1. RILIS MEDIA
“POLISI DAN PELANGGARAN HAM : PEKERJAAN RUMAH KAPOLRI BARU”
Pada Rabu, 13 Januari 2021 Pemerintah menyambangi DPR RI untuk menyerahkan Surat Presiden
(Surpres) tentang Nama calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
menggantikan Kapolri Idham Azis yang akan memasuki masa pensiun pada akhir Januari 2021.
Surpres tersebut berisi nama calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo yang saat ini
menjabat sebagai Kabareskrim Polri. Calon Kapolri kedepan tentu harus dapat menjawab berbagai
pekerjaan rumah yang belum (tidak) selesai dikerjakan oleh Kapolri sebelumnya. Masyarakat
berharap Kapolri kedepan mampu mewujudkan cita-cita reformasi untuk menjadi kepolisian
sebagai lembaga penegakan hukum yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.
Mengingat pada tanggal 20 Januari 2021 akan dilaksanakan Fit and Proper Test terhadap calon
Kapolri oleh DPR RI, maka berdasarkan hasil Pemantauan dan Pengaduan yang masuk ke LBH
Jakarta, setidaknya terdapat 2 isu utama di tubuh kepolisian, yakni Pelanggaran HAM dan
Keterlibatan Polisi dalam politik kekuasan, hal tersebut terkait erat dengan kegagalan reformasi
di tubuh kepolisian. Selanjutnya berbagai catatan akan dijabarkan sebagai berikut;
I. PRAKTIK PENYIKSAAN (TORTURE);
Sepanjang 2013-2016 LBH Jakarta menerima pengaduan terkait dengan Praktik
Penyiksaan yang dilakukan oleh Anggota Kepolisiaan dengan jumlah korban sebanyak 37
orang, kemudian pada saat melakukan Survey Anak Berhadapan dengan Hukum (“ABH”)
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Wilayah Jakarta 2018-2019 LBH Jakarta
menemukan 20 orang anak yang menjadi Korban Penyiksaan pada saat proses Penyidikan
di tingkat kepolisian. Dalam kasus 21-22 Mei 2019 LBH Jakarta mendapat 2 anak menjadi
korban penyiksaan, Selanjutnya pada saat mendampingi kasus Vandalisme di Tanggerang
2020, LBH Jakarta menemukan 5 orang menjadi korban penyiksaan anggota kepolisian.
Data tersebut menunjukkan bahwa problem penyiksaan menjadi praktik pelanggaran
HAM yang terus terjadi dan harus serius untuk dihentikan oleh Kapolri kedepan.
II. PEMBUNUHAN DILUAR PROSES HUKUM (EXTRA JUDICIAL KILLING);
Pada 2011 kepolisan menembak mati 1 orang (YBD) dengan dalih melawan petugas Pada
2018 LBH Jakarta menerima pengaduan dan melakukan investigasi dan mendapati 15
orang yang diduga sebagai penjahat jalan ditembak mati oleh Anggota Polisi dengan dalih
pengamanan Asian Games 2018 Jakarta-Palembang, Menutup Tahun 2020 Kepolisian
diduga telah melakukan pembunuhan diluar hukum terhadap 6 Anggota Laskar FPI yang
terjadi di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek.
