PP Nomor 109 Tahun 2012 mengenai pengamanan produk tembakau dinilai memberatkan industri rokok lokal. Aturan ini diduga telah dikendalikan oleh perusahaan rokok asing dan hanya cocok untuk perusahaan besar, sehingga mengancam kelangsungan industri rokok kecil dan petani tembakau Indonesia. Harapan industri adalah pembatalan aturan ini dan dibuatnya aturan baru yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia.
1. Prospek Bisnis Tembakau dan Rokok Lokal
Pemerintah baru saja mengeluarkan aturan mengenai Pengamanan Bahan yang Mengandung
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 109 Tahun 2012. Aturan tersebut, secara tidak langsung, dinilai telah dikendalikan
oleh perusahaan-perusahaan rokok asing, sebab dari beberapa pasal yang ada, dijelaskan
bagaimana mengharuskan industri rokok menerapkan beberapa aturan yang sulit
diimplementasikan oleh perusahaan-perusahaan lokal.
Tak ayal, beberapa LSM dan Asosiasi yang memperjuangkan hak-hak industri kecil rokok
melontarkan nada-nada protes kepada pemerintah terkait aturan itu. Selain itu, jutaan orang yang
menggantungkan hidupnya dari industri rokok terancam kehilangan mata pencahariaannya.
Alhasil, penggangguran yang ada akan bertambah. Padahal, Presiden SBY mengharuskan
kepada seluruh jajaran pemerintah untuk membuat aturan-aturan yang pro job, pro poor, pro
growth dan pro environment.
Berikut ini, petikan wawancara Neraca dengan Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan
Rokok (KNPK) Zulvan Kurniawan tentang bagaimana dampak dikeluarkannya PP Nomor 109
Tahun 2012.
Dengan adanya PP Nomor 109 Tahun 2012, sejauh mana industri rokok nasional
akan terganggu?
Bagi industri rokok skala besar yang mempunyai modal besar dan teknologi canggih mungkin
akan siap menghadapi aturan ini. Akan tetapi bagi industri rokok kecil akan sulit menyesuaikan.
Apalagi, sebagian besar aturan yang terkandung dalam PP ini justru tertuju untuk rokok kretek
yang memang mendominasi produksi rokok di Indonesia. 93% rokok di Indonesia dikuasai oleh
rokok kretek sisanya sebesar 7% oleh rokok putih. Jadi bisa dibayangkan bagaimana nantinya
industri rokok kretek Indonesia yang akan dihantam oleh PP ini
Lalu, bagaimana nasib para petani, apakah mereka juga terkena dampaknya?
Petani memegang peran penting dalam industri rokok. Kalau tidak ada bahan baku tembakau,
maka tidak ada produksi. Maka dengan adanya aturan ini, maka diperkirakan sekitar 6 juta petani
yang akan kehilangan mata pencahariaannya sebagai petani temabakau. Bisa saja, nantinya
harga tembakau Indonesia akan dibeli dengan harga murah lantaran adanya aturan ini. Tak
hanya itu, sebelum aturan ini dimulai, para pengusaha rokok kretek di Kudus sudah menutup
pabriknya. Dari 110 pabrik rokok yang ada di Kudus, saat ini tinggal 80 pabrik yang masih tetap
bertahan. Bahkan ini bisa saja menurun lagi setelah aturan ini diterapkan.
Harapan terhadap PP Nomor 109 Tahun 2012?
Harapan terbesar kami adalah agar PP ini dibatalkan. Karena dari awal pembuatannya saja
sudah dikendalikan oleh Philip Morris yang memang produknya sudah siap dengan aturan-aturan
tersebut, makanya dia meminta agar pemerintah menerapkannya di Indonesia agar usahanya
bisa bebas. Kami juga berharap agar pemerintah dalam membuat aturan yang berkeadilan dan
berkedaulatan. Jangan sampai ada campur tangan pihak asing dalam pembuatan aturan-aturan
tersebut. Kalau memang pemerintah pro terhadap rakyat, maka buat aturan yang bisa
mensejahterakan rakyat.
