Tiga perbedaan utama antara APBN 2013 dan RAPBN 2014 adalah: (1) pendapatan negara diperkirakan naik 10,7% menjadi Rp1,6 triliun pada 2014, (2) belanja negara juga naik 5,2% menjadi Rp1,8 triliun pada 2014, dan (3) defisit anggaran turun menjadi 1,49% PDB pada 2014 dari 2,38% pada 2013.
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
Beberapa rincian tentang apbn 2013
1. Beberapa Rincian Tentang APBN 2013
7 CIRI MENONJOL (KHAS) APBN 2013 :
1. Pendapatan negara meningkat lebih cepat daripada belanja negara komitmen
untuk memperkuat kemandirian APBN;
2. Peningkatan belanja modal, terutama untuk infrastruktur bukti kuatnya komitmen
untuk meningkatkan kualitas belanja;
3. Peniadaan Pasal Larangan Penyesuaian Harga BBM dan Pengendalian Subsidi
Listrik komitmen kuat pemberian fleksibilitas dan deskresi kepada Pemerintah
untuk meningkatkan efisiensi anggaran subsidi energi;
4. Transfer ke Daerah meningkat lebih cepat dari Belanja Pemerintah Pusat
menunjukkan besarnya perhatian Pemerintah untuk percepatan pembangunan
daerah, memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pemerataan
pembangunan;
5. Defisit menurun bukti kuatnya komitmen untuk menjaga kesinambungan fiskal
dan menjaga kesehatan APBN;
6. Pengutamaan Pembiayaan Dalam Negeri meneguhkan tekad membangun dengan
kekuatan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada luar negeri;
7. Sarat langkah-langkah antisipasi ketidakpastian ekonomi global dengan pasal-
pasal antisipasi krisis dalam UU APBN 2013.
Berikut disampaikan pokok-pokok yang tertuang dalam APBN-P 2013 sebagaimana
disampaikan:
1. Asumsi dasar makro ekonomi 2013, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen,
inflasi 7,2 persen, nilai tukar Rp9.600/dollar AS.
2. Tingkat suku bunga SPN tiga bulan 5,0 persen, harga minyak Indonesia
USD108 per barel dan lifting gas 1.240 barel per hari.
3. konsumsi BBM sebesar 48,0 juta kiloliter, Rumah Tangga Sasaran (RTS)
Raskin dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebanyak 15,5
juta.
4. Untuk postur APBN-P 2013, pendapatan negara diperkirakan mencapai
Rp1.502 triliun, atau turun Rp27,7 triliun dari target APBN 2013 sebesar
Rp1.629,7 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PNBP Rp349,2 triliun,
penerimaan pajak Rp1.148 triliun, dan penerimaan hibah Rp4,5 triliun.
2. 5. Untuk belanja negara RP1.762,2 triliun, terdiri dari belanja pusat Rp1.196
triliun atau naik Rp42,4 triliun dari pagi APBN 2013 sebesar Rp1.154,4 triliun,
dan transfer ke daerah Rp529,4 triliun.
6. Terjadi defisit anggaran sebesar Rp224,2 triliun (2,38 persen), lebih besar dari
APBN 2013 sebesar Rp153,3 triliun (1,65 persen). Pembiayaan anggaran
diperkirakan mencapai Rp224,2 triliun, yang bersumber dari dari antara lain
tambahan pemanfaatan SAL Rp20,0 triliun, SBN Neto Rp51,4 triliun, dan
penarikan pinjaman program Rp4,6 triliun.
7. Kenaikan belanja pemerintah pusat dipengaruhi empat hal. Pertama, kenaikan
subsidi BBM dan subsidi listrik akibat perubahan asumsi makro dan
peningkatan subsidi menjadi 48 juta kiloliter. Kedua, pelaksanaan Program
Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) sebesar Rp12,5 triliun,
yang meliputi Program Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga
Harapan (PKH), dan program tambahan penyaluran beras untuk masyarakat
miskin (Raskin); Yang ketiga, pelaksanaan Program Khusus, yang terdiri atas
pemberian BLSM Rp9,3 triliun untuk 15,5 juta RTS selama 4 bulan sebesar
Rp150.000, serta safeguarding BLSM Rp360,0 miliar dan Program
Infrastruktur Dasar Rp7.250 miliar. Terakhir atau keempat, pemotongan
anggaran belanja K/L sebesar Rp13.202,6 miliar dan penyesuaian anggaran
pendidikan sehingga menjadi Rp345,3 triliun (20,01 persen).
