SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
Cerpen B.Indonesia




         Nama: Altafiyani Rahmatika
         Kelas : IX D
Puisi Untuk Ibu
      Teriknya mentari dan hembusan angin bercampur debu melengkapi hari yang melelahkan
ini. Bel pulang sekolah berbunyi, membuat anak-anak berhamburan keluar kelas. Melihat
keadaan di luar, anak-anak menjadi malas pulang. Mereka lebih memilih untuk menunggu di
sekolah sampai sore nanti. Tetapi ada juga yang tidak ingin di sekolah lebih lama lagi. Seperti
halnya gadis remaja itu. Ia melangkahkan kakinya keluar kelas menuju pintu gerbang
sekolahnya sambil menggendong tas dan membawa beberapa buku di tangannya.

    “Rifa, kamu sudah pulang?” tanya seorang wanita paruh baya ketika Rifa memasuki
rumahnya. Wanita itu ternyata ibunya Rifa.

     “Sudah, Bu.” jawab Rifa singkat sambil mencium tangan ibunya. Ia lalu bergegas mandi
dan berganti pakaian. Panas mentari yang menyengatnya sewaktu jalan kaki tadi membuat
seragamnya basah oleh keringat.

      Setelah mandi dan berganti pakaian, ia berjalan menuju kamar tidurnya. Ia rebahkan
tubuhnya di atas kasur dan perlahan-lahan kedua kelopak matanya mulai menutup. Sekilas ia
teringat ayahnya. Ayahnya yang sudah lama pergi entah kemana. Sampai sekarang pun ia tidak
pernah tahu dimana ayahnya berada. Ia tidak tahu apa-apa karena dulu ia masih berumur dua
tahun. Yang ia tahu hanya wajahnya saja, itu pun karena foto yang diberi ibunya. Saat ia
bertanya keberadaan ayahnya, ibunya hanya menjawab bahwa ayahnya pergi ke tempat yang
sangat jauh untuk bekerja. Apakah harus seperti itu? Rela meninggalkan keluarganya sendiri
demi pekerjaan dan tak pernah kembali.

     Tiba-tiba Rifa ingat bahwa tiga hari lagi ibunya ulang tahun. Ia langsung membuka kedua
kelopak matanya dan beranjak dari tempat tidur. Ia duduk di kursi dekat meja belajarnya.
Memikirkan kado terindah untuk orang yang paling berharga dalam hidupnya. Pikirannya pun
mulai melayang jauh. Tatapan matanya menuju langit-langit ruangan itu. Jemari tangan
kanannya menopang dagunya. Sesekali ia memandang lukisan-lukisan hasil karyanya yang
ditempel di dinding. Lukisan? Itu sudah biasa. Ia ingin yang beda dari tahun-tahun sebelumnya.

      Setelah lama berpikir, Rifa baru ingat. Di sekolah, ia tadi belajar puisi saat pelajaran
Bahasa Indonesia. Sempat terlintas di benaknya, ia akan buat puisi untuk ibunya. Tetapi, ia
tidak ahli membuat puisi. Ia lalu mendapat ide. Besok, ia akan meminta pada Neza, temannya
yang pintar membuat puisi.

     Keesokan harinya, disambut dengan tetesan embun yang sejuk, burung-burung yang
berkicau, dan mentari yang bersinar cerah, Rifa berangkat sekolah. Ia mengiringi langkah
kakinya dengan senandung kecil dari mulutnya. Bunga-bunga dan rerumputan hijau di sisi jalan
seakan menari-nari mendengar alunan melodi dari mulut Rifa. Ia memang berbakat dalam
bidang melukis dan tarik suara.

     “Neza!” panggil Rifa saat ia mulai melangkahkan kaki ke dalam kelas. Rupanya ia
melihat Neza sedang duduk di bangku paling depan.
“Ada apa?” tanya Neza heran. Panggilan Rifa yang keras dan tiba-tiba itu nyaris membuat
detak jantungnya berhenti.

       “Nih, buatkan aku puisi!” pinta Rifa tersenyum sambil menyodorkan secarik kertas dan
pensil yang sudah ia siapkan dari rumahnya.

