3. Putusan Pengadilan
(Yurisprudensi)
Putusan pengadilan dalam pasal 38 statuta MI disebutkan sebagai sumber hukum
tambahan (subsidiary) bagi sumber-sumber hukum di atasnya. dikatakan sebagai
sumber hukum tambahan dikarenakan hukum ini tidak dapat berdiri sendiri sebagai
dasar putusan yang diambil oleh hakim. Serta putusan pengadilan digunakan hakim
untuk memperkuat argumentasi sumber hukum di atasnya.
Putusan pengadilan tidak menciptakan hukum. Putusan pengadilan hanya mengikat
para pihaknya dan hanya untuk kasus tertentu saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 59 Statuta MI yang menganut asas "non precendence". Hakim MI tidak
terikat terhadap putusan hakim sebelumnya untuk kasus-kasus serupa.
4. Keputusan Peradilan
Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ ICJ)
Mahkamah Arbitase Permanen Permanent Court of Arbitration (PCA)
Keputusan Pengadilan Internasional
adalah lembaga kehakiman PBB yang berpusat di Den Haag, Belanda. Mahkamah
Internasional didirikan untuk menyelesaikan kasus sengketa dengan jalur damai dan
melarang penggunaan kekerasan
adalah sebuah organisasi internasional yang berbasis di The Hague, Belanda.
organisasi ini merupakan organisasi permanen antarbangsa pertama yang
menyediakan sebuah forum untuk penyelesaian sengketa internasional melalui
arbitrase dan cara cara damai lainnya.
5. Keputusan Peradilan
Internasional
Mahkamah Tetap Internasional (Permanent Court of International Justice/ PCIJ)
Keputusan Pengadilan Internasional
adalah sebuah lembaga peradilan yang didirikan sebelum Mahkamah Internasional.
Mahkamah ini didirikan pada tahun 1922, yang dibentuk berdasarkan pasal 14
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Mahkamah ini resmi dibubarkan oleh LBB dan
diganti dengan Mahkamah Internasional pada tahun 1946.
7. Kronologi
The Bremen Tobacco Case adalah perkara antara Indonesia dan Belanda,
yang dimana pemerintah Indonesia mengakuisi atau menasionalisasikan
perusahaan-perusahaan Belanda terutama perusahaan perkebunan.
Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan perusahaan tembakau
Belanda di Bremen (German), ketika tembakau dari perkebunan di Deli
akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen.
Belanda menganggap tindakan ini sebagai "Prima Facie" yaitu tindakan
yang melanggar ketentuan hukum internasional mengenai pemberian
perlindungan terhadap orang asing dan miliknya
8. Masalah Hukum yang Timbul
pihak Indonesia (Maskapai tembakau Jerman-Indonesia) digugat oleh pihak
Belanda di Bremen. Belanda mempermasalahkan keabsahan (legality) tindakan
pemerintah Indonesia dalam mengambil alih dan kemudian menasionalisasikan
perusahaan perkebunan tembakau Belanda di Indonesia pada waktu itu.
pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah RI membantah
dalil belanda dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia
dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional secara radikal
9. Putusan pengadilan
Pengadilan Bremen akhirnya mengeluarkan suatu Putusan yang isinya adalah
bahwa Pengadilan tidak dapat mencampuri sah tidaknya tindakan Nasionalisasi
Indonesia tersebut, yang mana secara tidak langsung Putusan ini membenarkan
tindakan Nasionalisasi yang telah dilakukan Indonesia
Putusan Pengadilan Bremen ini pun akhirnya diperkuat setelah Belanda melakukan
Banding oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bremen. Putusan ini pun akhirnya diterima
oleh masyarakat Internasional dan menimbulkan yurisprudensi Internasional
bahwa kepentingan hukum Internasional dapat dilanggar oleh kepentingan hukum
Nasional suatu Negara dengan suatu alasan yang kuat.
dan kasus ini juga merupakan contoh dari keputusan pengadilan nasional
terhadap persoaln hukum internasional
11. kronologi
Kasus ini melibatkan antara Inggris dan Norwegia. Inggris menganggap penetapan garis
pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional. Dikarenakan Norwegia
menetapkan garis pangkalnya dari skjaergaard. Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang
memisahkan pulau-pulau kecil, gugusan fjord, dan karang. Sedangkan menurut Inggris
penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional, karena
seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan yang kering.
Inggris membawa kasus ini ke mahkamah internasional dengan alasan utama bahwa
Inggris merasa dirugikan dalam penetapan garis pangkal zona perikanan tersebut. Inggris
merasa Norwegia salah dalam menetapkan base-line sehingga dapat mengekploitasi daerah
sejauh 4 mil yang memang kaya akan sumber daya perikanan.
Dalam pandangan Inggris (skaergaard) merupakan gugusan pulau-pulau yang terletak di
hadapan pantai Norwegia, tidak merupakan bagian dari daratan tetap Norwegia.
12. Masalah Hukum yang
Timbul
Pada tanggal 27 Juli 1933, Pemerintah Inggris mengajukan protes kepada pemerintah
Norwegia tentang delimitasi laut territorial dan garis pangkal pantai. Tahun 1935, tepatnya
pada tanggal 12 Juli, Norwegia menetapkan batas – batas perikanan ekslusif melalui Firman
Raja (Royal Decree) menurut hukum internasional dari 66 derajat 28,8' LU (Fisheries Case,
1951).
Inggris melakukan gugatan tentang cara penarikan garis pangkal lurus sebagaimana
ditetapkan dalam firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 dengan ketentuan Hukum
Internasional yang berlaku karena baik Inggris maupun Norwegia telah membuat deklarasi
menerima Yurisdiksi. Dalam tuntutan itu Inggris juga meminta ganti rugi atas kerugian
bagi nelayan-nelayan Inggris yang ditahan oleh Norwegia.
13. Mahkamah internasional akhirnya memutus perkara ini pada 18 desember 1951 setelah
dua tahun melewati proses persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa
metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu
sesuai dengan hukum internasional.
Pertimbangan mahkamah internasional adalah :
• sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17 daerah tersebut
milik Norwegia.
• skaejgaard masih memiliki hubungan territorial dengan daratan Noorwegia,
sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia.
• wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk local Norwegia,
dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber
matapencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke 17
• melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya
merupakan gugusan pegunungan dan pantai-pantainya yang berkarang sehingga
skaejgaard juga dianggap sebagai daratan
Putusan peradilan