Beberapa rincian tentang RAPBN 2014
Berikut data lengkap RAPBN dan asumsi-asumsinya:
1. Anggaran Penerimaan: Rp 1.662,5 Triliun (naik 10,7% dari 2013 Rp 1.502,0
triliun)
2. Anggaran Belanja: Rp 1.816,7 triliun (naik 5,2% dari 2013 Rp 1.726,2 triliun)
3. Penerimaan pajak: Rp 1.310,2 triliun (naik 14,1 persen dari 2013 Rp 1.148,4
triliun)
4. Defisit Anggaran: Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB, turun
dibanding APBNP 2013 yang mencapai 2,38 persen dari PDB.
5. Pertumbuhan ekonomi: 6,4 persen (naik dari 2013 sebesar 6,3%)
6. Laju inflasi: kisaran 4,5 persen (turun dari APBN-P 2013 7,2%)
3. 7. Nilai tukar rupiah: Rp 9.750 per dolar AS (naik dari 2013 sebesar Rp 9.600)
8. Rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan: 5,5 persen
(naik dari 2013 sebesar 5%)
9. Harga minyak mentah Indonesia (ICP): US$ 106 per barel (turun dari 2013
sebesar US$ 108 per barel)
10. Lifting minyak mentah: 870 ribu barel per hari (naik dari 2013 sebesar 840 ribu
barel per hari)
11. Lifting gas bumi: 1.240 ribu barel setara minyak per hari (sama seperti target
2013)
12. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada akhir tahun 2014: 22-23 persen.
Analisis APBN 2013 Terhadap RAPBN 2014
Bila dilihat dari sisi Pendapatan. Pendapatan Indonesia dari tahun 2013 sampai
tahun 2014 dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
mengalami kenaikan tercatat pendapatan pada tahun 2013 mencapai Rp1.502 triliun
dan diharapkan meningkat pada tahun selanjutnya, menjadi Rp 1.662,5 Triliun pada
tahun 2014. Perpajakan masih menjadi primadona bagi pendapatan negara,
penerimaan negara berasal dari sektor perpajakan. Tercatat penerimaan dari sektor
perpajakan selalu meningkat tiap tahunnya sehingga menyebabkan peningkatan
pendapatan negara Indonesia, pada 2013 pendapatan dari sektor pajak sebesar
Rp1.148 triliun atau pada rancangan 2014 sebesar Rp 1.310,2 triliun.
Jika kita cermati lebih dalam dari rincian APBN, dapat kita temukan bahwa
pendapatan dari sektor pajak paling besar diberikan oleh PPh Nonmigas. 513.509,0
milyar rupiah pada tahun 2013 Sedangkan sektor yang memberikan pendapatan paling
sedikit berasal sari sektor perikanan, sektor tersebut hanya menyumbang 180,0 milyar
rupiah pada 2013. Hal tersebut sungguh ironis dan membuat miris, mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki perairan yang sangat luas,
namun dalam kenyataannya hanya menghasilkan pendapatan yang bisa dibilang
sangat kecil bagi negara yang memiliki perairan yang sangat luas. Hal tersebut
mengindikasikan ada yang salah dalam pengelolaan sektor perikanan di Indonesia.
Pendapatan yang sangat besar dari sektor perpajakan tidak sepatutnya dinodai oleh
para pelayan pajak yang melakukan korupsi, seperti kasus Gayus Tambunan CS.
4. Karena hal tersebut dapat menjadikan kepercayaan masyarakat menurun terhadap
negara untuk memberikan uangnya bagi sektor perpajakan, mereka tidak mau uang
yang mereka setorkan untuk pajak tidak masuk ke kas negara malah masuk ke saku-
saku oknum-oknum pegawai pajak yang korup. Terlepas dari hal diatas, sebenarnya
negara masih bisa mendapatkan pendapatan yang lebih besar dari sektor pajak, karena
potensi pajak negara Indonesia dengan 250 juta penduduknya sangat besar, namun
demikian masih sangat banyak warga negara Indonesia yang kesadarannya untuk
membayar pajak minim, hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, agar
pendapatan yang dihasilkan dari sektor perpajakan bisa melambung tinggi jauh lebih
tinggi dari pendapatan sekarang ini. Belanja negara juga mengalami peningkatan
setiap tahunnya seperti pendapatan negara, tercatat pada 2013 RP1.762,2 triliun terdiri
dari belanja pusat Rp1.196 triliun atau naik Rp42,4 triliun dari pagi APBN 2013
sebesar Rp1.154,4 triliun, dan transfer ke daerah Rp529,4 triliun. Sedangkan untuk
RAPBN 2014 Anggaran Belanja Rp 1.816,7 triliun (naik 5,2% dari 2013 Rp 1.726,2
triliun). Bila dibandingkan APBN 2013 kenaikan belanja pemerintah pusat
dipengaruhi empat hal yang terdiri dari kenaikan subsidi BBM dan subsidi listrik.
