3. CASE
Seorang eksekutif perusahaan manufaktur menghadapi resiko wan prestasi memenuhi produksi kuota
sesuai kontrak bisnis dengan konsumennya, di tengah situasi krisis akibat covid-19.
Peraturan pemerintah mengharuskan perusahaannya tidak dapat mengoperasikan pabrik sesuai jam
kerja normal sehingga berimbas pada kapasitas produksi, padahal ada tenggat waktu dalam kontrak
bisnis yang harus dipenuhi untuk mengirim produk dengan jumlah tertentu.
Selain ancaman penalty wan prestasi dan konsumennya ternyata kondisi krisis akibat kejadian
semacam covid-19 tidak tercantum dalam kontrak bisnis yang berimbas pada potensi tuntutan hukum
dari mitra pemasoknya, bila ada pembatalan kesepakatan.
Eksekutif ini seakan berada di dua front peperangan. Satu sisi, perusahaannya harus memenuhi kuota
produksi kepada konsumen sesuai kontrak bisnis, namun di sisi lain, perusahaan harus menjalankan
kesepakatan dengan mitra pemasoknya dengan banyak kerugian yang ditanggung perusahaannya.
Menyikapi hal diatas, dari prespektif hukum bisnis, silahkan dijelaskan upaya-upaya hukum apa saja
yang dapat ditempuh oleh eksekutif tersebut agar dapat melindungi kepentingan perusahaannya
dengan meminimalkan berbagai resiko, termasuk tapi tidak terbatas pada kerugian finansial saja.
5. PERIKATAN ANTARA EKSEKUTIF PERUSAHAAN DAN KONSUMEN
Hubungan hukum antara Eksekutif Perusahaan dengan Konsumen merupakan
perikatan berdasarkan kontraktual yang disetujui dan ditandatangani secara
bersama-sama. Dalam hal ini, kontrak merupakan perjanjian yang dituangkan secara
tertulis sebagai undang-undang.
Syarat sah dan pedoman pelaksanaan perjanjian tidak terlepas dari ketentuan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan asas-asas serta unsur-
unsur dari perjanjian.
6. PERIKATAN ANTARA EKSEKUTIF PERUSAHAAN DAN KONSUMEN
Syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah :
Sepakat, harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak yang bermaksud mengikatkan
diri dalam perjanjian.
Cakap, para pihak harus termasuk pihak yang dinyatakan cakap secara hukum.
Hal tertentu, harus terdapat objek yang jelas yang diperjanjikan oleh para pihak.
Causa yang halal, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum dan kesusilaan
7. PERIKATAN ANTARA EKSEKUTIF PERUSAHAAN DAN KONSUMEN
Lebih lanjut, terdapat 3 unsur perjanjian yang menjadikan suatu kontrak sempurna secara
hukum yaitu:
01
Unsur perjanjian yang harus selalu ada dalam suatu perjanjian seperti terpenuhinya
syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasla 1320 KUH Perdata.
Esensialia
02
Unsur yang melekat pada perjanjian tanpa perlu disebutkan secara tegas dan dianggap ada
dalam perjanjian tersebut.
Naturalia
03
Unsur yang harus dimuat secara tegas dalam perjanjian.
Accidentalia
8. PERIKATAN ANTARA EKSEKUTIF PERUSAHAAN DAN KONSUMEN
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka perlu :
1. Adanya kesesuaian antara Kontrak/Perjanjian dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, karena hal tersebut menjadi syarat
penting atau unsur esensial dari kontrak.
2. Dengan adanya peraturan pemerintah yang membatasi operasional
perusahaan/pabrik guna menekan penyebaran Covid-19 maka hal tersebut
wajib untuk dipenuhi oleh Eksekutif perusahaan. Apabila causa yang halal
yang merupakan syarat objektif dari perjanjian tidak dipenuhi maka
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan.
10. PERISTIWA PANDEMI COVID-19
Sebelumnya perlu diketahui bahwa force majeure terdapat 2 jenis yaitu absolut
dalam hal prestasi sama sekali tidak dapat dilaksanakan seluruhnya oleh para
pihak dalam perjanjian dan relatif dalam hal prestasi masih mungkin dilakukan
dengan risiko yang dapat diperjanjikan oleh para pihak.
Wabah Pandemi Covid-19 merupakan bencana non alam yang mana telah
ditetapkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden No.12 Tahun 2020
tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana
Nasional. Berkaitan dengan dampak dari wabah Covid-19 dimana perusahaan
manufaktur tidak dapat memenuhi prestasi sesuai dengan kontrak bisnisnya maka
wabah Covid-19 dapat digolongkan sebagai Force Majeure Relatif.
11. Menurut Prof. Subekti dakam buku Hukum Perjanjian Hal. 55 dijelaskan bahwa :
“Force Majeure Relatif adalah dimana para pihak masih dimungkinkan untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya. Risiko yang diakibatkan oleh keadaan
memaksa tersebut dapat diperjanjikan oleh para pihak.”
Sehingga merujuk hal tersebut diatas, maka akibat dari Force Majeure Relatif
yaitu Para Pihak tidak dapat menjadikan wabah Pandemi Covid 19 tersebut
sebagai alasan untuk melakukan pembatalan kontrak.