2. Perdagangan Tembakau Lokal Terancam
JAKARTA-- Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Azis US
mempertanyakan komitmen pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Menurut Hasan,
Peraturan Pemerintah (PP) nomer 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat
adiktif produk tembakau sama sekali tidak mengurusi soal kesehatan.
"Yang ada adalah penyisipan agenda asing untuk menghancurkan industri tembakau di Indonesia," ucap
Hasan saat diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Senin (11/2).
Dalam PP tersebut, Hasan menilai telah terjadi diversifikasi paksa. Dimana, petani tembakau dipaksa
menanam tanaman lain selain tembakau. Aturan ini sangat pro asing. "Di satu sisi memaksa petani untuk
tidak menanam tembakau, di sisi lain, tembakau dari luar dibebaskan masuk ke Indonesia dengan tarif nol
persen," terang Hasan.
Berdasarkan data BPS November 2012, impor tembakau mencapai 120 ribu ton, telah melampaui separuh
lebih kebutuhan nasional mencapai 200 ribu ton.
"Kalau tembakau dianggap barang adiktif, harusnya impor juga dibatasi. PP ini tidak bicara soal itu. Jadi
tidak ada pemihakan pada petani. Justru malah berpeluang mematikan perdagangan tembakau lokal
Indonesia," papar Hasan.
Maka dengan keluarnya PP ini, tertutup peluang pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemanfaatan
tembakau bagi kesehatan. "Tembakau dan produk tembakau dalam PP 109/2012 dijustifikasi sebagai
barang adiktif, dimana barang adiktif dianggap buruk," sebutnya.
Jadi telah tertutup diversifikasi penggunaan tembakau untuk kepentingan kesehatan. Pengaturan
diversifikasi (Pasal 58) diperuntukkan untuk eliminasi tembakau sebagai rokok.
"PP ini jelas-jelas tidak memberikan ruang bagi peneliti, scientis maupun pihak industri dan petani untuk
mengembangkan bagi kepentingan kesehatan masyarakat. Ini kedzaliman scientific," tegasnya.
Hasan juga mempertanyakan bagaimana industri dan petani mau bersikap bertanggung jawab untuk
mengurangi bahaya rokok, kalau riset untuk kepentingan itu telah ditutup.
Padahal, industri rokok, katanya, menyumbang pemasukan bagi negara sekitar Rp100 triliun per tahun dari
cukai dan pajak, kendati cukai dan pajak tersebut juga dibayar oleh konsumen. Namun, kebijakan tersebut
pasti akan berdampak kepada petani tembakau.
"Regulasi soal rokok itu belum berhenti dengan terbitnya PP, tetapi ke depan akan lagi muncul peraturan
menteri yang semakin mempersulit industri. Jadi, industri ini sedemikian rupa ditekan," pungkasnya.
(chi/jpnn)
3. Dinamika Industri Tembakau Indonesia Dalam Pasar
Global
BAB I
PENDAHULUAN
Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting negara di dunia
termasuk Indonesia. Produk tembakau utama yang diperdagangkan adalah rokok (manufacture
tobacco) dan daun tembakau (un manufacture tobacco). Tingginya nilai tembakau membuat
beberapa negara termasuk Indonesia dapat berperan dalam perekonomian nasional, yaitu
sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah melalui pajak/cukai, sumber
pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat.
Perkembangan bisnis tembakau yang pesat beberapa dekade terakhir tak ayal
mengundang kontroversi. Seiring dengan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan kesehatan
dan lingkungan menyebabkan kehadiran tembakau dan rokok ditentang banyak kalangan.
Penentangan ini didasarkan atas banyaknya bukti medis yang menunjukkan bahwa rokok dapat
menimbulkan berbagai penyakit mematikan. Bahkan di negara-negara maju, persoalan tersebut
telah ditanggapi dengan membuat kebijakan pembatasan tembakau yang mengakibatkan
pergeseran produksi tembakau ke negara-negara berkembang. Produksi tembakau yang mulai
awal 2000-an menurun lebih cepat dari pada tingkat konsumsinya menimbulkan kesenjangan
antara penawaran dan permintaan daun tembakau. Namun disisi lain, penawaran dan
permintaan pasar tembakau tumbuh sejalan dengan pertumbuhan penduduk sehingga
menyebabkan harga daun tembakau di dunia meningkat. Potensi pasar ini merupakan peluang
bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
Selain berperan sebagai salah satu produsen dan eksportir produk tembakau di pasar dunia,
Indonesia juga merupakan konsumen utama dunia karena menjadi negara kelima dengan jumlah
perokok terbanyak di bumi ini. Pergeseran target pasar multi-nasional ini pastinya jadi ancaman
bagi Indonesia, namun bila peluang pasar dapat dimanfaatkan, maka hal tersebut akan menjadi
prospek pasar bagi tembakau Indonesia. Penurunan produksi tembakau di negara maju akan
menurunkan daya saingnya di pasar dunia.