Kedua, pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S)
sebesar Rp12,5 triliun, yang meliputi Program Bantuan Siswa Miskin (BSM),
Program Keluarga Harapan (PKH), dan program tambahan penyaluran beras untuk
masyarakat miskin (Raskin); Yang ketiga, pelaksanaan Program Khusus, yang terdiri
atas pemberian BLSM Rp9,3 triliun untuk 15,5 juta RTS selama 4 bulan sebesar
Rp150.000, serta safeguarding BLSM Rp360,0 miliar dan Program Infrastruktur
Dasar Rp7.250 miliar. Terakhir atau keempat, pemotongan anggaran belanja K/L
sebesar Rp13.202,6 miliar dan penyesuaian anggaran pendidikan sehingga menjadi
Rp345,3 triliun (20,01 persen). Dibandingkan RAPBN 2014 pemerintah masih
mempertahankan perkembangan import minyak dan gas yang tidak bisa ditinggalkan.
Bila kita membandingkan APBN 2013 dengan RAPBN 2014, tampak terlihat
perbedaan dalam mengambil keputusan di beberapa sektor. Pemerintah tampak
optimistis dengan kinerja perekonomian 2014, meski anggaran 2013 saat ini kondisi
makro ekonomi sedang dalam tekanan dan mengalami pelemahan. Optimisme itu
tercermin asumsi makro ekonomi yang disampaikan pemerintah, yakni: pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,8 persen, nilai tukar rupiah Rp9.300 terhadap dolar AS, inflasi 4,9
persen, suku bunga SPN 3 bulan 5,0 persen, lifting minyak 900 ribu barel per hari dan
5. lifting gas bumi 1.360 ribu barel setara minyak per hari. Pemerintah mematok target
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, meski kondisi global masih belum menentu
sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi investasi dan pertumbuhan. Demikian
pula jika berpijak dari kondisi perekonomian saat ini, indikator ekonomi makro justru
sedang berada dalam tekanan yang dikhawatirkan secara berkelanjutan akan
berdampak terhadap ekonomi makro ekonomi 2014. Target pertumbuhan ekonomi
2013 sebesar 6,3 persen juga diperkirakan bisa tergelincir. Bank Indonesia sudah
merevisi target pertumbuhan ekonomi 2013, dari 5,9-6,3 persen menjadi 5,8-6,2
persen. Sebelumnya, Bank Dunia sudah lebih dahulu mengumumkan koreksi proyeksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari sebelumnya 6,2 persen menjadi 5,9
persen, sedangkan target dalam APBN-P 2013 sebesar 6,3 persen.
Sementara dari sisi perekonomian global, dalam World Economic Outlook
(Juni 2013) IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan negara-negara yang memiliki
pengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. China misalnya, 2013,
diperkirakan hanya tumbuh 7,8 persen dan 7,7 persen untuk 2014. Sedangkan
perekonomian Amerika diproyeksikan tahun ini tumbuh 1,7 persen dan membaik
tahun depan menjadi 2,7 persen. Sementara Eropa diprediksi masih dalam kondisi
resesi sehingga tahun ini hanya tumbuh 0,6 persen dan 0,9 persen pada 2014. Nilai
tukar rupiah yang dipatok pemerintah juga sangat optimis, sementara saat ini rupiah
sedang terkapar menyentuh Rp11.000 per dolar AS. Selain rupiah yang melemah,
inflasi juga terbang tinggi. Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir
bahwa inflasi pada bulan Juli mencapai 3,29 persen melampaui perkiraan BI sebesar
2,87 persen. Adapun inflasi tahunan pada Juli 2013 sebesar 8,61 persen melampaui
perkiraan BI sebesar 8,18 persen. Inflasi tahun ini diperkirakan akan terus berada di
atas 8 persen hingga akhir 2013 bahkan mungkin sampai Juni 2014. Bank Dunia
membuat perkiraan inflasi tahun ini sebesar 9 persen. Sementara Bank Indonesia (BI)
memperkirakan laju inflasi pada tahun ini bakal menembus angka 7,69 persen atau
jauh lebih tinggi dari target pemerintah di level 7,2 persen. Tidak hanya inflasi yang
meroket, cadangan devisa kita juga merosot, dan per 31 Juli 2013 mencapai 92,67
miliar dolar AS atau turun 5,33 miliar dolar dibanding posisi akhir Juni 2013 yang
mencapai sebesar 98,10 miliar dolar AS. Pemerintah juga harus memberikan
perhatian terhadap iklim investasi, sebab kondisi ekspor sedang melemah. Pemerintah
juga harus mencermati peranan ekspor yang akhir-akhir ini ternyata sudah mengalami
6. defisit, karena nilai impor yang terus naik. Konsumsi pemerintah dan swasta
diharapkan dapat mendorong gerbong ekonomi pada 2014. Target pertumbuhan yang
cukup tinggi, memang diharapkan bisa tercapai, namun kita juga berharap
pertumbuhan ekonomi tersebut, selain realistis juga berkualitas yang bisa mendorong
membaiknya kualitas pembangunan.
