metode ini hanya cocok untuk negara-negara yang ekspornya maju.

        Aplikasi Accounting Approach ini harus memperhatikan kemungkinan penggunaan
        pencetakan uang sebagai sumber pembiayaan fiskal. Oleh karena itu, surplus (SURPB) di
        atas harus diterjemahkan sebagai surplus primer ditambah penerimaan dari pencetakan
        uang yang berkesinambungan (sebagai rasio dari PDB).
        Metode lain yang diperkenalkan oleh Cuddington adalah Present Value Budget Constraint
        (PVBC). Cuddington berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan tercapai jika nilai
        sekarang (Present Value) dari utang pemerintah sama dengan nilai sekarang dari surplus
        primer yang diharapkan.
                          N     SURPBt + j
               Bt − 1 = ∑                                                                (2.3)
                         j =0   (1 + r ) j +1
        Metode ini menekankan suatu kondisi di mana nilai sekarang dari akumulasi utang di
        masa mendatang sama dengan nol sehingga akan menjaga kelangsungan anggaran
        negara. Artinya pertumbuhan utang harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat
        bunga.
        Sementara itu, Branson (1990) menggunakan pendekatan analisis keseimbangan
        eksternal dan internal melalui persamaan     dinamis utang. Persamaan tersebut
        memasukkan unsur pencetakan uang (seignorage) dalam menganalisis dinamisasi utang
        selain menggunakan primary surplus. Secara matematis, persamaan tersebut dituliskan
        sebagai berikut.




                                                15
db = ( r − n ) * b + p − s                                                 (2.4)

       Di mana :
       b:    rasio utang terhadap PDB
       db:   aritmathic annual growth (debt)
       r:    suku bunga riil
       n:    tingkat pertumbuhan PDB riil
       p:    primary defisit after grants
       s:    rasio seignorage terhadap PDB.

       Untuk negara yang memiliki utang, rasio utang terhadap PDB (b) negara tersebut bernilai
       positif. Jika selisih antara rasio utang terhadap PDB dengan pertumbuhan riil (r-n) positif
       maka utang akan meningkat karena peningkatan suku bunga. Oleh karena itu, untuk
       mencapai proses stabil maka selisih antara rasio defisit primer dengan rasio pencetakan
       uang terhadap PDB (p-s) harus negatif.
       IMF dan Bank Dunia menganalisis utang eksternal dengan pendekatan PVBC tersebut.
       Apabila pengampunan utang diberikan, NPV (Net Present Value) utang luar negeri suatu
       negara akan stabil pada tingkat steady state relatif terhadap PDB. Menurut Edwards
       (2002), keadaan ini merupakan keadaan yang aman karena rasio utang sektor publik
       terhadap PDB bersifat stasioner.
       Ada tiga ciri utama yang dijadikan patokan oleh IMF dan Bank Dunia dalam menerapkan
       pendekatan ini PVBC ini. Pertama, jika negara menerapkan reformasi ekonomi yang
       sesuai, rasio utang terhadap PDB yang dicapai setelah pengampunan utang akan
       berkesinambungan dalam jangka panjang. Kedua, dalam jangka panjang negara debitur
       akan dapat mempertahankan akses ke pembiayaan longgar. Ketiga, lebih rendahnya
       NPV dibandingkan face value karena negara miskin memiliki akses ke pembiayaan
       longgar yang disubsidi.


Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan
Fiskal
       Penilaian terhadap kesinambungan fiskal pemerintah memerlukan indikator yang jelas
       dan terukur untuk mengestimasi tekanan utang luar negeri. Chouraqui, Hagemann dan
       Sartor (1999) menegaskan bahwa suatu indikator minimal harus memenuhi tiga
       persyaratan yaitu implementasi dan interpretasi yang sesuai dengan karakteristik negara
       terkait, penjabarannya didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi positif (bukan normatif),
       dan adanya kesamaan persepsi dalam perbandingan. Hal ini dimaksudkan untuk
       menghindari perbedaan-perbedaan pengukuran dalam hubungan antarnegara.
       Chouraqui, Hagemann dan Sartor (1999) juga menekankan pentingnya konsistensi
       kebijakan fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran
       kinerja. Dalam observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut,
       Chouraqui menemukan bahwa Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan
       cara efektif untuk saling mengontrol secara kolektif kestabilan fiskal masing-masing
       negara anggota. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan negara-negara Eropa Barat
       pasca Perang Dunia II berangkat dari kondisi perekonomian yang sama.
       Beberapa alasan CAB digunakan sebagai indikator perubahan kebijakan fiskal adalah:
       1. CAB merupakan ukuran dasar kebijakan fiskal yang dapat membedakan antara
          anggaran seimbang pemerintah yang berubah-ubah dengan yang tetap.
       2. Melihat pengaruh kebijakan pada tahun-tahun selanjutnya pada keuangan publik.
       3. CAB dapat menganalisis reaksi perubahan wewenang dalam lingkungan ekonomi.


                                            16
Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesinambungan fiskal.
Fungsi identitas yang dielaborasi oleh Buiter mencantumkan banyak variabel yang terkait
dengan penentuan stabilitas fiskal sebagai berikut.


       C t − Tt − E t N t* − Ft + At − PRIV t + it Btd−1 + it* E t ( Bt*−1 − Rt*−1 )
       ≡ B td − Btd−1 + E t ( B t* − B t*−1 ) + H t − H t −1 − E t ( R t* − R t*−1 )   (2.5)


Di mana:
Ct:       konsumsi pemerintah pada periode t
Tt:       pajak setelah dikurangi transfer dan subsidi
Et:       nilai tukar di pasar spot
 N t* : nilai bantuan luar negeri dalam mata uang asing
Ft:       aliran kas dari sektor publik
At:       pembentukan modal domestik di sektor publik
PRIVt: dana hasil privatisasi
it :      suku bunga utang publik domestik
 Btd−1 : nilai nominal face value kewajiban domestik pemerintah termasuk tunggakan
          maupun yang sedang berjalan
 it* :    suku bunga utang dalam denominasi mata uang asing
 Bt*−1 : nilai nominal kewajiban luar negeri termasuk bunga, tunggakan dan
          kewajiban bank sentral dalam denominasi mata uang asing
 Rt*−1 : cadangan devisa
 H t −1 : stok uang beredar

Dalam hal ketahanan utang, ada dua pendapat mengenai wacana indikator, yaitu mereka
yang berpegang pada surplus primer dan yang berpegang pada rasio utang terhadap
PDB. Beberapa penulis seperti Cohen (2000) dan Marks (2003) menggunakan parameter
rasio utang terhadap PDB sebagai indikator ketahanan fiskal. Pertumbuhan utang luar
negeri tidak boleh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonominya.
Turunnya rasio utang terhadap PDB tidak berarti adanya peningkatan posisi keuangan
pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara,
penipisan sumber-sumber kepemilikan publik dan penurunan modal tetap pemerintah.
Menurut Cuddington (1996), aliran surplus primer merupakan fondasi utama bagi
ketahanan fiskal pemerintah terhadap utang. Cuddington mendefinisikan surplus primer
sebagai selisih antara penerimaan dan pengeluaran primer, tidak termasuk pembayaran
bunga dan cicilan utang. Harinowo (2004) juga menegaskan bahwa surplus yang dicapai
akan digunakan untuk melakukan kembali pembayaran utang yang telah jatuh tempo.
Buiter (1995) menawarkan 3 pilihan proksi yang berbeda dalam mengukur
kesinambungan fiskal, yaitu rasio utang publik terhadap PDB, one-period primary gap,
dan permanent primary gap. Buiter menyebut penurunan rasio utang terhadap PDB
sebagai indikasi kemampuan menjaga solvabilitas jangka panjang. Buiter juga
mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat mempengaruhi solvabilitas fiskal, yaitu: 1)
rasio utang terhadap PDB, 2) rasio surplus primer terhadap PDB, 3) suku bunga jangka
panjang dan 4) pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Primary Gap adalah selisih antara surplus primer aktual dan surplus primer yang
diharapkan. Jika primary gap dihitung pada satu periode saja (t), maka hal ini disebut
sebagai one-period primary gap. Namun, jika mempertimbangkan faktor solvabilitasnya
sampai akhir periode utang maka primary gap tersebut disebut sebagai permanent
primary gap.



                                          17
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

More Related Content

What's hot

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...Uofa_Unsada
 
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...Uofa_Unsada
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - UndanaLaporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - UndanaEKPD
 
ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...
ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...
ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...yogieardhensa
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAHLaporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAHEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - Unpatti
Laporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - UnpattiLaporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - Unpatti
Laporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - UnpattiEKPD
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGUofa_Unsada
 
PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...
PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...
PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...Uofa_Unsada
 
EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...
EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...
EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...Uofa_Unsada
 
EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...
EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...
EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...Uofa_Unsada
 
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...Uofa_Unsada
 
KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...
KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...
KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...Uofa_Unsada
 
ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...
ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...
ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...Uofa_Unsada
 
Analisis faktor faktor yang mempengaruhi
Analisis faktor faktor yang mempengaruhiAnalisis faktor faktor yang mempengaruhi
Analisis faktor faktor yang mempengaruhiyogieardhensa
 
Makalah manajemen keuangan 2
Makalah manajemen keuangan 2Makalah manajemen keuangan 2
Makalah manajemen keuangan 2TiaraFeronika
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAMLaporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAMEKPD
 

What's hot (20)

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, PAJAK HIBURAN, PAJAK REKLAME...
 
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DAERAH...
 
Peraturanbpk01 2007 sa
Peraturanbpk01 2007 saPeraturanbpk01 2007 sa
Peraturanbpk01 2007 sa
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - UndanaLaporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
 
ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...
ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...
ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KAB...
 
Cover
CoverCover
Cover
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAHLaporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - Unpatti
Laporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - UnpattiLaporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - Unpatti
Laporan Akhir EKPD 2010 - Maluku - Unpatti
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
 
PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...
PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...
PERBANDINGAN METODE PEMBUKUAN DENGAN PP NO. 46 TAHUN 2013 DALAM RANGKA MENETA...
 
Habib
HabibHabib
Habib
 
1
11
1
 
EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...
EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...
EFEKTIVITAS JURUSITA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN PENAGIHAN PAJAK PADA ...
 
EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...
EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...
EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM RANGKA PENCAIRAN TUNGGAK...
 
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEN...
 
KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...
KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...
KECURANGAN YANG DISAMPAIKAN DALAM MANAJEMEN LETTER DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKA...
 
ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...
ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...
ANALISIS ASSET LIABILITY MANAGEMENT PADA PT BTN ( PERSERO) Tbk ( PERIODE 2009...
 
