Dokumen tersebut memberikan ringkasan tentang potret hukum lingkungan dan sumber daya alam Indonesia pada tahun 2011. Kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan cenderung pro-investasi tanpa memperhatikan perlindungan lingkungan. Hal ini menyebabkan konflik antara pemerintah dan masyarakat serta lemahnya tata kelola lingkungan. Transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam masih terbatas.
Materi penanggungjawab pengendalian pencemaran udara
Refleksi Akhir Tahun 2011: Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
1. Refleksi Akhir Tahun 2011:
Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
Indonesian Center for Environmental Law ( ICEL )
Jakarta, 28 Desember 2011
I. POTRET HUKUM LINGKUNGAN DAN SDA TAHUN 2011
I.A. Politik Hukum Nasional: Menghamba Kepada Investor
Hukum merupakan resultan berbagai kepentingan dalam masyarakat maupun
pembuatnya. Berbagai kebijakan dan regulasi lingkungan hidup serta SDA yang
diterbitkan pada tahun 2011-pun mengindikasikan bagaimana tarik menarik
kepentingan tersebut. Sayangnya hal ini justru menimbulkan ketidakjelasan visi
pembangunan yang berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup.
Pada bulan Mei 2011 Pemerintah menerbitkan Perpres No. 28 Tahun 2011 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah. Lahirnya
Perpres ini mengakhiri status quo mengenai penggunaan kawasan hutan lindung
untuk kegiatan pertambangan yang dibatasi oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
UU Kehutanan tersebut sebelumnya membatasi penggunaan kawasan hutan lindung
untuk pertambangan terbuka (open pit mining). Lahirnya Perpres ini jelas untuk
kepastian hukum bagi investor pertambangan yang akan menggunakan kawasan hutan
lindung.
Pada bulan yang sama pula Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 10 Tahun
2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Alam Primer dan Lahan Gambut. Lahirnya beleid ini merupakan realisasi dari Letter
of Intent (LoI) antara Pemerintah dengan Kerajaan Norwegia dalam rangka
pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan degradasi
hutan. Terlepas dari berbagai kekurangan beleid tersebut, Inpres No. 10/2011
merupakan insiaitif yang patut diapresiasi dalam mewujudkan pengelolaan
lingkungan hidup melalui penerbitan regulasi atau kebijakan yang pro lingkungan.
Sayangnya inisiatif ini menjadi tidak berarti ketika Pemerintah pada saat yang sama
justru menerbitkan kebijakan atau regulasi yang lebih pro investasi tanpa adanya save
guard bagi perlindungan lingkungan hidup. Ambil contoh Peraturan Presiden No. 32
Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025 (MP3EI) yang minim partisipasi padahal masterplan tersebut
merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-
2025. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam masterplan tersebut tidak diatur
secara memadahi prasyarat sebagai prakondisi yang harus disiapkan oleh Pemerintah
sebelum masterplan tersebut dilaksanakan, misalnya penataan ruang dimana belum
setiap daerah melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah mereka secara baik,
peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang selama ini tak
kunjung terbit. Bahkan mandat harmonisasi disektor pertambangan, perkebunan,
kehutanan, lingkungan, dan tata ruang jelas-jelas ditujukan untuk kepastian dan
keberlangsungan usaha dengan meminimalisir hambatan-hambatan yang berdampak
pada nilai tambah. Bagaimana dengan kepentingan masyarakat dan perlindungan
lingkungan sendiri? Hal ini tidak dijelaskan secara memadai dan terukur. Di bidang
Halaman 1 dari 9
2. perlindungan lingkungan, hanya revisi PP No. 18 jo. PP 85 Tahun 1995 yang yang
membedakan antara limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) dengan limbah
khusus dalam rangka mempermudah pemanfaatan limbah industri oleh industri
maupun industri penghasil limbah sendiri guna meningkatkan daya saing industri
dalam negeri. Rentetan lainnya, pada bulan Oktober 2011 keluarlah Permentan No.
61/Permentan/OT.140/10/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan
Varietas yang mengabaikan perlindungan lingkungan hidup.
