Problem akut penindakan terorisme di indonesia; ada dusta di ciputat
1. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
Selasa, 12 Rabiul Awwal 1435 H / 14 Januari 2014
MENU
Pencarian...
Go
Home / News / Depth /
Problem akut penindakan "terorisme" di
Indonesia; Ada dusta di Ciputat
A. Z. Muttaqin - Senin, 12 Rabiul Awwal 1435 H / 13 Januari 2014 21:51
Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
(Arrahmah.com) - Awal tahun 2014 Indonesia disuguhi tayangan penindakan terduga teroris
secara demonstratif oleh Densus88 dan Resmob Polri di Ciputat Tangerang. Kenapa
demonstratif? faktanya sore sekitar jam 17.00 wib beberapa media yang dekat dengan
Densus88 sengaja dikabari untuk meliput “herorisme” yang akan digelar malam tahun baru.Untuk
apa menginformasikan ke media TV kalau bukan untuk mendapat liputan kemudian diharapkan
bisa menyiarkan secara luas dengan segala efek turunannya.
Penindakan “teroris” model Ciputat bukan kali pertama, di awal tahun 2013 juga terjadi
penindakan terhadap orang yang di duga teroris di wilayah Makassar, Enrekang, dan Dompu
Bima. 2 orang mati (Asmar dan Kholid) di eksekusi di teras Masjid Nurul Afiah RS WahidinMakassar, 2 orang hidup (Arbain dan Tamrin) di tangkap di Daya Makassar dengan luka-luka
tembak. Di Enrekang 3 orang di tangkap hidup dengan kondisi babak belur (Sukardi, Syarifudin,
Fadli). Diwaktu yang bersamaan di Dompu-Bima NTB juga dilakukan penindakan berakibat 5
orang mati (Roy, Bakhtiar, Faiz, Rozy Malingga,Riswanto) dan beberapa hidup dibawa ke Mabes
Polri.
Pada dasarnya kita semua tidak setuju dengan aksi terorisme di Indonesia.Baik yang dilakukan
oleh individu, kelompok maupun negara (state terrorism). Penindakan dan penegakkan hukum
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
1/11
2. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
menjadi kebutuhan untuk menciptakan rasa aman bagi semua warga negara. Harusnya
penindakan dan penegakkan hukum tersebut menjadi solusi efektif, karena di realisasikan oleh
individu-individu yang profesional dengan kapasitas yang baik. Di tunjang peralatan lengkap dan
modern, serta dibawah koridor hukum yang memayungi. Namun fakta-fakta empirik penindakan 3
tahun terakhir terhadap orang-orang yang diduga dan terkait terorisme versi Densus88 dan BNPT
(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tidak tampak sebagai solusi efektif. Bahkan
penindakan bergerak cenderung lepas kontrol. Sejak 2003 sampai 2014 sudah lebih dari 115
orang mati diluar prosedur pengadilan, mereka mati ditembak aparat Densus88 dan Satgas
Penindakan BNPT dengan alasan utamanya adalah terduga teroris dan melawan saat
penindakan. Dan belum pernah dibeberkan di hadapan sidang pengadilan bahwa orang yang
mati dalam penindakkan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Padahal jika mengacu kepada ketentuan SOP (Preosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana
Terorisme) yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Kapolri Nomor:PERKAP/23/XI/2011,
Tanggal 29 November 2011. Tertera dengan jelas pada BAB IV (Prosedur Penindakan) Pasal
19 ayat (3): “Penindakan yang menyebabkan matinya seseorang/tersangka harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.”
Diluar yang mati, yang ditangkap hidup juga banyak mengalami penyiksaan dan dalam kondisi
yang sangat memprihatikan. Cara-cara seperti ini sangat besar berpotensi melahirkan siklus
kekerasan yang tidak berujung. Karena dendam dari orang atau kelompok yang merasa
terdzalimi dengan perlakuan yang over dari aparat Densus88 dan Satgas BNPT akan menjadi
“ideologi” yang memicu lahirnya kekerasan atau teror-teror berikutnya. Kalau mau obyektif,
“prestasi” Densus88 dengan banyak menangkap orang dan mengeksekusi mati para terduga
teroris ternyata tidak mereduksi terorisme di Indonesia. Justru teror seperti tidak pernah ada
matinya.