2. III. KEKERASAN DAN BRUTALITAS DALAM PENGAMANAN AKSI DEMONSTRASI-
PENYAMPAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM;
Sepanjang 2019 terdapat beberasa aksi demonstasi yang dilakukan oleh warga dan
mahasiswa dan semuanya berujung pada pembubaran dan yang dilakukan dengan cara
kekerasan dan brutal oleh Anggota Kepolisian (data hanya mencakup wilayah
Jabodetabek). Yakni;
1) kerusuhan 21-22 mei yang mengakibatkan 4 orang tewas karena peluru tajam dan
1 orang tewas karena hantaman benda tumpul, dan banyak beredar anggota yang
memakai baju Polisi melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap masa
demonstran;
2) Demonstrasi menolak Revisi KUHP dan Revisi UU KPK di Jakarta
(#ReformasiDikorupsi), pada saat melakukan pengamanan aksi Polisi melakukan
kekerasan setidaknya kepada 88 orang dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat
Pertamina dan 2 orang menderita luka pada bagian kepala, Tim Advokasi untuk
Demokrasi menerima 390 Pengaduan korban kekerasan Anggota Polisi antara lain
201 korban merupakan mahasiswa, 50 korban merupakan pelajar, 13 korban
berasal dari karyawan, 3 aduan kekerasan berasa dari pedagang, 2 aduan pegawai
lepas 2, dan 1 aduan dari pengemudi ojek daring
Pada Agustus 2020 saat Demonstrasi Menolak Omnibus Law, beredar puluhan video
brutalitas anggota polisi yang melakukan kekerasan terhadap demonstran, berdasarkan
data pengaduan yang masuk ke Tim Advokasi Untuk Demokrasi terdapat 187 orang
dibawa ke Polda Metro Jaya, berdasarkan informasi dari korban mereka mengalami
kekerasan dari Anggota Kepolisian pada saat ditangkap.
selain itu aksi kekerasan Polisi pada saat pengamanan demonstrasi juga mengenai Jurnalis,
menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat 28 Jurnalis Alami Kekerasan
Oleh Polisi saat meliput aksi masyarakat menentang UU Omnibus Law Cipta Kerja.
IV. KRIMINALISASI AKTIVIS;
Kepolisian nampak terseret arus politik kekuasaan. Ketika Kepolisian RI menunjukkan
praktik penegakan hukum yang sulit dibedakan dari bentuk praktik aparat represif
kekuasaan terhadap masyarakat atau oposisi yang mengkritik dan memiliki pandangan
yang berbeda dengan pemerintah. Hal ini menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan bukan
alat negara untuk penegakan hukum yang adil dan imparsial. Polri diduga terlibat dalam
banyak upaya pembungkaman dan kriminalisasi aktivis melalui berbagai penerapan pasal
3. karet seperti Pasal Makar, UU ITE dll, setidaknya berdasarkan catatan penanganan kasus
LBH Jakarta antara lain sebagai berikut:
1. Kriminalisasi 6 aktivis Papua; Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda,
Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere
2. Kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono;
3. Kriminalisasi terhadap Robertus Robert,
4. Kriminalisasi terhadap musisi Ananda Badudu, dan
5. Kriminalisasi terhadap pengacara Aliansi Mahasiswa Papua Veronica Koman;
6. Kriminalisasi terhadap Aktivis Kebijakan Publik Ravio Patra;
7. Kriminalisasi terhadap 6 orang pada aksi Omnibus Law Agustus 2020;
8. Kriminalisasi terhadap Aktivis KAMI, Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat 2020;
V. MENERBITKAN MAKLUMAT DAN INSTRUKSI (YANG) MEMBATASI DAN
MENGURANGI HAM;
Sepanjang 2020 Kepolisan telah menerbitkan beberapat Maklumat yang melanggar
karena membatasi Hak Asasi Manusia, Pertama Maklumat Kapolri Nomor : 2/III/2020
tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran virus
Corona (Covid-19), yang pada intinya mengatur tentang pembatasan kebebasan
berkumpul warga, kedua Maklumat Nomor Mak/1/I/2020 itu terbit pada 1 Januari 2021
Tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta
Penghentian Kegiatan FPI yang pada intinya berisi tentang larangan bagi setiap warga
negara untuk “tidak mengkases, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI
baik melalui website maupun melalui media sosial”.
Penerbitan 2 maklumat tersebut tidak berdasarkan Hukum dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena tidak sesuai dengan Standar Pembatasan dan
Pengurangan HAM.