Kini seiring dengan pertumbuhan penduduk dan budaya merokok yang semakin
luas, Indonesia menjadi pasar rokok yang potensial di dunia. Hal ini menyebabkan perusahaan
rokok besar dan multi-national corporations (MNCs) memanfaatkan peluang pasar yang
menjanjikan di Indonesia. Keberadaan perusahaan besar dan MNCs ini selain meningkatkan
investasi juga mendatangkan kerugian bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia dengan
dampak negatif yang ditimbukan serta biaya sosial yang tinggi. Dengan demikian, Indonesia
sudah sewajarnya harus memprioritaskan produk industri tembakau untuk pasar ekspor. Potensi
ekspor Indonesia dapat ditingkatkan melalui, (a) memperkuat produk yang telah mempunyai
pasar yang baik, (b) memprioritaskan tembakau bahan baku cerutu (Na Oogst) yang lebih
berdaya saing, dan (c) mengalihkan produksi rokok dari rokok kretek ke rokok putih yang lebih
berorientasi ekspor. Tulisan ini akan menampilkan dinamika industri tembakau Indonesia di pasar
dunia.
BAB II
ISI
Profil Komoditi Tembakau
4. Tembakau merupakan bahan penyegar yang mengandung alkaloid, yaitu suatu
senyawa siklik kompleks yang mengandung nitrogen. Alkaloid ini dapat memberikan daya
rangsang. Di Indonesia, tembakau merupakan salah satu komoditas pertanian yang memegang
peranan penting bagi perekonomian negara, yaitu sebagai penghasil devisa dan cukai. Banyak
daerah di Indonesia yang memproduksi tembakau, seperti Bojonegoro, Jember, Lumajang,
Kudus, Temanggung dan Deli. Industri tembakau merupakan tempat penghasil dan pengolahan
tembakau dan sentra-sentra industri rokok, yang dapat menyediakan lapangan usaha dan
penyerapan tenaga kerja.Tembakau produksi Indonesia juga merupakan salah satu tembakau
terbaik yang diperdagangkan dalam pasar global diantaranya di pasar tembakau Bremen. Pasar
global sendiri ialah pemasaran yang berskala dunia. Ekspor tembakau Indonesia saat ini
mencapai negara Eropa, Jepang dan Amerika.
Analisis
Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Tembakau Dunia
Produksi daun tembakau dunia periode tahun 1967-2007 mengalami peningkatan
3,57 juta ton menjadi 6,33 juta ton (peningkatan rata-rata 1,21% per tahun). Dalam periode yang
sama, luas lahan penanaman tembakau dunia juga meningkat dari 3,39 juta ha menjadi 3,93 juta
ha (meningkat 0,30% per tahun). Sementara itu produktivitas usaha tani juga mengalami
peningkatan dengan laju 0,91% per tahun, yaitu sebesar 1,26ton/ha pada tahun 1967 menjadi
1,61 ton/ha tahun 2007. Tingkat produksi tembakau terbesar dunia terjadi pada tahun 1997 yang
mencapai 8,99 juta ton. Akan tetapi semenjak tahun 1997, produksi tembakau dunia mengalami
penurunan sebesar 1,96% per tahun hingga tahun 2007.
Negara-negara penghasil tembakau dunia juga mengalami pergeseran. Jika tahun
1970-an Amerika Serikat tampil sebagai produsen terbesar tembakau di dunia, maka pada
periode berikutnya tergeser oleh China dan beberapa negara lainnya seperti Brazil dan India.