Kajian terorisme dan penindakkannya di Indonesia secara kritis rasional, secara obyektif
menemukan 3 problem utama. Pertama, problem regulasi atau Undang-Undang yang memayungi
langkah kontra terorisme di Indonesia. Kedua, problem paradigma. Yaitu cara pandang
mendasar (mindset) yang dijadikan pijakan untuk mengkonstruksi kebijakan-kebijakan strategis
terkait isu terorisme. Dan ketiga adalah problem penindakkan.Dimana banyak fakta empirik,
aparat Densus88 dan Satgas BNPT berkontribusi lahirnya siklus kekerasan akibat dari cara
penindakkan yang banyak terindikasi melanggar HAM dan melanggar mekanisme hukum
(criminal justice system).
#Problem regulasi
(1)Pertama, sampai hari ini belum ada kesepakatan global tentang definisi terorisme (No Global
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
2/11
3. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
Concencus). Sekalipun dalam konvensi Jenewa “International Convention and Suppression
of Terrorism 1937″ di jelaskan perbuatan teroris sebagai “criminal actsdirected against a state
and intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or
group of persons or the general public” (segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan
langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang
tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas). Namun tetap saja definisi terorisme
sangat subyektif tergantung kepada pihak yang memiliki kekuatan dan kepentingan politik atas
isu terorisme. Pemerintah Indonesia telah membuat seperangkat aturan (Undang-Undang) terkait
pemberantasan terorisme. Tanggal 4 April 2003 disahkan UU Nomor 15 tahun 2003 sebagai
Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti UU Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Rumusan “Terorisme” dituangkan dalam BAB III (Tentang Tindak
Pidana Terorisme), Pasal 6; “Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain ata mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek fital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(duapupuh) tahun.”
Ini adalah payung hukum pokok dari semua proyek kontra terorisme yang di gelar di
Indonesia.Kemudian di buat undang-undang turunan lainya yang menjadi kebutuhan terkait
pemberantasan terorisme.
Meminjam penjelasan T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)
mendefinisikan terorisme penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi
dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan
terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu
tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.
Jadi terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku.Kata Terorisme
yang berasal dari Bahasa Prancis le terreur, semula dipergunakan untuk menyebut tindakan
pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mengunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan
dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh anti pemerintah. Berikutnya kata terorisme
dipakai untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata
terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun
kegiatan yang anti pemerintah. Namun, istilah “terorisme” sendiri pada 1970-an dikenakan pada
beragam fenomena: dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan
dan kelaparan. Beberapa pemerintahan bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris”
dan aksi-aksi mereka disebut “terorisme”. Istilah “terorisme” jelas berkonotasi peyoratif, seperti
istilah “genosida” atau “tirani”. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
3/11
4. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
membuka peluang penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis.
Siapapun yang jeli dan obyketif akan mebaca definisi terorisme yang di adopsi dalam Pasal 6
diatas sangatlah ambigu dan multi interpretasi.Dan ketidak jelasan definisi membuka peluang
besar implementasinya sangat bias dan kontra produktif.Yang terkesan disepakati adalah
terorisme sebagai tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga dianggap sahsah saja penindakkan dilakukan dengan cara-cara yang extraordinary menurut petugas
dilapangan dan tidak perlu lagi terikat dengan koridor hukum (KUHAP).