Selain itu Kapolri secara terang-terangan menerbitkan instruksi khusus melalui telegram
nomor STR/645/X/ PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menggagalkan aksi-
aksi demonstrasi penolakan Omnimbus Law ini. Selain berisi instruksi untuk menggagalkan
aksi unjuk rasa di lapangan, telegram ini juga melegitimasi tindakan kepolisian yang
menjadi pendengung (buzzer) sekaligus alat pukul pemerintah terhadap kritik publik di
media sosial. Sebelumnya, kepolisian juga mengeluarkan telegram nomor
ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang berisi pemidanaan menggunakan undang-undang ITE
pada kritik publik di media sosial berkaitan dengan Covid 19. Telegram ini bahkan
menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang telah dinyatakan inkonstitusional
4. oleh Mahkamah Konstitusi. Polisi telah menetapkan 82 orang warga menjadi tersangka
atas telegram ini.
VI. KORUPSI;
Pada 2019 kita masih ingat dengan “Skandal Buku Merah” atau kasus dugaan perusakan
barang bukti dalam kasus impor daging, dalam buku tersebut terdapat catatan
pengeluaran uang ke petinggi polisi dan terdapat nama Jendral Tito Karnavian. Kasus
tersebut. Kasus tersebut telah dilimpahkan KPK ke POLRI namun tak berselang lama kasus
tersebut dihentikan.
Pada November 2020 Publik kembali dikejutkan oleh keterlibatan 2 Perwira Tinggi Polisi
yang terlibat kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Brigadir Jenderal Prasetijo
Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
VII. DWI FUNGSI POLISI;
Praktik dwifungsi ABRI yang terjadi di masa orde baru dituntut dihapuskan di era reformasi
untuk mewujudkan aparat keamanan yang professional dan demokratis. Namun saat ini,
praktik tersebut kembali muncul. Kepolisian saat ini dapat menduduki berbagai jabatan
publik meski masih berstatus Kepolisian Aktif. Seperti menjadi Ketua KPK, Kepala BIN,
Direktur Utama BULOG, Kepala BNN, Kepala BNPT, LPSK, Kepala-kepala inspektorat dan
direktorat di berbagai kementerian, Lemhanas, menjadi Ketua Umum PSSI hingga menjadi
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan masih banyak lainnya. Ombusdman juga
menemukan 13 orang polisi menjadi komisaris BUMN dan 7% dari 167 Komisaris di anak
perusahaan BUMN. Kondisi ini tentu saja tidak tepat mengingat salah satu tujuan
penghapusan dwifungsi adalah untuk memperkuat pemerintahan yang bersih (good
governance) yang bebas dari conflict kepentingan (conflict of interest).
VIII. LEMAHNYA KONTROL TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN ETIK DAN HUKUM
APARAT KEPOLISIAN;
Paska Reformasi, Kepolisian menjadi lembaga yang super power. Sampai saat ini tidak
ada lembaga yang dapat secara efektif mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban
kepolisan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peratauran perundang-undangan.
Sementara Propam sebagai pengawas internal di kepolisian sendiri nampak tidak
berfungsi efektif. Termasuk Kompolnas sebagai pengawas eksternal yang secara design
kelembagaan dan kewenangan tidak memadai sebagai lembaga yang dapat mengawasi
lembaga sebesar Kepolisian. Sebagai contoh dalam hasil penyelidikan Komnas HAM
ditemukan adanya abuse of proses yang dilakukan oleh penyidik dalam menangani kasus
5. Novel Baswedan. Selain itu, Ombudsman RI menemukan dugaan tindak pidana pemalsuan
surat oleh aparat kepolisian dalam kasus NB terkait kriminalisasi kasus sarang burung
wallet. Namun, rekomendasi yang diberikan kedua lembaga tersebut menguap begitu
saja. Tak hanya itu, terhadap dua polisi aktif yang menjadi terpidana kasus penyiraman air
keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Kepolisian justru memberikan bantuan
hukum secara maksimal dan tidak melakukan pemecatan kepada dua polisi aktif tersebut.
