Laporan ini merangkum hasil kajian kebijakan perencanaan tenaga kesehatan yang dilakukan di 7 propinsi dan 32 kabupaten/kota. Kajian menemukan adanya kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama dokter, perawat dan bidan. Masalah utama meliputi terbatasnya formasi, pendanaan dan proses pengadaan yang kurang memuaskan. Tenaga kesehatan di daerah tertinggal memil
1. LAPORAN
KAJIAN KEBIJAKAN
PERENCANAAN TENAGA KESEHATAN
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT
DEPUTI BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
2005
2. Tim Peneliti dan Penyusun Rekomendasi:
Dedi M. Masykur Riyadi, Arum Atmawikarta; Dadang Rizki Ratman, Taufik Hanafi, Yosi
Diani Tresna, Sularsono, Destri Handayani, Pungkas Bahjuri Ali, Khabib Mualim,
Penulis Buku:
Pungkas Bahjuri Ali, Dadang Rizki Ratman, Sularsono
Tim Pendukung:
Nurlaily Aprilianti; Erna Rosita
Dikeluarkan oleh:
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas); Tahun 2005
2
3. PENGANTAR
Dokumen ini merupakan laporan kajian tentang Kebijakan Perencanaan Tenaga
Kesehatan, yang dilakukan pada tahun 2005 di 7 propinsi dan meliputi 32 kabupaten/kota.
Kajian ini dilakukan oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas.
Kajian ini dilakukan karena Bappenas memerlukan masukan tentang kebijakan
tenaga kesehatan. Dengan mengetahui proses perencaaan kebutuhan, pendidikan dan
pelatihan serta pendayagunaan tenaga kesehatan, diharapkan dapat memberikan masukan
bagi Bappenas dan atau instansi pemerintah lainnya dalam mempertajam penyusunan
kebijakan pembangunan kesehatan khususnya di bidang ketenagaan kesehatan di masa
mendatang.
Kami mengucapkan terimakasih kepada para nara sumber yaitu Bapak
Abdurachman (Kepala Pusbangkes Depkes), Dedi Ruswendi (Kepala Biro Kepegawaian
Depkes), Setiawan Soeparan (Kepala Pusdikanakes Depkes), dan Bapak Untung Suseno
(Kepala Purat Perencanaan Tenaga Kesehatan Depkes) beserta staf, serta seluruh pihak
yang telah membantu pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada
responden dan pihak-pihak yang membantu kami dalam memperoleh data, yaitu Depkes
Pusat, Dinas Kesehatan di 7 propinsi, Dinas Kesehatan di 32 kabupaten/kota, Bappeda,
Kepala Puskesmas dan seluruh tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya.
Laporan kajian ini masih jauh dari sempurna. Namun dari analisis yang dilakukan,
sudah dirumuskan beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang dapat digunakan untuk
perbaikan kebijakan perencanaan tenaga kesehatan di masa yang akan datang. Kritik dan
saran sangat diharapkan untuk lebih menyempurnakan laporan kajian ini.
Terima kasih.
Jakarta, Desember 2005
Tim Peneliti
3
4. PENGANTAR
Kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh sistem dan tenaga
pelayanan. Ketenagaan pelayanan seringkali menghadapi kendala dalam hal jumlah,
sebaran, mutu dan kualifikasi, sistem pengembangan karir, dan kesejahteraan tenaga
pelaksana pelayanan. Permasalahan yang muncul dalam tataran mikro operasional
memunculkan persepsi rendahnya kualitas pelayanan, yang berawal dari kesenjangan
antara aturan dan standar yang ada dengan pelaksanaan pelayanan yang tidak dapat
menerapkannya. Pemahaman terhadap kedaaan nyata yang dihadapi di lapangan sangat
penting untuk menelaah kembali landasan kebijakan, aturan, dan standar untuk
meningkatkjan kualitas pelayanan.
Laporan ini menyampaikan hasil kajian mirko ketenagaan dalam pelayanan
kesehatan publik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan di unit pelayanan kesehatan
masyarakat terdepan, puskesmas. Hasil kajian ini dipandang penting sebagai sumber
informasi bagi pengambil keputusan untuk memahami permasalahan, mengatasinya dan
sebagai sumber pembelajaran bagi pengambil keuputusan lainnya. Kajian menunjukkan
antara lain terdapatnya kesenjangan (gap) antara kebijakan ketenagaan pemerintah pusat
dengan implementasinya di daerah dan telaahan terhadap ragam upaya pemerintah
kabupaten/kota mengatasi persoalan ketenagaan pelayanan publik yang mereka hadapi.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, sudah pada tempatnya bila
melihat ketenagaan pelayanan dalam kerangka keterkaitan sistem kesehatan nasional,
sistem pendidikan nasional dan sistem lainnya. Pengelolaan ketenagaan kesehatan harus
dilakukan dengan mempertimbangkan kaitannya dengan sistem pendidikan dan
ketenagakerjaan secara menyeluruh. Sangat mungkin bahwa ketenagaan kesehatan yang
dilaporkan pada buku ini merupakan gambaran persoalan serupa dalam ketenagaan di
bidang lain sehingga jawaban pemecahan persoalan harus diupayakan secara menyeluruh
terutama melalui telaahan di bidang ketenagakerjaan dan pendidikan.
Semoga diagnosis yang dilakukan melalui kajian ini tepat dan dapat ditindaklanjuti
dengan resep dan rekomendasi yang tepat pula. Diharapkan laporan kajian ini dapat
menjadi masukan dan bahan berguna untuk pengembangan kebijakan implementatif dalam
penagagan ketenagaan untuk meningkatkan pelayanan publik.