(2)Kedua, ada kewenangan melekat yang diberikan kepada petugas atau aparat kepolisian
dilapangan yaitu diskresi. Kewenangan ini menjadi salah satu titik kelemahan munculnya
penindakkan yang over dan bahkan sarat pelanggaran HAM. Sebagai pedoman atau dasar
hukum bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan diskresi Kepolisian sesuai tugas pokok dan
wewenangnya tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
yaitu:
(1)Untuk kepentingan umum, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri;
(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan perundang-undangan serta
kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya di Pasal 19 ayat (1) dan (2), mempunyai wewenang sebagai berikut:
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma
agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud Ayat (1),
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
Dan jabaran teknisnya di Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 dan Peraturan Kapolri Nomor 8
tahun 2009 masih mengandung beberapa pasal-pasal yang multitafsir dan belum terukur secara
jelas, penerapan di lapangan potensial menimbulkan abuse of power. Khusus penggunaan istilah
menghentikan tersangka terdapat pada Pasal 1 angka 5, Pasal 5 ayat (1) huruf f, Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8 ayat (2) dan (3) yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang
diperlukan dan tidak dapat dihindari berdasarkan situasi yang dihadapi untuk menghentikan
tindakan tersangka. Begitu juga istilah menghentikan yang terdapat dalam Perkap Nomor 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri, khususnya dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e. Kata menghentikan
secara etimologis berarti mengakhiri, menyudahi, membuat (menyebabkan) berhenti (henti
artinya keadaan tanpa gerak). Asumsi obyek target itu berbahaya juga ukurannya subyektif.
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
4/11
5. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
Tidak jarang, seseorang hanya baru di duga teroris dan asumsi membahayakan (bahaya asumsi
bukan bahaya aktual) bisa dieksekusi atas legitimasi UU yang memberikan kewenangan diskresi
kepada petugas.Yang justru banyak melanggar kaidah-kaidah yang tertuang dalam UU Nomor 2
tahun 2002 tentang; norma hukum, norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Padahal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 6 secara
eksplisit di nyatakan pelaku teror (teroris) hanya perlu ditangkap. UU Nomor 15 Tahun 2003 pasal
6 tentang Tindak Pidana Terorisme mengatur pelaku teror harus dipidana, artinya harus dihukum
dan ditangkap, namun banyak kasus penggerebekan oleh Densus 88, terduga teroris malah
dibunuh tanpa perlawanan.
(3)Ketiga, BNPT punya kewenangan penindakan.Di dalam Perpres Nomor 46 tahun 2010 ada
ketentuan; Bagian Kedelapan (Satuan Tugas) Pasal 23;(1) Untuk melaksanakan tugas dan
fungsi, di lingkungan BNPT dibentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang selanjutnya disebut
Satgas yang terdiri dari unsur-unsur instansi terkait.(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi,
Satgas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur masyarakat. (3)
Penugasan unsur Polri dan TNI bersifat earmarked/disiapkan atau Bawah Kendali Operasi
(BKO).
Masyarakat Indonesia sedikit yang mengetahui bahwa BNPT memiliki Satgas Penidakkan
dengan menggunakan personil Densus88 atau TNI yang di BKO-kan. Jadi bukan hal yang aneh
jika dilapangan sering terjadi diskordinasi, Densus88 di bawah kendali Kabakreskrim-Kapolri
dengan Satgas Penindakkan BNPT yang dibawah kendali Kepala BNPT bergerak “bersaing”.
Lembaga diluar Polri memiliki kewenangan penindakkan bisa disebut kecelakaan sejarah
penegakkan hukum. Perpres Nomor 46 tahun 2010 dengan substansi pasal 23 ayat 3 (tiga)
sangat rancu dan kontraproduktif. BNPT tidak hanya sebagai lembaga hulu kebijakan dalam
bidang kontra terorisme melainkan juga sudah menjadi institusi penegak hukum. Dan
penindakkan yang dilakukan satgas BNPT belum ada mekanisme kontrol dan transparasi.
Indonesia kembali seperti zaman orba dengan Opsusnya.
#Problem paradigma
Diluar perdebatan definisi terorisme yang “no global concencus” sampai saat ini, sejatinya
terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada
faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi
politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan
faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti
ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS),
imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara
superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana
mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan
teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
5/11
6. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan
diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Cukup masghul rasanya, ketika BNPT menarik kesimpulan akar terorisme adalah radikalisme
atau ideologi radikal dan kelompok radikal sebagai habitatnya.Ini oversimplikasi, produk mindset
yang tendensius terhadap Islam dan pengusungnya.Paradigma ini mengunci cara pandang BNPT
dan Densus88 untuk menempatkan kelompok Islam sebagai ancaman dan label “teroris”
disematkan kepada mereka. Sikap yang berbeda terhadap kelompok OPM (Organisasi Papua
Merdeka), GAM di masa lalu, atau RMS di wilayah Maluku.