Meski telah dilaporkan ke Propam, pelaporan terhadap keduanya tidak ditindaklanjuti.
Laporan pelanggaran etik dan profesional yang dilayangkan oleh LBH Jakarta kepada divisi
propam Polri dalam berbagai kasus masyarakat acapkali berhenti tanpa tindak lanjut yang
jelas termasuk laporan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Kepolisian.
IX. PENUNDAAN PROSES (UNDUE DELAY);
Kasus penundaan proses hukum terjadi dalam berbagai kasus yang ditangani oleh LBH
Jakarta, diantaranya adalah terkait kasus pinjaman online. Pada 2018 LBH Jakarta
menerima Pengaduan dari korban pinjaman online sebanyak 3.000 orang, hampir semua
korban mengalami pelanggaran hak karena laporan korban ke pihak kepolisian terkait
dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Pinjaman online tidak ditindak lanjuti
oleh Kepolisian.
Selain itu Kepolisian seringkali menolak laporan korban kekerasan seksual dan kekerasan
dalam pacaran. Polisi mempersalahkan dan melecehkan korban, serta menunda
penanganan kasus hingga berlarut-larut (undue delay). Banyak kasus yang ditolak oleh
kepolisian dengan berbagai alasan, kasus KDP (kekerasan dalam pacaran) misalnya,
dianggap sebagai bukan kasus kekerasan karena terjadi dalam relasi pacaran. Diasumsikan
suka sama suka merupakan dasar pembenar bagi perilaku jahat pelaku KDP. Minimnya
bukti, sampai mendesak atau menuntut korban untuk mencari bukti terlebih dahulu
menjadi pola dalam penanganan kasus KDRT dan KDP di Kepolisian. Kasus KDRT yang
terjadi dalam perkawinan yang tidak dicatatkan kepada Negara, dianggap tidak memenuhi
unsur KDRT sebab dianggap perkawinannya tidak ada.
Selanjutnya Buruh dan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh sering menghadapi penolakan
laporan dan penundaan berlarut (undue delay) perkara pidana ketenagakerjaan.
X. POLISI MENJADI AKTOR LAPANGAN PELANGGARAN HAK KEMERDEKAAN
BERPENDAPAT, BERSERIKAT, BERKUMPUL DAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT
DIMUKA UMUM;
Sepanjang 2019-2020, berdasarkan pemantauan dan pengaduan yang masuk ke LBH
Jakarta, Polisi menjadi aktor lapangan yang melakukan Pelanggaran Hak Kemerdekaan
6. Berpendapat, Berserikat, Berkumpul dan Meyampaikan Pendapat dimuka umum, dalam
beberapa aksi demonstrasi besar di Jakarta, setidaknya pada aksi #ReformasiDikorupsi dan
Menolak Omnibus Law LBH Jakarta menemukan beberapa tindakan Polisi untuk
melanggar hak, seperti;
1. Melakukan intimidasi terhadap orang yang akan mengikuti demonstrasi;
2. Melakukan penangkapan dan upaya paksa tidak sah kepada warga yang akan
menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat di muka umum/ demonstrasi;
3. Diduga melakukan peretasan terhadap aktivis;
4. Melakukan kriminalisasi terhadap aktivis;
5. Melakukan sweping ke kantor-kantor serikat buruh;
Berdasarkan catatan LBH Jakarta, yang menjadi korban dari tindakan tersebut adalah :
Pelajar, Mahasiswa, Anak, Perempuan, Buruh, Petani, Jurnalis. Bahkan masyarakat yang
tidak tahu menahu tentang aksi juga tidak luput dari sasaran tindakan tersebut.