Masukan dan saran perbaikan perbaikan kami nantikan. Terimakasih.
Jakarta, Desember 2005
Deputi Men PPN
Bidang Sumber Daya Manusia
dan Kebudayaan
Dedi M. Masykur Riyadi
4
5. ABSTRAK
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga
kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya, kebijakan perencanaan, pengadaan,
penempatan dan pelatihan tenaga kesehatan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kajian menggunakan desain cross sectional dan dilakukan di 7 propinsi, mencakup
32 kabupaten/kota dengan responden dinas kesehatan, kepala puskesmas dan tenaga
kesehatan puskesmas. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, diskusi, FGD
dan survei. Analisa univariate dilakukan untuk mengetahui kecenderungan sebaran dan
statistik deskriptif.
Secara umum perencanaan dilakukan untuk hampir semua jenis tenaga, walaupun
lebih dari separuh kab/kota tidak menerapkan pedoman perencanaan yang ditetapkan,
dengan alasan utama kurangnya sosialisasi. Kekurangan tenaga terjadi pada semua jenis
tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada epidemiolog, teknis medis, rontgen,
penyuluh kesehatan masyarakat dan dokter spesialis. Masalah utama ketenagaan adalah
terbatasnya formasi dan kemampuan pendanaan, serta proses pengadaan dan penempatan
yang kurang memuaskan.
Ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga
kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang lebih luas, dan
proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit,
harapan terhadap insentif yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.
Jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas adalah gaji/tunjangan yang
lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas.
Dalam hal perencanaan, kajian merekomendasikan sosialisasi yang lebih intensif
tentang metode perencanaan. Dalam hal pengadaan, kebijakan nasional pengadaan dokter
di Puskesmas yang masih banyak yang kosong perlu mendapat prioritas. Untuk
meningkatkan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah
insentif, fasilitas serta kemudahan karir. Peran serta pemda dalam ketenagaan kesehatan di
Puskesmas lebih ditingkatkan lagi terutama pemberian insentif yang lebih baik, sehingga
tenaga kesehatan di Puskesmas dapat bekerja lebih baik dan merasa betah bekerja di
daerah.
5
6. DAFTAR ISI
PENGANTAR ......................................................................................................................................................3
ABSTRAK ............................................................................................................................................................5
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................................6
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................................7
DAFTAR SINGKATAN .....................................................................................................................................9
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................10
A. Latar Belakang ....................................................................................................................................10
B. Tujuan dan Output ............................................................................................................................11
C. Kerangka Konsep................................................................................................................................11
D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Kajian..................................................................................13
BAB II. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI...................................................................................15
A. Tempat dan Waktu Kajian ................................................................................................................15
B. Desain Kajian.......................................................................................................................................15
C. Ruang Lingkup Kegiatan ...................................................................................................................15
D. Sampel dan Variabel Kajian..............................................................................................................15
E. Pengumpulan dan Analisa Data ........................................................................................................16
BAB III. KEBIJAKAN UMUM KETENAGAAN KESEHATAN DI INONESIA...................................18
A. Definisi Tenaga Kesehatan.................................................................................................................18
B. Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan...................................................................................18
C. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan ................................................................................19
D. PendayagunaanTenaga Kesehatan ...................................................................................................20
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................................23
A. Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional................................................................23
B. Kebijakan Tenaga Kesehatan............................................................................................................30
C. Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal............................................40
D. Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas di Kapasitas Fiskal Daerah ....................................45
E. Pembinaan Karir Tenaga Kesehatan................................................................................................47
F. Tanggapan Masyarakat......................................................................................................................49
G. Peran Puskesmas Bagi Penduduk Miskin. .......................................................................................50
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .........................................................................................52
A. Kesimpulan ..........................................................................................................................................52
B. Rekomendasi........................................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................................55
6
7. DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan .................................16
Tenaga Kesehatan
Tabel 3.1 Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok ...................19
Jenis Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun 2005
Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk ......................................23
dibandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010
Tabel 4.2 Rasio Tenaga Kesehatan Di Berbagai Negara.................................................24
Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional........28
Tabel 4.4 Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja................................................31
Tabel 4.5 Persentase Kabupaten Kota yang merasakan Kesenjangan ............................34
Antara usulan dengan ketersediaan Tenaga Kesehatan
Tabel 4.6 Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Kabupaten ......................34
Lokasi kajian
Tabel 4.7 Masalah Utama Dalam Pengadaan Nakes di Kabupaten Tertinggal ..............35
dan Tak Tertinggal