Radikal sendiri berasal dari kata “radix” dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan
“gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif
(untuk kepentingan dan tujuan baik) atau negatif. Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti;
secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut
perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak.(KBBI, ed-4,
cet.I.2008). Dalam pengertian ini, hakikatnya sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas
apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainya dalam konteks
isu terorisme, radikal pemaknaannya sangat stereotif, over simplikasi dan subyektif.”Radikal”
sebuah label yang di lekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara padang,
sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan mindstream yang ada. Atau dengan
katagorisasi sebagai alat identifikasi versi BNPT, “radikal” adalah orang atau kelompok jika
memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikiranya,
mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah,
gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi
syariat dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kedzaliman global.
Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat menjelaskan konsep radikal secara
simplistik, bahwa radikalisme banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan
secara ektrem dengan dunia Barat. (lihat laporan utama majalah Time ed 13 September 2004,
setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal menurut kacamata Barat). Hal ini sama
biasnya ketika mendefinisakan “terorisme“. Sebuah labelisasi kepada kelompok atau individu
muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat.Inilah
problem paradigmatik “terorisme” di Indonesia. Cacat paradigmatik melahirkan blunder
keputusan politik keamanan.
#Problem penindakan: Ada dusta di Ciputat?
Saya sebut dengan judul “Problem Akut..” karena fakta empirik penindakan yang sarat masalah
ini sudah menahun.Meski hampir tidak pernah tersentuh oleh kritik publik kecuali dalam tiga (3)
tahun terakhir. Penindakan yang cenderung over eksesif juga tidak lepas dari dua problem pokok
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
6/11
7. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
diatas.Yang mengakibatkan terduga mati menyentuh angka 115 orang, puluhan salah tangkap,
dan hampir 900 orang di penjara.Terlalu banyak contoh untuk bisa dituangan dalam tulisan ini,
diluar narasi tentang peran masing-masing terduga teroris versi kepolisian saya coba paparkan
sedikit fakta empirik dari peristiwa “teroris” Ciputat di malam tahun baru berdasarkan investigasi
(penelusuran) CIIA.
Ada dusta di Ciputat
Tanggal 31 Desember hari Selasa sore sekitar pukul 17.00 wib salah satu kru media TV
mendapat informasi dari petugas untuk merapat di Ciputat.Tidak lain untuk meliput aksi
penggrebekan terduga perampok BRI Panongan Kab Tangerang (24 Desember 2013) yang
berikutnya dirubah menjadi terduga kel teroris.
Dari sumber CIIA, menyebutkan awalnya Unit Jatanras Polda Metro Jaya dibawah komando
AKBP Herry Heryawan sebelumnya menjadi Kasubdit Resmob Polda Metro Jaya yang turun
untuk melakukan penindakan. Namun diluar sepengetahuan Herry Heryawan informasi rencana
penggrebekan tersebut sampai di telinga Kapolri Jendral Sutarman. Kemudian via telpon Kapolri
memerintahkan agar Herry Heryawan untuk tidak bergerak karena menunggu Mabes dengan
Densus88 yang akan turun.
Akhirnya operasi penggrebekan tidak lagi di handle oleh Unit Jatanras tapi dibawah kendali
Densus88. Malam itu tampak Kapolri bersama Kabareskrim didampingi Herry Heryawan dengan
rompi tertuliskan Resmob terjun langsung dilapangan. Bagaimana Jatanras yang pertama kali
turun?Teka teki ini mungkin sedikit terjawab, selama ini kasus penembakan di Pondok Aren dan
berlanjut kasus penembakan di depan KPK yang difungsikan maksimal adalah unit resmob dan
Jatanras.