     “Puisi? Untuk apa?” tanya Neza bingung melihat temannya yang antusias meminta
dibuatkan sebuah puisi. Padahal hari itu tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia.

      “Dua hari lagi ibuku ulang tahun. Seperti biasa, aku ingin memberinya hadiah spesial.
Maka itu, aku ingin memberinya sebuah puisi. Kamu kan ahli buat puisi, jadi buatkan aku puisi
tentang ibu, ya?” pinta Rifa lagi. Namun saat ini wajahnya memelas.

     “Asal kamu tahu, ibumu akan lebih bangga kalau puisi yang kamu beri itu hasil karyamu
sendiri. Kamu pasti bisa kalau kamu tulus membuat puisi itu. Apalagi kalau puisi itu untuk
orang yang paling berharga dalam hidupmu. Maaf, bukannya aku tidak mau membantu. Tetapi
alangkah baiknya jika puisi itu kamu buat sendiri sesuai dengan ungkapan hati kamu.” ujar
Neza sambil mengembalikan kertas dan pensil milik Rifa.

     Bel masuk berbunyi. Rifa yang tadinya terdiam mendengar kata-kata Neza, langsung
bergegas menuju bangkunya sendiri. Kata-kata Neza membuatnya malu. Benar juga apa kata
Neza, lebih baik ia membuat puisi sendiri.

      Detik demi detik telah berlalu. Rifa masih bingung mencari kata-kata yang pas untuk
puisinya. Ungkapan hati kepada ibunya terlalu banyak dan tidak akan mungkin semuanya ia
tulis. Yang ia inginkan seluruh ungkapan hatinya itu dibuat menjadi beberapa kalimat
sederhana, tersusun dalam beberapa bait, dan menjadi sebuah puisi.

     Hari ini dan hari esok, tepat satu hari lagi ibu Rifa ulang tahun. Ia cemas karena ia baru
membuat enam kalimat. Itu pun ia buat dengan susah payah. Ia rela menguras pikirannya hanya
karena puisi itu.

    “Ah, dapat! Dapat satu kalimat lagi!” ucap Rifa tersenyum puas saat jam istirahat . Lalu
menuliskan sesuatu di buku catatannya. Teman-teman sekelasnya hanya melihat kebingungan.
Sementara Rifa terus menulis kata-kata yang baru saja melintas di pikirannya.

      Dimanapun dan kapanpun, itulah Rifa. Tidak peduli waktu dan tempat. Yang penting,
puisinya cepat selesai dan pada waktunya nanti, puisinya itu siap diberikan kepada ibunya.
Idenya memang selalu muncul secara tiba-tiba dan tidak mengenal waktu. Saat belanja di
warung, jam istirahat sekolah, bangun tidur, saat makan, bahkan saat mandi pun ia bisa
menemukan ide. Tidak harus duduk berdiam diri di kamarnya lagi.

     Waktunya tiba, perasaan Rifa menjadi tidak karuan. Pagi tadi ia berpura-pura tidak ingat
ulang tahun ibunya. Ia berencana akan mengucapkan selamat ulang tahun pada ibunya saat ia
pulang sekolah, beserta puisi yang telah ia buat. Ia ingin membuat sebuah kejutan. Kejutan yang
menurutnya cukup istimewa.
Sesampainya di rumah, ibunya sudah berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak cemas.
Saat melihat Rifa, ibunya langsung mendekati Rifa.

    “Rifa, saat ini juga Ibu mohon. Tolong kamu temui ayahmu! Ini alamatnya.” pinta ibunya
cemas sambil menyodorkan kertas kecil berisi tulisan.

      “Temui ayah? Untuk apa? Bukankah ayah telah meninggalkan kita selama 12 tahun dan
tidak pernah kembali lagi? Ayah tidak sayang kepada kita. Ayah tidak tanggung jawab. Tetapi
kenapa Ibu menyuruhku menemuinya sekarang juga? Sampai kapanpun, aku tidak pernah
mengakui dia ayahku!” jawab Rifa ketus. Rifa menjadi lupa rencana membuat kejutan untuk
ibunya.