Analisis faktor faktor yang mempengaruhi
Analisis faktor faktor yang mempengaruhiAnalisis faktor faktor yang mempengaruhi
Analisis faktor faktor yang mempengaruhi
 
Makalah manajemen keuangan 2
Makalah manajemen keuangan 2Makalah manajemen keuangan 2
Makalah manajemen keuangan 2
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAMLaporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
 

Viewers also liked

Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011Badan Kebijakan Fiskal
 
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...Badan Kebijakan Fiskal
 
16-fall-winter-alumni-mag
16-fall-winter-alumni-mag16-fall-winter-alumni-mag
16-fall-winter-alumni-magChris Biocchi
 
The Impact of Global Financial Crisis on Indonesia
The Impact of Global Financial Crisis on IndonesiaThe Impact of Global Financial Crisis on Indonesia
The Impact of Global Financial Crisis on IndonesiaDadang Solihin
 
Program KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPR
Program KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPRProgram KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPR
Program KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPRAdvisory Specialist for P2KP
 

Viewers also liked (13)

Fasilitas Dan Prosedur Pembiayaan IDB
Fasilitas Dan Prosedur Pembiayaan IDBFasilitas Dan Prosedur Pembiayaan IDB
Fasilitas Dan Prosedur Pembiayaan IDB
 
Ministry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green PaperMinistry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green Paper
 
UU Nomor 36 Tahun 2008
UU Nomor 36 Tahun 2008UU Nomor 36 Tahun 2008
UU Nomor 36 Tahun 2008
 
Idb
IdbIdb
Idb
 
Infrastructure Finance in Indonesia
Infrastructure Finance in IndonesiaInfrastructure Finance in Indonesia
Infrastructure Finance in Indonesia
 
PMK Nomor 45/PMK.011/2010
PMK Nomor 45/PMK.011/2010PMK Nomor 45/PMK.011/2010
PMK Nomor 45/PMK.011/2010
 
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
 
PMK Nomor 67/PMK.011/2010
PMK Nomor 67/PMK.011/2010PMK Nomor 67/PMK.011/2010
PMK Nomor 67/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 44/PMK.011/2010
PMK Nomor 44/PMK.011/2010PMK Nomor 44/PMK.011/2010
PMK Nomor 44/PMK.011/2010
 
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU...
 
16-fall-winter-alumni-mag
16-fall-winter-alumni-mag16-fall-winter-alumni-mag
16-fall-winter-alumni-mag
 
The Impact of Global Financial Crisis on Indonesia
The Impact of Global Financial Crisis on IndonesiaThe Impact of Global Financial Crisis on Indonesia
The Impact of Global Financial Crisis on Indonesia
 
Program KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPR
Program KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPRProgram KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPR
Program KOTAKU_strategi_percepatan_penanganan_kumuh_Perkotaan_Dir PKP-DJCK-PUPR
 

Similar to Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - UnandLaporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - UnandEKPD
 
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPARLaporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAREKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - UnhalLaporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - UnhalEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM
Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGMLaporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM
Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGMEKPD
 
Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...
Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...
Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...Oswar Mungkasa
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPARLaporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAREKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNP
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNPLaporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNP
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNPEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMUL
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMULLaporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMUL
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMULEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMLaporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMEKPD
 
Kata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_final
Kata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_finalKata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_final
Kata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_finalSuhardi Bae
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantardekanfkip
 
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdfbiherbamedicine
 
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdfbiherbamedicine
 
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011darikupang
 
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didangSMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didangsekolah maya
 
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)Irene Susilo
 
PENGARUH AUDIT TENURE, REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE, UKURAN PERUSAHAAN DAN ...
PENGARUH AUDIT TENURE,  REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE,  UKURAN PERUSAHAAN DAN ...PENGARUH AUDIT TENURE,  REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE,  UKURAN PERUSAHAAN DAN ...
PENGARUH AUDIT TENURE, REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE, UKURAN PERUSAHAAN DAN ...Rahayu Susanti
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRATLaporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRATEKPD
 

Similar to Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing (20)

Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - UnandLaporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
 
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPARLaporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - UnhalLaporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
 
Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM
Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGMLaporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM
Laporan Akhir EKPD 2006 DIY - UGM
 
Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...
Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...
Penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan. Panduan Operas...
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPARLaporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNP
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNPLaporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNP
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua Barat - UNP
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMUL
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMULLaporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMUL
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kaltim - UNMUL
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMLaporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
 
Kata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_final
Kata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_finalKata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_final
Kata pengantar daftar isi & istilah 31 agust 2012-revisi 4_final
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM.pdf
 
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf
289402355-Kajian-Inkubator-Bisnis-Dalam-Rangka-Pengembangan-UMKM - Copy.pdf
 
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
 
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didangSMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
 
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
 
PENGARUH AUDIT TENURE, REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE, UKURAN PERUSAHAAN DAN ...
PENGARUH AUDIT TENURE,  REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE,  UKURAN PERUSAHAAN DAN ...PENGARUH AUDIT TENURE,  REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE,  UKURAN PERUSAHAAN DAN ...
PENGARUH AUDIT TENURE, REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE, UKURAN PERUSAHAAN DAN ...
 
Panduan SD Bertaraf Internasional
Panduan SD Bertaraf InternasionalPanduan SD Bertaraf Internasional
Panduan SD Bertaraf Internasional
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRATLaporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
 

More from Badan Kebijakan Fiskal

Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachBadan Kebijakan Fiskal
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Badan Kebijakan Fiskal
 

More from Badan Kebijakan Fiskal (20)

Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APECPertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
 
Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approach
 
Pidato Menkeu
Pidato MenkeuPidato Menkeu
Pidato Menkeu
 
Indonesia oecd
Indonesia   oecdIndonesia   oecd
Indonesia oecd
 
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B IndonesiaRekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
 
Communique
CommuniqueCommunique
Communique
 
Pelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon IIPelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon II
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010
 
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
 
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
 
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
 
PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008
 
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
 
PMK Nomor 30 Tahun 2007
PMK Nomor  30 Tahun 2007PMK Nomor  30 Tahun 2007
PMK Nomor 30 Tahun 2007
 
PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007
 
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
 
Keppres Nomor 104 Tahun 2003
Keppres Nomor 104 Tahun 2003Keppres Nomor 104 Tahun 2003
Keppres Nomor 104 Tahun 2003
 

Recently uploaded

sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptsejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptpebipebriyantimdpl
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxFrida Adnantara
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptzulfikar425966
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisGallynDityaManggala
 
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptmuhammadarsyad77
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh Cityjaanualu31
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSriHandayani820917
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okegaluhmutiara
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanHakamNiazi
 
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5SubhiMunir3
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianHALIABUTRA1
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsunghaechanlee650
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121tubagus30
 

Recently uploaded (20)

Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
 
MODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptxMODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptx
 
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptsejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
 
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotecAbortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
 
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
 
METODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptx
METODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptxMETODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptx
METODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptx
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
 
MODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptxMODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptx
 
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
 
TEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptx
TEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptxTEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptx
TEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptx
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
 
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptxPEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
 

Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing

  • 1. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GADJAH MADA LAPORAN AKHIR STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING Diajukan Kepada Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Analisa Fiskal 2004
  • 2. UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini dapat diselesaikan tepat waktu berkat bantuan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Untuk itu Tim PPE FE UGM mengucapkan terima kasih yang setinggi-tinginya kepada berbagai pihak tersebut. Ijinkan kami secara khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak berikut. Pertama, terima kasih kepada Bapak Dr. Anggito Abimanyu, Bapak Dr. Heru Subiyantoro, Bapak Noeroso L. Wahyudi, dan Bapak Almizan Ulfa dari Badan Analisa Keuangan Departemen Keuangan (yang ketika laporan ini dalam proses penyelesaian telah berubah nama menjadi Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional atau disingkat Bapekki) atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada PPE FE UGM untuk melaksanakan studi ini. Selain memberi kesempatan emas ini, mereka juga tidak pernah henti menyediakan waktu untuk diskusi, men-supply data dan memberi saran-saran. Tim PPE FE UGM juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. A. Fuad Rahmany, Bapak Dr. Rahmat Waluyanto, Bapak Dr. Andin Hadiyanto, dan Bapak Kunta Wibawa Dasa Nughraha, Ibu Ayu Sukorini dan Bapak Agung Galih Satwiko dari Departemen Keuangan atas waktu yang telah disediakan untuk berdiskusi dan memberikan saran perbaikan dan bahkan menyediakan data yang sangat berharga dalam mempertajam analisis studi ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rahmat Waluyanto yang sangat antusias menyediakan waktu untuk memberi komentar atas laporan awal studi ini di tengah kesibukan beliau yang sangat padat serta menyediakan meminjamkan kepustakaan pribadinya. Terima kasih kepada Bapak Budi Mulya dari Bank Indonesia atas kesempatan untuk berdiskusi masalah manajemen utang serta saran dan masukan yang telah diberikan. Saran beliau telah memberi kami perspektif yang lebih komprehensif dalam melihat dan menganalisis studi ini. Tim PPE FE UGM juga berterima kasih kepada tim LPEM FE UI dan LP3E FE UNPAD atas kerja sama yang sangat baik selama ini. Kedua institusi yang ternama tersebut dan kami mengerjakan studi dengan tema serupa pada saat yang sama. Dalam pelaksanaannya, studi ini melibatkan pula sejumlah asisten peneliti. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada (berdasarkan urutan nama depan): Aisyah, Anang Budi Gunawan, Andhyka Imam Buchori, Anggoro Budi Nugroho, Betti Rosita Sari, Nurul Yuniataqwa, Primayanti, Putu Mahendra Diana, R. Sita Dewi Kusumaningrum, Silvi Hafianti, dan Vica Sakti Mantong Tendenan. Tanpa mereka, studi ini hampir tidak mungkin dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga studi ini dapat memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan mengenai manajemen utang pemerintah di masa mendatang. Segala kesalahan isi laporan tetap menjadi tanggung jawab tim peneliti. Ketua Tim Peneliti Bagus Santoso ii
  • 3. ABSTRAK ABSTRAK - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING Studi ini memiliki tiga ruang lingkup penelitian, yaitu (1) menemukan alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah, (2) mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan yang ada, dan (3) menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial jangka menengah. Pertama, dalam studi ini dihitung perkiraan natural debt limit (NDL) untuk perekonomian Indonesia, diestimasi fiscal policy reaction function, serta dilakukan simulasi rasio utang terhadap PDB. Hasil simulasi NDL menunjukkan bahwa rasio utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal bayar. Sedangkan hasil estimasi fiscal policy reaction function menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah sangat responsif dan berhati-hati dalam menjalankan kebijakan utangnya. Namun dari hasil simulasi rasio utang terhadap PDB menunjukkan bahwa Indonesia perlu mengkonversi sebagian utang luar negerinya menjadi utang dalam negeri, agar rasio utang luar negeri tersebut dapat mencapai 15 persen (suatu batas aman agar utang Indonesia berkesinambungan). Kedua, hasil estimasi menunjukkan bahwa walaupun biaya utang luar negeri lebih rendah dibandingkan dengan utang domestik, namun jika mempertimbangkan adanya biaya kondisionalitas yang menyertai utang luar negeri menyebabkan utang luar negeri lebih tidak efisien. Ketiga, dalam upaya menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial pemerintah jangka menengah, maka beban utang komersial jatuh tempo dapat dimoderasi dengan upaya reprofiling utang. Studi ini merekomendasi dua metode reprofiling utang. iii
  • 4. DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Penelitian…………………………………………………………………………… 1 1.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………………. 1 1.3 Latar Belakang…………………………………………………………………………… 1 1.4 Metodologi Penelitian……………………………………………………………………. 5 Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah………………. 5 Efisiensi Utang Dalam dan Luar Negeri……………………………………………….. 8 Portofolio Utang Komersial Pemerintah……………………………………………….. 9 Data yang Digunakan……………………………………………………………………. 9 BAB 2 STUDI PUSTAKA MANAJEMEN UTANG 2.1 Latar Belakang……………………………………………………………………........... 10 2.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang …………………………………………............ 11 Definisi..................................................................................................................... 11 Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian................................................... 12 Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal............................................................ 14 Kesinambungan Fiskal........................................................................................... 15 Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan Fiskal....................................................................................................................... 16 Konsolidasi Fiskal.................................................................................................... 21 Koordinasi Fiskal..................................................................................................... 23 Manajemen Utang Pemerintah................................................................................ 24 Kesalahan-kesalahan dalam Manajemen Utang................................................... 26 Pembayaran Utang................................................................................................ 28 Restrukturisasi Utang............................................................................................. 30 2.3 Studi Empiris Manajemen Utang………………………………………………………. 34 Kasus Negara-negara OECD................................................................................. 36 Kasus Negara-negara Emerging Market............................................................. 42 Kasus Negara-negara HIPC................................................................................ 43 Kasus Uni Eropa................................................................................................. 46 Kasus Eropa Tengah.......................................................................................... 47 Kasus Sub Sahara.............................................................................................. 47 Kasus Eritrea....................................................................................................... 48 Kasus Gabon ...................................................................................................... 49 Kasus Filipina...................................................................................................... 49 Kasus Indonesia................................................................................................... 50 iv
  • 5. BAB 3 STUDI PUSTAKA PASAR OBLIGASI 3.1 Pasar Obligasi Pemerintah.................................................................................. 59 Tujuan Pasar Obligasi Pemerintah...................................................................... 59 Dampak Obligasi Pemerintah terhadap Perekonomian....................................... 60 Karakteristik Obligasi Pemerintah........................................................................ 61 Upaya Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi............................................... 62 Pasar Obligasi dan Sektor Perbankan................................................................. 63 3.2 Optimal Borrowing............................................................................................... 64 Strategi Manajemen Utang................................................................................. 67 Aspek Manajemen Risiko.................................................................................... 68 3.3 Pasar Obligasi Regional...................................................................................... 70 3.4 Pemeringkatan Utang Publik............................................................................... 79 BAB 4 DATA 4.1 Sumber dan Jenis Data..................................................................................... 84 4.2 Negara Sampel Studi........................................................................................ 85 Data dalam Tabel dan Grafik............................................................................. 89 4.3 Gambaran Indikator........................................................................................... 89 Rasio Utang terhadap PDB................................................................................ 89 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB.............................. 93 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB............................................... 97 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB..................................................... 101 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang................................... 105 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB........................................................... 108 Rasio Utang terhadap Penerimaan................................................................... 111 4.4 Data Indonesia................................................................................................. 113 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia............................................................... 114 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia.............. 114 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia.............................. 115 Biaya Pinjaman Dalam Negeri........................................................................... 116 Biaya Pinjaman Luar Negeri.............................................................................. 117 BAB 5 ALTERNATIF TERBAIK KEBIJAKAN PEMBIAYAAN APBN JANGKA MENENGAH 5.1 Latar Belakang .................................................................................................. 121 5.2 Kesinambungan Keseimbangan Primer (Primary Balance) .........................…. 126 5.3 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB .................................................... 137 5.4 Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia .............................................................. 145 BAB 6 EFISIENSI UTANG 6.1 Pengertian Pinjaman yang Efisien..................................................................... 159 6.2 Country Risk Indonesia...................................................................................... 160 6.3 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia........ 164 6.4 Conditionalities Pinjaman Luar Negeri............................................................... 166 6.5 Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia........................ 169 6.6 Portofolio Utang.................................................................................................. 171 v