Indonesia sendiri yang pada tahun 1970-an belum menjadi produsen utama tembakau dunia,
pada tahun tahun 1990-an langsung masuk dalam 8 besar dan pada tahun 2007 menjadi urutan
ke 5 produsen tembakau terbesar dunia.
Dari data di atas dapat kita simpulkan bahwa perkembangan produksi daun
tembakau di negara-negara berkembang seperti Brazil, India, dan Indonesia mengalami
peningkatan, sedangkan di negara maju mengalami penurunan. Hal ini tentu saja tidak bisa
dipungkiri, karena tekanan dari masyarakat di negara maju yang semakin anti tembakau.
Masyarakat di negara maju semakin sadar akan bahaya merokok, dan gerakan anti rokok
tersebut terus meningkat sehingga juga mempengaruhi penurunan luas areal tembakau. Lahan
ini dialih fungsikan menjadi lahan pertanian lain yang dianggap berpotensi dan tidak berbahaya
bagi kesehatan, misalnya gandum dan anggur. Penurunan produksi tembakau di negara maju
telah dimanfaatkan beberapa negara berkembang dalam meningkatkan pangsa ekspornya
seperti Brazil dan India, sehingga dalam ekspor daun tembakau juga mengalami pergeseran
peran.
Tabel 1. Sepuluh Negara Produsen Utama Tembakau Dunia Tahun 1970,1990, dan 2007.
Tahun 1970 Tahun 1990 Tahun 2007
Negara
Produksi
(dlm %)
Negara
Produksi
(dlm %)
Negara
Produksi
(dlm %)
6. 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
140.169
151.025
209.626
105.580
135.384
204.329
199.103
192.082
200.875
165.108
153.470
146.265
164.851
216.148
222.164
219.262
221.500
168.500
168.300
262.000
257.100
256.926
200.973
198.212
215.012
215.000
649
680
624
621
809
804
814
827
776
826
776
867
867
Sumber:
1. Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop Estate Statistic of Indonesia 2007-
2009: Tembakau/Tobacco. 2008
2. FAOSTAT http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor dan http://fao
stat.fao.org/site/377/default.aspx#ancor (akses 11 Mei 2009)
3. http://faostat,fao,org/site/567/DesktopDefault,aspx?PageID=567#ancor
Industri Hasil Tembakau di Indonesia
Sampai tahun 2009 Industri Hasil Tembakau masih berperan dalam roda
pergerakan ekonomi nasional terutama di daerah penghasil tembakau dan sentra-sentra industri
rokok, yaitu dengan menumbuhkan industri/jasa terkait, penyediaan lapangan usaha dan
penyerapan tenaga kerja.
Pada tahun 2005, jumlah Industri Hasil Tembakau (rokok) di Indonesia sebanyak
3217 perusahaan dan pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 3961 perusahaan,
sehingga meningkat 23,12 %. Dalam periode 2005-2006 ini, produksi rokok sebesar dari 220,3
milyar batang dan 218,7 milyar batang. Penyebaran Industri Hasil Tembakau di Indonesia
sebagian besar berada di Jawa Timur sekitar 75%, Jawa Tengah 20%, dan sebagian lainnya di
Sumatera Utara, Jawa Barat, dan DIY. Produk hasil olahan tembakau terdiri dari rokok (rokok
kretek dan rokok putih), cerutu, dan tembakau iris. Khusus untuk industri rokok, berikut adalah
data dari pabrik baik besar (Gol I), menengah (Gol II), dan kecil (Gol IIIA dan IIIB) tahun 2007.
Tabel 3. Data Industri Rokok Skala Besar (Gol I), Menengah (Gol II) dan Kecil (Gol IIIA dan IIIB).