Tabel 4.8 Kriteria Penempatan tenaga kesehatan di lokasi kajian...................................36
Tabel 4.9 Jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan ..........................39
Tabel 4.10 Perbandingan rasio tenaga kesehatan per puskesmas menurut kategori .........41
kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal
Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori ...............42
kecamatan terpencil dan tidak terpencil
Tabel 4.12 Perbandingan rata-rata distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan ....................43
di Kecamatan Terpencil dan Tidak terpencil
Tabel 4.13 Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana................45
pindah dan alasan kepindahannya
Tabel 4.14 Ketersediaan tenaga Puskesmas di daerah menurut kapasitas.........................46
Tabel 4.15 Insentif yang diterima tenaga kesehatan dari Pemda menurut kapasitas.........46
fiskal daerah
Tabel 4.16 Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan insentif .............................46
dan jenis insentif yang diharapkan
Tabel 4.17 Alasan Rencana Kepindahan Tenaga Kesehatan di Puskesmas ......................47
Tabel 4.18 Frekwensi Pelatihan Yang Pernah Diikuti Responden....................................47
Tabel 4.19 Persepsi Responden Tentang Latar Belakang Pendidikan ..............................48
Jabatan Kepala Puskesmas
Tabel 4.20 Alasan Pindah Tenaga Kesehatan Puskesmas .................................................41
Tabel 4.21 Insentif Yang Paling Banyak Diharapkan oleh Responden dari Pemda..........48
7
8. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan Nasional...........................................................12
Gambar 1.2 Kerangka konsep kajian.................................................................................12
Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004. ......................24
Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004...........................25
Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004.....................................25
Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004 ........................................26
Gambar 4.5 Rasio Dokter Umum Puskesmas dan RS per 100.000 penduduk..................26
Gambar 4.6 Rasio Dokter Umum terhadap Puskesmas menurut propinsi .......................29
Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada ..........32
daerah kajian
Gambar 4.8 Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan .......................................33
Tenaga Kesehatan di Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman
Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas ..36
Gambar 4.10.Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan peningkatan insentif ......44
dan jenis insentif yang diharapkan menurut keterpencilan kecamatan
8
9. DAFTAR SINGKATAN
AKABA = Angka Kematian Balita
AKB = Angka Kematian Bayi
AKI = Angka Kematian Ibu
ASKES = Asuransi Kesehatan
BKD = Badan Kepegawaian Daerah
BPS = Badan Pusat Statistik
CPNS = Calon Pegawai Negeri Sipil
DRG = Dokter Gigi
DSP = Daftar Susunan Pegawai
GAKY = Gangguan Akibat Kurang Yodium
INPRES = Instruksi Presiden
IDI = Ikatan Dokter Indonesia
IBI = Ikatan Bidan Indonesia
ISFI = Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
JPSBK = Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
KESLING = Kesehatan Lingkungan
KIA = Kesehatan Ibu dan Anak
KS = Kartu Sehat
MDGs = Millenium Development Goals
PDGI = Persatuan Dokter Gigi Indonesia
PERSAGI = Persatuan Ahli Gizi Indonesia
PERMENKES = Peraturan Menteri Kesehatan
PKPS-BBM = Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar
Minyak
PNS = Pegawai Negeri Sipil
PPNI = Persatuan Perawat Nasional Indonesia
POLTEKES = Politeknik Kesehatan
POLINDES = Pondok Bersalin Desa
POSYANDU = Pos Pelayanan Terpadu
PTT = Pegawai Tidak Tetap
PUSKESMAS = Pusat Kesehatan Msyarakat
PUSTU = Puskesmas Pembantu
RPJM = Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RS = Rumah Sakit
SDKI = Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SKM = Sarjana Kesehatan Masyarakat
SKN = Sistem Kesehatan Nasional
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
SMAK = Sekolah Menengah Analis Kimia
SMF = Sekolah Menengah Farmasi
SPK = Sekolah Perawat Kesehatan
SPRG = Sekolah Pengatur Rawat Gigi
SPSS = Statistic Programme for the Social Science
SUSENAS = Survai Sosial Ekonomi Nasional
WHO = World Health Organization
WISN = Work Load Indicator Staff Need
9
10. BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal yang ditandai oleh penduduknya berperilaku sehat dan dalam lingkungan
sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara
adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik
Indonesia (Indonesia Sehat 2010).
Derajat kesehatan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan
perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator kesehatan masyarakat antara lain
meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan anak balita,
menurunnya angka kematian ibu melahirkan, dan menurunnya prevalesi gizi kurang pada
anak balita.
Usia harapan hidup meningkat dari 45 (1967b) menjadi 66,2 tahun (2001); angka
kematian bayi (AKB) menurun dari 128 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 35 per
1.000 kelahiran hidup (2002-2003), angka kematian balita (AKABA) menurun dari 216 per
1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), dan
angka kematian ibu (AKI) melahirkan menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup
(1986) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003).
Prevalensi gizi kurang (underweight) pada balita, telah menurun dari 37,5 persen
tahun 1989 menjadi 25,8 persen tahun 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 menunjukkan anak balita yang pendek (stunting) sekitar 34,3 persen dan balita
yang kurus (wasting) sebesar 16,6 persen. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil
masih tinggi yaitu sekitar 45 persen (2003), dan prevalensi GAKY pada anak sekolah
sebesar 11,1 persen (2003).
Walaupun telah menunjukan berbagai perbaikan, jika dibandingkan dengan negara-
negara tetangga, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Selain
itu, terjadi disparitas yang cukup mencolok antar wilayah, kota-desa, dan tingkat sosial
ekonomi. Indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari
sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDG
merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks” untuk mengukur
perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa target MDG yang
ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang mempunyai pengaruh langsung pada derajat
kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi prevalensi gizi kurang dan
meningkatkan konsumsi kalori, (2) mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan
angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka kematian ibu, (4)
menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (5)
mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih yang
aman dan sanitasi dasar, dan (6) meningkatkan akses terhadap obat esensial (Bappenas,
2002).
Berbagai faktor atau determinan yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain
adalah lingkungan (fisik, biologik, dan sosial), perilaku dan gaya hidup, faktor genetis, dan
pelayanan kesehatan. Dalam system kesehatan itu sendiri, menurut Sistem Kesehatan
Nasional (Depkes, 2004), paling tidak terdapat enam subsistem yang turut menentukan
10
11. kinerja sistem kesehatan nasional yaitu subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan,
sumber daya manusia (SDM) kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan
masyarakat, dan manajemen kesehatan.