  • 6. BAB 7 REPROFILING OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA 7.1 Latar Belakang……………………………………………………………………… 174 7.2 Portofolio Utang Pemerintah……………………………………………………… 175 7.3 Risiko-risiko Obligasi………………………………………………………………. 176 7.4 Beberapa Alternatif Restrukturisasi Utang………………………………………. 177 7.5 Penataan Kembali Maturitas (Reprofiling) dan Konsekuensinya……………... 179 Metode Rata-rata............................................................................................. 179 Metode Rasio Tetap Beban Utang Obligasi Pemerintah Jatuh Tempo terhadap PDB.................................................................................................. 183 7.6 Reprofiling dan Kapasitas Anggaran Pemerintah………………………………. 189 BAB 8 KESIMPULAN 8.1 Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah……........ 191 8.2 Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri…………………………………. 193 8.3 Reprofiling Obligasi Pemerintah Indonesia……………………………………… 194 Lampiran 1: Daftar Pustaka…………………………………………………….. 197 Lampiran 2: Daftar Pertanyaan In-Depth Interview………………………….. 205 Lampiran 3: In-depth Interview dengan Narasumber………………………….. 207 Lampiran 4: Hasil Simulasi Rasio Keseimbangan Primer (Primary Balance) terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB untuk Indonesia……………………………………………………………. 211 Lampiran 5: Ringkasan Butir-Butir Kesepakatan dalam Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF……………….. 225 vi
  • 7. DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang terhadap PDB (b) …………………………………………………………… 7 Gambar 2.1 Perkembangan Utang Meksiko, 1990-2000..…………………………….. 36 Gambar 2.2 Perkembangan Utang Jerman, 1990-1999.….....……………………….. 37 Gambar 2.3 Perkembangan Utang Belgia, 1989-1998.…………..……………………. 39 Gambar 2.4 Perkembangan Utang Jepang, 1984-1990………………….................... 40 Gambar 2.5 Perkembangan Utang Amerika Serikat, 1990-2002.…………………….. 41 Gambar 2.6 Perkembangan Utang Filipina, 1992-2001..……..……………………….. 50 Gambar 2.7 Perkembangan Utang Indonesia, 1990-2004......................................... 51 Gambar 3.1 Pengeluaran Obligasi Amerika Serikat, Eropa dan Jepang Menurut Sumber Pendanaan (dalam US$ Miliar)................................................ 64 Gambar 3.2 Utang Publik yang Outstanding di Asia, Desember 2003...................... 73 Gambar 3.3 Yield Obligasi Pemerintah Filipina......................................................... 75 Gambar 3.4 Yield Obligasi Pemerintah Thailand....................................................... 75 Gambar 3.5 Yield Obligasi Pemerintah Indonesia..................................................... 76 Gambar 3.6 Yield Obligasi Pemerintah Malaysia........................................................ 76 Gambar 3.7 Yield Obligasi Pemerintah Singapura.................................................... 77 Gambar 3.8 Rata-rata Bulanan Nilai Tukar MYR (Ringgit) Terhadap USD dan Yen Jepang................................................................................................... 77 Gambar 3.9 Yield Obligasi Pemerintah Korea Selatan.............................................. 78 Gambar 4.1 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002…. 90 Gambar 4.2 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990-2002...………………………………………………………………….. 91 Gambar 4.3 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2001....... 91 Gambar 4.4 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002… 92 Gambar 4.5 Rasio Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2003……. 92 Gambar 4.6 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002…………………………………………………………… 93 Gambar 4.7 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990-2001………………………………….…………… 94 Gambar 4.8 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2000…………………………………………………………….. 95 Gambar 4.9 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002………………………………………………………….. 96 Gambar 4.10 Rasio Defisit/Surplus Anggaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………………… 96 Gambar 4.11 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988- 2002………………………………………………………...... 97 Gambar 4.12 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990-2001….............................................................. 98 Gambar 4.13 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2001……………………………………………………………. 99 Gambar 4.14 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002…………………..........……………………………….. 100 vii
  • 8. Gambar 4.15 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………………… 100 Gambar 4.16 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002………………………..…………………………………. 101 Gambar 4.17 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1990-1999.................................................................. 102 Gambar 4.18 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2002…………………………………………………………….. 103 Gambar 4.19 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002………………………………..………………………... 104 Gambar 4.20 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………………………. 104 Gambar 4.21 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di beberapa Negara OECD, 1988-2002…………………...…………………………….. 105 Gambar 4.22 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara HIPC, 1990-2001……………………….………………………….. 107 Gambar 4.23 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………. 107 Gambar 4.24 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002………………………………………………… 108 Gambar 4.25 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara OECD, 1988-2002……………………………………………………………………. 108 Gambar 4.26 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Asia, 1990-2002……………………………………………………………………. 109 Gambar 4.27 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara ASEAN, 1990-2002……………………………………………………………………. 110 Gambar 4.28 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara HIPC, 1984-2000……………………………………………………………………. 111 Gambar 4.29 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia., 1980-2004........................……. 114 Gambar 4.30 Rasio Defisit/Surplus Anggaran Pemerintah terhadap PDB Indonesia, 1980-2004……………………………………………………………………. 115 Gambar 4.31 Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap PDB Indonesia, 1980-2004 115 Gambar 4.32 Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1980-2004…… 116 Gambar 5.1 Rasio Keseimbangan Primer Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ...... 136 Gambar 5.2 Rasio Utang Indonesia terhadap PDB, 1971-2004 ............................… 144 Gambar 6.1 Suku Bunga SIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004.........................................… 160 Gambar 6.2 Suku Bunga LIBOR 1 Tahun, 1999 – 2004............................................. 160 Gambar 7.1 Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri Pemerintah 1999 – 2010…………………………………………………………………………… 180 Gambar 7.2 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sebelum Reprofiling)…………………………………………………………………… 181 Gambar 7.3 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah per 28 Oktober 2004 (Sesudah Reprofiling)…………………………………………………………………… 183 Gambar 7.4 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4 Persen (Sebelum Reprofiling)……………………………………………. 184 Gambar 7.5 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………………. 184 Gambar 7.6 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4,5 Persen (Sebelum Reprofiling)…………………………………………. 185 Gambar 7.7 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 4,5 Persen (Sesudah Reprofiling)…………………………………………. 185 Gambar 7.8 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5 Persen (SebelumReprofiling)…………………………………………….. 186 Gambar 7.9 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………………. 186 viii
  • 9. Gambar 7.10 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5,5 Persen (Sebelum Reprofiling)……………………………………….. 187 Gambar 7.11 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 5,5 Persen (Sesudah Reprofiling)……………………………………….. 187 Gambar 7.12 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 6 Persen (Sebelum Reprofiling)………………………………………….. 187 Gambar 7.13 Profil Maturitas Obligasi Pemerintah pada Pertumbuhan PDB 6 Persen (Sesudah Reprofiling)………………………………………….. 188 ix
  • 10. DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%)............................................... 3 Tabel 1.2 Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan Tipe Kreditur ................................................................................................ 4 Tabel 2.1 Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001 .................. 11 Tabel 2.2 Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB) .................................................... 14 Tabel 2.3 Negara-Negara yang Sukses dalam Melakukan Konsolidasi Fiskal........... 22 Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Menghambat Persiapan Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP) dan Negara-Negara HIPC yang Mengalaminya ................ 44 Tabel 2.5 Indikator Utang Negara-Negara Berkembang dan HIPC ............................ 45 Tabel 2.6 Utang Luar Negeri Indonesia, 1990-2002 ................................................... 51 Tabel 2.7 Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 2000-2003........ ............................. 53 Tabel 2.8 Rasio Keseimbangan Utang Eksternal dengan Ambang Batas Alternatif, 2000............................................................................................................. 55 Tabel 2.9 Komparasi Rata-rata 5 Indikator Utang Indonesia dengan Negara-Negara OECD dan HIPC, 1992 – 1999................................................................... 56 Tabel 2.10 Struktur Pinjaman Domestik dan Luar Negeri Indonesia , 1992-1999 (dalam US$ juta)......................................................................................... 57 Tabel 2.11 Rasio Utang Luar Negeri terhadap Total Penerimaan untuk Negara-negara HIPC, OECD dan Indonesia, 1992-1999..................................................... 57 Tabel 3.1 Perkembangan Pasar Sekuritas Emerging Market……………………........ 60 Tabel 3.2 Tipe Utang Domestik (Obligasi) menurut Suku Bunga, 2000 (% terhadap Total Utang)……..…………………………………………………… 61 Tabel 3.3 Penerbit Surat Utang Domestik, 2000 (% terhadap Total Utang)………… 62 Tabel 3.4 Total Pembiayaan Eksternal yang Outstanding, 2001 (% PDB)................. 71 Tabel 3.5 Struktur Obligasi yang Outstanding, 1994 dan 2000 (% terhadap Total Utang)… ………………………………………………………………………… 72 Tabel 3.6 Kriteria-kriteria Region Negara Klub B………………………………………. 80 Tabel 3.7 Obligasi Denominasi USD yang Beredar di Asia dan Rating-nya, 31 Agustus 2004…………………………………………………………………... 81 Tabel 3.8 Pemeringkatan Obligasi Pemerintah 14 Negara Asia, 12 November 2004……………………………………………………………………………… 82 Tabel 3.9 Pemeringkatan Indonesia Menurut 4 Lembaga Penilai……………………. 83 Tabel 4.1 Rasio Pembayaran Bunga utang terhadap Total Utang di Beberapa Negara Emerging Market , 1992-1999........................................................ 106 Tabel 4.2 Rasio Total Pengeluaran terhadap PDB di Beberapa Negara Emerging Market, 1992-1999…………….................................................................... 109 Tabel 4.3 Rasio Utang terhadap Penerimaan Beberapa Kelompok Negara, 1992-1999……………………………………………………………………….. 112 Tabel 4.4 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Dalam Negeri …………………………….. 117 Tabel 4.5 Hasil Estimasi Bunga Pinjaman Luar Negeri ……………………………….. 118 Tabel 4.6 Hasil Estimasi Forward Discount dan Biaya Pinjaman Luar Negeri …….. 119 Tabel 4.7 Hasil Estimasi Rata-Rata Biaya Pinjaman…… …………………………….. 120 Tabel 5.1 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Dalam Negeri……………………. 124 Tabel 5.2 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri………………………. 124 x