     “Kamu tidak boleh seperti itu! Bagaimanapun juga dia ayahmu. Tanpanya, kamu tidak
akan ada di dunia ini. Kamu harus tetap menghormatinya, Nak. Tadi Ibu ditelepon bahwa
ayahmu sedang sakit. Ia ingin sekali bertemu denganmu. Kasihanilah ayahmu! Kamu jangan
menjadi anak durhaka.” pinta ibunya lagi.

     “Mengapa Ibu tidak mengerti perasaanku? Ternyata Ibu sama seperti ayah. Tidak peduli
dengan aku. Aku tidak mau bertemu Ibu lagi!” ucap Rifa sambil berlari menjauhi rumahnya.
Tidak disadari, butiran air matanya mulai membasahi pipinya.

      “Tunggu, Nak! Jangan pergi!” ibunya langsung mengejar Rifa setelah melihat anaknya
pergi.

     Rifa terus berlari tanpa tujuan yang pasti. Ia tidak tahu harus kemana. Ia sedih karena
sudah tidak ada lagi yang mengerti perasaannya. Ia tidak mempedulikan air matanya yang terus
menetes dan teriakan ibunya. Pokoknya, ia tidak mau bertemu ibunya lagi.

     “Nak, awas!” tiba-tiba ibunya berteriak dari kejauhan.

      Tak ada yang bisa dicegah. Semuanya terjadi begitu cepat. Begitu juga dengan kecelakaan
itu. Rupanya, Rifa tidak sadar bahwa tadi ia telah berlari sampai ke jalan raya. Pikiran dan
perasaannya sedang hancur. Karena itu ia tidak peduli keadaan di sekelilingnya. Rifa tergeletak
di jalan dan tak sadarkan diri. Benturan keras di kepalanya membuat darah tak henti-hentinya
mengalir. Orang-orang yang melihat kejadian itu langsung berlari mengerumuni Rifa. Ibunya
langsung berlari dan menerobos orang-orang yang sedang berkerumun itu.

     “Riiffaaaaa!!!! Maafkan Ibu, Nak!!” teriak ibunya keras sekali. Ia tidak berhenti
menangis. Menangisi putri semata wayangnya. Hanya Rifa satu-satunya harta yang paling
berharga dalam hidupnya.

     Lima hari kemudian, setelah Rifa dimakamkan, ibu Rifa menemukan sebuah amplop di
bawah bantal tempat tidur Rifa. Di bagian depan amplop itu tertulis “Selamat Ulang Tahun
Ibu”. Ibunya tersenyum kaku membaca tulisan putrinya itu. Lalu perlahan ia buka isinya.
Terdapat selembar kertas berisi tulisan. Ibu Rifa pun membaca isi tulisan itu.
Ibuku tersayang, ku harap ibu menerima hadiah ini. Ku harap, ibu tidak melihat
wujudnya, tetapi lihat ketulusan Rifa memberi hadiah ini. Aku berusaha membuat sesuatu yang
terbaik, yang dapat membuat ibu bangga. Hanya ini yang dapat Rifa beri. Sebuah puisi.

                                         Untukmu Ibu

           Terdiam menunduk sepi

           Terbayang banyak jasamu

           Aku tak tahu

           Balasan apa yang sesuai untukmu

                                              Ketika ayah tak lagi di sisiku

                                              Engkau merangkulku

                                              Pelukan hangatmu

                                              Buatku lupa rasa amarah

           Kau seperti mentari di pagi hari

           Cahayanya membawa kehidupan

           Kau seperti rembulan di malam hari

           Bersinar terang dalam kegelapan

                                              Goresan puisi ini belum tentu indah

                                              Namun ku hanya ingin

                                              Melihatmu tersenyum bahagia

                                              Sebelum aku atau kau tiada



     Itulah puisi karyaku. Aku ingin ibu selalu ingat puisi ini.