Dalam subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsure utama yang
mendukung subsistem kesehatan lainnya. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah
semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem
SDM kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara
mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-
guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2004).
B. Tujuan dan Output
Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran
tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat termasuk penduduk
miskin.
Keluaran (output) kajian kebijakan perencanaan bidang kesehatan antara lain meliputi:
(1) Tersedianya profil tenaga kesehatan terutama di Puskesmas berdasarkan wilayah
geografis dan sosial ekonomi; dan (2) Tersusunnya rekomendasi kebijakan jumlah, mutu
dan penyebaran ketenagaan kesehatan di Puskemas dan jaringannya sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan.
C. Kerangka Konsep
Untuk memberi gambaran secara ringkas tentang peran subsistem tenaga kesehatan
dalam sistem kesehatan nasional (SKN), dibawah ini digambarkan kerangka keterkaitan
berbagai subsitem dalam SKN. Derajat kesehatan masyarakat ditentukan sistem kesehatan
yang dilaksanakan. Sistem kesehatan dipengaruhi oleh berbagai sistem lain di luar sistem
kesehatan seperti sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem lingkungan dan sebagainya.
Sistem kesehatan terdiri dari 6 subsistem yang satu sama lain saling berkaitan yaitu
subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia (SDM)
kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen
kesehatan.
11
12. Outcome
Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan Nasional
• Status Kesehatan
• Responsiveness
Subsistem Subsistem
Output
Upaya Kesehatan Tingkat Kesehatan SDM Kesehatan
Responsiveness Pemberdayaan
Masyarakat
Distribusi Biaya
Pembiayaan Sumberdaya Obat dan
Kesehatan Perbekalan Kesehatan
Manajemen
Kesehatan
Adaptasi dari SKN 2004
Dalam kajian fokus pembahasan akan diarahkan terhadap subsistem SDM
kesehatan.Terdapat tiga unsur pokok dalam subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan,
pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan. Karena luasnya ruang lingkup
ketenagaan, bahasan akan lebih diarahkan pada ketenagaan di Puskesmas sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan dasar pada strata pertama. Pada Gambar 1.2 dibawah ini
dijelaskan kerangka konsep kajian.
Gambar 1.2 Kerangka Konsep Kajian
Kebijakan Depkes:
- Perencanaan
- Diklat
- Pendayagunaan
Kondisi yang diharapkan
Kondisi saat ini
Kebijakan Kab/Kota: - Jumlah & Jenis tenaga
- Jumlah belum memadai Pelayanan
- Proses Perencanaan terpenuhi
- Distribusi tidak merata Kesehatan
- Pelatihan - Distribusi merata
- Kompetensi kurang Lebih Baik
- Rekrutmen & - Berkualitas/Kompeten
- Pengembangan profesi
Penempatan - Pengembangan profesi
belum baik
- Sistem Insentif berjalan dengan baik
Status
Kesehatan
Faktor Lingkungan Strategis Meningkat
- Desentralisasi
- Geografis
- Kemampuan Fiskal
12
13. Ketenagaan kesehatan nasional saat ini menghadapi berbagai masalah kecukupan,
distibusi, mutu dan pengembangan profesi. Jumlah tenaga kesehatan belum mencapai
jumlah yang diinginkan, distribusinya kurang merata, kompetensi tenaga yang kurang
memadai dan pengembangan profesi yang masih belum sesuai harapan. Keadaan ini perlu
diperbaiki antara lain melalui perumusan kebijakan ketenagaan kesehatan yang meliputi
perencanaan kebutuhan tenaga, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga.
Dalam implementasinya kebijakan tersebut dipengaruhi baik secara positif maupun negatif
oleh lingkungan strategis antara lain pelaksanaan desentralisasi, kemampuan fiskal daerah
dan keaadaan geografis suatu wialayh cakupan. Jika kebijakan dan implementasi berjalan
dengan baik maka diharapkan berbagai permasalah kesehatan, teutama berkaitan dengan
jumlah dan jenisnya yan mencukupi, distribusi semakin baik, dan kualitasnya meningkat
serta pengembangan profesi yang tertata. Dampak dari kebijakan yang diharapkan adalah
pelayanan kesehatan yang lebih baik, yang pada akhirnya akan memperbaiki status
kesehatan masyarakat.
D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Kajian
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health
System Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di
Indonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar
dua per tiga dari jumlah provinsi mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional,
terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000
penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio
perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian besar tenaga dokter
(69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005)
Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT)
yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter
umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003
sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga
perawat dan bidan.
Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan
apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya,
menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali
menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh
rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan
dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik.
Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam
meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik.
Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujung
tombak penyelenggara pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab
atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu
sebagai: (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar.
Susenas 2004, menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan
penduduk untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%)
dan praktek petugas kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan
13
14. Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada
umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan
pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah
tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya,
selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh
juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI,
2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan
dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1)
peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2) peningkatan kualitas dan kuantitas
tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.
Dengan melihat berbagai permasalahan ketenagaan kesehatan tersebut, maka perlu
dikaji, bagamiana kebijakan perencanaan tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjawab
pemasalahan di atas. Khusunya, kajian diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal ketenagaan
kesehatan di Puskesmas?
2. Bagaimana ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya?
3. Bagaimana mutu tenaga kesehatan yang tersedia?
4. Bagaimana distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas di wilayah tertinggal dan
terpencil?