Penghujung tahun ini, tanggal 19 Desember 2011 Pemerintah melalui Kementerian
ESDM dan Kementerian Kehutanan bahkan menandatangani Nota Kesepahaman
mengenai penggunaan kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi untuk
kegiatan pemanfaatan panas bumi. MoU tersebut merupakan tindak lanjut dari
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam yang diterbitkan pada bulan Mei 2011. PP No 28/2011
mengkategorisasikan pemanfaatan panas bumi sebagai usaha jasa lingkungan
pengelolaan air sehingga penggunaan kawasan hutah lindung untuk pemanfaatan
panas bumi menjadi semakin mudah. MoU tersebut menyepakati tenggat waktu
penyelesaian pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pemanfaatan panas
bumi serta langkah-langkah persiapan menuju penggunaan kawasan konservasi untuk
pemanfaatan panas bumi. Sepajang tahun 2011 sendiri Kementerian Kehutanan telah
menerbitkan 18 perizinan penggunaan kawasan hutan untuk panas bumi.1
Lahirnya berbagai kebijakan dan regulasi pro economic growth tidak bisa dilepaskan
dari ambisi pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 6,5
persen berdasarkan APBN 2011. MoU pemanfaatan panas bumi misalnya, merupakan
diskresi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kebuntuan pemanfaatan potensi
panas bumi yang sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan hutan, khususnya
hutan lindung dan konservasi yang penggunaannya sangat dibatasi berdasarkan Pasal
23 UU 41/1999. Dari 276 titik potensi panas bumi, 42%-nya atau setara dengan energi
12.066 MW berada di kawasan hutan.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa tahun 2011 adalah tahun pertarungan antara dua
kelompok kepentingan pro pertumbuhan ekonomi dan sejumlah kecil kepentingan pro
perlindungan lingkungan dan perubahan iklim. Alhasil sejumlah kebijakan dan
peraturan perlindungan lingkungan, misalnya moratorium izin kehutanan yang hanya
berlaku 2 tahun saja dibarter oleh kebijakan dan peraturan yang pro investasi dalam
jangka panjang. Potret suram ini ditambah oleh lemahnya kinerja Pemerintah dalam
mengimplementasikan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang telah terlambat lebih dari 1 tahun dalam mengeluarkan
semua peraturan pelaksana yang sangat diperlukan bagi kepastian perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
I.B. Negara vs. Rakyat: Bentrok Berdarah Cermin Lemahnya Pemenuhan Tata
Kelola Lingkungan dan SDA (Good Environmental Governance)
Minimnya partisipasi dan akses informasi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan
konsekuensi yang tidak dapat dihindari ketika hal tersebut dipahami secara
1
Indopos 13/9/2011
Halaman 2 dari 9
3. programatik semata. Padahal sesuai dengan dengan Prinsip 10 Deklarasi Rio,
pentingnya penanganan masalah lingkungan hidup dengan melibatkan partisipasi
seluruh pihak melalui pelibatan partisipasi seluruh pihak melalui peningkatan akses
informasi dan akses keadilan. Dengan kata lain pengelolaan lingkungan hidup dan
pemanfaatan sumber daya alam harus memenuhi kaidah-kaidah Tata Kelola
Lingkungan Hidup yang Baik (Good Environmental Governance).
Good Environmental Governance tidak dapat dilepaskan dari unsur transparansi,
partisipasi, akuntabilitas, dan pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung
lingkungan. Harusnya masyarakat mendapatkan ruang yang proporsional dalam
proses pengambilan kebijakan bersama-sama pemangku kepentingan lainnya.