7. Pabrik Jumlah
Pabrik
Produksi Cukai
Gol. Jumlah Produksi (batang) (juta batang) % (milyar Rp.) %
Gol I > 2 milyar 8 173,365.50 75,05 37,614.15 86,38
Gol II > 500 juta – 2 milyar 15 23,585.01 10,21 2,978.81 6,84
Gol IIIA > 6 juta – 500 juta 354 27,073.20 11,72 2,870.51 6,59
Gol IIIB 0 – 6 juta 4416 6,976.20 3,02 78.13 0,18
Total 4793 231,000.00 43,541.50
Keterangan :
1. Data produksi tidak termasuk cerutu, KLM/KLB, TIS.
2. Sumber Dirjen Bea dan Cukai, Departemen Keuangan.
Dengan tidak mengesampingkan dampak faktor kesehatan, prioritas yang
diberikan kepada Industri Hasil Tembakau untuk tetap berkembang masih didasari oleh aspek
ekonomi, di mana industri ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar (± 10 juta orang)
dan sumbangannya terhadap penerimaan negara (cukai). Pada tahun 2006 cukai rokok sebesar
42,03 trilyun dan 2007 mencapai 43,54 trilyun.
Namun saat ini, Industri Hasil Tembakau dihadapkan dengan banyak
permasalahan yang muncul, yaitu dampak buruk merokok bagi kesehatan baik di tingkat global
maupun nasional. Badan tertinggi dunia PBB melalui WHO telah mendirikan konvensi FTCT
(Framework Convention on Tobacco Control) yang bertujuan untuk mengendalikan produk
tembakau. Tapi hingga saat ini pemerintah belum juga meneken kesepakatan tersebut.
Sedangkan di tingkat nasional tertuang dalam PP No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan
Rokok Bagi Kesehatan. Selain itu, kebijakan cukai yang tidak terencana dengan baik, tidak
transparan, dan semakin maraknya produksi dan peredaran rokok ilegal juga menjadi masalah
bagi Industri Hasil Tembakau. Untuk itu Industri Hasil Tembakau meningkatkan hubungan dan
kerja sama dengan stakeholder guna meningkatkan daya saing diantara pelaku usaha. Dengan
demikian industri ini diharapkan tetap mampu menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan
penerimaan negara melalui cukai dan pajak, dan menumbuhkan industri terkait dengan tidak
mengesampingkan faktor penting kesehatan.
Kecenderungan Global Industri Hasil Tembakau
Kecenderungan yang telah terjadi antara lain adalah, dulu sebelum tahun 1990-an
permintaan rokok dunia meningkat konstan dan sepuluh tahun kemudian berhenti. Di negara
maju, seperti AS dan Eropa terjadi penurunan penjualan rokok karena kesadaran akan
pentingnya kesehatan dan gencarnya kampanye anti rokok mulai dilakukan. Selanjutnya WHO
menetapkan FTCT (Framework Convention on Tobacco Control) pada tanggal 28 Mei 2003 di
Genewa, Swiss dan mulai diberlakukan 27 Februari 2005.
Selain kecenderungan yang telah terjadi di atas, kecenderungan yang akan terjadi
juga patut kita bahas di sini. Pertama adalah penerapan pajak yang tinggi terhadap produk
tembakau sebagaimana tercantum dalam FTCT, akan mengurangi produksi dan konsumsi
tembakau dan menimbulkan semakin banyaknya rokok-rokok ilegal. Yang kedua, dengan
semakin maraknya gerakan anti rokok, maka akan menghentikan industri rokok itu sendiri. Jika di
Amerika dan Eropa Barat penjualan rokok menurun, tidak demikian yang terjadi di Eropa Timur
dan Asia. Di kawasan ini volume penjualan rokok cenderung naik. Hal ini disebabkan karena
pangsa pasar di negara berkembang masih tinggi di mana pupulasinya masih banyak yang aktif
merokok.
Ekspor dan Impor Olahan Tembakau Indonesia
8. Perdagangan luar negeri memberikan manfaat bagi suatu negara melalui
aktivitas ekspor dan impornya. Perdagangan luar negeri ini juga akan membawa dampak
terhadap kegiatan ekonomi suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Aktivitas ekspor dan impor
Indonesia diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Berikut ini adalah
data Ekspor dan Impor Tembakau Indonesia tahun 1990-2007.