5. Bagaimana pembinaan karir tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas?
6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas?
7. Bagaimana peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin?
8. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan tugas
tenaga kesehatan di Puskesmas?
14
15. BAB II. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI
A. Tempat dan Waktu Kajian
Kajian dilaksanakan di 7 provinsi, mencakup 32 kabupaten/kota, dan 88
puskesmas. Kajian dilaksanakan selama 8 bulan pada tahun 2005, dengan persiapan
salama 2 bulan, pelaksanaan pengumpulan dan analisis data 5 bulan, dan penyusunan
laporan 1 bulan.
B. Desain Kajian
Disain kajian adalah cross sectional, yaitu dengan memotret keadaan ketenagaan
kesehatan dari segi perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan dan pendayagunaan
tenaga kesehatan dengan sampel kajian di beberapa provinsi, kabupaten, puskesmas, dan
tenaga kesehatan.
C. Ruang Lingkup Kegiatan
Kajian ini difokuskan untuk ketenagaan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya.
Kajian dilakukan di 7 propinsi terpilih yang ditentukan berdasarkan katagorisasi rasio
tenaga kesehatan dan penduduk di Puskesmas serta mewakili karakteristik wilayah
Indonesia bagian Barat, dan Wilayah Timur. Pada setiap propinsi di ambil beberapa
Kabupaten/Kota berdasarkan tingkat kemajuannya. Selanjutnya di setiap Kabupaten/Kota
terpilih secara proporsional dipilih sejumlah Puskesmas yang menggambarkan daerah
perkotaan dan daerah perdesaan
Untuk melakukan kajian ini dilaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut:
1. Diskusi dan seminar tentang kebijakan ketenagaan kesehatan;
2. Focus Group Discussion (FGD);
3. Pengumpulan data ketenagaan kesehatan di Puskesmas meliputi jumlah, distribusi
dan kualitas;
4. Pengumpulan data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketenagaan kesehatan
di Puskesmas;
5. Pengumpulan data tentang peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin;
6. Pengumpulan data tentang persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas;
7. Mempelajari pembinaan karir bagi tenaga kesehatan di Puskesmas yang
dilaksanakan saat ini;
8. Melakukan analisis data dan menyusun laporan penelitian; dan
9. Diseminasi hasil penelitian melalui seminar dan workshop.
D. Sampel dan Variabel Kajian
Pemilihan sampel provinsi kajian dipilih secara purposif dengan memperhatikan
karakterisik wilayah yaitu yang sering dibagi ke dalam wilayah barat dan wilayah timur.
Kawasan barat diwakili oleh Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan DI
Yogyakarta, sedangkan kawasan timur diwakili oleh Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Barat dan Papua.
15
16. Pemilihan Kabupaten/Kota juga dilaksanakan secara purposif dengan
memperhatikan kapasitas fiskal dan dan ketertinggalan wilayah. Didasarkan atas
kemampuan fiskal, yaitu kapasitas fiskal tinggi 2 Kab/kota, kapasitas fiskal sedang 9
kab/kota dan kapasitas fiskal rendah 21 kab/kota. Menurut katagori daerah, yaitu 8
kabupaten tertinggal dan 24 kab/kota tidak tertinggal.
Sedangkan yang menjadi responden terdiri dari staf Dinas Kesehatan Popinsi dan
Kabupaten/Kota sebanyak 42 orang, Kepala Puskesmas sebanyak 84 orang, dan tenaga
kesehatan di puskesmas sebanyak 193 orang. Keseluruhan jumlah responden kajian ini
adalah sebanyak 319 responden.
Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan
Kriteria Wilayah Kapasitas Fiskal Jumlah Responden
Jml.
No. Propinsi Tak Kapala Tenaga
Kab/Kota tertinggal tinggi sedang rendah Dinkes
tertinggal Puskesmas Kesehatan
a. Kawasan Barat
1. Sumatera
Barat 3 1 2 0 1 2 1 11 40
2. Jawa Barat 12 2 10 0 4 8 10 13 43
3. Jawa Tengah 5 1 4 1 0 4 8 17 67
4. DIY 3 2 1 0 0 3 2 10 22
b. Kawasan Timur
1. Sulawesi
Selatan 3 0 3 0 1 2 8 15 10
2. NTB 3 2 1 0 1 2 10 13 6
3. Papua 3 0 3 1 2 0 3 5 5
JUMLAH 32 8 24 2 9 21 42 84 193
Dalam kajian ini dikumpulkan dan dianalisis berbagai variabel penting dari ketiga
unsur pokok subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan kebutuhan, pendidikan dan
pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, antara lain: unit kerja penyusun rencana,
jenis tenaga, periode penyusunan rencana, dasar penyusunan rencana, metoda penyusunan
rencana, hambatan yang ditemui, koordinasi penyusunan rencana, sistem informasi untuk
penyususan rencana.
Selain itu dikumpulkan pula kebutuhan dan ketersediaan tenaga, proses pengajuan
kebutuhan, rekrutmen tenaga di daerah, masalah yang dihadapi dalam pengadaan tenaga,
kriteria penentuan lokasi penempatan tenaga, kewenangan penempatan tenaga, pelatihan
tenaga, jenis pelatihan yang dilaksanakan, sumber pembiayaan untuk pelatihan tenaga, dan
sistem insentif yang digunakan serta minat untuk bertugas di daerah.