  • 11. Tabel 5.3 NDL Indonesia dengan Biaya Pinjaman Luar Negeri dengan Forward Discount…………………………………………………………………………. 124 Tabel 5.4 NDL Indonesia dengan Rata-rata Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri……………………………………………………………………… 125 Tabel 5.5 Biaya Pinjaman untuk Berbagai Macam NDL………………………………. 125 Tabel 5.6 Determinan dari Surplus Anggaran............................................................ 127 Tabel 5.7 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara Industrialis, 1990-2002………………………………………………………… 128 Tabel 5.8 Hasil dari Estimasi Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal Negara-negara Emerging Market , 1990-2002……….……………………………………….. 129 Tabel 5.9 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Seluruh Negara OECD, 1990-2002……………………………………………………. 131 Tabel 5.10 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara Maju OECD, 1990-2002.………………………………………………………. 132 Tabel 5.11 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara- negara HIPC, 1990-2002…….……………………………………………….. 133 Tabel 5.12 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Negara- negara ASEAN, 1990-2002…………………………………………………… 134 Tabel 5.13 Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB Indonesia, 1970-2004……………………………………………………………………….. 135 Tabel 5.14 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB……...…………………………………………………… 136 Tabel 5.15 Determinan dari Perubahan Rasio Utang terhadap PDB………………….. 138 Tabel 5.16 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Seluruh Negara OECD, 1990-2002…………………………………………………………………..…… 139 Tabel 5.17 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara Maju OECD 1990-2002……………………………………………………………………….. 140 Tabel 5.18 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara HIPC 1990-2002……………………………………………………………………….. 141 Tabel 5.19 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-negara Emerging Market, 1990-2002…………….……………………………………………….. 142 Tabel 5.20 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Negara-Negara ASEAN 1990-2002……………………………………………………………………….. 143 Tabel 5.21 Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB Indonesia, 1970-2004…….. 144 Tabel 5.22 Rangkuman Hasil Estimasi Kesinambungan Rasio Utang terhadap PDB.. 145 Tabel 5.23 Dampak Perubahan Tahun Dasar Perhitungan PDB terhadap Rasio Utang Pemerintah ……………………………………………………………… 146 Tabel 5.24 Asumsi Pendapatan Kapital dan Off-Budget Loss dalam Simulasi Rasio Keseimbangan Primer terhadap PDB dan Rasio Utang terhadap PDB.... 147 Tabel 5.25 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untukl Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993)………………………….. 148 Tabel 5.26 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ...........................…....... 150 Tabel 5.27 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 1993)......................................................... 152 Tabel 5.28 Simulasi Rasio Utang terhadap PDB dengan Keseimbangan Primer 1,5 Persen (Tahun Dasar PDB 2000) ...................................................... 153 Tabel 5.29 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 1993) ......................... 155 Tabel 5.30 Simulasi Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri untuk Berbagai Tingkat Keseimbangan Primer (Tahun Dasar PDB 2000) ......................... 157 Tabel 6.1 Statistik Deskriptif Peringkat Risiko Beberapa Negara Berkembang, 1998-1999……………………………………………………………………….. 162 Tabel 6.2 Suku Bunga T-Bond 10 Tahun................................................……………. 162 Tabel 6.3 Peringkat dan Premi Risiko Beberapa Negara Berkembang……………… 163 xi
  • 12. Tabel 6.4 Hasil Estimasi Biaya Pinjaman Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia………………………………………………………………………. 165 Tabel 6.5 Nilai dan Bobot Komponen Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri Indonesia................................................................................................. 165 Tabel 6.6 Serangkaian Conditionalities yang Pernah Diterapkan IMF pada Negara Debitur........................................................................................ 167 Tabel 6.7 Simulasi Expected Cost of Borrowing Portofolio Utang pada Berbagai Bobot…………………………………………………………………………... 172 Tabel 7.1 Utang Dalam dan Luar Negeri Indonesia, 1997- 2004............................ 175 Tabel 7.2 Profil Pinjaman Pemerintah, Oktober 2004............................................. 173 Tabel 7.3 Skedul Reprofiling Obligasi Pemerintah, 2004-2020............................... 182 Tabel 7.4 Pembobotan Beban Reprofiling, 2007-2009............................................ 182 Tabel 7.5 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja APBN 2004 dan RAPBN 2005........................................................................................... 189 Tabel 7.6 Skedul Pembayaran Bunga Utang.......................................................... 190 xii
  • 13. Bab 1 PENDAHULUAN METODOLOGI - STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING 1. 1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian atau penelitian secara mendalam dan hati- hati terhadap manajemen utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah dan assessment terhadap optimal borrowing. 1.2 Output dan Ruang Lingkup Penelitian Output utama dan ruang lingkup dari penelitian ini adalah: 1. Menemukan alternatif terbaik kebijakan pembiayaan APBN jangka menengah. 2. Mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada. 3. Menemukan alternatif terbaik portofolio utang komersial jangka menengah. 1.3 Latar Belakang Sejak krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997, yang akhirnya menjadi krisis multi- dimensi, perekonomian Indonesia belum dapat pulih sepenuhnya. Tanda-tanda pemulihan krisis ekonomi mulai nampak, namun belum menunjukkan sinyal yang sangat prospektif. Krisis tersebut bermula dari krisis moneter di Thailand dan menular ke Indonesia dan negara-negara lain di Asia Timur, termasuk misalnya Malaysia dan Korea. Kedua negara tersebut terakhir telah mampu keluar dari krisis dan kembali menempuh jalur 1
  • 14. pertumbuhan ekonomi tinggi. Sementara itu, Indonesia masih harus berkutat dengan pertumbuhan ekonomi rendah (yaitu 4 persen nilai proyeksi tahun 2004). Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi negara sedang berkembang lain, yaitu mereka diperkirakan tumbuh sebesar 5,6 persen tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang rendah tersebut membawa konsekuensi serius pada ketidakmampuan menyerap tingkat pengangguran yang tinggi. Sebelum krisis menerpa beberapa negara Asia, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang (6,8 persen tahun 1985-1994 dan 8,1 persen tahun 1995-1996) dengan defisit APBN yang relatif kecil. Indonesia mengalami tekanan fiskal dan masalah-masalah domestik yang serius karena perubahan yang drastis dalam momentum pembangunan ekonomi, dari high phase menjadi low phase. Selama masa pertumbuhan ekonomi rendah, motor pembangunan terletak pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga, bukan pada investasi, ekspor, ataupun pengeluaran pemerintah. Meskipun Indonesia sudah mencanangkan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi, namun investor belum terlalu tertarik untuk menginvestasikan dananya karena berbagai kendala yang ada, baik menyangkut rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur, rendahnya insentif investasi dan penegakan kepastian hukum, maraknya demonstrasi pekerja, maupun relatif mahalnya upah pekerja Indonesia dibandingkan negara pesaing. Mendorong laju pertumbuhan ekspor tidaklah mudah. Depresiasi memang membuat nilai tukar rupiah melemah dan secara teoretis dapat mendorong ekspor. Namun, terdapat berbagai kendala dalam mempromosikan ekspor, termasuk misalnya besarnya kandungan bahan baku impor dalam produk ekspor sehingga harga produk tetap mahal. Bahkan, dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, impor justru meningkat karena selera masyarakat terhadap produk impor cukup tinggi. Harapan terakhir mendongkrak pertumbuhan ekonomi rendah ini terletak pada ekspansi fiskal. Namun manuver ekspansi fiskal menjadi tidak mudah karena peluang meningkatkan penerimaan negara tidak akan mudah sampai dengan beberapa tahun mendatang. Secara teoretis ada empat cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan, yaitu meningkatkan pajak dan harga sektor publik, mengurangi pengeluaran pemerintah, mencetak uang, dan utang baru pemerintah (Dornbucsh, 1993). Namun perlu dicatat beberapa kendala saran teoretis tersebut. Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan pajak adalah basis pajak yang sempit, banyaknya transaksi informal, dan sulitnya meningkatkan intensifikasi pemungutan. Meningkatkan harga sektor publik selain dapat meningkatkan penerimaan juga mengurangi subsidi sehingga dapat mengurangi distorsi pasar. Namun, kebijakan penurunan subsidi sering menuai penentangan yang besar dari masyarakat dan menstimulasi inflasi. Pencetakan uang selain akan menstimulasi hiper- inflasi, juga tidak dapat dilakukan karena undang-undang menempatkan Bank Sentral independen dari intervensi pemerintah. Pilihan kebijakan utang juga dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pertama, utang luar negeri menjadi tidak mudah, terutama setelah Indonesia memilih tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan IMF dan itu berarti utang ditumpukan pada sumber dalam negeri (Abimanyu, 2004). Kedua, pasar dalam negeri mungkin memiliki keterbatasan untuk menyerap kebutuhan utang pemerintah. Pada sisi pengeluaran, manuver untuk men-fine-tune pengeluaran juga tidak mudah karena banyak pos APBN yang merupakan pos wajib (misalnya Undang-undang Otonomi Daerah mewajibkan Menteri Keuangan untuk menganggarkan setidaknya 26 persen dari penerimaan dalam negeri untuk Dana Alokasi Umum). Pos wajib tersebut mayoritas merupakan recurrent expenditures, bukan capital expenditures. Angka pengganda untuk recurrent expenditures lebih rendah daripada capital expenditures. Dalam ranah teori, paham Keynesian menyarankan ekspansi fiskal untuk mendorong perekonomian (fiscal stimulus). Keynes (1936) memandang ekspansi fiskal melalui proses 2
  • 15. angka pengganda (multiplier) akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Pada sisi lain, paham Neo Klasik memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung dalam perekonomian. Pada masa sebelum krisis, elemen penting dari kebijakan fiskal pada waktu itu adalah Pengeluaran Rutin dibelanjai dengan penerimaan dalam negeri, baik berupa pajak maupun bukan pajak, yang utamanya bersumber dari penerimaan sumber daya alam. Sedangkan Pengeluaran Pembangunan sebagian dibelanjai dengan utang luar negeri (utang dalam negeri pemerintah belum ada), yang berupa pinjaman bilateral dan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Pada tahun 1996, APBN menunjukkan surplus 1,9 persen dari produk domestik bruto (Gross Domestic Product/PDB), utang pemerintah terhadap luar negeri sebesar US$55,3 miliar atau sekitar 24 persen dari PDB. Pada saat itu pemerintah belum memiliki utang dalam negeri. Realisasi APBN tahun 1997 Semester I mencatat surplus 1,8 persen dari PDB dan utang pemerintah tidak banyak berubah (Boediono, 2004). Rasio utang luar negeri terhadap PDB sebelum krisis terbilang relatif kecil. Sebagai perbandingan, rasio utang tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata di Asia dan negara sedang berkembang (Tabel 1.1). Angka pencapaian Indonesia pada waktu itu jauh lebih baik daripada Afrika, Asia tanpa Cina dan India, dan negara-negara pengutang parah (Heavily Indebted Poor Countries). Tabel 1.1 Rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB (%) Keterangan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Negara 41,5 39,4 38,7 43,5 44,7 40,6 40,1 40,9 37,7 35,0 Berkembang Afrika 72,1 67,7 63,5 65,9 65,5 63,0 61,0 59,3 49,2 46,5 Asia 32,6 31,1 32,5 37,0 34,1 30,7 29,9 27,4 25,3 23,8 Asia Tanpa 52,5 51,4 59,1 84,7 72,2 65,4 65,4 57,7 51,7 47,4 Cina dan India Timur Tengah 58,5 55,5 54,8 63,0 62,5 59,2 61,2 62,7 54,8 52,2 dan Turki Western Hem. 36,9 35,5 33,7 37,9 44,3 38,7 38,9 45,3 44,1 40,0 Negara Pengutang 125,8 111,6 100,5 99,2 97,2 94,4 92,1 83,5 74,8 70,7 Parah Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003. Krisis ekonomi membawa ekonomi Indonesia pada ekonomi stagflasi (ekonomi riil yang macet dan hiper-inflasi) dan menyebabkan Pemerintah Indonesia terjerat dalam utang yang sangat besar. Utang pemerintah meningkat dengan sangat tajam dari US$55,3 miliar sebelum krisis menjadi US$134 miliar (83 persen PDB) di awal tahun 2000. Kondisi utang yang parah tersebut disebabkan karena tiga kebijakan utama yang dilakukan pada waktu itu, yaitu BLBI, Kebijakan Penjaminan Bank, dan Kebijakan 3
