Open data berpotensi memperbesar kesenjangan informasi
1. Open Data Berpotensi Memperbesar
Kesenjangan Informasi
Jakarta, 13 Desember 2013------Pemerintah perlu memperhatikan kesetaraan
akses informasi dalam pengambilan kebijakan open data. Demikian
disampaikan Direktur Eksekutif MediaLink Ahmad Faisol dalam diskusi deklarasi
Open Data Forum Indonesia (ODFI) di Jakarta (Jumat, 13/12). Menurutnya,
kecenderungan pemerintah Indonesia dalam menerapkan open data selama ini
berpotensi menciptakan diskriminasi akses informasi sebagai akibat adanya
kesenjangan infrastruktur teknologi informasi dan kesenjangan literasi dalam
memanfaatkan saluran-saluran informasi berbasis teknologi informasi.
Kebijakan yang ada sekarang hanya melayani sekitar 30% penduduk Indonesia
yang sudah memiliki akses terhadap teknologi informasi berbasis internet.
“Saat ini infrastruktur internet di Indonesia masih terfokus di Pulau Jawa
62,5%, Sumatera 20,31% dan 6,13% di Kalimantan. Wilayah timur Indonesia,
Maluku, Papua, dan Nusa T
enggara baru akan terlayani jaringan fber optic.
Pengguna internet juga relative terpusat di Jawa di mana 1,5 juta ISP
Subscribers berada dari 1,9 juta ISP subscribers. Bahkan di Jawa yang
memiliki infrastruktur memadai, masih ada kesenjangan terhadap akses
teknologi karena berbagai persoalan, termasuk biaya,” tambahnya.
Faisol menambahkan, Pemerintah Indonesia tidak hanya terfokus kepada
medium berbasis teknologi informasi dalam menerapkan kebijakan open data,
tapi memperhatikan saluran informasi yang mudah dipahami dan diakses oleh
masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan seluruh masyarakat Indonesia
dapat memperoleh manfaat dari kebijakan keterbukaan data yang diambil
Pemerintah Indonesia. “untuk persoalan teknologi informasi, pemerintah harus
membarengi dengan kebijakan pemerataan infrastruktur teknologi informasi
dan edukasi untuk literasi masyarakat dan aparat pemerintah memanfaatkan
saluran infomasi tersebut,” imbuh Faisol.
Dia juga menyoroti agar kebijakan open data juga menyentuh program
layanan jaminan sosial seperti jaminan kesehatan. Kesenjangan informasi
dalam bentuk kesenjangan infrastruktur dan literasi telah mengakibatkan
masyarakat tidak dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan,
termasuk mendapatkan manfaat proses pembangunan yang ada. Salah satu
contoh nyata akibat kesenjangan informasi ini adalah masyarakat tidak bisa
berpartisipasi pada penentuan peserta bebas iuran (PBI) dalam SJSN
Kesehatan yang akan diberlakukan Januari 2014,” jelas Faisol.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif YAyasan TIFA Irman G Lanti
menyoroti kesenjangan informasi dari persoalan kelambanan implementasi UU
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Implementasi UU KIP selama 3 tahun
tidak mengalami kemajuan yang signifkan terutama di tingkat daerah yang
hanya mencapai 50 persen tahun 2013 yang memiliki PPID. Tidak
mengherankan jika inisiatif semacam pemanfaatan teknologi belum banyak
menyentuh dan bermanfaat bagi masyarakat di daerah terutama di luar
Jawa. “Keprihatinan ini juga yang menjadi dasar dari dukungan Tifa pada
inisiatif masyarakat sipil seperti Open Data Forum Indonesia yang
2. mengedepankan akses informasi sebagai perspektif, “ tambah Irman G. Lanti.
Review seluruh regulasi yang berpotensi menghambat akses informasi
Lebih lanjut, penggagas Open Data Forum Indonesia (ODFI) juga meminta
pemerintah mereview regulasi yang berpotensi untuk menghambat akses
informasi public dan pemerintahan terbuka. Setidaknya ada dua regulasi yang
dalam pandangan MediaLink dapat menghambat akses informasi public.
Pertama, keberadaan UU Organisasi Masyarakat (UU Ormas). Aturan ini
memberi persyaratan agar CSO mendaftarkan diri kepada Kementerian Dalam
Negeri, meski pun sudah memiliki badan hukum (yayasan dan perkumpulan),
serta terdaftar pada Kementerian Hukum dan HAM. UU Ormas berpotensi
menghambat hak CSO untuk mengakses informasi public, sekaligus membatasi
kebebasan sipil untuk berserikat dan berkumpul. Dua hal yang bertentangan
dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam OGP.
Regulasi kedua adalah penerapan pasal pencemaran nama baik dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3.
Regulasi ini berpotensi menghambat kebijakan open data yang diambil
Pemerintah Indonesia karena memberi ancaman kepada public yang
melakukan akses informasi maupun melayangkan pengaduan atas layanan
public, potensi dikriminalisasi oleh pejabat yang diadukan. Saat ini, kasus
kriminalisasi pengguna internet berbasis pasal pencemaran nama baik di UU
ITE relative meningkat.
Open Data Forum Indonesia (ODFI) merupakan inisiatif masyarakat sipil untuk
memastikan kebijakan open data pemerintah Indonesia dapat bermanfaat bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Forum ini dideklarasikan oleh MediaLink, INFID,
IBC, ICW, ICJR, ICEL, dan INFEST, dengan tujuan memunculkan pengetahuan
tentang open data yang tidak sekedar perspektif teknologi. Untuk itu Open
Data Forum akan membuat medium diskusi antara individu-individu dan
organisasi yang bekerja dengan open data dari beragam perspektif, legal,
media, teknologi maupun pengembangan komunitas. ODF secara rutin akan
mengeluarkan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah agar pemanfaatan open
data dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.