Dokumen tersebut membahas beberapa kearifan lokal dan tradisi budaya di Kabupaten Nganjuk seperti seni wayang Krucil, wayang Timplong, tari Tayub, tari Mung-Dhe, tradisi Wiwid Padi, dan upacara tradisional Nyadran. Dokumen ini juga menjelaskan arti lambang Kabupaten Nganjuk yang mencerminkan semangat persatuan dan perjuangan rakyat Nganjuk.
1. 2013
KEARIFAN LOKAL
Daerah Kabupaten Nganjuk
Beberapa Ulasan Budaya Asal Kabupaten Nganjuk
Choirul Fatmawati
S1/Pendidikan Fisika/Unesa
1/1/2013
2. KEARIFAN LOKAL KABUPATEN NGANJUK
Arti Lambang Kabupaten Nganjuk
Makna Gambar dalam Lambang Kabupaten Nganjuk :
Perisai bersudut lima berdasar biru dan bertepi
putih melambangkan jiwa kerakyatan, kesetiaan dan
kesucian masyarakat Nganjukyang selalu siaga dalam
menghadapi segala tantangan.
Bintang bersudut lima berwarna emas
melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, cita-cita
luhur dan suci sebagai pedoman perjuangan untuk
mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.
BASWARA YUDHIA KARANA artinya
cemerlang karena perjuangan.
Rantai berbentuk lingkaran melambangkan
kebulatan tekad rakyat Nganjuk, yang dilandasi semangat perjuangan dan
persatuan.
Tiga puncak gunung berwarna hitam memiliki arti filosofis Tri Dharma Amerta
dan secara historis menunjukkan Jaman Kejayaan Nasional, Jaman Penjajahan
dan Jaman Kemerdekaan.
Gunung, malambangkan sumber kekayaan alam air terjun sedudo adalah air suci
pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan rahmat untuk dinikmati
oleh umat-Nya.
Sawah mengandung makna kemakmuran, dan sungai juga bermakna
kemakmuran dan kesuburan.
Gunung berpuncak tiga, sawah dan sungai digambarkan dalam rantai yang
berbentuk lingkaran, itu mempunyai makna : Dengan tekad yang bulat dan
kekayaan alam yang melimpah memberikan keyakinan kepada masyarakat
Nganjuk untuk berjuang mewujudkan tercapainya masyarakat adil dan makmur.
Padi dan kapas melambangkan pangan dan sandang yang menjadi kebutuhan
pokok rakyat sehari-hari. Jumlah padi 17 butir, kapas 8 buah, daun padi 4 helai,
daun kapas 5 helai mencerminkan semangat dan jiwa proklamasi 17-8-45.
Pohon beringin berdaun lima kelompok dalam segi lima beraturan bermakna :
pengayoman, perlindungan dan perdamaian, serta juga menggambarkan adanya
lima wilayah kerja pembantu bupati.
Sayap dengan 20 helai bulu berwarna emas melambangkan wilayah daerah
terdiri dari 20 kecamatan.
Pita bertuliskan angka Jawa yang mengikat dua pangkal sayap mewujudkan
angka 937 M, yang merupakan ditetapkannya tahun hari jadi Nganjuk.
3. Secara keseluruhan, lambang daerah ini mengandung makna sebagai berikut :
“Dengan semangat dan jiwa proklamasi 17-8-45 rakyat Nganjuk yang telah tumbuh dan
berkembang sejak tahun 937 M, bersama Pemerintah Daerah yang berwibawa bertekad
bulat untuk berjuang terus dengan segala potensi daerahnya, sehingga tercapai cita-cita
luhur, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”
Kearifan Lokal Seni Dan Tradisi Daerah Nganjuk
1. Seni Wayang Krucil
Wayang Krucil dibuat dari kayu Mentaos berbentuk pipih. Mula-mula, kayu
dipotong dan dibuat papan agak tebal. Setelah itu, papan kayu diberi gambar, diukir
dan diberi cat sesuai tokoh wayang yang akan dibuat. Wayang Krucil berbeda
dengan Wayang Kulit. Pada Wayang Krucil, memiliki ketebalan 2 -3 Centimeter,
sedang Wayang Kulit sekitar 3 milimeter. Boleh dikatakan, bentuk Wayang Krucil
mengarah tiga demensi. Karena itu, karakter tokoh Wayang Krucil terkesan lebih
bernyawa dibanding Wayang Kulit. Pada Wayang Kulit (purwa), satu wayang
mewakili satu tokoh atau satu karakter dan memiliki satu nama. Sedangkan, pada
Wayang Krucil Sri Guwak ini satu wayang bisa berganti-ganti memerankan
beberapa tokoh dan karakter. Untuk mementaskan kesenian itu, diringi perangkat
gamelan Mardi Laras dengan 20-an pemusik (penabuh) dan 5 pesinden (penyanyi).
