PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
Kisah Penari Lengger yang No-Gender
1. Kisah ini tertuang karena dorongan kompleksitas
proses ritus tubuh dalam dunia panggung tari yang
tak lagi memandang gender sebagai identitas
tubuh. Sosok kali ini adalah seorang penari
Lengger Banyumasan yang akhirnya memilih
untuk menjadikan tubuh dan jiwanya sebagai
tubuh kontemporer sekaligus “no-gender”. Ia
bernama Rianto Manali, penari gemulai dalam
sosok keseharian yang sederhana.
Saya (O): Kapan mulai tertarik dengan tari
dan akhirnya memutuskan dunia tari sebagai
bagian dari laku hidup?
Rian (R): Sejak kecil saya suka menari, ketika
umur 7-14 tahun saya sudah sering pentas untuk
acara hari kemerdekaan Indonesia di desa yaitu
Kaliori. Sejak kecil saya seorang anak yang
berbeda hobinya dengan anak laki-laki yang lain,
kegemaran saya adalah menari dan bermain
dengan perempuan karena menurut saya lebih
nyaman dan lebih merasa tenang dengan mereka.
(O): Saat menyadari dalam dunia panggung,
khususnya tari, ada hal yang tentu tidak
lagi membedakan gender laki-laki maupun
perempuan, gimana menyikapinya?
(R): Selama saya mempelajari jenis tarian
tradisional indonesia bagi saya itu sudah
berkarakter dan sangat jelas perbedaan jenis
tarian laki-laki dan perempuan. Setelah saya
mengenal jenis tari kontemporer kemudian saya
tidak bisa membedakan masalah gender, baik itu
laki-laki ataupun perempuan, yang ada hanyalah
feminim dan maskulin, atau tention dan release
atau on dan off pada gerakan yang ada pada
tubuh penari.
(O): Kenapa memilih tari tersebut sebagai jejak
kepenariannya?
(R): Saya memilih tari Lengger Banyumasan
sebagai jejak kepenarian saya karena tarian ini
lebih dekat dengan tubuh saya, dan setiap hari
saya menghirup udara, makan makanan dan
minum air dari alam Banyumas.
(O): Apa harapanmu untuk para penari pria
yang mengalami kompleksitas gender ini dan
menjadikan tubuh transgender ini sebagai
anugrah sehingga layak untuk diperjuangkan
eksistensinya sebagai manusia seutuhnya,
bukan sekedar dunia panggung tari?
(R): Pada para penari pria yang mengalami
kompleksitas masalah trasgender untuk menjadi
manusiaseutuhnyabagisayaitusudahmerupakan
keutuhan karakter yang dimiliki, bukan sebagai
hal yang dipermalukan oleh diri sendiri atau orang
lain. Harus bisa menyadari bahwa kemampuan
tubuh itu berbeda-beda dan kedalaman rasa
didalam panggung dan keseharian pasti akan
muncul, akan lebih kaya dari dari yang lain.
*Penulis adalah seorang ibu rumahtangga yang gemar menari
dan menulis. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di rumah,
berkumpul bersama anak-anaknya.
Rianto Manali
Si Penari Lengger
Rianto Si Penari Lengger yang No-Gender
(Sumber : Okty Budiati/Koleksi Pribadi)
Oleh : Okty Budiati*
INE
Volume 1/2015
OZ
OUR VOICEOUR VOICE
2. MajelisUlamaIndonesia(MUI),pada31Desember
2014 mengeluarkan satu fatwa No 57 tahun 2014
tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan pencabulan.
Dalam fatwa tersebut baik homoseksual maupun
hubungan tanpa ikatan perkawinan (secara
heteroseksual-red) dianggap sebagai perbuatan
haram sehingga harus dihukum.
MUI sebenarnya bukan kali ini saja membuat
fatwa yang semangatnya homophobia (membenci
homoseksual), pada 11 Oktober 1997 MUI juga
mengeluarkan sebuah fatwa tentang “Kedudukan
Waria” yang berisi bahwa Waria sebagai sesuatu
yang haram yang diharuskan “dikembalikan”
menjadi laki-laki yang dianggap “normal”.