Selain dari sisi makro ekonomi, sisi lain yang perlu di cermati adalah sejauh
mana anggaran mampu menjadi alat politik atau instrumen untuk mengatur
pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta
prioritas pembangunan secara umum. Postur anggaran negara memang terus
meningkat. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2014
pendapatan negara direncanakan mencapai Rp1.662,5 triliun. Jumlah ini naik 10,7
persen dari target pendapatan negara pada APBN-P 2013 sebesar Rp1.502 triliun.
Anggaran belanja negara dalam RAPBN 2014 juga mengalami kenaikan, yang
direncanakan mencapai Rp1.816,7 triliun atau naik 5,2 persen dari pagu belanja
negara dalam APBN-P 2013 sebesar Rp1.726,2 triliun. Dari anggaran pendapatan
negara sebesar Rp1.662,5 triliun, penerimaan perpajakan direncanakan mencapai
Rp1.310,2 triliun naik 14,1 persen dari target dalam APBN-P 2013 sebesar Rp1.148,4
triliun. Dengan total penerimaan perpajakan sebesar Rp1.310,2 triliun maka rasio
penerimaan perpajakan terhadap PDB atau tax ratio mengalami peningkatan dari 12,2
persen di 2013 menjadi 12,6 persen di 2014. Meskipun penerimaan perpajakan naik,
tetapi itu adalah kenaikan yang paling rendah selama tiga tahun terakhir. Padahal
dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen dan PDB
kita juga terus naik. Dengan demikian, sistem perpajakan kita masih belum banyak
mengalami kemajuan.
Sisi lain yang harus dicermati dalam RAPBN 2014 adalah peningkatan belanja
negara masih didominasi oleh belanja nonproduktif seperti tersandera kepentingan
birokrasi, beban pembayaran utang pokok, beban bunga dan cicilan utang serta beban
subsidi. Dalam RAPBN 2014, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp636,4 triliun
untuk belanja subsidi dan pembayaran bunga utang. Ini adalah mencapai hampir
sepertiga dari total anggaran. Sementara itu alokasi anggaran belanja pegawai dalam
RAPBN 2014 mencapai Rp276,7 triliun atau meningkat 18,8 persen dari tahun
7. sebelumnya. Peningkatan ini jauh melampaui peningkatan penerimaan negara yang
hanya meningkat 10,7 persen. Belanja nonproduktif seperti anggaran birokrasi, beban
pembayaran utang pokok, bunga dan cicilan utang serta beban subsidi, sudah menyita
hampir sebagian besar anggaran negara kita. Padahal pos-pos tersebut tidak memiliki
pengaruh yang signifikan dalam pergerakan ekonomi dibandingkan dengan belanja
modal, yang dalam RAPBN 2014 hanya dialokasikan sebesar Rp205 triliun naik
sebesar 6.9 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan besarnya belanja
nonproduktif tersebut maka alokasi anggaran untuk investasi tidak mendapat porsi
yang proporsional. Salah satu fungsi anggaran negara untuk menciptakan pemerataan
adalah melalui anggaran yang di daerahkan (dana transfer daerah). Penajaman
prioritas dan efektivitas anggaran negara yang di daerahkan perlu dilakukan. Sebab
peningkatan dana transfer daerah masih belum diikuti dengan membaiknya
kesejahteraan masyarakat daerah. Transfer daerah dalam tahun anggaran 2014 di
rencanakan mencapai Rp584,4 triliun yang terdiri dari dana perimbangan mencapai
Rp481,8 triliun dan dana otonomi khusus dan penyesuaian masing-masing sebesar
Rp16,2 triliun dan Rp87,9 triliun. Penajaman prioritas dan efektivitas anggaran yang
di daerahkan juga sangat penting, terutama dana bagi hasil, dana otsus Papua dan
Aceh, dan postur anggaran daerah yang kurang mendukung peningkatan kesejahteraan
rakyat. Selain itu, masih terdapat 181 Kabupaten tertinggal yang apabila tidak ada
dukungan alokasi pembangunan infrastruktur maka daerah ini akan semakin
tertinggal. Komitmen pemerintah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah masih
rendah. Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi DAK kurang
mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat. Padahal hal ini
diamanatkan oleh UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 108. Kebijakan yang diambil pemerintah untuk
meningkatkan kapasitas fiskal daerah khususnya daerah tertinggal masih kurang
optimal. Sejak 2009 sampai 2013, anggaran tidak terserap mencapai Rp180 triliun.
Sedangkan daerah begitu sulitnya mendapatkan alokasi anggaran untuk mempercepat
pembangunan di daerah.