Tabel 4. Proporsi Ekspor Dan Impor Daun Tembakau Terhadap Total Produksi Indonesia
tahun 1990-2007
Tahun
Impor
(ton)
Ekspor
(ton)
Produksi
(ton)
Konsumsi
(ton)
% Impor
thd konsumsi
% Impor
thd produksi
% Ekspor
thd produksi
% Impor
thd ekspor
1990 26,546 17,401 156,432 147,287 18,0 17,0 11,1 152,6
1991 28,542 22,403 140,283 134,144 21,3 20,4 16,0 127,4
1992 25,108 32,365 111,655 118,912 21,1 22,5 29,0 77,6
1993 30,226 37,259 121,370 128,403 23,5 24,9 30,7 81,1
1994 40,321 30,926 130,134 120,739 33,4 31,0 23,8 130,4
1995 47,953 21,989 140,169 114,205 42,0 34,2 15,7 218,1
1996 45,060 33,240 151,025 139,205 32,4 29,8 22,0 135,6
1997 47,108 42,281 209,626 204,799 23,0 22,5 20,2 111,4
1998 23,219 49,960 105,580 132,321 17,5 22,0 47,3 46,5
1999 40,914 37,096 135,384 131,566 31,1 30,2 27,4 110,3
2000 34,248 35,957 204,329 206,038 16,6 16,8 17,6 95,3
2001 44,346 43,030 199,103 197,787 22,4 22,3 21,6 103,1
2002 33,289 42,686 192,082 201,479 16,5 17,3 22,2 78,0
2003 29,579 40,638 200,875 211,934 14,0 14,7 20,2 72,8
2004 35,171 46,463 165,108 176,400 19,9 21,3 28,1 75,7
2005 48,142 53,729 153,470 159,057 30,3 31,4 35,0 89,6
2006 54,514 53,729 146,265 145,480 37,5 37,3 36,7 101,5
2007 69,742 46,834 164,851 141,943 49,1 42,3 28,4 148,9
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop Estate Statistic of Indonesia) 2007-2009:
Tembakau/Tobacco, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008.
Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa dalam periode tersebut, Indonesia
masih banyak dalam mengimpor yaitu 10 tahun dan sisanya 8 tahun lebih banyak mengekspor.
Indonesia mengekspor daun tembakau berkisar antara 11%-37% dari total produksi, tapi juga
mengimpor daun tembakau untuk memenuhi kebutuhan industri rokok dalam negeri sebesar 17-
42% dari total produksi.
Sementara itu, data dari Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen
Perindustrian tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam periode tahun 2004-2008, ekspor
cerutu berkembang rata-rata 18,94% per tahun. Yaitu dari USD 11,30 Juta pada tahun
2004 menjadi USD 22,00 juta pada tahun 2008. Dalam periode yang sama ekspor rokok
berkembang rata-rata 25,4% dari USD 157,61 juta menjadi USD 357,78 juta. Selain itu,
jika melihat nilai ekspor tembakau dari tahun 2006 sampai 2009, terjadi peningkatan harga,
meskipun pada tahun 2007 volume ekspor tembakau Indonesia yang mencapai 8.951 ton per
tahun, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 9.202 ton. Meski terjadi
9. penurunan, namun nilai ekspornya tetap naik, dari US$35,876 juta di tahun 2006 menjadi
US$36,696 juta di tahun 2007. Dan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini
menyebutkan bahwa ekspor tembakau Indonesia mengalami kenaikan untuk periode Januari-
November 2011 mencapai US$ 652,2 juta naik 4,59% dibandingkan tahun 2010 yang hanya US$
623,5 juta. Sementara itu, selain mengekspor hasil olahan tembakau, Indonesia juga mengimpor
tembakau dari luar yang nilainya juga tergolong besar. Seperti data impor cerutu pada periode
2004-2008 yang naik luar biasa yaitu sebesar 197,5% per tahun. Hal yang sama terjadi pada
impor rokok, pada periode yang sama terjadi penaikan dari USD 0,863 juta menjadi 4,357 juta
atau naik rata-rata 86,87% per tahun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, produksi tembakau Indonesia
beberapa dekade terakhir terutama di era reformasi mengalami fluktuasi. Namun demikian,
hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara produsen tembakau peringkat lima dunia. Hal ini
dikarenakan produksi tembakau di negara maju mengalami penurunan dan pangsa pasar beralih
ke negara berkembang. Keadaan ini dipicu dengan sikap kepedulian dan kesadaran masyarakat
di negara maju akan kesehatan dan kelestarian lingkungan. Sementara itu, di negara
berkembang terjadi pertumbuhan penduduk yang relatif cepat diikuti dengan budaya merokok
yang masih tinggi pula. Di Indonesia sendiri yang disebut-sebut sebagai negara berkembang,
tembakau merupakan salah satu komoditas pertanian yang memegang peranan penting bagi
perekonomian negara, yaitu sebagai penghasil devisa dan cukai serta penyedia lapangan kerja.