Pengambilan kebijakan yang lebih pro investasi berdampak minimnya prinsip
inklusifitas bahkan tindakan represif yang harus dihadapi oleh masyarakat yang
menyuarakan hak bicaranya. Di sektor kebijakan misalnya, munculnya Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
memperlihatkan cara pandang pemerintah terhadap sumber daya alam hanya sebagai
“komoditas” daripada sebagai sebuah kesatuan entitas ruang hidup segenap bangsa
dan negara yang merepersentasikan berbagai kepentingan hidup di sana termasuk
perlindungan lingkungan dan akses adil terhadap SDA. Tidak heran jika izin-izin
usaha-pun digenjot sedemikian rupa dengan pengabaian terhadap prinsip-prinsip
Good Environmental Governance. Ambil contoh di Kota Samarinda, Kalimantan
Timur. Dari total 71.800 Ha, 65% adalah luasan izin Kuasa Pertambangan (KP) dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Barubara (PKP2B) berdasarkan data
Dinas Pertambangan Kota Samarinda. Sedangkan berdasarkan data Jatam Kaltim
ditemukan 70,66% dari luasa Kota Samarinda adalah untuk izin KP dan PKP2B. Bisa
dibayangkan dengan pola pendekatan yang sama –minimnya prinsip transparansi,
partisipasi, akuntabilitas, dan pengakuan daya dukung lingkungan- maka potensi
konflik lingkungan dan SDA merupakan ancaman yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Selain potensi konflik, lemahnya praktek Good Environmental Governance juga
sangat berpeluang bagi suburnya praktek KKN disektor lingkungan dan SDA.
Wilayah yang rentan praktek KKN tersebut mulai dari proses awal hingga akhir dari
pemberian izin. Di tahap awal misalnya pemenuhan persyaratan izin, pengawasan
pelaksanaan izin, hingga pengakhiran izin seperti pelaksanaan reklamasi bagi sektor
pertambangan dan reboisasi bagi sektor kehutanan. Kolaborasi „jahat“ antara pemodal
dan pemerintah maupun penegak hukum ini semakin memberikan tekanan bagi
kepentingan masyarakat maupun perlindungan lingkungan dan SDA. Ambil contoh
untuk pengakhiran izin, di Kota Samarinda dari total jumlah izin yang telah
dikeluarkan tidak diberikannya akses masyarakat secara memadahi tentang bagaimana
rencana reklamasinya, berapa besar dana reklamasi yang telah dijaminkan beserta
bentuk penjaminannya, dan bagaimana pelaksanaannya.
Halaman 3 dari 9
4. Sayangnya pada tahun 2011 ini keberadaan UU KIP mulai dari tahun 2008 belum
dapat menjawab permasalahan transparansi di sektor lingkungan hidup dan SDA.
Beberapa penyebabnya adalah: (1) lemahnya political will pemerintah; (2) lemahnya
sistem pelayanan pemerintah; (3) lemahnya penegakan hukum. Beberapa kelemahan
diatas diperlihatkan dari lemahnya perhatian Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam menjalankan mandat UU KIP, antara lain: penyiapan sistem pelayanan
informasi (SOP, Petugas, sistem kearsipan, anggaran, dsb.) ataupun pelaksanaan
putusan sengketa informasi, misalnya: Putusan Komisi Informasi Pusat dalam perkara
LPAW vs. Pemkab Blora tentang kasus kontrak dan Putusan Komisi Informasi Pusat
dalam perkara ICW vs. Mabes Polri tentang rekening gendut perwira Polri. Celakanya
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sendiri membiarkan (tidak melaksanakan) putusan
yang telah berkekuatan hukum tersebut. Ini menunjukan betapa lemahnya komitmen
dan penghormatan pemerintahan kita terhadap hukum yang dibuatnya sendiri.
Berdasarkan uji akses ICEL di daerah terhadap informasi lingkungan menunjukan
bahwa pemerintah daerah tidak proaktif dalam menyediakan informasi kepada
masyarakat khususnya yang menyangkut dengan perizinan dan pelaksanaannya. Dari
total 44 permohonan informasi strategis lingkungan (Amdal, Izin Lingkungan, Hasil
Monitoring Kualitas Lingkungan), hanya 10 permohonan dikabulkan, 11 permohonan
dikabulkan setelah keberatan
internal, dan 23 permohonan
tidak dikabulkan. Padahal
informasi-informasi tersebut
adalah informasi yang
harusnya diumumkan dan
tersedia setiap saat
berdasarkan Undang-
Undang. Bahkan untuk mega
proyek seperti nuklir yang
beresiko tinggi dan
membutuhkan pendanaan
rata-rata sebesar Rp.198-288
Triliun tidak memiliki
transparansi dan partisipasi
yang memadahi seperti yang
terjadi di Provinsi Bangka
Belitung.2
Potret tata kelola lingkungan dan SDA tahun 2011 di atas menunjukan bahwa
kebijakan Presiden dalam perlindungan lingkungan hidup maupun penanggulangan
perubahan iklim yang dijanjikan kepada masyarakat dan dunia internasional tidak
dijalankan secara terarah dan konsisten. Pemenuhan good environmental governance
sebagai prasyarat keberhasilan pengelolaan lingkungan dan SDA serta perubahan
iklim justru belum mengindikasikan kemajuan yang menggembirakan.