PERISTIWA PANDEMI COVID-19
12. Force Majeure atau keadaan kahar atau keadaaan memaksa diatur dalam pasal 1244, 1245, 1444 dan 1445
KUHPerdata. Dalam pasal tersebut tidak dituliskan definisi secara eksplisit tetapi menyebutkan unsur-unsur
keadaan yang dapat dikategorikan ke dalam peristiwa Force Majeure. Unsur-unsur tersebut jika dikaitkan
dengan Pandemi Covid-19, sebagai berikut:
Suatu keadaan dapat dikatakan force majeure apabila keadaan tersebut tidak terduga terjadi atau tidak dapat diprediksi
sebelumnya oleh para pihak. Adanya Covid-19 merupakan suatu keadaan yang tidak terduga dan tidak diprediksi
sebelumnya. Covid-19 ini dijadikan sebagai bencana non-alam oleh pemerintah yang dipertegas dalam Keppres
12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Oleh karena itu,
memperkuat bahwa Covid-19 termasuk peristiwa yang tidak terduga.
Peristiwa yang tidak terduga
Terjadinya Covid-19 ini merupakan suatu keadaan diluar kendali para pihak. Oleh karena itu, keadaan pandemi saat ini
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada salah satu pihak dalam perjanjian.
Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur
Debitur saat memenuhi prestasinya bukan terhalang karena kesengajaan, kelalaian, ataupun adanya itikad buruk
melainkan keadaan pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 suatu keadaan yang tidak diharapkan oleh semua pihak.
Kemudian, apabila tidak ada pandemi para pihak tetap berkomitmen untuk memenuhi kewajiban kontraktual masing-
masing dan melaksanakannya dengan itikad baik
Tidak ada itikad buruk dari debitur
PERISTIWA PANDEMI COVID-19
14. PEMBAHASAN
Dalam Hal Ancaman Penalti Wanprestasi Akibat Dari Tidak Tercantumnya Kejadian Semacam Covid-
19 Tidak Tercantum Dalam Kontrak Bisnis
Meskipun dalam kontrak bisnis tidak terdapat klausula Pandemi Covid-19, akan tetapi sebagaimana penjelasan tersebut
diatas, bahwa wabah Pandemi Covid-19 merupakan kejadian diluar kehendak Para Pihak sehingga sesuai dengan pasal
1245 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara
kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu
perbuatan yang terlarang baginya”
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka Perusahaan manufaktur tidak mempunyai kewajiban untuk membayar
ganti rugi dan bunga dikarenakan wabah Pandemi Covid-19 merupakan bencana non alam dan termasuk ke dalam
keadaan yang memaksa yang tidak dapat diduga oleh kedua belah pihak (Force Majeure).
Dalam kedudukannya Perjanjian merupakan hal yang mengikat dan berlaku selayaknya undang-undang bagi Para Pihak
(Pancta Sunt Servanda), namun demikian apabila ada hal yang tidak diatur dalam kontrak tersebut, maka Para Pihak
dapat menggunakan ketentuan dalam KUHPerdata sebagai acuan.
15. PEMBAHASAN
Dalam Hal Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Atas Adanya Permasalahan Hukum Akibat Covid-19
Bahwa pandemi Covid-19 sebagai force majeure bersifat relatif. Artinya, Para Pihak tidak dapat membatalkan Perjanjian
tersebut. Upaya hukum yang dapat ditempuh eksekutif untuk melindungi perusahaan, meminimalisir resiko, serta kerugian
finansial adalah renegoisasi untuk restrukturisasi perjanjian. restrukturisasi perjanjian merupakan upaya perbaikan yang
dilakukan debitur karena mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya sehingga timbul kesepakatan baru yang
disepakati kedua belah pihak baik dalam hal perubahan syarat perjanjian penundaan pelaksanaan dan melakukan kajian ulang
dalam pelaksanaan perjanjiannya.
Adapun hasil dari renegoisasi tersebut dapat Para Pihak tuangkan kedalam Addendum Perjanjian (Perubahan Perjanjian) untuk
melakukan perubahan pada ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian. Dasar hukum addendum adalah asas kebebasan
berkontrak. Sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata berbunyi:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-
alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Perubahan ketentuan dalam perjanjian tersebut sebaiknya mengubah ketentuan yang krusial dalam pelaksanaannya dan
terdapat kemungkinan adanya hambatan atau kendala akibat dari covid-19, namun tidak terbatas pada ketentuan yang
mengatur tentang kuota produksi, jangka waktu produksi, pengiriman barang.
17. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian yang dijelaskan tersebut diatas, maka kami sampaikan peristiwa Pandemi Covid-19
merupakan Force Majeure Relatif yang berdampak terhadap kelangsungan pemenuhan sesuatu yang telah
diperjanjikan oleh Perusahaan dan Konsumen.
Upaya hukum guna penyelesaian permasalahan peristiwa Pandemi Covid-19 tersebut terhadap hubungan
hukum antara Perusahaan dan Konsumen adalah dengan melakukan negosiasi kembali dalam rangka
Restrukturisasi Perjanjian (Addendum/Amandemen) untuk penundaan pelaksanaan dengan persyaratan
yang disanggupi.
Sebagai dasar pengajuan tersebut dengan melampirkan peraturan pemerintah setempat yang mengikat
atas peristiwa Pandemi Covid-19 sebagai dasar melakukan negosiasi/musyawarah dan mengenai
tindaklanjut pelaksanaan perjanjian yang disepakati untuk kemudian dituangkan dalam Berita Acara yang
ditandatangani oleh Perusahaan dan Konsumen.