  • 16. Rekapitulasi Perbankan. Pemerintah dihadapkan pada kenyataan, bahwa dari semula memiliki tingkat utang pemerintah yang rendah menjadi tinggi, dan dari semula tidak memiliki utang dalam negeri menjadi memiliki utang dalam jumlah yang sangat besar (Rp643 triliun). Dari jumlah total Rp643 triliun tersebut, sekitar dua per tiga timbul karena kebijakan rekapitalisasi perbankan, sekitar seperempat berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya berasal dari kebijakan penjaminan bank. Kenaikan utang yang tajam ini bukan untuk pengeluaran baru (new spending), tetapi lebih disebabkan oleh kombinasi dari kekeliruan kebijakan pada masa lampau dan oleh krisis ekonomi. Utang yang tiba-tiba ini muncul karena pemerintah pada waktu itu dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk segera keluar dari krisis. Dengan regulasi dan supervisi yang sangat lemah pada periode sebelum krisis menyebabkan swasta dapat dengan leluasa meminjam langsung dari luar negeri. Bagi kreditor luar negeri, mereka melihat utang swasta tersebut sebagai public and publicly guaranteed karena keluarga dari orang-orang berpengaruh pada waktu itu terlibat dalam usaha. Ketika krisis terjadi dan pengusaha gagal bayar, perbankan ikut limbung, dan kreditor memaksa pemerintah untuk mengambil alih utang-utang tersebut. Pemerintah dihadapkan pada contingent liabilities serius. IMF (2003) menghitung bahwa besarnya contingent liabilities akibat krisis lebih dari 50 persen PDB. Konsekuensi dari utang yang tiba-tiba tersebut adalah kemampuan APBN sebagai stimulus fiskal semakin lemah karena besarnya beban pos-pos pengeluaran yang merupakan kewajiban dan komitmen yang harus dijalankan (termasuk komitmen membayar pokok dan bunga pinjaman). Hal ini menyebabkan kebijakan fiskal berubah peran dari stimulus fiskal menjadi kesinambungan fiskal (Rahmany, 2004). Dengan berubahnya peran tersebut, peran pemerintah sebagai agen pembangunan melalui capital expenditures menjadi semakin lemah. Namun, peran kesinambungan fiskal ini pun tidak mudah. Jika APBN tidak dikelola dengan hati-hati, maka kemungkinan gagal bayar mungkin terjadi. Tabel 1.2 Utang Luar Negeri Negara Berkembang menurut Tingkat Maturitas dan Tipe Kreditur Keterangan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Utang Total (Milliar US$) 1.864,6 1.948,2 2.030,4 2.201,2 2 235,3 2.201,9 2.170,2 2.191,5 2.219,2 2.211,6 Maturitas(%): Jangka Pendek 14,6 15,0 14,6 12,5 11,5 10,7 9,8 10,2 10,4 10,8 Jangka Panjang 85,4 85,0 85,4 87,5 88,5 89,3 90,2 89,8 89,6 89,2 Tipe Kreditor(%): Official 44,0 42,1 39,4 38,4 38,2 37,4 38,9 39,9 40,1 39,8 Bank 24,1 27,5 29,6 29,2 28,7 28,7 28,0 27,2 26,8 27,2 Swasta 31,9 30,4 31,0 32,4 33,2 33,8 33,1 32,9 33,1 32,9 Sumber: IMF, World Economic Outlook, September 2003, diolah. Mayoritas utang Indonesia adalah utang jangka menengah. Perbandingan data internasional menunjukkan bahwa mayoritas utang di negara sedang berkembang adalah utang jangka panjang. Selain itu, mayoritas utang berasal dari pinjaman resmi (official) dan bank (Tabel 1.2). 4
  • 17. Dornbusch (1993) mencatat bahwa dalam hal pinjaman luar negeri, kebanyakan kreditur tidak dalam posisi meng-amortisasi utang. Karena itu, pembedaan utang dalam jangka pendek-menengah-panjang menjadi tidak relevan. Namun, pendapat Dornbusch (1993) tidak seluruhnya benar untuk kasus Indonesia, karena utang tidak otomatis bisa roll-over. Karena itu, usaha serius untuk reprofiling utang perlu dilakukan. Reprofiling akan berhasil jika kredibilitas pemerintah dinilai baik oleh pelaku pasar Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban fiskal yang lain jika perekonomian mengalami shocks. Aktifitas semi-fiskal (quasi fiscal) dari BUMN dan BUMD dapat merupakan contingent liabilities jika mereka tidak dikelola dengan benar. BUMN dan BUMD memang terpisah dari keuangan negara (APBN), tetapi aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan public and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham dan alasan “too big to fail”. Pemerintah bekerja sama dengan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari general governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari general governments terhadap PDB maksimal 60 persen. Dalam kedua produk hukum tersebut juga diatur bahwa Pinjaman Daerah dengan dana dari luar negeri harus melalui skema penerusan pinjaman (on lending). 1.4 Metodologi Penelitian Alternatif Terbaik Kebijakan Pembiayaan APBN Jangka Menengah Tim PPE FE UGM memandang bahwa studi kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) perlu dilakukan secara mendalam dan hati-hati. Untuk menemukan formula optimal pembiayaan (alternative financing) APBN yang mencakup pembiayaan dalam dan luar negeri, Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Functions dan melakukan simulasi untuk mengetahui besarnya keseimbangan primer bagi Indonesia. Namun, sebelum estimasi Fiscal Policy Reaction Functions dan simulasi dilakukan, besarnya Natural Debt Limit (NDL) untuk Indonesia perlu diestimasi terlebih dahulu. Natural Debt Limit (NDL) NDL merupakan batas yang dikendaki oleh pemerintah dimana pengeluaran ditekan pada tingkat yang minimum dan tidak menciptakan utang melebihi batas yang dapat dibayar. Mendoza dan Oviedo (2004) mendefinisikan Natural Debt Limit (NDL) sebagai nilai anuitas dari keseimbangan fiskal atau Primary Balance (PB) pada saat terjadi krisis fiskal. Krisis fiskal sendiri didefinisikan sebagai keadaan setelah adanya goncangan penerimaan pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut disesuaikan pada tingkat minimum pada periode yang panjang. NDL dipengaruhi oleh rasio penerimaan terhadap PDB, rasio pengeluaran terhadap PDB, suku bunga pinjaman dan tingkat pertumbuhan, walaupun dalam keadaan krisis fiskal. Secara umum, NDL diturunkan dari kemungkinan dinamis keseimbangan primer. 5
  • 18. Fiscal Policy Reaction Function Tim PPE FE UGM menggunakan model Fiscal Policy Reaction Function untuk mengevaluasi formula optimal pembiayaan APBN. Model Fical Policy Reaction Function menggunakan variabel dependen primary balance dan first difference rasio utang terhadap PDB. Model tersebut diestimasi dengan data runtut waktu dan data panel. Pendekatan Fiscal Policy Reaction Function dapat dijelaskan dengan model sederhana berikut. Utang pada periode t+1 (Bt+1) merupakan penjumlahan utang periode t (Bt) ditambah kebutuhan pembiayaan Ft (IMF, 2003) Bt + 1 = Bt + F t (1.1) Persamaan (1.1) dapat ditulis ulang menjadi B t + 1 = (1 + r ) B t + S t − R t = (1 + r ) B t − P t (1.2) St adalah pengeluaran selain bunga, Rt adalah penerimaan pemerintah, sehingga Rt - St = Pt adalah primary surplus, dan r adalah suku bunga pinjaman. Persamaan (1.2) dapat ditulis ulang dalam bentuk rasio terhadap PDB (Y) sebagai berikut. Bt + 1 Y t + 1 = (1 + r ) t − t B P Yt +1 Yt Yt Yt (1.3) (1 + g ) bt + 1 = (1 + r ) bt − pt Utang akan berkesinambungan jika setidaknya bt+1 = bt, sehingga pt = bt (r-g). Dengan demikian, tingkat primary surplus (terhadap PDB) dapat digunakan sebagai target operasional Fiscal Reaction Function, yaitu: p t = α + ∑ J = 1β j X jt + ρ b t − 1 + ε t j (1.4) Vektor Xj adalah variabel makro ekonomi yang mempengaruhi primary surplus. Dalam model ini koefisien ρ diharapkan positif untuk memastikan terjadinya long-run solvency. Model pada Persamaan (1.4) dapat diestimasi dengan data runtut waktu (data runtut waktu Indonesia) atau panel (data dari beberapa negara). Namun, jika kita membahas besarnya primary surplus yang optimal maka besarnya primary surplus Indonesia harus dibandingkan dengan standar internasional (benchmarking). Karena itu Tim PPE FE UGM mengestimasi model tersebut dengan data panel dan diestimasi dengan metode Fixed Effects Generalized Least Square. Persamaan (1.4) dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi cross-section components (dilambangkan dengan sub-script i). p it = α i + ∑ J = 1β j X ijt + ρ b it − 1 + ε it j (1.5) 6
  • 19. Pada prinsipnya skenario kebijakan surplus primer optimal dilakukan sebagai berikut (seperti terlihat pada Gambar 1.1)1. Jika posisi utang Indonesia pada periode t-1 adalah sebesar bt-1 dan besarnya p Indonesia pada periode t yang dipilih pemerintah berada di bawah nilai prediksi rata-rata antar negara (titik A pada Gambar 1.1) maka p harus dinaikkan untuk dapat mencapai rata-rata tersebut dan mencapai kesinambungan fiskal. Ada empat pilihan tersedia bagi pemerintah. 1. Pertama, besarnya p langsung dinaikkan menuju titik E. Dalam hal ini besarnya b tidak berubah pada periode t. 2. Kedua, otoritas menaikkan p tidak setinggi AE, tetapi hanya fraksi dari itu (misal AB). Pilihan ini berakibat bt meningkat. Untuk mencapi fiscal sustainability pemerintah dapat memilih jalur semacam garis BG. 3. Ketiga, pemerintah menolak menaikkan p dan mempertahankannya pada ketinggian A (mengikuti garis AF). Strategi ini akan membawa kondisi fiskal pada situasi unsustainable dan nilai b akan meningkat pada periode t serta berpotensi menuju krisis utang. Jika akhirnya pemerintah memilih fiscal sustainability maka besarnya surplus yang harus diadakan menjadi sangat besar. 4. Keempat, pemerintah justru mengurangi besarnya surplus menuju defisit. Jika pemerintah melakukan anggaran defisit dan ingin mencapai sustainability pada periode berikutnya maka pemerintah dapat memilih jalur AJ. Gambar 1.1 Hubungan antara Keseimbangan Primer (p) dan Rasio Utang terhadap PDB (b) Utang Nol B pt Nilai H prediksi p D G J E B F I A Krisis utang p dan b = 0 bt-1* bt-1|Xt Opsi sebaliknya tersedia jika posisi awal p pada periode t berada di atas nilai prediksi rata-rata antar negara (Titik B pada Gambar 1.1). Terdapat tiga opsi bagi pemerintah. 1. Pertama, p langsung dikurangi dari titik B menuju E. Dalam hal ini fiscal sustainability tercapai, dan nilai b pada periode t tidak berubah. 1 Gambar 1.1 lebih merupakan ancangan berpikir. Dalam prakteknya saran yang akan diberikan didasarkan pada hasil estimasi data empiris. 7
  • 20. 2. Kedua, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan besarnya p pada jalur BH. Jika strategi ini ditempuh, maka fiscal sustainability dapat dipertahankan serta stok utang akan cepat berkurang menuju nol. Strategi kedua ini juga merupakan strategi yang baik jika tujuan pemerintah yang utama adalah ``segera melunasi utang. 3. Ketiga, pemerintah mengambil kebijakan semacam jalur BI pada Gambar 1.1. Output strategi ketiga adalah besarnya p dan b akan turun dalam jangka panjang. Berdasarkan metode yang diusulkan pada bagian ini dan hasil wawancara pada bagian sebelumnya, dapat dihasilkan ide-ide kreatif untuk mencari formula optimal alternatif kebijakan utang pemerintah Indonesia. Dengan metodologi ini pemerintah memiliki berbagai skenario besarnya surplus (primary balance) yang dipilih serta konsekuensi stok utang. Dengan menggunakan hasil analisis pada Fiscal Policy Reaction Functions dapat dibandingkan kinerja fungsi reaksi Indonesia dengan negara-negara maju yang kinerja pengelolaan utangnya baik dan dengan negara-negara pengutang parah. Dengan pendekatan ini dilakukan evaluasi, apakah fungsi reaksi Indonesia lebih mendekati negara yang mengelola utang dengan baik ataukah lebih mendekati negara pengutang parah. Simulasi Keseimbangan Primer Metode yang digunakan dalam simulasi keseimbangan primer dan utang Indonesia ini sama dengan metode yang digunakan oleh Bank Dunia (2002). Namun kemudian dilakukan perubahan untuk beberapa asumsi agar hasil simulasi ini lebih dekat dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Simulasi ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar penurunan rasio utang terhadap PDB yang terjadi melalui berbagai asumsi keadaan fiskal dan makroekonomi Indonesia yang mungkin dicapai. Dalam simulasi ini, dilakukan prediksi untuk rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB dari tahun 2004 sampai dengan 2010. Rasio utang terhadap PDB yang menjadi dasar simulasi adalah rasio tahun 2004. Dalam simulasi ini perubahan yang terjadi pada rasio utang terhadap PDB dipengaruhi oleh selisih antara pertumbuhan PDB dengan rata-rata suku bunga yang dibayarkan pada utang pemerintah, primary fiscal surplus, capital revenue serta off budget losses. Efisiensi Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri Untuk mengidentifikasi efisiensi kebijakan pembiayaan financing APBN yang ada, Tim PPE FE UGM melakukan tiga hal. Pertama, yang dilakukan adalah wawancara terfokus dan mendalam (in-depth interview). Fokus topik yang ditanyakan adalah evaluasi efisiensi kebijakan pembiayaan APBN dan kebijakan utang. Kedua, dilakukan analisis data kuantitatif biaya pinjaman dan portofolio utang yang optimal. Data yang digunakan dalam analisis efisiensi dan portofolio utang diperoleh dari Departemen Keuangan dan Bloomberg Online. Ketiga, analisis deskriptif country risk dan biaya kondisional biaya pinjaman luar negeri. Analisis country risk Indonesia dilakukan untuk mengetahui persepsi Internasional terhadap risiko untuk melakukan investasi di Indonesia. Analisis biaya kondisionalitas dilakukan dengan cara mengamati pengalaman empiris beberapa negara, termasuk Indonesia, dalam memperoleh pinjaman dari kreditur asing. 8