2
Perkiraan biaya dari konsultan independen Synapse Energy Economics, Inc., menyatakan bahwa total biaya
tersebut adalah antara 6 miliar USD hingga 9 miliar USD per reaktor berkapasitas 1.100 MW. Artinya, untuk
reaktor 1.000 MW biayanya berkisar antara 5,5 miliar hingga 8,2 miliar USD. Dengan demikian, untuk 4 reaktor
berkapasitas total 4.000 MW seperti yang direncanakan di Indonesia jumlah biayanya adalah 22 miliar hingga 32
miliar USD alias 198 triliun hingga 288 triliun rupiah. Lihat www.synapse-
energy.com=Downloads=SynapsePaper.2008-07.0.Nuclear-Plant-Construction-Costs.A0022.
Halaman 4 dari 9
5. I.C. Macan Kertas Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum lingkungan pada tahun 2011 memang terdapat beberapa langkah
pemerintah dalam mendorong kelembagaan penegakan lingkungan baik melalui
pengembangan ulang penegakan hukum lingkungan terpadu (One Roof Enforcement
System-ORES) maupun sistem hakim bersertifikat. Namun inisiatif tersebut belum
membuahkan hasil yang nyata. Kedua sistem tersebut belum efektif berlaku karena
baru tahap pengembangan.
Konflik lingkungan hidup dan SDA merupakan poin penting yang harus diperhatikan
pada tahun ini. Dalam kurun waktu 2 (dua) tahun setelah diberlakukannya Undang –
Undang No. 32 Tahun 2009 hingga 3 Oktober 2011 tercatat 171 pengaduan
masyarakat. Dari jumlah tersebut 42 pengaduan telah diverifikasi oleh KLH dan 129
pengaduan diserahkan kepada institusi lingkungan hidup di daerah sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Dari 42 pengaduan yang diverifikasi oleh KLH, 20
pengaduan ditindaklanjuti dengan penjatuhan sanksi administrasi, 14 pengaduan
diselesaikan melalui perdata, dan 8 pengaduan ditindaklanjuti secara pidana.
Sedangkan terhadap 92 laporan pidana lingkungan hidup, baru 21 kasus yang masuk
ke tahap penyidikan dan baru 1 kasus yang berkasnya dinyatakan lengkap oleh jaksa.
Artinya hanya 45 laporan yang dapat ketahui setatusnya dan sisanya sebesar 47
laporan belum diketahui statusnya. Untuk penegakan hukum perdata 7 perkara yang
diselesaikan melalui pengadilan, 17 kasus diselesaiakan di luar pengadilan dan 20
kasus masih dalam tahap verifikasi.3
Penanganan Pengaduan
Penanganan Laporan Pidana
3
Dirangkum dari Rapat Koordinasi Nasional Penegakan Hukum Lingkungan 2011,
http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=5167%3Arakornas-
penegakan-hukum-lingkungan-2011&catid=43%3Aberita&Itemid=73&lang=en, 27 Desember 2011.
Halaman 5 dari 9
6. Penanganan Perdata
Data di atas menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan hidup belum proaktif.
Penegakan hukum lingkungan masih banyak mengandalkan pengaduan dan laporan
masyarakat. Artinya penegakan hukum lingkungan belum terintegrasi dengan sistem
monitoring yang harus dilakukan oleh instansi pemberi izin baik ditingkat pusat
maupun daerah. Penegakan hukum lingkungan juga belum banyak menyentuh pejabat
pemberi izin padahal sektor perizinan merupakan salah satu sektor yang rentan
terhadap praktek penyalahgunaan wewenang seperti KKN. Namun hal ini juga
menunjukkan bahwa di sisi lain kontrol publik memiliki peran yang strategis dalam
menyelamatkan upaya penegakan hukum lingkungan.
