Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 5 tipe. Tipe I merupakan reaksi alergi yang disebabkan IgE. Tipe II disebabkan IgG/IgM terhadap antigen sel yang menyebabkan kerusakan sel. Tipe III disebut kompleks imun yang mengaktifkan komplemen. Tipe IV adalah reaksi lambat sel T yang mengeluarkan limfokin untuk merusak sel target. Tipe V antibodi mengenali reseptor sel untuk mencegah atau meniru efek l
19. •
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan
terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap
parasit tertentu terutama cacing. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan
kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun
terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe I adalah:
•
Fase sensitisasi, waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor
spesifik pada pemukaan sel mastosit dan basofil.
•
Fase aktivasi, waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas
isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
•
Fase efektor, waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-bahan yang
dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologiknya.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan
salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung
oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti
infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I
adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G
(IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
20. •Reaksi hipersensitivitas tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai
dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan
atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan
tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel
mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu kelenjar misalnya
thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi
transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
•Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence.
•Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk
Fc
•Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
•Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
•Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
•Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal)
21. •Reaksi hipersensitivitas tipe III
Disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau
sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen.
Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan
komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik
makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan
pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula
polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim
pembentukan kinin.
22. •
Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell
mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau
reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan
dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi
tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan
dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut
limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi
besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan
jaringan.
23. Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan
waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tipe
Waktu
reaksi
Penampakan
klinis
Histologi
Antigen dan situs
Kontak
48-72
jam
Eksim
(ekszema)
Limfosit, diikuti
magrofag, edema
epidermis
Epidermal (senyawa organik,
jelatang atau poison ivy, logam
berat, dll)
Tuberkulin
48-72
jam
Pergeseran
(indurasi) lokal
Limfosit, monosit,
makrofag
Intraderma (tuberkulin, lepromin,
dll)
Granuloma
21-28
hari
Pengerasan
Makrofag,
epitheloid dan sel
raksasa, fibrosis
Antigen persisten atau senyawa
asing dalam tubuh (tuberkolosis,
kusta, dll)
24. •
Reaksi hipersensitivitas tipe V
Ini adalah jenis tambahan yang kadang-kadang (sering terjadi di
Inggris) digunakan sebagai perbedaan dari tipe 2. Tidak mengikat
komponen permukaan sel, antibodi mengenali dan mengikat reseptor
permukaan sel, yang bisa mencegah ligan dimaksudkan mengikat
reseptor atau meniru efek ligan, sehingga merusak sel sinyal. Beberapa
contoh klinis: Penyakit Graves dan myasthenia gravis.
Penggunaan Tipe 5 jarang. Kondisi ini lebih sering diklasifikasikan
sebagai Tipe 2, meskipun kadang-kadang tipe ini secara khusus
dipisahkan ke dalam subkategorinya sendiri, yakni tipe 5. Reaksi ini
terjadi ketika antibodi IgG, salah satu antibodi diarahkan antigen ke
permukaan sel yang memiliki efek merangsang pada target.
Diperkirakan bahwa reaksi tersebut dapat terjadi dalam patogenesis
hipertiroidisme neonatal, di mana ibu merangsang anti-tiroid antibodi
IgG dan dapat melewati plasenta.