    Tak sengaja air mata mulai membasahi pipi ibu Rifa. Ia tak kuasa menahan tangis ketika
membaca puisi hasil karya putrinya yang paling ia cintai. Sungguh itu puisi yang sangat indah
menurutnya. Namun sayang, kini putrinya itu telah tiada.
Puisi untuk ibu

More Related Content

What's hot

Resensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh Bobo
Resensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh BoboResensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh Bobo
Resensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh BoboAgnes Yodo
 
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non FiksiBahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non FiksiDayana Florencia
 
Drama sekolah 10 orang (complit)
Drama sekolah 10 orang  (complit)Drama sekolah 10 orang  (complit)
Drama sekolah 10 orang (complit)Nafiun Naja
 
Contoh teks drama bahasa inggris
Contoh teks drama bahasa inggrisContoh teks drama bahasa inggris
Contoh teks drama bahasa inggrisSuciramadhana
 
Kumpulan puisi dan unsur intrinsiknya
Kumpulan puisi dan unsur intrinsiknyaKumpulan puisi dan unsur intrinsiknya
Kumpulan puisi dan unsur intrinsiknyaUtami Trianti
 
Analisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
Analisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsikAnalisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
Analisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsikttanitaaprilia
 
Sebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatan
Sebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatanSebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatan
Sebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatanOperator Warnet Vast Raha
 
Tugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari Surga
Tugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari SurgaTugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari Surga
Tugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari SurgaMitha Ye Es
 
Rumah adat di indonesia
Rumah adat di indonesiaRumah adat di indonesia
Rumah adat di indonesiaMahda Leni
 
Ulasan Novel BULAN
Ulasan Novel BULANUlasan Novel BULAN
Ulasan Novel BULANKarinaAlya1
 
Biografi r
Biografi rBiografi r
Biografi rYUNIANI
 

What's hot (20)

Ra kartini
Ra kartiniRa kartini
Ra kartini
 
Resensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh Bobo
Resensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh BoboResensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh Bobo
Resensi cerpen "Sahabat" diterbitkan oleh Bobo
 
Tugas Biografi kartini
Tugas Biografi kartiniTugas Biografi kartini
Tugas Biografi kartini
 
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non FiksiBahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
 
Cerita danau toba
Cerita danau tobaCerita danau toba
Cerita danau toba
 
Drama sekolah 10 orang (complit)
Drama sekolah 10 orang  (complit)Drama sekolah 10 orang  (complit)
Drama sekolah 10 orang (complit)
 
Naskah drama
Naskah dramaNaskah drama
Naskah drama
 
Contoh teks drama bahasa inggris
Contoh teks drama bahasa inggrisContoh teks drama bahasa inggris
Contoh teks drama bahasa inggris
 
Kumpulan puisi dan unsur intrinsiknya
Kumpulan puisi dan unsur intrinsiknyaKumpulan puisi dan unsur intrinsiknya
Kumpulan puisi dan unsur intrinsiknya
 
Analisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
Analisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsikAnalisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
Analisis drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
 
Sebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatan
Sebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatanSebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatan
Sebuah permusuhan berakhir dengan sebuah persahabatan
 
Tugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari Surga
Tugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari SurgaTugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari Surga
Tugas resensi dan analisis Novel Bidadari-bidadari Surga
 
Hukum ohm
Hukum ohmHukum ohm
Hukum ohm
 
Drama Bahasa Jawa
Drama Bahasa JawaDrama Bahasa Jawa
Drama Bahasa Jawa
 
Puisi ibu
Puisi ibuPuisi ibu
Puisi ibu
 
Rumah adat di indonesia
Rumah adat di indonesiaRumah adat di indonesia
Rumah adat di indonesia
 
Ulasan Novel BULAN
Ulasan Novel BULANUlasan Novel BULAN
Ulasan Novel BULAN
 
Drama 6 orang
Drama 6 orangDrama 6 orang
Drama 6 orang
 
Biografi r
Biografi rBiografi r
Biografi r
 
Cerkak (Cerita Cekak) Sepatu Anyar
Cerkak (Cerita Cekak) Sepatu AnyarCerkak (Cerita Cekak) Sepatu Anyar
Cerkak (Cerita Cekak) Sepatu Anyar
 

Viewers also liked

Viewers also liked (20)