Terkait Ciputat, sebelumnya Publik sempat mendapatkan informasi resmi melalui Direktur
Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Slamet Riyanto pada tanggal 16
September bahwa Nurul Haq alias Jeck sudah ditangkap.Dan ketika dikonfirmasi ulang
kemudian tidak mau membeberkan karena pertimbangan penyidikan. Dan karena marasa
kecolongan membuka informasi tentang Jeck, atasan Slamet Riyanto menghubungi awak media
untuk menghapus berita tersebut (yang disampaikan Slamet Riyanto). Di kesempatan berbeda
dihari yang sama (16 September 213) Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto
menimpali dengan bantahan bahwa Nurul Haq alias Jeck belum ketangkap. Namun media online
Liputan6.com lolos tetap memberitakan perihal penangkapan Jeck.
Kemungkinan besar dari Jeck yang sudah ketangkap inilah pengembangan dilakukan dan
berhasil menghendus posisi Anton alias Septi di Banyumas. Kemudian Resmob Polda Metro
Jaya bersama Densus88 menangkap Anton pada hari Selasa (31 Desember 2013).Rasanya
janggal jika di hari Selasa (31 Desember 2013) di depan warnet Jalan alternatif Kemranjen
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
7/11
8. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
Banyumas arah Purwokerto Anton ditangkap, dalam waktu singkat dari Anton aparat Resmob
bisa menghendus secara akurat posisi 5 kawanan yang lain di Ciputat.Setelah sebelumnya
katanya Anton di bawa ke rumah daerah Rempoa ternyata nihil.
Fakta dilapangan dan pengakuan aparat ditemukan sudah sejak beberapa hari sebelum
penggrebekan para petugas intel mondar-mandir disekitar lokasi. Bahkan menurut pegakuan
anggota Densus88 (yang tertembak di kakinya) sejak pagi sudah standbay di lorong jalan yang
mengarah ke rumah kontrakan terduga teroris. Jadi Anton di saat penggrebekan dikeler ke lokasi
untuk ikut memastikan target, namun dugaan kuat dari Jeck lah posisi akurat di dapatkan.Anton
posisinya sebagai pengkonfirmasi.
Indikasi lain, Kapolri Jendral Pol Sutarman juga sempat mengungkapkan bahwa kelompok
Ciputat ini sudah di pantau sejak 2 Agustus 2013. Penelusuran CIIA juga mendapatkan fakta,
bahwa mereka (kel Ciputat) nama-namanya sudah dikantongi oleh aparat Densus88 sejak 2012.
Karena mereka semua pernah hadir dalam sebuah pertemuan di Situgintung akhir Desember
2012.Dan pertemuan ini bocor ke telinga Densus88. Dari sini Densus88 bisa merilis narasi
tentang kelompok Ciputat kaitannya dengan terorisme.
Jadi penggrebekan terencana serta mobilisasi kekuatan secara terencana sudah disiapkan jauh
hari, mungkin dalam bahasa Densus88 ini dikatagorikan Deliberate Assault (Penindakan
Terencana) bukan Emergency Assault/Raid (Penindakan Segera).Dari indikasi diatas dan
fakta-fakta aktual dilapangan mengarah bahwa ini adalah Penindakan Terencana, bukan tibatiba. Meski mengagetkan publik di malam tahun baru 2014 peristiwa ini di tonton.
Dari sini wajar banyak muncul pertanyaan kenapa mereka tidak ditangkap hidup-hidup? Atau
dilumpuhkan dan dalam kondisi tetap hidup. Karena penting untuk mengungkap kebenaran narasi
terorisme terkait kel Ciputat ini. Menjadi pertanyaan juga dari para keluarga korban, ada dua
(dua) orang yang tewas saat penggrebekan tidak ditemukan jejak atau tanda-tanda bekas
tembakan sama sekali. Bahkan hampir seluruh korban tewas 5 orang (termasuk yang dua tanpa
bekas luka tembakan) yang ada dikamar mandi rumah kontrakan ukuran 3×8 meter tersebut
dalam kondisi luka lebam memar karena siksaan.