E. Pengumpulan dan Analisa Data
Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder
berupa data dan informasi dari berbagai lietartur yang berasal dari Buku Profil Kesehatan
(Indonesia, Provinsi, Kabupaten), BPS (Kabupaten Dalam Angka, Susenas), serta buku-
buku lain yang relevan. Selain itu dilakukan nara sumber yang kompeten dalam kebijakan
SDM Kesehatan antara lain Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Kepala Biro
16
17. Kepegawaian, Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Kesehatan, dan Kepala Pusat
Perencanaan Tenaga Kesehatan.
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan diskusi dengan
responden Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas, dan tenaga kesehatan
yang bertugas di puskesmas. Data primer yang dikumpulkan meliputi data dan infomasi
yang berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, pendidikan dan pelatihan
tenaga kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.
Pengelolaan data dilakukan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat,
Bappenas. Data yang masuk dari lapangan diverifikasi kelengkapan dan konsistensinya.
Selanjutnya data di entri kedalam komputer dengan menggunakan program SPSS. Analisis
univariate dilakukan terhadap setiap variabel yang dikumpulkan untuk mengetahui
kecenderungan sebarannya dan untuk memperoleh statistik deskriptif. Analisis hubungan
antar variabel digunakan analisis deskriptif yaitu dengan membandingkan kebijakan yang
ada dengan kenyataan yang terjadi pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan. Hasil
analisis data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
17
18. BAB III. KEBIJAKAN UMUM KETENAGAAN KESEHATAN DI INONESIA
A. Definisi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di
bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN), tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem
SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan
dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur utama
dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan
tenaga kesehatan.
B. Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan
jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan.(Depkes, 2004).
Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan
penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan
yang merata bagi masyarakat. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan
memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah
yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun 2000 (Depkes,
2004) antara lain mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk
meningkatkan kemampuan para perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi
disemua tingkatan. Kepmenkes No. 81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004)
antara lain mengatur tentang pedoman penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada Kepmenkes tersebut disediakan
pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk dipilih sesuai dengan
kemauan dan kemampuan.
Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda
penyusunan yang dapat digunakan yaitu;
1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.
2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.
3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas,
dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan
pada standar/rasio terhadap nilai tertentu.
18
19. Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios
Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:
1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga
kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,
2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,
3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio.
Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000,
di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno, 2005)
Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga
kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan
penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih
diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong langka,
dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi
pendidikannya terbatas dan kurang diminati.
C. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga
kesehatan sesuai jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan
kemampuan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004).
Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004)
terdapat enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:
1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur Rawat
Gigi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Gigi
2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi
3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan)
4. Gizi
5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur
6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik
Prostetik, Teknik Elektro Medik, Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi
Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan Kardiovaksuler.
Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199
Politeknik Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Distribusi institusi pendidikan
tenaga kesehatan berdasarkan kelompok jenis tenaga kesehatan dapat dilihat pada Tabel
3.1 dibawah ini.
Tabel 3.1 Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok Jenis Tenaga
Kesehatan di Indonesia Tahun 2005
Poltekes Non Poltekes
Kelompok
Jumlah % Jumlah %
Keperawatan 128 64,3 457 70,6
Kefarmasian 7 3,5 73 11,3
Kesehatan Masyarakat 20 10,1 19 2,9
Gizi 23 11,6 11 1,7
Keterapian Fisik 3 1,5 17 2,6
Keteknisan Medis 18 9,0 70 10,8
Jumlah 199 100 647 100
Sumber: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes, 2005
19
20. Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah
daerah, 34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005
jumlah peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik
poltekes, dan 109.833 non Poltekes.
Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain
2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik
3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan
4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:
1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan
2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan
3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.
Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32
Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan
keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.
Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama.
Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang
kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan
bisa pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus
dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin
penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan
dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan
akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan
antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan
belum serasi
2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah
belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta
6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.
Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah
berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi
diluar Depdiknas termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005)
D. PendayagunaanTenaga Kesehatan
Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan
pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga
kesehatan antara lain:
20
21. 1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan
2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.
Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga
periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus
melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan
kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk
PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil
diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi Inpres
dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian
hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga
medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas
Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2
sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter
gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan
dalam penempatan dokter PTT yaitu:
1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja
paksa.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT
mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),
domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum
terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah
terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak
cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar,
Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur
Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.
Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah
dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS
vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik
21
22. Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata
produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih
dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir
tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang
langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi
dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat
untuk bertugas di daerah.
Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang
diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan.
Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT
dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:
1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk
diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.
Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak
32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat
sebagai PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji
antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik.
(Ruswendi, 2005)
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana
dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan
melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan
oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji
kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi
dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan
yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik
Kedokteran.
22
23. BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional
Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat
diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu
maupun penyebarannya.
1. Jumlah dan Kualitas
Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja
di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada
sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan
pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif
masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan
ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga
kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di
Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada
tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan
Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan
sasaran Indonesia Sehat 2010
Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di
bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010
Jenis Tenaga Rasio per 100.000 Sasaran rasio per Jumlah tenaga yang
penduduk 100.000 penduduk dibutuhkan
tahun 2004 tahun 2010 tahun 2010
Dokter Spesialis 5,1 6 14.156
Dokter Umum 7,2 40 94.376
Dokter Gigi 2,5 11 25.953
Perawat 59.6 117 276.049
Bidan 27,3 100 235.939
Apoteker 0,56 10 23.594
Asisten Apoteker 3,72 30 70.785
SKM 0,69 49 115.611
Sanitarian 3.54 40 94.376
Ahli Gizi 3,97 22 51.907
Sumber: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes, 2005
Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan terutama tenaga
dokter, dokter gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih
rendah terlihat dari tabel berikut.