Kumpulan 30 puisi tentang wanita
Kumpulan 30 puisi tentang wanitaKumpulan 30 puisi tentang wanita
Kumpulan 30 puisi tentang wanita
 
Kumpulan Puisi Sekolahku
Kumpulan Puisi SekolahkuKumpulan Puisi Sekolahku
Kumpulan Puisi Sekolahku
 
Puisi untuk ibu
Puisi untuk ibuPuisi untuk ibu
Puisi untuk ibu
 
Puisi ibu
Puisi ibuPuisi ibu
Puisi ibu
 
Puisi guru
Puisi guruPuisi guru
Puisi guru
 
Ibu tercinta
Ibu tercintaIbu tercinta
Ibu tercinta
 
Puisi seorang anak untuk ibu
Puisi seorang anak untuk ibuPuisi seorang anak untuk ibu
Puisi seorang anak untuk ibu
 
Slide Kumpulan Puisi - Puisi
Slide Kumpulan Puisi - PuisiSlide Kumpulan Puisi - Puisi
Slide Kumpulan Puisi - Puisi
 
Puisi
PuisiPuisi
Puisi
 
Desaku yang ku rindu
Desaku yang ku rinduDesaku yang ku rindu
Desaku yang ku rindu
 
Kumpulan puisi nedi suryadi
Kumpulan puisi nedi suryadiKumpulan puisi nedi suryadi
Kumpulan puisi nedi suryadi
 
Puisi Narkoba
Puisi NarkobaPuisi Narkoba
Puisi Narkoba
 
Teruntuk Ibuk Tercinta
Teruntuk Ibuk TercintaTeruntuk Ibuk Tercinta
Teruntuk Ibuk Tercinta
 
1000 puisi kehidupan
1000 puisi kehidupan1000 puisi kehidupan
1000 puisi kehidupan
 
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
Tugas bahasa indonesia menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi AKU ...
 
Ibu
IbuIbu
Ibu
 
Kaum2 Yang Telah Dibinasakan
Kaum2 Yang Telah DibinasakanKaum2 Yang Telah Dibinasakan
Kaum2 Yang Telah Dibinasakan
 
Seteguk puisi untuk dahagamu ibu
Seteguk puisi untuk dahagamu ibuSeteguk puisi untuk dahagamu ibu
Seteguk puisi untuk dahagamu ibu
 
Syair wasiat ayahanda siti zawiyah
Syair wasiat ayahanda siti zawiyahSyair wasiat ayahanda siti zawiyah
Syair wasiat ayahanda siti zawiyah
 
Power point
Power pointPower point
Power point
 

Similar to Puisi untuk ibu

Similar to Puisi untuk ibu (20)

Cerpen robithulislam mia 4 29
Cerpen robithulislam mia 4 29Cerpen robithulislam mia 4 29
Cerpen robithulislam mia 4 29
 
Kertas pena by cmoot
Kertas pena by cmootKertas pena by cmoot
Kertas pena by cmoot
 
Cerpen jangan pergi
Cerpen jangan pergiCerpen jangan pergi
Cerpen jangan pergi
 
Cerpen Jangan Pergi
Cerpen Jangan PergiCerpen Jangan Pergi
Cerpen Jangan Pergi
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
 
Cinta dan tahajud terakhirku satu
Cinta dan tahajud terakhirku satuCinta dan tahajud terakhirku satu
Cinta dan tahajud terakhirku satu
 
Cinta dan tahajud terakhir
Cinta dan tahajud terakhirCinta dan tahajud terakhir
Cinta dan tahajud terakhir
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Cintaku berlabuh di mesir
Cintaku berlabuh di mesirCintaku berlabuh di mesir
Cintaku berlabuh di mesir
 
Sebatang pen
Sebatang penSebatang pen
Sebatang pen
 
Adore you, my brother chapter 1
Adore you, my brother chapter 1Adore you, my brother chapter 1
Adore you, my brother chapter 1
 
Gadis pemetik jamur (yetti a ka)
Gadis pemetik jamur (yetti a ka)Gadis pemetik jamur (yetti a ka)
Gadis pemetik jamur (yetti a ka)
 