  • 21. Portofolio Utang Komersial Pemerintah Reprofiling dalam konteks manajemen utang merupakan upaya memindahkan beban utang yang terkonsentrasi pada satu periode tertentu dengan cara memperpanjang periode maturitas. Konsekuensi yang dihadapi pemerintah adalah suku bunga kupon akan naik, kepercayaan pasar dapat turun dan beban pembiayaan memanjang. Namun keuntungannya adalah risiko default dapat dihindarkan sehingga kredibilitas pemerintah dapat terjaga. Sasaran reprofiling adalah membuat profil dan skedul pembayaran beban utang obligasi pemerintah menjadi lebih moderat. Dalam melakukan studi tentang reprofiling utang Pemerintah Indonesia, Tim PPE FE UGM menggunakan data pembayaran bunga, pokok pinjaman dan maturitas tahunan dari tahun 2004-2020. Dari observasi yang dilakukan kemudian dapat diidentifikasi profil maturitas obligasi Pemerintah Indonesia. Selain itu dikumpulkan juga berbagai keterangan dari staf (melalui wawancara) dan publikasi Departemen Keuangan RI perihal maturitas utang Indonesia jangka menengah. Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam studi manajemen utang ini diperoleh dari International Financial Statistics (IFS), Government Financial Statistics (GFS), Global Development Finance, Key Indicator Asian Development Bank 2004, OECD Outlook 2004, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Departemen Keuangan dan Bloomberg Online. Data-data yang dikumpulkan adalah data untuk Central Government dengan pendekatan Cash Basis. Tim PPE FE UGM melakukan perbandingan data-data yang telah dikumpulkan. Untuk Indonesia data yang dikumpulkan diusahakan dalam seri yang sepanjang mungkin. 9
  • 22. Bab STUDI PUSTAKA 2 MANAJEMEN UTANG STUDI PUSTAKA – STUDI MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI PEMERINTAH DAN ASSESSMENT TERHADAP OPTIMAL BORROWING 2.1 Latar Belakang Pemerintah adalah suatu lembaga yang mengemban amanat rakyat untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Secara khusus, pemerintah dapat merepresentasikan suatu negara. Pemerintah suatu negara wajib menjalankan tiga fungsi pemerintah, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, pemerintah membutuhkan dana. Dalam mengatur anggaran pengeluaran dan penerimaan, pemerintah menjalankan kebijakan fiskal. Operasionalisasi kebijakan ini dapat berupa pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi dan pengelolaan pendapatan. Keseluruhan fungsi fiskal ini dapat tercapai secara berkelanjutan jika penerimaan negara (pemerintah) sesuai dengan kebutuhan pengeluarannya. Jika tidak, dibutuhkan alternatif pembiayaan tambahan yang mencakup pendanaan internal dan eksternal. Sehubungan dengan pendanaan eksternal, utang menjadi suatu alternatif kebijakan pembiayaan negara. Todaro (2000) secara khusus berpendapat bahwa saving gap (kesenjangan tabungan dan kebutuhan investasi) dapat menjadi penyebab utang luar negeri. Jika akumulasi kapital domestik menurun, maka diperlukan modal dari luar negeri untuk mengolah sumber daya domestik tersebut. Todaro menyebutnya sebagai imported capital. Selain itu, defisit transaksi berjalan dalam neraca perdagangan juga dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan kapasitas pembayaran. Perhatian terhadap utang dan defisit memiliki arti penting dalam analisis keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena defisit yang dibiayai oleh bank sentral dengan pencetakan uang akan mendorong terjadinya inflasi. Sementara defisit yang dibiayai dengan surat utang akan menimbulkan efek crowding-out (dengan asumsi-asumsi tertentu). 10
  • 23. Pada dasarnya, tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki utang. Ketidakseimbangan aliran modal umumnya terjadi. Utang tidak selalu merugikan, sejauh dikelola dengan baik. Pada tahun 2001, OECD Economic Outlook mencatat bahwa negara industri maju di dunia pun mempunyai rekening pinjaman dalam struktur PDB mereka. Sebagai contoh, Jepang dan Itali memiliki rasio utang terhadap PDB yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tingkat Utang Negara-negara Maju terhadap Nilai PDB, 2001 Persentase Utang Persentase Utang Negara Negara terhadap PDB terhadap PDB Jepang 119 Irlandia 54 Italia 108 Spanyol 53 Belgia 105 Finlandia 51 Kanada 101 Swedia 49 Yunani 100 Jerman 46 Denmark 67 Austria 40 Inggris 64 Belanda 27 Amerika Serikat 62 Australia 26 Perancis 58 Norwegia 24 Portugal 55 Sumber: OECD Economic Outlook, 2001. Utang akan aman bagi kondisi fiskal suatu negara jika pemerintah mampu memelihara kestabilan antara penerimaan pinjaman yang diperoleh dengan kemampuan pembayaran kembali. Jika tidak, maka utang akan mengganggu kestabilan ruang gerak pembiayaan negara. Stabilitas yang harus dicapai inilah yang disebut sebagai kesinambungan fiskal (fiscal sustainability). 2.2 Tinjauan Teoretis Manajemen Utang Definisi Ada berbagai pengertian kesinambungan fiskal. Ayumu Yamauchi (2004) berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi jika nilai sekarang (present value) dari batasan pengeluaran (expenditure constraint) yang akan datang dapat dipenuhi tanpa harus melakukan koreksi atau penyesuaian fiskal untuk mencapai keseimbangan. Barnhill dan Kopits (2003) melihat bahwa kesinambungan fiskal merupakan interaksi antara keseimbangan anggaran primer dengan parameter kunci, yaitu pertumbuhan dan tingkat bunga yang mempengaruhi pembayaran utang publik. Sementara Blanchard et.al. (1990), berpandangan bahwa posisi utang yang aman akan tercapai bila rasio utang mengarah kepada keadaan semula. Pengertian kesinambungan fiskal yang lain lebih melihat pertumbuhan ekonomi sebagai penyeimbang stok utang dan kemampuan fiskal. Jika PDB tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan stok utang dan kontinyu, maka posisi fiskal akan aman bagi pembayaran utang. Pendapat ini dikemukakan misalnya oleh Joseph Ntamatungiro (2004) dan Sebastian Edwards (2002). Ntamatungiro menekankan bahwa fiskal akan aman jika terdapat kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, Edwards berpendapat bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner. IMF dan Bank Dunia secara sederhana mendefinisikan kesinambungan utang luar negeri (external debt sustainability) suatu negara sebagai kemampuannya dalam memenuhi kewajiban berjalan dan yang akan datang secara penuh tanpa perlu adanya penjadwalan 11
  • 24. kembali atau tunggakan (arrears). Sementara itu, Uni Eropa memiliki fiscal-financial programme sebagai panduan stabilitas fiskal-finansial negara-negara anggotanya. Kesinambungan fiscal-financial programme suatu negara didefinisikan sebagai ketiadaan risiko gagal bayar, yaitu tingkat utang harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang (present value) semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang (Buiter dan Graf, 2002). Pada umumnya negara debitur akan menghadapi banyak permasalahan menyangkut utang yang dilakukan, antara lain solvabilitas, likuiditas, kesinambungan dan kerentanan. Menurut Geithner (2002), solvabilitas terjadi jika Present Discounted Value (PDV) dari pengeluaran primer (E) saat ini dan masa yang akan datang tidak melebihi PDV pendapatan (Y) saat ini dan yang akan datang dikurangi initial indebtedness (utang mula- mula/Dt-1). Secara matematis, kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut: ∞ ∞ E1+ i Y1+i ∑ i =0 1 ≤∑ i =0 1 − (1 + rt ) Dt −1 (2.1) C (1 + r i =1 t +1 ) C (1 + r i =1 t +1 ) Likuiditas terjadi jika kondisi solvabilitas dapat terpenuhi atau ketika aset likuid dan dana yang ada dapat memenuhi maturitas utang. Kerentanan terjadi jika terdapat goncangan pada solvabilitas dan likuiditas keuangan negara. Sedangkan kesinambungan dalam hal utang didefinisikan sebagai situasi dimana peminjam dapat memenuhi kewajiban utangnya tanpa harus melakukan koreksi pada keseimbangan penerimaan dan pengeluaran masa yang akan datang. Dampak Aktivitas Fiskal terhadap Perekonomian Sebagai pelaku ekonomi, pemerintah juga mempunyai andil dalam perkembangan perekonomian suatu negara. John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) menyarankan dilakukannya kebijakan pemerintah yang ekspansif untuk membantu mengurangi pengangguran akibat depresi ekonomi. Hal ini berbeda dengan pendapat David Ricardo (1772-1823). Ricardo berpendapat bahwa upaya pemerintah untuk mempengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal tidak akan berhasil. Jika terjadi defisit anggaran dan pemerintah melakukan pinjaman untuk menutupinya, maka ini sebenarnya merupakan pajak yang tertunda. Berdasarkan ekspektasi rasionalnya, konsumen akan beranggapan bahwa pemerintah akan mengkompensasikan dana pinjaman tersebut dengan cara menaikkan pajak di masa yang akan datang. Inilah yang disebut sebagai Ekuivalensi Ricardian (Ricardian Equivalence). Menurut aliran Neoklasik, pinjaman yang dilakukan pemerintah terhadap publik akan berakibat pada berkurangnya investasi swasta. Hal ini disebabkan penurunan cadangan dana publik akan diikuti oleh meningkatnya tingkat bunga. Dengan biaya modal yang tinggi investasi swasta menjadi tertekan dan pertumbuhan ekonomi akan menurun. Fenomena ini disebut sebagai crowding out. Friedman (1987) menegaskan potensi terjadinya crowding-out ini pada masa-masa rawan defisit fiskal, bahkan pada saat perekonomian mencapai full-employment. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa utang pemerintah akan berhubungan dengan penyerapan utang swasta. Selain itu utang juga berhubungan dengan tingkat pendapatan. Teorinya didasarkan pada dua hipotesis perilaku pemberi pinjaman, yaitu: 12
  • 25. 1. Modigliani’s Life-Cycle Hypothesis of Saving Pada perekonomian maju dengan sebaran populasi yang stabil, individu akan menyimpan dana pada berbagai pilihan dimana terdapat kestabilan hubungan antara pendapatan dengan kesejahteraan ekonomi secara agregat. 2. Risk-Averse Portfolio Behavior Theory Investor akan menanamkan dananya pada portfolio yang meminimalisir risiko dan memaksimalkan keuntungan. Swasta akan mengambil pinjaman berdasarkan pada faktor-faktor seperti tingkat keuntungan usaha, ketersediaan kredit, tingkat pajak, risiko ekonomi maupun non ekonomi dan regulasi tentang kepailitan. Dengan adanya rasionalitas sektor swasta, maka kenaikan tingkat utang pemerintah akan direspon sebagai ekspektasi kenaikan pajak di masa mendatang. Jika hal ini terjadi maka Ricardian equivalence akan berlaku. Berkaitan dengan defisit fiskal, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian akan berbeda. Hal ini bergantung pada cara pemerintah mengatasi kekurangan tersebut. Hoogendorn (1996) melengkapi analisis dengan 2 kemungkinan solusi yang diambil pemerintah untuk keluar dari defisit. Pertama, melakukan pinjaman ke swasta. Sejalan dengan pemikiran Neoklasik, skenario ini akan melahirkan efek tekanan terhadap swasta dalam hal kesempatan berinvestasi. Kedua, menambah penerimaan pajak, misalnya melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan perbaikan administrasi. Defisit fiskal juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Mankiw (2003) mencatat tiga efek yang dapat ditimbulkan oleh ekspansi anggaran pemerintah yang terlampau eksesif. Pertama, terjadinya ekspansi di sektor moneter yang berujung pada peningkatan jumlah uang beredar (inflasi). Kedua, jika tidak ditangani dengan baik, akan berlanjut dengan pelarian modal (capital flight) ke luar negeri. Di beberapa negara, persentase capital flight terhadap utang pemerintah menunjukkan angka yang cukup tinggi. Bahkan, Venezuela pernah memiliki persentase capital flight terhadap utang pemerintah sebesar 240 persen pada akhir tahun 1988. Indonesia pernah mengalami capital flight yang besar pada puncak krisis 1998. Ketiga, dalam jangka panjang akan timbul pergeseran beban utang ke generasi yang akan datang. Dampak kontradiktif perilaku fiskal terhadap pasar uang juga diamati oleh Brandon dan Marquez (1988). Studinya tentang dampak pemotongan pengeluaran pemerintah terhadap suku bunga di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa suku bunga cenderung menurun jika pemerintah berhenti berekspansi. Konservatisme fiskal juga memiliki pengaruh terhadap perekonomian. Di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman (Chouraqui, 1986) dan Amerika Serikat (Friedman, 1981), rasio utang terhadap PDB justru distabilkan dalam jangka pendek. Utang Amerika Serikat pasca Perang Dunia II yang umumnya bersifat jangka panjang dikonversikan dalam jangka pendek untuk segera diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko di masa depan. Buiter (1983) mengutarakan kemungkinan adanya ruang bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap perekonomian. Hal ini berdasarkan teori Neo-Keynesian tentang peran penting campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada dua alasan pemerintah melakukan campur tangan dalam perekonomian. Pertama, intervensi karena alasan distribusi. Pemerintah dapat melakukan redistribusi pendapatan untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya melalui reformasi pajak dan struktur yang progresif. Kedua, untuk mengatasi kegagalan pasar. Sebagai contoh, jaminan kredit untuk mengatasi asymmetric information mengenai usaha yang akan didanai olehnya. 13