23
24. Tabel 4.2 Rasio Tenaga Kesehatan Di Berbagai Negara
Rata-rata per 100.000 populasi/tahun
Negara Dokter Dokter gigi Perawat Bidan
Jml Thn Jml Thn Jml Thn Jml Thn
Australia 240,0 1998 40,0 1998 830,0 1998 40,0 1998
Austria 302,0 1998 47,2 1998 532,0 1998 18,6 1997
Kanada 229,1 1995 58,6 1997 897,1 1996 - -
Finlandia 229,0 1998 93,7 1998 2.162,0 1998 78,0 1998
Indonesia 16,0 1994 2,07 2001 50,0 1994 26,0 1994
Jepang 193,2 1996 68,6 1996 744,9 1996 18,9 1996
Malaysia 65,8 1997 8,6 1997 113,3 1997 27,1 1997
Belanda 251,0 1990 47,1 1996 902,0 1991 9,1 1997
Filipina 123,0 1996 52,0 1996 418,0 1996 163,0 1996
Inggris & Irlandia Utara 164,0 1993 39,8 1992 497,0 1989 43,3 1989
Amerika 164,0 1995 59,8 1996 972,0 1996 - -
Sumber: Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat
dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya
banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau
tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003)
juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga
kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang
dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien,
atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan
masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.
2. Distribusi
Keterbatasan jumalh tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi tenaga
kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di
Jawa dan Bali, provinsi lain yang memiliki banyak dokter spesialis dibanding daerah
lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Secara lengkap
penyebaran tenaga dokter spesialis di Indonesia pada tahun 2003-2004 dapat di lihat pada
gambar berikut :
Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004.
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
DKI Jkt
DI Yogya
Bengkulu
Irja Barat
NAD
NTB
Maluku
Banten
Kalteng
Kaltim
Gorontalo
Kalsel
Babel
Bali
NTT
Kalbar
Riau
Lampung
Jateng
Malut
Jatim
Papua
Jambi
Jabar
Sumut
Sulut
Sulteng
Sultra
Sumsel
Sulsel
Sumbar
24
25. Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004
2500
2000
1500
1000
500
0
NTT
DKI Jkt
Jabar
Jateng
DI Yogya
Jambi
Jatim
NTB
Irja Barat
NAD
Sumbar
Kalbar
Riau
Bengkulu
Lampung
Banten
Kalteng
Sulteng
Sultra
Gorontalo
Maluku
Papua
Sumsel
Babel
Bali
Kalsel
Sulsel
Kaltim
Sumut
Sulut
Malut
Pola penyebaran yang sama terjadi pada dokter umum. Pusat-pusat distribusi tenaga
kesehatan tersebut adalah di Pulau Jawa dan Bali serta di Provinsi Sumatera Utara dan
Sulawesi Selatan. Provinsi di Pulau Jawa yang relatif sedikit jumlahnya adalah Banten
(provinsi baru) dan DI Yogyakarta.
Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
NTT
DKI Jkt
Jabar
Jateng
DI Yogya
Jatim
Jambi
NTB
Irja Barat
NAD
Sumbar
Kalbar
Riau
Bengkulu
Lampung
Kalteng
Sulteng
Sultra
Gorontalo
Maluku
Papua
Banten
Sumsel
Babel
Bali
Kalsel
Kaltim
Sulsel
Sumut
Sulut
Malut
Begitu pula halnya dengan pola penyebaran tenaga perawat. Sebagian besar tenaga
perawat tersebut bertugas terutama di empat provinsi yaitu di Pulau Jawa yaitu di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan di luar Jawa terutama
berpusat di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
25
26. Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
NTT
DKI Jkt
Jabar
Jateng
DI Yogya
Jambi
Jatim
NTB
Irja Barat
NAD
Sumbar
Kalbar
Riau
Bengkulu
Lampung
Banten
Kalteng
Sulteng
Sultra
Gorontalo
Maluku
Papua
Sumsel
Babel
Bali
Kalsel
Sulsel
Kaltim
Sumut
Sulut
Malut
Pada Gambar 4.4 tampak pola penyebaran tenaga bidan sedikit berbeda dengan
tenaga perawat. Beberapa provinsi yang memiliki tenaga bidan lebih banyak antara lain
Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NAD, Sumatera Selatan
dan Sulawesi Selatan.
Apabila
Gambar 4.5. Rasio dokter umum Puskesmas dan
menggunakan standar rasio
Rumah Sakit per 100.000 penduduk
antara tenaga kesehatan
Jabar
dengan jumlah penduduk,
4.30
Banten 4.40
NTB
NTT
5.71
6.12
maka distribusi tenaga
Jatim
Jateng
6.23
6.31
lebih menyebar. Sebagai
Kalbar 6.36 contoh rasio tenaga dokter
Sumsel 6.40
Lampung 6.82 umum per 100.000
Indonesia
Maluku
7.20
7.58 penduduk (Gambar 4.5)
Papua
Babel
8.09
8.39
yang tertinggi adalah di
Sultra 8.46 Propinsi Kalimantan Timur
DKI Jkt 8.51
Sumbar 8.59 dengan 18,23 dokter umum
NAD
per 100.000 penduduk dan
8.90
Sulsel 9.44
Kalsel
Sumut
9.49
9.59
terendah ada di Jawa Barat
Malut
Riau
9.65
10.39
dengan 4,3 dokter umum
DI Yogya 10.69 per 100.000 penduduk.