Gadis pemetik jamur (yetti a ka)
Gadis pemetik jamur (yetti a ka)Gadis pemetik jamur (yetti a ka)
Gadis pemetik jamur (yetti a ka)
 
Arti sebuah kata
Arti sebuah kataArti sebuah kata
Arti sebuah kata
 
The hardest word
The hardest wordThe hardest word
The hardest word
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuh
 
Rembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata IbuRembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata Ibu
 
BAB 1.docx
BAB 1.docxBAB 1.docx
BAB 1.docx
 

Puisi untuk ibu

  • 1. Cerpen B.Indonesia Nama: Altafiyani Rahmatika Kelas : IX D
  • 2. Puisi Untuk Ibu Teriknya mentari dan hembusan angin bercampur debu melengkapi hari yang melelahkan ini. Bel pulang sekolah berbunyi, membuat anak-anak berhamburan keluar kelas. Melihat keadaan di luar, anak-anak menjadi malas pulang. Mereka lebih memilih untuk menunggu di sekolah sampai sore nanti. Tetapi ada juga yang tidak ingin di sekolah lebih lama lagi. Seperti halnya gadis remaja itu. Ia melangkahkan kakinya keluar kelas menuju pintu gerbang sekolahnya sambil menggendong tas dan membawa beberapa buku di tangannya. “Rifa, kamu sudah pulang?” tanya seorang wanita paruh baya ketika Rifa memasuki rumahnya. Wanita itu ternyata ibunya Rifa. “Sudah, Bu.” jawab Rifa singkat sambil mencium tangan ibunya. Ia lalu bergegas mandi dan berganti pakaian. Panas mentari yang menyengatnya sewaktu jalan kaki tadi membuat seragamnya basah oleh keringat. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia berjalan menuju kamar tidurnya. Ia rebahkan tubuhnya di atas kasur dan perlahan-lahan kedua kelopak matanya mulai menutup. Sekilas ia teringat ayahnya. Ayahnya yang sudah lama pergi entah kemana. Sampai sekarang pun ia tidak pernah tahu dimana ayahnya berada. Ia tidak tahu apa-apa karena dulu ia masih berumur dua tahun. Yang ia tahu hanya wajahnya saja, itu pun karena foto yang diberi ibunya. Saat ia bertanya keberadaan ayahnya, ibunya hanya menjawab bahwa ayahnya pergi ke tempat yang sangat jauh untuk bekerja. Apakah harus seperti itu? Rela meninggalkan keluarganya sendiri demi pekerjaan dan tak pernah kembali. Tiba-tiba Rifa ingat bahwa tiga hari lagi ibunya ulang tahun. Ia langsung membuka kedua kelopak matanya dan beranjak dari tempat tidur. Ia duduk di kursi dekat meja belajarnya. Memikirkan kado terindah untuk orang yang paling berharga dalam hidupnya. Pikirannya pun mulai melayang jauh. Tatapan matanya menuju langit-langit ruangan itu. Jemari tangan kanannya menopang dagunya. Sesekali ia memandang lukisan-lukisan hasil karyanya yang ditempel di dinding. Lukisan? Itu sudah biasa. Ia ingin yang beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setelah lama berpikir, Rifa baru ingat. Di sekolah, ia tadi belajar puisi saat pelajaran Bahasa Indonesia. Sempat terlintas di benaknya, ia akan buat puisi untuk ibunya. Tetapi, ia tidak ahli membuat puisi. Ia lalu mendapat ide. Besok, ia akan meminta pada Neza, temannya yang pintar membuat puisi. Keesokan harinya, disambut dengan tetesan embun yang sejuk, burung-burung yang berkicau, dan mentari yang bersinar cerah, Rifa berangkat sekolah. Ia mengiringi langkah kakinya dengan senandung kecil dari mulutnya. Bunga-bunga dan rerumputan hijau di sisi jalan seakan menari-nari mendengar alunan melodi dari mulut Rifa. Ia memang berbakat dalam bidang melukis dan tarik suara. “Neza!” panggil Rifa saat ia mulai melangkahkan kaki ke dalam kelas. Rupanya ia melihat Neza sedang duduk di bangku paling depan.