Wayang Krucil semakin tergusur dan sulit dijumpai. Kecuali, dalam acara-acara
ritual yang berkait dengan bersih desa dan nadar. Pada puncak kejayaannya, Wayang
Krucil tersebar hampir di seluruh daerah (desa dan kecamatan) di Nganjuk, bahkan
sampai di kawasan Kabupaten Kediri. Tetapi kini tinggal tersisa beberapa saja. Salah
satunya, Wayang Krucil milik Paguyuban Mardi Laras di Desa Garu Kecamatan
Baron, sekitar 15 km sebelah timur Kota Nganjuk. Wayang Krucil satu-satunya yang
tertinggal di Nganjuk itu dikenal sebagai Wayang Krucil Garu, karena tinggal dan
berkembang di Desa Garu. Wayang Krucil dianggap sebagai bagian dari keberadaan
desa sehingga berlangsung turun-temurun, dianggap sakral, sehingga harus selalu
dipentaskan dalam upacara bersih desa setahun sekali. Kesakralan dan malati
Wayang Krucil Garu terwujud dalam bentuk pagelaran yang harus disertai sesajen
khusus.
Cerita Wayang Garu Nganjuk mengambil beberapa sumber, diantaranya cerita
yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri, cerita rakyat tentang pemberontakan kepada
Belanda, cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia yang berkaitan dengan
perkembangan agama Islam, sumber cerita dari Mahabarata, hingga cerita yang
dibuat dalang sendiri atau dikenal sebagai lakon carangan. Yang membanggakan
adalah Wayang Krucil Nganjuk sudah dikenal sampai di Jerman.
Seni tradisi Wayang Krucil ini mempunyai nilai-nilai budaya yang tinggi.
Kesenian ini tak hanya mengangkat cerita-cerita sejarah, tetapi juga memuat aspek
moral dan etika. Sekaligus berperan sebagai media hiburan rakyat.
2. Seni Wayang Timplong
Bentuk wayang ini terbuat dari bahan kayu waru, sementara tangannya terbuat
dari kulit. Wayang timplong tidak melibatkan pesinden (waranggana). Wayang
Nganjuk ini tetap berjalan pada koridor pakem wayang itu sendiri. Artinya,
4. dalangnya sebagai generasi pewaris, tidak berniat mengubah eksistensi wayang
timplong. Untuk memainkannya, sang dalang hanya dibantu oleh lima orang panjak
yang mengiringi ilustrasi musik gamelan yang terdiri dari kendang, dua kenong,
gambang, dan gong kecil. Gending-gending yang menyertai cerita lakon juga tidak
terlampau njlimet, karena wayang ini hanya mengenal gending prahab (keluarnya
wayang), grendel (jejeran), ngrangsang (peperangan), sendonan (sulukan), dan
andek-andek (Onto Kencono).
Spesifikasi dari cerita berkisar pada cerita rakyat, khususnya cerita Kediren atau
asal usul daerah Kediri. "Cerita-cerita lakon Babat Kediri, Asmoro Bangun, dan
Panji Laras Miring itu sudah pakem wayang timplong. Tampilan wayang itu patut
mendapat perhatian, terlebih kajian-kajian sosiologis-antropologis dari para pakar
seni tradisi di daerah ini, karena karakter wayang itu sendiri mengenal tokoh jahat
maupun tokoh baik. Prabu Djoko Klono Sewandoro adalah tokoh jahat, sementara
Panji Asmoro adalah tokoh baik.
Wayang timplong masih bernapas, walaupun eksistensinya terbatas pada
komunitas pedesaan yang masih menghargai ritualitas. Wayang ini masih sering
ditanggap untuk ruwatan desa/bersih desa, untuk mengusir balak ataupun bencana.
Seni tradisi wayang timplong telah membuka apresiasi terhadap aneka ragam seni
wayang itu sendiri. Ruang untuk wayang langka ini masih perlu dibuka lebar, karena
seni tradisi yang konon cuma hidup dan berkembang di daerah Nganjuk itu bisa jadi
sebuah kekuatan untuk pencerahan-pencerahan hidup.
3. Seni Tayub
Tari Tayub atau acara Tayuban. Merupakan salah satu kesenian Jawa yang
mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan
tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari
dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong
yang lebih populer dari Jawa Tengah.
Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran
misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam
pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini
terdiri dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita yang disebut
dengan “ledhek”. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya
penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam
antara jam 9.00-03.00 pagi. Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan
untuk menjalin hubungan sosial masyarakat.
Mulai redupnya kesenian tayub banyak disebabkan karena, citranya yang
dikenal identik dengan keburukan akibat para penikmat seni tayub yang
menikmatinya dengan cara yang kurang sopan disertai dengan minum minuman
keras. Untuk memperbaiki citra tayub, didirikan organisasi yang dapat memayungi
kesenian tayub di Nganjuk. Didalamnya, selain diberikan pelajaran beragam gerak
tari, para waranggono diberi pembinaan untuk mengikis tindakan tercela dari para
penikmat seni tayub yang biasanya menyertai setiap pertunjukan tayub.
4. Seni Tari Mung-Dhe
5. Tari Mung Dhe adalah tari tradisional yang berasal dari Desa Garu, kecamatan
Baron, Nganjuk. Dalam tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air,
heroik, patriotisme. Selain itu tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit
Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirdjo).
Dalam tari ini menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang
yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua
belah pihak yang sedang latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di
sebut botoh. Botohnya ada dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem
untuk pihak yang kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu,
sehingga membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang
dan kadang merasa geli, karena yang berlatih perang memakai pedang, sedangkan
botohnya lucu .
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain dengan masing-masing
peran pada awalnya, yaitu :
• 2 orang berperan sebagi penari /prajurit.
• 2 orang berperan sebagi pembawa bendera.
• 2 orang berperan sebagai botoh
• 8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring.
Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12 orang, yaitu 6 alat untuk 6
orang pemain. Di dalam pengaturan organisasi tari Mung Dhe untuk penarinya
adalah laki-laki serta perempuandan dalam tingkatan usia dewasa [baik yang
menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini, tari Mung Dhe sering
ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan Duta Wisata, maupun
Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara Wisuda (gembyangan-
red)Waranggono.
5. Tradisi Wiwid Padi
Selain dikenal sebagai kota angin, juga terkenal dengan tanah yang lumayan
subur. Sekitar 80% warga menggantungkan hidup sebagai petani. Tradisi ini
dilakukan sebagai wujud syukur kepada yang maha kuasa, atas melimpahnya hasil
panen tahun ini dan melestarikan tradisi nenek moyang, serta agar terhindar dari
malapetak. Ritual bercampur Islam dan bernuansa adat jawa, dilakukan dengan
membawa sesaji dan tumpeng di sawah sebelum panen raya padi, setiap setahun
sekali. Ritual dimulai dengan arak-arakan makanan dan sesajian, serta peralatan
memanen padi berupa ani. Diarak di tengah persawahan yang dikeramatkan,
sesepuh memulai ritual dengan meletakkan sesaji, membakar batang padi dan
membaca doa. Secara simbolis sesepuh memotong beberapa batang pohon padi
dengan ani-ani dan potongannya diletakkan di atas buah pisang dan selanjutnya di
bawa pulang ke rumah. Terakhir, sesepuh membaca doa, menyantap makanan yang
dibawa tadi bersama-sama. Tradisi ini juga dilakukan untuk menjaga kelestarian
alam serta kearifan lokal.
6. Upacara Tradisional Nyadran
Ritual ini merupakan ritual sedekah bumi dan disebut juga dengan sadran. Kata
Nyadran maupun Sadran keduanya berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sadra
6. yang kemudian karena perjalanan zaman mengalami perubahan lisan Nyadran atau
Sadran. Kata Sadran mempunyai arti ziarah kubur, suatu tradisi masyarakat jawa
sejak zaman Hindu-budha di negeri ini. Itu sebabnya dalam acara Nyadran hampir
semua warga masyarakat ikut melaksanakan tanpa memandang perbedaan status dan
agama yang dianutnya. Ritual itu juga dilakukan untuk meminta selamat dan
kemakmuran. Acara tersebut merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Karena telah diberi panen yang melimpah, dan puluhan dayang-dayang
beriringan mengantar sesaji berupa hasil bumi ke makam tokoh yang konon menurut
cerita adalah orang pertama yang babat desa, setelah sesepuh desa membacakan doa
dengan disertai bakar kemenyan didepan makam. Ratusan warga yang hadir
dipemakaman desa tersebut, berebut sesaji berupa hasil bumi. Ratusan menyakini,
makanan maupun barang-barang yang sudah dikarak oleh dayang-dayang mulai dari
balai desa sampai ke punden memiliki manfaat tersendiri.