Dari penelusuran CIIA dilapangan terpetakan, Malam dan kegelapan banyak menyimpan
“rahasia”. Saat penggrebekan aparat Resmob Polda Metro Jaya dalam formasi “L”. Rumah
kontrakan yang ukurannya 3×8 meter dengan posisi menghadap ke Selatan, sebelah Barat
bersebelahan tembok dengan kontrakan tetangga. Ruang terbuka diposisi Selatan dan Timur
dengan tumbuhan pohon Bambu. Dan diluar pengepungan dengan formasi “L” melingkar dari
Selatan rumah ke arah Timur rumah yang di lakukan Resmob Polda Metro, Densus88 banyak
berperan di bagian (titik) lain.
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
8/11
9. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
Dari arah belakang rumah (Utara) dan di titik bagian Barat dari rumah tetangga yang sudah
dikosongkan tembok dijebol oleh Densus88 dengan peledak.Dan tembakan-tembakan dari
Resmob sebenarnya tidak memberikan efek kematian melainkan kepanikan. Tapi detik-detik
kematian kemungkinan besar di saat tembok dijebol untuk akses masuk, dan penindak dari
Densus88 masuk untuk mengeksekusi mereka. Tapi sangat ganjil, karena kalau mereka (5
orang) menurut keterangan polisi mati semua saat penyerangan dan posisinya di kamar mandi
kenapa tidak ada indikasi sama sekali tembakan dari luar yang tembus kedalam? Justru banyak
sekali jejak bekas tembakan yang terlihat didalam tembok kamar mandi.
Tembakan dari luar mengarah kamar mandi terlihat di tembok luar bagian selatan setinggi kurang
lebih 30-40 cm dari bawah tapi tidak tembus kedalam. Teka teki berkembang, apa mungkin
mereka dalam kondisi tidak berdaya kemudian di eksekusi bersama-sama dikamar mandi?
Terus bagaimana dengan korban yang tidak terlihat ada bekas tembakan sama sekali? Mungkin
analisa bisa mengarah tentang kemungkinan rekayasa beberapa orang sudah di habisin terlebih
dahulu oleh Densus88 dan melalui tembok yang dilubangi dan ditengah kegegelapan malam
kemudian jenazah tersebut di masukkan?
Saya hendak paparkan sisi lain sebagai perbandingan, agar kritis tidak menelan mentah-mentah
semua informasi dari satu sumber (Kepolisian). Di penggrebekan Ciputat ada dua (2) peristiwa
pokok. Yaitu penyergapan Dayat kacamata dan penindakan terhadap 5 orang lainnya di
kontrakan. Terkait penyergapan Dayat, penelusuran CIIA mendapatkan fakta lapangan yang
cukup menggelikan.Tidak lain karena ada dua pengakuan yang berbeda (kontradiksi
diametrikal) dari dua (2) orang petugas satu dari aparat Densus88 dan yang satu lagi dari Polda.
Pengakuan seorang anggota Densus88 berinisial “D”, kalau melihat perawakkannya berasal dari
Indonesia Timur. Dalam kasus penindakkan kelompok Ciputat dikabarkan ada salah seorang
anggota Densus88 tertembak. Tidak lain yang dimaksudkan adalah si “D” ini. Dia tertembak di
bagian lutut sebelah kiri dan paha sebelah kanan bagian dalam terserempet peluru.
Pengakuan “D”, sekitar pukul 19.00 wib di jalan dari arah kontrakan terduga teroris keluar dua
orang berboncengan naik sepeda motor. Di tengah temaram kegelepan tersebut dari jarak
sekitar 15-20 meter dia mendapatkan kode dengan gerakan tangan dari tim Densus88 lain
bagian identifikasi dan memasok informasi kepada tim penindak. Si “D” sendiri sudah sejak pagi
hari duduk untuk menyanggong di jalan arah rumah kontrakan tersebut dengan bekal foto Dayat
cs hasil surveilance tim Intelijen Densus88.