  • 3. “Ada apa?” tanya Neza heran. Panggilan Rifa yang keras dan tiba-tiba itu nyaris membuat detak jantungnya berhenti. “Nih, buatkan aku puisi!” pinta Rifa tersenyum sambil menyodorkan secarik kertas dan pensil yang sudah ia siapkan dari rumahnya. “Puisi? Untuk apa?” tanya Neza bingung melihat temannya yang antusias meminta dibuatkan sebuah puisi. Padahal hari itu tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia. “Dua hari lagi ibuku ulang tahun. Seperti biasa, aku ingin memberinya hadiah spesial. Maka itu, aku ingin memberinya sebuah puisi. Kamu kan ahli buat puisi, jadi buatkan aku puisi tentang ibu, ya?” pinta Rifa lagi. Namun saat ini wajahnya memelas. “Asal kamu tahu, ibumu akan lebih bangga kalau puisi yang kamu beri itu hasil karyamu sendiri. Kamu pasti bisa kalau kamu tulus membuat puisi itu. Apalagi kalau puisi itu untuk orang yang paling berharga dalam hidupmu. Maaf, bukannya aku tidak mau membantu. Tetapi alangkah baiknya jika puisi itu kamu buat sendiri sesuai dengan ungkapan hati kamu.” ujar Neza sambil mengembalikan kertas dan pensil milik Rifa. Bel masuk berbunyi. Rifa yang tadinya terdiam mendengar kata-kata Neza, langsung bergegas menuju bangkunya sendiri. Kata-kata Neza membuatnya malu. Benar juga apa kata Neza, lebih baik ia membuat puisi sendiri. Detik demi detik telah berlalu. Rifa masih bingung mencari kata-kata yang pas untuk puisinya. Ungkapan hati kepada ibunya terlalu banyak dan tidak akan mungkin semuanya ia tulis. Yang ia inginkan seluruh ungkapan hatinya itu dibuat menjadi beberapa kalimat sederhana, tersusun dalam beberapa bait, dan menjadi sebuah puisi. Hari ini dan hari esok, tepat satu hari lagi ibu Rifa ulang tahun. Ia cemas karena ia baru membuat enam kalimat. Itu pun ia buat dengan susah payah. Ia rela menguras pikirannya hanya karena puisi itu. “Ah, dapat! Dapat satu kalimat lagi!” ucap Rifa tersenyum puas saat jam istirahat . Lalu menuliskan sesuatu di buku catatannya. Teman-teman sekelasnya hanya melihat kebingungan. Sementara Rifa terus menulis kata-kata yang baru saja melintas di pikirannya. Dimanapun dan kapanpun, itulah Rifa. Tidak peduli waktu dan tempat. Yang penting, puisinya cepat selesai dan pada waktunya nanti, puisinya itu siap diberikan kepada ibunya. Idenya memang selalu muncul secara tiba-tiba dan tidak mengenal waktu. Saat belanja di warung, jam istirahat sekolah, bangun tidur, saat makan, bahkan saat mandi pun ia bisa menemukan ide. Tidak harus duduk berdiam diri di kamarnya lagi. Waktunya tiba, perasaan Rifa menjadi tidak karuan. Pagi tadi ia berpura-pura tidak ingat ulang tahun ibunya. Ia berencana akan mengucapkan selamat ulang tahun pada ibunya saat ia pulang sekolah, beserta puisi yang telah ia buat. Ia ingin membuat sebuah kejutan. Kejutan yang menurutnya cukup istimewa.
