1. Indikator : Menjelaskan Pengertian pajak
A. Pengertian Pajak
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,
pajak adalah peralihan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin.
Surplusnya digunakan untuk investasi pada barang-barang publik. Misalnya jalan raya dan jembatan
Menurut Prof. S.I Djayadiningrat
Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada Negara disebabkan oleh suatu keadaan,
kejadian dan perbuatan yang memberi kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukum, menurut peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada balas jasa dari Negara.
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak,
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak
dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
Berdasarkan defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pajak antara lain sebagai berikut :
iuran wajib yang dibayar oleh wajib pajak kepada Negara
pembayaran yang didasarkan pada norma-norma hukum
sumber pembiayaan pengeluaran kolektif
sarana untuk meningkatkan kesejahteraan umum
balas jasa yang diberikan tidak secara langsung
Indikator : Mengidentifikasi Fungsi, manfaat, dan besaran pajak
B. Fungsi dan Manfaat Pajak serta Hubungannya dengan APBN
Pajak mempunyai peran yang cukup besar dalam kehidupan bangsa, antara lain :
1. Fungsi Budgetair pajak (fiscal function), yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk
memasukkan dana secara optimal ke kas Negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Fungsi ini disebut fungsi utama, karena pajak merupakan sumber pembiayaan Negara yang terbesar. Fungsi ini
memegang peranan penting karena sekitar 70% pengeluaran Negara dibiayai oleh pajak. Pajak menjadi sumber
pendapatan di APBN.
2. Sebagai alat pengatur kegiatan ekonomi (fungsi regulasi)
Pajak dapat digunakan pemerintah untuk mengatur kegiatan ekonomi,
Contohnya :
jika pemerintah ingin meningkatkan daya saing barang dalam negeri, pemerintah bisa menurunkan tarif pajak ekspor
sehingga barang dalam negeri bisa dijual dengan harga yang lebih murah. Jika harga lebih murah, negara lain lebih
tertarik untuk membeli barang Indonesia.
Jika pemerintah ingin melindungi industri dalam negeri, pemerintah dapat menaikkan tarif pajak impor bagi barang-
barang yang sudah diproduksi di dalam negeri. Sedangkan untuk bahan baku industri yang masih diimpor,
pemerintah harus menetapkan tarif pajak impor yang rendah atau kalau perlu tarif pajak impornya = 0 (tidak ada
pajaknya sama sekali).
Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, salah satu alternative yang diusulkan adalah penerapan ERP (Electronic Road
Pricing)
3. Sebagai alat penjaga stabilitas (Fungsi Stabilitas)
Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan keadaan ekonomi
Contohnya :
Apabila bila pemerintah mengurangi pajak penghasilan maka pada akhirnya dapat meningkatkan permintaan
agregat. Bila permintaan agregat meningkat, para produsen akan menambah jumlah produksi untuk memenuhi
permintaan tersebut. Bila terjadi penambahan jumlah produksi, maka dapat dikatakan telah terjadi peningkatan
pendapatan nasional, karena pendapatan nasional di antaranya dihitung dari nilai barang dan jasa yang diproduksi.
Bila pendapatan nasional meningkat maka negara telah mengalami pertumbuhan ekonomi.
kenaikan tarif pajak akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Berkurangnya tingkat konsumsi akan
mengurangi permintaan terhadap barang dan jasa yang akhirnya dapat menurunkan harga-harga.
4. Sebagai alat pemerataan pendapatan (fungsi distribusi)
Pajak yang sudah menjadi pendapatan utama negara digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan
pembangunan. Penggunaan pajak untuk pembangunan harus dilakukan secara merata ke seluruh wilayah tanah air.
Tidak terpusat di satu wilayah saja. Selain itu, dengan pajak tersebut, pemerintah dapat mensubsidi masyarakat
miskin, seperti subsidi pupuk bagi petani atau subsidi dalam bentuk RASKIN (beras untuk rakyat miskin) agar tidak
terjadi ketimpangan pendapatan di masyarakat.
Dasar Hukum dan Fungsi Pajak
Dalam melakukan pemungutan pajak kepada masyarakat, pemerintah memiliki dasar hukum yaitu:
a. UUD 1945 pasal 23 A (sesudah diamandemen) yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan Negara diatur dengan undang-undang.
b. Undang-Undang Perpajakan yang sudah disempurnakan (terbaru) terdiri atas:
1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan.