Di sisi lain, sistem pengaduan lingkungan hidup saat ini belum terintegrasi dengan
sistem pengaduan dan penegakan hukum di sektor lainnya seperti perkebunan,
kehutanan, pertambangan, dan tata ruang. Sektor-sektor tersebut memiliki andil yang
sangat signifikan dalam menyebabkan konflik lingkungan dan SDA. Sebagai contoh,
pelanggaran terhadap hukum kehutanan semakin massif. Pada 1 Februari 2011, Satgas
Pemberantasan
Mafia Hukum
bersama dengan
Kementerian
Kehutanan RI telah
mempublikasikan
temuannya terhadap
pelanggaran hukum
kehutanan di
Kalimantan Tengah.
Satgas menyatakan
terdapat 285 unit
perusahaan
perkebunan dengan
luas setidaknya 3.8
juta Ha dan 606 unit
perusahaan pertambangan dengan luas setidaknya 3.67 juta Ha di kawasan hutan
Kalimantan Tengah yang tidak memiliki izin berdasarkan dengan ketentuan
perundang-undangan kehutanan 4 Disharmonisasi kebijakan penataan ruang antara
Pemerintan dan Pemerintah Daerah dituduh menjadi biang keladi sekaligus alasan
tidak dilakukannya penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut.
4
Satgas PMH, “Siaran Pers: Penegakan Hukum pada Pelanggaran di Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah”,
http://www.satgas-pmh.go.id/?q=node/179, 1 Februari 2011, diakses pada tanggal 28 Desember 2011.
Halaman 6 dari 9
7. Patut diakui bahwa disharmonisasi merupakan salah satu penyebab terjadinya
fenomena di atas, namun seharusnya penegakan hukum masalah tersebut lebih
komprehensif. Berdasarkan data yang dirilis oleh Satgas PMH ditemukan bahwa dari
285 izin perkebunan dan 606 izin pertambangan yang dinyatakan melanggar tersebut,
terdapat 497 unit izin pertambangan (13 di antaranya berada di hutan lindung) dan
204 unit izin
perkebunan (54 di
antaranya sudah
aktif beroperasi)
yang secara nyata
melanggar RTRWP
maupun TGHK. 5
Artinya lebih dari
75% pelanggaran
yang terjadi adalah
bukan akibat
konflik kebijakan
penataan ruang
yang seharusnya
ditindak secara
tegas oleh penegak
hukum. Tragisnya, hingga akhir tahun 2011 belum ada penegakan hukum yang nyata,
meskipun Satgas PMH bersama dengan Kementerian Kehutanan telah menetapkan 63
kasus prioritas untuk ditindak secara hukum. Selain hanya lip service kondisi ini patut
diduga sebagai indikasi bahwa penegakan hukum lingkungan dan SDA telah
tersandera oleh mafia hukum yang terus menggerogoti sistem penegakan hukum kita.
Praktek-praktek yang rentan kolaborasi pelaku usaha dengan aparat penegak hukum
masih terus terjadi di tahun ini. Berdasarkan data Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah (Polda) Papua Nomor B/918/IV/2011 tertanggal 19 April 2011
sejumlah aparat (635) TNI-Polri yang terdiri dari 50 anggota Polda Papua, 69 anggota
Polres Mimika, 35 anggota Brimob Den A Jayapura, 141 anggota Brimob Den B
Timika, 180 anggota Brimob Mabes Polri dan 160 anggota TNI ditugaskan untuk
mengamankan obyek vital PT Freeport Indonesia. Personel ini diganti setiap bulan
sekali dan Satgas pengamanan ini diberikan imbalan Rp 1.250.000,- /orang yang
diberikan langsung oleh manajemen PT. Freeport Indonesia kepada aparat 6 . Tidak
heran jika praktek ini mempengaruhi independensi aparat penegak hukum ditengah-
tengah konflik lingkungan hidup dan SDA.
Pengadilan perlu diberikan catatan pada tahun ini. Inisiatif memperkuat sistem
penegakan hukum lingkungan melalui sistem sertifikasi hakim lingkungan hidup telah
dilakukan meskipun baru efektif Agustus 2013. Namun inisiasi ini patut dikawal
untuk menjawab permasalahan kapasitas dan integritas hakim lingkungan.