  • 26. Buiter yakin bahwa anggaran pemerintah mampu menstabilkan permintaan agregatif masyarakat pada saat tertentu. Hal ini melibatkan pajak dan transfer (termasuk subsidi), ketika variabel konsumsi dan investasi tidak berubah. Dampak Variabel Ekonomi terhadap Fiskal Selain dampak aktivitas fiskal terhadap perekonomian, kondisi perekonomian suatu negara juga dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal pemerintah negara tersebut. Inflasi yang tinggi, perubahan nilai tukar dan tingkat keterbukaan ekonomi dan perdagangan merupakan contoh hal-hal yang dapat mempengaruhi operasi keuangan pemerintah baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran. Rosen (1999) menyatakan bahwa aktivitas konsumsi, penjualan dan akumulasi kekayaan merupakan sumber pendapatan negara yang utama. Pajak memainkan peranan vital bagi kelangsungan fiskal pemerintah. Di Inggris dan Eropa, pajak pertambahan nilai (Value Added Tax/VAT) menjadi sumber penerimaan penting walaupun kebijakan ini tidak lazim di Amerika Serikat. Jenis pajak yang dominan di Amerika Serikat adalah pajak penjualan. Pada tahun 1994, total pajak penjualan di tingkat negara bagian mencapai 38 persen dari total penerimaan negara di Amerika Serikat. Namun penerimaan dari pajak ini sangat bergantung pada aktivitas perekonomian. Jika aktivitas perekonomian mengalami kelesuan maka penerimaan pajak pun akan mengalami tekanan. Menurut Buiter dan Juan (1993), tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit primer melalui penurunan nilai riil dari penerimaan pajak. Sementara itu, jika swasta memiliki piutang dalam bentuk mata uang domestik dengan bunga tetap maka inflasi akan mempengaruhi nilai riil penerimaan piutang tersebut. Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap beban fiskal. Pada tahun 1981-1983 Meksiko mengalami sudden stop, yaitu terhentinya aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak menentu. Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan. Krisis yang dialami Meksiko ini dikenal sebagai ‘Tequila Crisis’. Nilai aliran devisa masuk yang tertunda mencapai 20 persen dari total PDB Meksiko saat itu. Selain Meksiko, Calvo (2004) juga mendeteksi gejala sudden stop di negara-negara berkembang lainnya. Terjadinya sudden stop didorong oleh faktor eksternal dan internal. Contoh variabel eksternal adalah efek domino (contagious effect). Sedangkan variabel internal meliputi tarif, situasi politik dan tata kelola. Adanya dolarisasi utang-utang domestik (Domestic Liabilities Dollarization/DLD) membuat posisi fiskal pemerintah terbuka terhadap goncangan. Namun hal ini dilakukan untuk menarik minat kreditur, mengingat preferensi memegang dolar sangat tinggi. Tabel 2.2 Biaya Restrukturisasi Finansial ( % PDB) Negara Biaya Restrukturisasi Finansial (% PDB) Indonesia, 1997 47 Thailand, 1997 29 Chili, 1981-1987 29 Meksiko, 1994-1999 19 Korea, 1997 17 Swedia, 1990-1993 4 Amerika Serikat, 1980-1992 2 Sumber : IMF, 2000 Selain di Amerika Latin, dampak perekonomian terhadap fiskal juga terjadi di Asia. Pengalaman menunjukkan bahwa krisis Asia pada periode 1997-1998 segera diikuti oleh 14
  • 27. bertambahnya utang publik. Penurunan nilai tukar beberapa negara Asia pada saat itu mengakibatkan kredit macet yang ditanggung oleh sektor perbankan. Kredit macet tersebut harus segera diambil alih oleh pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya penjaminan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Biaya restrukturisasi finansial di Indonesia sendiri relatif lebih besar dibandingkan beberapa negara lainnya (Tabel 2.2). Kesinambungan Fiskal Kesinambungan fiskal diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu indikator surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Menurut Cuddington (1996), defisit atau surplus keseimbangan primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan indikator utama dalam pengukuran ketahanan fiskal. Secara matematis, besar utang pada periode t merupakan utang pada periode sebelumnya (t-1) ditambah bunga, dikurangi surplus primer. Besar utang tersebut dirumuskan sebagai berikut. Bt = (1 + rt) Bt – n – SURPB (2.2) Di mana : Bt: jumlah utang pemerintah yang beredar pada tahun t rt: tingkat bunga SURPB: surplus pada keseimbangan primer Keseimbangan primer adalah selisih antara anggaran dan pengeluaran pemerintah di luar bunga dan cicilan utang. Menurut definisi Accounting Approach yang diperkenalkan oleh Cuddington, defisit atau surplus pada keseimbangan primer akan berkesinambungan bila keseimbangan primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan. Tingkat pertumbuhan ekonomi (PDB) tidak boleh lebih rendah dari suku bunga utang. Dalam hal ini, surplus primer dari ekspor dipandang sebagai kompensator bagi ketahanan utang. Namun ukuran ini tidak cocok untuk negara berkembang. Cuddington (1996) menyatakan bahwa metode ini hanya cocok untuk negara-negara yang ekspornya maju. Aplikasi Accounting Approach ini harus memperhatikan kemungkinan penggunaan pencetakan uang sebagai sumber pembiayaan fiskal. Oleh karena itu, surplus (SURPB) di atas harus diterjemahkan sebagai surplus primer ditambah penerimaan dari pencetakan uang yang berkesinambungan (sebagai rasio dari PDB). Metode lain yang diperkenalkan oleh Cuddington adalah Present Value Budget Constraint (PVBC). Cuddington berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan tercapai jika nilai sekarang (Present Value) dari utang pemerintah sama dengan nilai sekarang dari surplus primer yang diharapkan. N SURPBt + j Bt − 1 = ∑ (2.3) j =0 (1 + r ) j +1 Metode ini menekankan suatu kondisi di mana nilai sekarang dari akumulasi utang di masa mendatang sama dengan nol sehingga akan menjaga kelangsungan anggaran negara. Artinya pertumbuhan utang harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat bunga. Sementara itu, Branson (1990) menggunakan pendekatan analisis keseimbangan eksternal dan internal melalui persamaan dinamis utang. Persamaan tersebut memasukkan unsur pencetakan uang (seignorage) dalam menganalisis dinamisasi utang selain menggunakan primary surplus. Secara matematis, persamaan tersebut dituliskan sebagai berikut. 15
  • 28. db = ( r − n ) * b + p − s (2.4) Di mana : b: rasio utang terhadap PDB db: aritmathic annual growth (debt) r: suku bunga riil n: tingkat pertumbuhan PDB riil p: primary defisit after grants s: rasio seignorage terhadap PDB. Untuk negara yang memiliki utang, rasio utang terhadap PDB (b) negara tersebut bernilai positif. Jika selisih antara rasio utang terhadap PDB dengan pertumbuhan riil (r-n) positif maka utang akan meningkat karena peningkatan suku bunga. Oleh karena itu, untuk mencapai proses stabil maka selisih antara rasio defisit primer dengan rasio pencetakan uang terhadap PDB (p-s) harus negatif. IMF dan Bank Dunia menganalisis utang eksternal dengan pendekatan PVBC tersebut. Apabila pengampunan utang diberikan, NPV (Net Present Value) utang luar negeri suatu negara akan stabil pada tingkat steady state relatif terhadap PDB. Menurut Edwards (2002), keadaan ini merupakan keadaan yang aman karena rasio utang sektor publik terhadap PDB bersifat stasioner. Ada tiga ciri utama yang dijadikan patokan oleh IMF dan Bank Dunia dalam menerapkan pendekatan ini PVBC ini. Pertama, jika negara menerapkan reformasi ekonomi yang sesuai, rasio utang terhadap PDB yang dicapai setelah pengampunan utang akan berkesinambungan dalam jangka panjang. Kedua, dalam jangka panjang negara debitur akan dapat mempertahankan akses ke pembiayaan longgar. Ketiga, lebih rendahnya NPV dibandingkan face value karena negara miskin memiliki akses ke pembiayaan longgar yang disubsidi. Surplus Primer dan Rasio Utang: Upaya Pengukuran Kesinambungan Fiskal Penilaian terhadap kesinambungan fiskal pemerintah memerlukan indikator yang jelas dan terukur untuk mengestimasi tekanan utang luar negeri. Chouraqui, Hagemann dan Sartor (1999) menegaskan bahwa suatu indikator minimal harus memenuhi tiga persyaratan yaitu implementasi dan interpretasi yang sesuai dengan karakteristik negara terkait, penjabarannya didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi positif (bukan normatif), dan adanya kesamaan persepsi dalam perbandingan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perbedaan-perbedaan pengukuran dalam hubungan antarnegara. Chouraqui, Hagemann dan Sartor (1999) juga menekankan pentingnya konsistensi kebijakan fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran kinerja. Dalam observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut, Chouraqui menemukan bahwa Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan cara efektif untuk saling mengontrol secara kolektif kestabilan fiskal masing-masing negara anggota. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia II berangkat dari kondisi perekonomian yang sama. Beberapa alasan CAB digunakan sebagai indikator perubahan kebijakan fiskal adalah: 1. CAB merupakan ukuran dasar kebijakan fiskal yang dapat membedakan antara anggaran seimbang pemerintah yang berubah-ubah dengan yang tetap. 2. Melihat pengaruh kebijakan pada tahun-tahun selanjutnya pada keuangan publik. 3. CAB dapat menganalisis reaksi perubahan wewenang dalam lingkungan ekonomi. 16
  • 29. Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesinambungan fiskal. Fungsi identitas yang dielaborasi oleh Buiter mencantumkan banyak variabel yang terkait dengan penentuan stabilitas fiskal sebagai berikut. C t − Tt − E t N t* − Ft + At − PRIV t + it Btd−1 + it* E t ( Bt*−1 − Rt*−1 ) ≡ B td − Btd−1 + E t ( B t* − B t*−1 ) + H t − H t −1 − E t ( R t* − R t*−1 ) (2.5) Di mana: Ct: konsumsi pemerintah pada periode t Tt: pajak setelah dikurangi transfer dan subsidi Et: nilai tukar di pasar spot N t* : nilai bantuan luar negeri dalam mata uang asing Ft: aliran kas dari sektor publik At: pembentukan modal domestik di sektor publik PRIVt: dana hasil privatisasi it : suku bunga utang publik domestik Btd−1 : nilai nominal face value kewajiban domestik pemerintah termasuk tunggakan maupun yang sedang berjalan it* : suku bunga utang dalam denominasi mata uang asing Bt*−1 : nilai nominal kewajiban luar negeri termasuk bunga, tunggakan dan kewajiban bank sentral dalam denominasi mata uang asing Rt*−1 : cadangan devisa H t −1 : stok uang beredar Dalam hal ketahanan utang, ada dua pendapat mengenai wacana indikator, yaitu mereka yang berpegang pada surplus primer dan yang berpegang pada rasio utang terhadap PDB. Beberapa penulis seperti Cohen (2000) dan Marks (2003) menggunakan parameter rasio utang terhadap PDB sebagai indikator ketahanan fiskal. Pertumbuhan utang luar negeri tidak boleh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonominya. Turunnya rasio utang terhadap PDB tidak berarti adanya peningkatan posisi keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara, penipisan sumber-sumber kepemilikan publik dan penurunan modal tetap pemerintah. Menurut Cuddington (1996), aliran surplus primer merupakan fondasi utama bagi ketahanan fiskal pemerintah terhadap utang. Cuddington mendefinisikan surplus primer sebagai selisih antara penerimaan dan pengeluaran primer, tidak termasuk pembayaran bunga dan cicilan utang. Harinowo (2004) juga menegaskan bahwa surplus yang dicapai akan digunakan untuk melakukan kembali pembayaran utang yang telah jatuh tempo. Buiter (1995) menawarkan 3 pilihan proksi yang berbeda dalam mengukur kesinambungan fiskal, yaitu rasio utang publik terhadap PDB, one-period primary gap, dan permanent primary gap. Buiter menyebut penurunan rasio utang terhadap PDB sebagai indikasi kemampuan menjaga solvabilitas jangka panjang. Buiter juga mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat mempengaruhi solvabilitas fiskal, yaitu: 1) rasio utang terhadap PDB, 2) rasio surplus primer terhadap PDB, 3) suku bunga jangka panjang dan 4) pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Primary Gap adalah selisih antara surplus primer aktual dan surplus primer yang diharapkan. Jika primary gap dihitung pada satu periode saja (t), maka hal ini disebut sebagai one-period primary gap. Namun, jika mempertimbangkan faktor solvabilitasnya sampai akhir periode utang maka primary gap tersebut disebut sebagai permanent primary gap. 17