5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
7) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini mengatur
berbagai ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
2. Indikator : Mengidentifikasi Perbedaan pajak dengan pungutan resmi lainnya
Untuk meningkatkan pendapatan negara, selain mewajibkan masyarakat membayar pajak, pemerintah juga melakukan
pungutan resmi lainnya. Bentuk pungutan resmi lain tersebut adalah:
a. Retribusi, yaitu pungutan yang dilakukan dengan pemberian jasa atau fasilitas langsung dari negara kepada pihak yang
dipungut.
Contoh retribusi adalah karcis masuk terminal, karcis masuk tempat wisata, iuran sampah, iuran parkir dan iuran
keamanan.
b. Sumbangan, yaitu sejumlah dana yang disumbangkan masyarakat kepada pemerintah.
Contoh: SWPJ (Sumbangan Wajib Perbaikan Jalan) dan SWDKLLJR (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas
Jalan Raya)
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat perbedaan antara pajak dengan pungutan resmi lainnya yang disajikan dalam tabel
berikut ini.
Indikator : Mendeskripsikan Asas dan prinsip pemungutan pajak
Agar tercipta keadilan dan tidak memberatkan masyarakat, dalam pemungutan pajak perlu diperhatikan asas-asas atau
prinsip-prinsip pemungutan pajak seperti yang sudah dikemukakan oleh Adam Smith yang lebih dikenal dengan istilah
Smith’s Canon, yang meliputi :
1. Asas Equality : Pemungutan pajak harus adil dan sesuai dengan kemampuan masing-masing wajib pajak.
2. Asas Certainty : pemungutan pajak harus memiliki kepastian hukum yang mengaturnya, subyek pajak, kepastian obyek
pajak dan kepastian tata cara pemungutannya. Hal ini dimaksudkan agar bisa dimengerti oleh wajib pajak serta
memudahkan perhitungan dan administrasi.
3. Asas Convenience of Payment : menekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat dalam memenuhi kewajiban
perpajakan.
4. Asas Economics : biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah
pajak yang dipungut.
Asas Pengenaan Pajak di Indonesia
Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang
bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-
ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan
undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau
dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya
untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering
digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle): berdasarkan asas
ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di
negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak
itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak
terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep
pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang
diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2. Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan
dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari
sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa
dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi
landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh:
Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan
dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
3. status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini,
tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya
dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara
menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas
atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas
yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak
adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai
penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas
nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.
Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah
objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan
yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang
disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-
wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas
pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang
bersangkutan.
Tarif Pajak
Cara pemungutan pajak atau sistem penetapan tarif pajak terdiri atas empat cara, yaitu seperti berikut.
1. Tarif pajak proporsional (sebanding), adalah tarif pajak dengan menggunakan persentase yang tetap
untuk setiap dasar pengenaan pajak.
2. Tarif pajak degresif (menurun), adalah tarif pajak dengan menggunakan persentaseyang menurun
untuk setiap dasar pengenaan pajak.
3. Tarif pajak konstan (tetap), adalah tarif pajak yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak atau
besarnya pajak yang dibayarkan jumlahnya tetap.
4. Indikator : Mengidentifikasi Jenis-jenis pajak
Berdasarkan pihak yang menangung
1. Pajak langsung (direct tax)
Pajak yang dikenakan secara berkala terhadap seseorang atau badan usaha berdasarkan ketetapan pajak. Pajak langsung
dipikul sendiri oleh wajib pajak.
Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
2. Pajak tidak langsung (indirect tax)
Pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa. Pemungutan pajak tersebut tanpa surat ketetapan pajak dan bias
dialihkan kepada pihak lain.
Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penjualan dan Cukai, yang memungut adalah perusahaan dan yang
menangung adalah perusahaan.
Umumnya demi perhitungan bisnis, para wajib pajak penjualan atas barang mewah (biasanya para pengusaha) akan
mengalihkan beban pajak yang ditanggungnya kepada konsumen yang membeli barang mewah. Caranya? Gampang
sekali, yaitu dengan menaikkan harga jual barang mewah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pajak tidak langsung
merupakan pajak yang tidak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak, tetapi bisa dialihkan sebagian atau seluruhnya kepada
pihak lain.
Berdasarkan lembaga pemungut pajak
1. Pajak Negara
Pajak yang pemungutannya oleh pemerintah pusat. Pajak yang termasuk pajak Negara adalah Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan atas barang mewah.
2. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda), baik oleh daerah tingkat I maupun oleh pemerintah daerah
tingkat II. Pajak daerah digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai rumah tangganya.
Contohnya : pajak pemotongn hewan, pajak radio, pajak reklame, pajak kendaraan bermotor dan pajak hiburan.
Berdasarkan sifatnya
1. Pajak Subyektif
Pajak yang berpangkal pada subyeknya (Wajib Pajak).
Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
2. Pajak Obyektif
Pajak yang dipungut berdasarkan obyeknya tanpa memerhatikan wajib pajak.
Contohnya : Pajak Penjualan dan Cukai
Indikator : Mendeskripsikan Sistem pemungutan pajak di Indonesia dan cara menghitung pajak
Ada beberapa system pajak yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Sistem-sistem itu adalah :
a. Official Assesment System
Dilaksanakan sampai tahun 1967.
System dimana wewenang pemungutan pajak pada fiscus (Pemungut Pajak). Fiscus berhak menentukan besarnya utang
pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak. Dalam system ini para wajib pajak
bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai utang pajaknya.
b. Semi Self Assesment System dan Witholding System
Dilaksanakan pada periode 1968 s/d 1983
Semi Self Assesment System adalah suatu system pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan fiscus. Mekanisme dalam pelaksanaan
system ini berdasarkan suatu anggapan bahwa wajib pajak pada akhir tahun menaksir sendiri besarny utang pajak yang
harus dibayar pada akhir tahun pajak. Besarnya pajak terutang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Di Indonesia system
semi self assessment diterapkan dengan system withholding yang pada waktu itu dikenal dengan istilah MPS (Menghitung
Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang). Withholding adalah suatu system pemungutan pajak dimana
wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga dan bukan fiscus
maupun wajib pajak.
c. Self Assesment System
Dilaksanakan secara efektif pada tahun 1984 atas perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983.
Full Self Assesment System yakni system pemungutan pajak dimana wajib pajak boleh menghitung dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan.
System ini menekankan pada wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur
tangan dari fiskus.
Sistem pemungutan ini memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri, menghitung,
memperhitungkan utang pajaknya sendiri, membayar pajak terutang ke bank tempat pembayaran pajak dan kantor pos
serta melaporkan hasil perhitungan pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak. Pada sistem ini aparat pajak bertugas untuk
mengawasi, melakukan pelayanan dan penyuluhan kepada Wajib Pajak.
5. Indikator : Menjelaskan Alur administrasi perpajakan di Indonesia
Indikator : Mendeskripsikan Objek dan cara pengenaan pajak
1. Pajak Penghasilan (PPh)
a. Dasar hukum pajak adalah UU No. 7 Tahun 1983 yang mulai berlaku 1 Januari 1984. UU ini telah diubah beberapa
kali, terakhir perubahan keempat dengan UU No. 36 Tahun 2008
b. PPh : pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
suatu Tahun Pajak.
Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan
lain sebagainya.
c. Subyek Pajak Penghasilan yakni : (1) Orang Pribadi, (2) Warisan yang belum dibagi, (3)Badan, (4) Bentuk Usaha
tetap
d. Obyek Pajak Penghasilan : Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
e. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
f. Tarif Pajak Penghasilan
Tarif Pasal 17 UU PPh
g. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan persen).
h. Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
i. Contoh Perhitungan PPh
Drogba memiliki NPWP dan Penghasilan Kena Pajak Drogba adalah sebesar Rp 77.743.000,
maka PPh terutang setahun Drogba adalah :
Rp 50.000.000 x 5% = Rp 2.500.000
Rp 27.743.000 x 15% = Rp 4.161.450 +
Jumlah = Rp 6.661.450
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00 Pajak Penghasilan yang harus dipotong
bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp25.000.000,00 = Rp3.750.000,00(+)
Jumlah Rp6.250.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5% x 120% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00
15% x 120% x Rp25.000.000,00 = Rp4.500.000,00(+)
Jumlah Rp7.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak PT. Harapan Jaya (Badan Usaha) berjumlah Rp. 519.450.000
Pajak Penghasilan terutang PT. Harapan Jaya adalah :
28% x Rp. 519.450.000 = Rp. 145.446.000
6. Perhatikan soal berikut ini :
Gunawan (memiliki NPWP) yang sudah menikah dan memiliki 4 orang anak, bekerja dengan gaji per
bulan Rp.3.500.000, pada PT Sentosa. PT ini mengikuti program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga
Kerja) sehingga perusahaan membayar untuk Gunawan premi asuransi kecelakaan kerja Rp5.000, per
bulan dan premi asuransi kematian Rp3.000,-per bulan. PT Sentosa juga mengikuti program jaminan
hari tua dan pensiun, oleh karena itu Gunawan harus membayar iuran jaminan hari tua Rp20.000,- per
bulan dan iuran pensiun Rp25.000,- per bulan. Gunawan juga dikenakan biaya jabatan 5% dari gaji.