Pengalaman pembentukan Pengadilan Tipikor harus menjadi pelajaran bagi
Mahkamah Agung RI agar hakim-hakim yang terpilih sebagai hakim lingkungan
adalah hakim yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi. Selain itu,
5
Satgas PMH, “Praktik Mafia Hukum di Sektor Kehutanan”, (Jakarta: Satgas PMH, 2011, hal 3.
6
Implementation of Access to Information in Papua,
http://www.tifafoundation.org/index.php?comp=home.detail.31&lang=id
Halaman 7 dari 9
8. pengembangan sistem sertifikasi hakim lingkungan hidup ini juga harus diimbangi
dengan sistem pengawasan, penyidikan dan penuntutan yang lebih baik melalui
penegakan hukum lingkungan terintegrasi (One Roof Enforcement System-ORES)
yang saat ini sedang dikembangkan oleh KLH, Kejaksaan, dan Polri.
II. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
II.A. Kesimpulan
1. Politik hukum nasional di tahun 2011 belum menunjukkan pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan nasional. Akibatnya, meskipun
berbagai komitmen perlindungan lingkungan telah digembar – gemborkan, aksi
nyata tetap berpihak kepada pertumbuhan ekonomi secara tidak seimbang. Hal ini
terindikasikan dalam berbagai produk hukum terkait lingkungan dan SDA yang
lebih pro investor daripada perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak
masyarakat.
2. Pengelolaan lingkungan hidup dan SDA di tahun 2011 belum memenuhi prinsip-
prinsip good environmental governance, yaitu transparansi, partisipasi,
akuntabilitas dan pengakuan keterbatasan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini
diindikasikan oleh lemahnya pemenuhan akses informasi dan partisipasi dalam
setiap pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup dan SDA (termasuk
keputusan perizinan) yang menjadi akar masalah bagi berbagai konflik
lingkungan dan SDA.
3. Penegakan hukum lingkungan dan SDA belum berjalan efektif, belum menjawab
rasa keadilan masyarakat, dan belum dapat memulihkan kerusakan lingkungan
yang terjadi. Kapasitas kelembagaan penegak hukum serta praktik mafia hukum
(kolaborasi pelaku usaha-pejabat pemerintah-penegak hukum) masih menjadi
faktor utama mandeknya penegakan hukum di sektor lingkungan dan SDA.
II.B. Rekomendasi
1. Harmonisasi peraturan perundang-undangan di sektor lingkungan hidup dan SDA
sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup yang melibatkan
para pemangku kepentingan (multistakeholdership). Harmonisasi ini harus
dipimpin langsung oleh Presiden RI.
2. Pengembangan pelaksanaan tata kelola lingkungan dan SDA yang baik melalui
penerapan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas melalui: (a)
pelaksanaan mandat UU Keterbukaan Informasi Publik, khususnya oleh instansi
terkait lingkungan hidup dan SDA; (b) pengembangan sistem partisipasi publik,
khususnya dalam pengambilan keputusan perizinan mulai dari regulasi hingga
mekanismenya; dan (c) pelembagaan resolusi konflik lingkungan dan SDA yang
terintegrasi antar sektor.
3. Peningkatan efektifitas penegakan hukum lingkungan dan SDA melalui: (a)
pengembangan kelembagaan penegakan hukum khusus untuk kasus-kasus
lingkungan dengan kriteria tertentu, sebagai trigger mechanism bagi lemahnya
penegakan hukum yang selama ini terjadi; (b) pembenahan sistem integritas dan
Halaman 8 dari 9
9. akuntabilitas lembaga penegak hukum untuk mencegah praktek mafia hukum di
sektor lingkungan dan SDA; (c) memprioritaskan pemberantasan KKN di sektor
lingkungan dan SDA; (d) memberikan shock therapy bagi pelaku usaha-pejabat
pemerintah-penegak hukum yang terlibat kejahatan lingkungan dan SDA,
korupsi, dan pencucian uang.
****
Contact Person:
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif (081-585-741-001)
Halaman 9 dari 9