XI. UPAYA PAKSA - PENANGKAPAN SEWENANG-WENANG DAN PENGHALANGAN
AKSES BANTUAN HUKUM;
Sepanjang 2019-2020 untuk wilayah Jabaodetabek Polri sudah menangkap ribuan orang
yang terlibat dalam aksi demonstrasi;
1. 442 orang pada aksi 21-22 mei 2019 di Bawaslu;
diantaranya terdapat 29 karyawan Gedung Sarinah yang ditangkap pada saat menjaga
dan mengamankan gedung sarinah selama aksi;
2. 700 orang lebih ditangkap pada aksi #ReformasiDikorpusi pada September-Oktober
2019;
3. 187 orang ditangkap pada aksi menolak Omnibus Law Agustus 2020;
4. 1.377 orang ditangkap pada aksi menolak Omnibus Law Oktober 2020;
Pada aksi #ReformasiDikorupsi dan Menolak Omnibus Law hampir semua korban
penangkapan ditangkap sebelum mengikuti aksi, Polisi mengangkap secara sporadik
terhadap orang yang dicurigai, bahkan banyak warga yang tidak tahu mengenai aksi
juga tidak luput dari tindakan penangkapan sewenang-wenang Polisi.
Berdasarkan temuan LBH Jakarta yang mendampingi korban penangkapan pada saat
demonstrasi, hampir kesemuanya mengalami pelanggaran hak-haknya sebagai orang
yang berhadapan dengan proses hukum seperti halnya Hak Akses Bantuan Hukum. Hal
tersebut karena penasehat hukum (Pengacara) dihalang-halangi untuk melakukan
pendampingan dalam upaya memberikan bantuan hukum. Acapkali Kepolisian
menggunakan dalih pengamanan yang tidak berdasar untuk menghindarkan diri dari
7. tanggungjawab pelaksanaan upaya paksa yang sah sebagaimana ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
XII. PEMBENTUKAN SUB DIREKTORAT TINDAK PIDANA KHUSUS KETENAGAKERJAAN
KEPOLISIAN RI TANPA DASAR HUKUM YANG MEMADAI;
Berdasarkan temuan tim peneliti LBH Jakarta, pada tahun 2017 – 2018, terdapat sebanyak
1.704 korban pelanggaran pidana perburuhan di wilayah Jabotabek dan Karawang, kasus
pidana ketenagakerjaan tersebut hanya segelintir saja pengusaha pelaku pelanggaran
yang berhasil dimajukan ke meja hijau. pada tahun 2019, Polda Metro Jaya meresmikan
“desk tenaga kerja”, untuk menampung pengaduan kasus pidana ketenagakerjaan, namun
hanya berfungsi sebagai meja konseling untuk itu perlu dibentuk subdit khusus yang
memiliki aparat penyidik khusus pidana ketenagakerjaan tersendiri untuk menindak kasus
pidana ketenagakerjaan. Kapolri kedepan harus mengevaluasi Sub Direktorat Tindak
Pidana Ketenagakerjaan yang ada dengan membentuk dasar hukum yang memadai
setingkat Peraturan Kapolri untuk memperkuat penegakan hukum tindak pidana
ketenagakerjaan yang marak terjadi diberbagai wilayah di Indonesia.
Dari serangkaian permasalahan yang terdapat di tubuh Institusi Kepolisian tersebut LBH
Jakarta mendesak;
1. Presiden Joko Widodo dan DPR RI memastikan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang baru berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran-
pelanggaran diatas dalam upaya menghentikan dampak Pelanggaran HAM yang semakin
luas dan mewujudkan kepolisian harapan rakyat yang humanis, professional dan
demokratis sebagaimana cita-cita reformasi;
2. DPR RI harus melakukan proses Fit and Proper Test dengan serius dengan menanyakan
permasalahan dan komitmen peenuntasan permasalahan kepolisian diatas kepada calon
tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo;
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terpilih harus melaksanakan Reformasi
kepolisian dengan maksimal untuk menghentikan Pelanggaran HAM yang terjadi dan
mewujudkan kepolisian harapan rakyat yang humanis, professional dan demokratis
sebagaimana cita-cita reformasi.
Jakarta,19 Januari 2020
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
Narahubung:
Arif Maulana: 0817 256167
Shaleh Al Ghifari: 085376769969