Penyelesaian
Gaji per bulan ………………………………….. Rp. 3.500.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja ………………………………...... Rp. 5.000
Premi Jaminan Kematian ………………………………...... Rp. 3.000 +
Pengasilan Bruto Per bulan ………………………………..... Rp. 3.508.000
PENGURANGAN
Biaya Jabatan (5% x 3.508.000) Rp. 175.400
Iuran Pensiun Rp. 25.000
Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 20.000 +
Rp. 220.400 –
Penghasilan Neto Sebulan Rp. 3.287.600
Penghasilan Neto Setahun 12 x 3.287.600 Rp. 39.451.200
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Untuk Wajib Pajak Sendiri Rp. 24.300.000
Tambahan WP Kawin Rp. 2.025.000
3 Anak x 2.025.000 Rp. 6.075.000 +
Rp. 32.400.000 –
Pengasilan Kena Pajak Setahun ………………………………….. Rp. 7.051.200
Pembulatan ………………………………….. Rp. 7.051.000
PPh terutang setahun 5% x 7.051.000 = Rp. 352.550
PPh per bulan 352.550 /12 = Rp. 29.379
Perhatikan soal berikut ini dengan seksama
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan
Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan
premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari
gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan
Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT
Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran
pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00.
Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21
bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji per bulan ………………………………….. Rp. 3.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja ………………………………...... Rp. 15.000
Premi Jaminan Kematian ………………………………...... Rp. 9.000 +
Pengasilan Bruto Per bulan ………………………………..... Rp. 3.024.000
PENGURANGAN
Biaya Jabatan (5% x 3.024.000) Rp. 151.200
Iuran Pensiun Rp. 50.000
Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 60.000 +
Rp. 261.200 -
Penghasilan Neto Sebulan Rp. 2.762.800
Penghasilan Neto Setahun 12 x 2.762.800 Rp. 33.153.600
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Untuk Wajib Pajak Sendiri Rp. 24.300.000
Tambahan WP Kawin Rp. 2.025.000
3 Anak x 2.025.000 Rp. 6.075.000 +
Rp. 32.400.000 –
Pengasilan Kena Pajak Setahun ………………………………….. Rp. 753.600
Pembulatan ………………………………….. Rp. 753.000
PPh terutang 5% x 753.000 = Rp. 37.650
PPh bulan Juli Rp.37.650 / 12 = Rp. 3137
j. Contoh Perhitungan PPh
Misalnya penghasilan kena pajak Drogba adalah sebesar Rp 77.743.000,
maka PPh terutang:
Rp 50.000.000 x 5% = Rp 2.500.000
Rp 27.743.000 x 15% = Rp 4.161.450 +
Jumlah = Rp 6.661.450
Perhatikan soal berikut ini dengan seksama
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan
Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan
premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari
gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan
7. Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT
Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran
pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00.
Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21
bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji per bulan ………………………………….. Rp. 3.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja ………………………………...... Rp. 15.000
Premi Jaminan Kematian ………………………………...... Rp. 9.000 +
Pengasilan Bruto Per bulan ………………………………..... Rp. 3.024.000
PENGURANGAN
Biaya Jabatan (5% x 3.024.000) Rp. 151.200
Iuran Pensiun Rp. 50.000
Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 60.000 +
Rp. 261.200 -
Penghasilan Neto Sebulan Rp. 2.762.800
Penghasilan Neto Setahun 12 x 2.762.800 Rp. 33.153.600
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Untuk Wajib Pajak Sendiri Rp. 24.300.000
Tambahan WP Kawin Rp. 2.025.000
3 Anak x 2.025.000 Rp. 6.075.000 +
Rp. 32.400.000 –
Pengasilan Kena Pajak Setahun ………………………………….. Rp. 753.600
Pembulatan ………………………………….. Rp. 753.000
PPh terutang 5% x 753.000 = Rp. 37.650
PPh bulan Juli Rp.37.650 / 12 = Rp. 3137