Nah, ketika si “D” mendapat info bahwa yang naik motor adalah Dayat (target) dan yang
dibonceng adalah Iwan (tetanga kontrakan), maka serta merta si “D” yang melihat wajah Dayat
mencoba menghadang menyetop laju motor.Tapi laju motor makin ngebut, kemudian si “D” ambil
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
9/11
10. 14/1/2014
Problem akut penindakan "terorisme" di Indonesia; Ada dusta di Ciputat – Arrahmah.com
posisi menyamping dikanan motor. Dan pengakuan “D”, motor akhirnya direm Dayat, sementara
posisi “D” di kanan motor. Saat motor berhenti itulah Dayat menendang anggota Densus88 ini,
sampai si “D” jatuh karena tendangan. Di saat dia hendak bangun dari jatuh tersebut, ia
mendengar beberapa kali tembakan dan ia merasakan kakinya bagian lutut kiri kena tembakan.
Sesaat berikutnya si “D” mencabut pistol yang dipinggangnya kemudian ia lepaskan tembakan ke
arah Dayat, dan Dayat roboh tersungkur.Setelah itu si “D” teriak meminta bantuan ke kawannya
bahwa ia kena tembakan.Si “D” tidak tahu lagi bagaimana jalan cerita penyergapan berikutnya,
yang ia ingat Iwan yang membonceng dibelakang motor lari ke belakang.
Dari keterangan pihak Mabes dengan menggelar barang bukti (BB) ditunjukkan ada Pen Gun
(Pistol berbentuk bolpoin), Pen Gun inilah yang dipakai Dayat untuk menembak “D” aparat
Densus88 saat penyergapan. Menjadi ganjil, proyektil peluru ada di lutut bagian kaki kiri “D”.
Lantas paha kanan bagian dalam terserempet puluru dari mana? Jika tembakan itu tembus dari
lutut kiri ke arah paha kanan tentu proyektil peluru tidak mungkin bersarang di bagian lutut kaki
kiri.Sayang proyektil peluru tersebut belum pernah dibuka apakah benar itu adalah keluar dari
Pen Gun yang dipakai oleh Dayat.
Pengakuan “D” bertolak belakang 180 derajat dengan salah satu anggota Polda yang terlibat
penyergapan Dayat. Anggota ini berinisial “Dn”, dari penelusuran CIIA, didapat pengakuan si “Dn”
di detik-detik penyergapan Dayat. Di fase persiapan sebelum pengepungan dalam formasi “L”, si
“Dn” dapat informasi kalau Dayat keluar naik motor bebek berdua.
Dalam kondisi tidak terduga itu kemudian “Dn” bergegas lari menuju jalan yang hendak dilalui
Dayat. Dengan bekal foto Dayat dengan ciri khas berkacamata, “Dn” mencoba menghadang
motor yang lewat. Menurut pengakuan “Bn”, motor pertama yang lewat bukan Dayat, sampai
akhirnya motor ke tiga (3) dari jarak pandang 3-4 meter “Dn” melihat wajah Dayat naik motor
bagian depan dengan kaos biru berkacamata (yang dibonceng bernama Iwan). Maka saat itu
”Dn” bersama salah seorang anggota CRT (Crisis Respon Team/ Densus88) mengejar Dayat,
dan kemudian “Dn” mendorong Dayat hingga jatuh ke kiri.
Dan setelah jatuh sesaat kemudian Dayat mau mencabut senjata, saat itu dengan cepat “Dn”
kemudian menubruk Dayat bergumul untuk merebut senjata Dayat.Kemudian terdengar tembakan
dan “Dn” merasakan perih bagian dada dan kakinya, kemudian “Dn” memutar badan ke kiri
menjauhi Dayat selanjutnya ia melihat Dayat di berondong oleh anggota yang lain. Saat “Dn”
mencegat, kurang lebih ada 20-an orang anggota yang merapat ke arah “Dn” untuk backup, tapi
hanya sekitar 4-5 orang yang maju kemudian memberondong Dayat paska bergumul dengan “Dn”
untuk merebut senjata Dayat.
Logikanya dua pengakuan diatas tidak mungkin keduanya benar, ada salah satu yang benar atau
http://m.arrahmah.com/news/2014/01/13/problem-akut-penindakan-terorisme-di-indonesia-ada-dusta-di-ciputat.html
10/11