Namun, pemerintah kini seakan mengalami dilema dengan adanya konvensi FTCT dari WHO
tentang pengendalian produksi tembakau. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia sampai saat ini
belum menandatangani dan meratifikasi FTCT tersebut.
Sementara itu, dilihat dari ekspor dan impor produk tembakau, Indonesia masih
cenderung lebih banyak mengimpor daripada mengekspor tembakau. Tingkat konsumsi yang
tinggi di dalam negeri menjadi salah satu faktor pemicunya. Dengan demikian, pemerintah
harusnya lebih mengkaji lagi bagaimana caranya agar impor ini dapat lebih kecil dari ekspor atau
bahkan tidak perlu lagi ada acaramengimpor-imporan segala. Memaksimalkan produksi dalam
negeri serta menyadarkan masyarakat akan kerugian mengkonsumsi rokok mungkin kiranya
dapat meningkatkan ekspor tembakau di pasar global.
10. penurunan, namun nilai ekspornya tetap naik, dari US$35,876 juta di tahun 2006 menjadi
US$36,696 juta di tahun 2007. Dan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini
menyebutkan bahwa ekspor tembakau Indonesia mengalami kenaikan untuk periode Januari-
November 2011 mencapai US$ 652,2 juta naik 4,59% dibandingkan tahun 2010 yang hanya US$
623,5 juta. Sementara itu, selain mengekspor hasil olahan tembakau, Indonesia juga mengimpor
tembakau dari luar yang nilainya juga tergolong besar. Seperti data impor cerutu pada periode
2004-2008 yang naik luar biasa yaitu sebesar 197,5% per tahun. Hal yang sama terjadi pada
impor rokok, pada periode yang sama terjadi penaikan dari USD 0,863 juta menjadi 4,357 juta
atau naik rata-rata 86,87% per tahun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, produksi tembakau Indonesia
beberapa dekade terakhir terutama di era reformasi mengalami fluktuasi. Namun demikian,
hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara produsen tembakau peringkat lima dunia. Hal ini
dikarenakan produksi tembakau di negara maju mengalami penurunan dan pangsa pasar beralih
ke negara berkembang. Keadaan ini dipicu dengan sikap kepedulian dan kesadaran masyarakat
di negara maju akan kesehatan dan kelestarian lingkungan. Sementara itu, di negara
berkembang terjadi pertumbuhan penduduk yang relatif cepat diikuti dengan budaya merokok
yang masih tinggi pula. Di Indonesia sendiri yang disebut-sebut sebagai negara berkembang,
tembakau merupakan salah satu komoditas pertanian yang memegang peranan penting bagi
perekonomian negara, yaitu sebagai penghasil devisa dan cukai serta penyedia lapangan kerja.
Namun, pemerintah kini seakan mengalami dilema dengan adanya konvensi FTCT dari WHO
tentang pengendalian produksi tembakau. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia sampai saat ini
belum menandatangani dan meratifikasi FTCT tersebut.
Sementara itu, dilihat dari ekspor dan impor produk tembakau, Indonesia masih
cenderung lebih banyak mengimpor daripada mengekspor tembakau. Tingkat konsumsi yang
tinggi di dalam negeri menjadi salah satu faktor pemicunya. Dengan demikian, pemerintah
harusnya lebih mengkaji lagi bagaimana caranya agar impor ini dapat lebih kecil dari ekspor atau
bahkan tidak perlu lagi ada acaramengimpor-imporan segala. Memaksimalkan produksi dalam
negeri serta menyadarkan masyarakat akan kerugian mengkonsumsi rokok mungkin kiranya
dapat meningkatkan ekspor tembakau di pasar global.