Rasio di Jawa Tengah,
Sulteng 11.09
Jambi 11.15
Irja Barat
Gorontal
11.92
12.56
Jawa Timur dan Banten
Sulut
Bengkulu
12.92
13.20
juga cukup rendah di
Bali 15.18 bawah rata-rata nasional.
Kalteng 16.00
Kaltim 18.23 Dengan demikian
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 walaupun secara nominal
jumlah dokter umum
sebagain besar di Jawa dan Bali, namun bila dibandingkan dengan penduduk yang harus di
layani, maka tenaga dokter di Jawa masih lebih rendah di banding daerah-daerah lain.
26
27. Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa masih
belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak penduduk
dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan.
Sebagai contoh walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat lebih tinggi lebih tinggi
dibandingkan dengan Jawa Timur, tetapi karena penyebaran penduduk yang tidak merata,
jarak, kendala geografis, dan sarana transportasi, masih banyak penduduk yang tidak
terjangkau oleh dokter umum dengan mudah.
3. Jenis Tenaga
Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif
cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis tenaga lain
yang dapat dikatakan sebagai tenaga “langka” karena berbagai faktor, yaitu:
1. Jumlah tenaga kurang, kebutuhannya besar;
2. Lulusannya sedikit, bidangnya tidak diminati;
3. Jumlah institusi pendidikannya kurang;
4. Kualifikasi pendidikannya terbatas (D3 atau kurang);
5. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditempatkan di wilayah tertentu
kurang/tidak tersedia akibat maldistribusi (misalnya dokter spesialis di daerah
terpencil).
Contoh beberapa tenaga “langka” adalah analis kesehatan, terapis wicara,
refraksionis optisien, fisioterapis, radiographer, epidemiolog, ahli human resource
management, dan lainnya. Beberapa penyebab kelangkaan tenaga ini adalah insentif
yang tidak menarik, jenjang karir tidak jelas, pasar tidak siap, non competence based, dan
sistem informasi yang terfragmentasi.
Disamping tenaga langka tersebut, terdapat beberapa jenis tenaga baru yang belum
ditentukan kategorinya pada PP 32/1996, antara lain kesehatan dan keselamatan kerja,
hukum kesehatan, pengobat traditional, sarjana farmasi traditional, administrasi medik, dan
audiologis.
A. Ketersediaan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas
Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri dari
2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah
seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak
141.566 orang, (Lihat tabel 4.3), dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh
18,75 tenaga kesehatan.
27
28. Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional)
Rasio per
No. Jenis Jumlah
Puskesmas
1 Dokter Umum 1,18
Pegawai Negeri Sipil (PNS) 4.878
Pegawai Tidak Tetap (PTT) 4.056
2 Dokter Gigi 0,50
PNS 2.332
PTT 1.446
3 SKM 647 0,09
4 Apoteker 68 0.01
5 D-3 Kesehatan Lingkungan 2.127 0.28
6 D-3 Gizi 1.599 0.21
7 D-3 Keperawatan 6.717 0,89
8 D-3 Bidan 3.147 0.42
9 Bidan Puskesmas 15.056 1,99
10 Bidan di Desa 30.049 3,98
11 Perawat Umum 33.353 4,42
12 Perawat Gigi 4.531 0,6
13 Sanitarian 4.468 0,59
14 Pelaksana Gizi 2.966 0,39
15 Asisten Apoteker 2.815 0,37
16 Laboran
Analis 2.134 0,28
Non Analis 753 0,10
17 Lain-lain 18.424 2,44
JUMLAH 141.566 18,75
Sumber: Data Dasar Puskesmas Tahun 2004, Departemen Kesehatan
Dalam SKN 2004 dinyatakan sekurang-kurangnya Puskesmas melaksanakan enam
jenis pelayanan kesehatan tingkat dasar, yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak
serta keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit
menular, dan pengobatan dasar. Jika dilihat dari tugas pelayanan kesehatan yang harus
dilaksanakan maka tenaga kesehatan yang minimal dimiliki oleh setiap Puskesmas adalah
dokter umum, bidan, perawat, ahli gizi, sanitarian, dan asisten apoteker.
Dengan menggunakan salah satu metode perencanaan kebutuhan tenaga seperti
tercantum dalam SK Menkes No.81/Menkes/SK/I/2004, yaitu metode Daftar Susunan
Pegawai (DSP), khususnya Model DSP Puskesmas Perdesaan, maka diperoleh gambaran
bahwa untuk setiap puskesmas disarankan setidaknya terdapat 2 dokter umum, 1 dokter
gigi 1, 6 perawat umum, dan 3 bidan di puskesmas. Jika dibandingkan data tahun 2004
(Tabel 4.3) dengan rasio tenaga dokter umum (1,18), dokter gigi (0,2), perawat umum
(4,42), dan bidan (1,19), maka ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas masih
belum memadai. Untuk mencapai rasio ideal, maka jumlah dokter umum dan dokter gigi di
Puskesmas perlu ditingkatkan 2 kali lipat. Sedangkan perawat umum dan bidan di
Puskesmas perlu ditambahkan separuh dari jumlah yang telah ada.
Data distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas per propinsi juga menunjukkan
adanya kesenjangan (disparitas) antar wilayah. Permasalahan akan terlihat bila melihat
ketersediaan dokter umum di Puskesmas. Rasio dokter umum per Puskesmas penting untuk
menjadi acuan, untuk melihat sejauh mana fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak
pembangunan kesehatan masyarakat dapat berfungsi dengan baik.
28