  • 4. Sesampainya di rumah, ibunya sudah berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak cemas. Saat melihat Rifa, ibunya langsung mendekati Rifa. “Rifa, saat ini juga Ibu mohon. Tolong kamu temui ayahmu! Ini alamatnya.” pinta ibunya cemas sambil menyodorkan kertas kecil berisi tulisan. “Temui ayah? Untuk apa? Bukankah ayah telah meninggalkan kita selama 12 tahun dan tidak pernah kembali lagi? Ayah tidak sayang kepada kita. Ayah tidak tanggung jawab. Tetapi kenapa Ibu menyuruhku menemuinya sekarang juga? Sampai kapanpun, aku tidak pernah mengakui dia ayahku!” jawab Rifa ketus. Rifa menjadi lupa rencana membuat kejutan untuk ibunya. “Kamu tidak boleh seperti itu! Bagaimanapun juga dia ayahmu. Tanpanya, kamu tidak akan ada di dunia ini. Kamu harus tetap menghormatinya, Nak. Tadi Ibu ditelepon bahwa ayahmu sedang sakit. Ia ingin sekali bertemu denganmu. Kasihanilah ayahmu! Kamu jangan menjadi anak durhaka.” pinta ibunya lagi. “Mengapa Ibu tidak mengerti perasaanku? Ternyata Ibu sama seperti ayah. Tidak peduli dengan aku. Aku tidak mau bertemu Ibu lagi!” ucap Rifa sambil berlari menjauhi rumahnya. Tidak disadari, butiran air matanya mulai membasahi pipinya. “Tunggu, Nak! Jangan pergi!” ibunya langsung mengejar Rifa setelah melihat anaknya pergi. Rifa terus berlari tanpa tujuan yang pasti. Ia tidak tahu harus kemana. Ia sedih karena sudah tidak ada lagi yang mengerti perasaannya. Ia tidak mempedulikan air matanya yang terus menetes dan teriakan ibunya. Pokoknya, ia tidak mau bertemu ibunya lagi. “Nak, awas!” tiba-tiba ibunya berteriak dari kejauhan. Tak ada yang bisa dicegah. Semuanya terjadi begitu cepat. Begitu juga dengan kecelakaan itu. Rupanya, Rifa tidak sadar bahwa tadi ia telah berlari sampai ke jalan raya. Pikiran dan perasaannya sedang hancur. Karena itu ia tidak peduli keadaan di sekelilingnya. Rifa tergeletak di jalan dan tak sadarkan diri. Benturan keras di kepalanya membuat darah tak henti-hentinya mengalir. Orang-orang yang melihat kejadian itu langsung berlari mengerumuni Rifa. Ibunya langsung berlari dan menerobos orang-orang yang sedang berkerumun itu. “Riiffaaaaa!!!! Maafkan Ibu, Nak!!” teriak ibunya keras sekali. Ia tidak berhenti menangis. Menangisi putri semata wayangnya. Hanya Rifa satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidupnya. Lima hari kemudian, setelah Rifa dimakamkan, ibu Rifa menemukan sebuah amplop di bawah bantal tempat tidur Rifa. Di bagian depan amplop itu tertulis “Selamat Ulang Tahun Ibu”. Ibunya tersenyum kaku membaca tulisan putrinya itu. Lalu perlahan ia buka isinya. Terdapat selembar kertas berisi tulisan. Ibu Rifa pun membaca isi tulisan itu.
  • 5. Ibuku tersayang, ku harap ibu menerima hadiah ini. Ku harap, ibu tidak melihat wujudnya, tetapi lihat ketulusan Rifa memberi hadiah ini. Aku berusaha membuat sesuatu yang terbaik, yang dapat membuat ibu bangga. Hanya ini yang dapat Rifa beri. Sebuah puisi. Untukmu Ibu Terdiam menunduk sepi Terbayang banyak jasamu Aku tak tahu Balasan apa yang sesuai untukmu Ketika ayah tak lagi di sisiku Engkau merangkulku Pelukan hangatmu Buatku lupa rasa amarah Kau seperti mentari di pagi hari Cahayanya membawa kehidupan Kau seperti rembulan di malam hari Bersinar terang dalam kegelapan Goresan puisi ini belum tentu indah Namun ku hanya ingin Melihatmu tersenyum bahagia Sebelum aku atau kau tiada Itulah puisi karyaku. Aku ingin ibu selalu ingat puisi ini. Tak sengaja air mata mulai membasahi pipi ibu Rifa. Ia tak kuasa menahan tangis ketika membaca puisi hasil karya putrinya yang paling ia cintai. Sungguh itu puisi yang sangat indah menurutnya. Namun sayang, kini putrinya itu telah tiada.