MUI sebagai lembaga masyarakat sipil berbasis
agama (Islam) tentu menjadi hak setiap
masyarakat untuk memberikan pendapat ataupun
pandangan tentang sesuatu hal. Apalagi MUI
lembaga agama, tentunya mengeluarkan fatwa
haram memang sebuah keniscayaan lembaga
tersebut.
Bahkan ketika MUI mendorong fatwa tersebut
untukdiadopsiolehpemerintahitusebagaisesuatu
yang wajar saja dilakukan. Keanekaragaman dan
keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam kebijakan
negara memang dibolehkan dalam UU No 12.
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturann
Perundang-Undangan.
Karena Indonesia sebagai negara demokratis,
tentu apa yang dilakukan oleh MUI dapat juga
dilakukan oleh kelompok-kelompok mayarakat
lainnya. Sebenarnya fatwa bukan hanya otoritas
MUI saja, Organisasi Nahdatul Ulama (NU),
sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia
mempunyai satu organisasi (Batsul Masail) yang
bertugas mengeluarkan fatwa juga. Fatwa yang
dikeluarkanolehNUjugaseringdirekomendasikan
kepada pemerintah untuk diadopsi. Itu juga
sesuatu yang sah-sah saja dalam demokrasi ini.
Sebagai seorang gay muslim, membaca dan
menyikapi fatwa MUI tentang hukuman pada
homoseksual bukan suatu yang perlu saya
kuatirkan berlebihan. Bagi saya, sebagai aktivis
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT),
justru fatwa itu mendorong saya untuk memberi
tawaran lain kepada pemerintah, kebijakan
seperti apa yang dibutuhkan untuk perlindungan
dan pengakuan hak-hak LGBT di Indonesia.
Tentu untuk melahirkan sebuah kebijakan yang
ramah pada LGBT bukan hal yang mudah,
kelompok yang pro dan kontra pada LGBT akan
terus “bertarung” dalam ruang publik. Indonesia
mempunyai payung hukum tertinggi, UUD 45,
yang menempatkan setiap warga negara setara,
baik di depan hukum maupun dalam hubungan
sosial.
Sehingga posisi MUI sama setaranya dengan
organisasi gay, lesbian ataupun waria di
Indonesia. Apalagi menyangkut keimanan, tak
ada jaminan bahwa anggota MUI lebih mulia dari
seorang gay, lesbian ataupun waria. Wallahualam,
hanya Tuhan yang mengetahui itu!
*Ketua Suara Kita
MUI Itu Setara
Dengan
Organisasi LGBT
Oleh: Hartoyo*
3. PRIDE
Sutradara : Matthew Warchus
Pemeran : Bill Nighy, Imelda Staunton, dll.
Durasi : 120 Menit
Asal film: Inggris
Subtitle : Indonesia
Genre: Drama dewasa
Sinopsis: Tahun 1984, Perdana Menteri Inggris kala itu
Margaret Thatcher menaruh rasa curiga pada aksi para
penambang yang ia anggap menjadi ancaman anti-kapitalis
dan anti-demokrasi. Namun dibalik itu ternyata juga
ada sebuah isu lain yang tidak kalah hangatnya, hak-hak
terhadap gay dan lesbian. Hal tersebut yang menjadi asal
mula usaha dari seorang anak muda bernama Mark (Ben
Schnetzer) untuk membentuk kampanye LGSM (Lesbians
and Gays Support the Miners) dengan mengajak para
penambang untuk bersatu dalam upaya menuntut hak
mereka. Tapi semuanya tidak mudah, dari penolakan hingga
respon campur aduk ketika mereka mencoba bergabung
dengan sebuah kota di Wales.
Coming Out
Sebuah karya yang, seperti seksualitas, monolak
untuk dikotak-kotakan. Hendri memetakan
homoseksualitas-juga, homophobia-dari
berbagai aspek seperti sejarah, mitos, budaya,
politik, konstruksi sosial dan representasi media
dengan sangat cair. Sikap’heteronormatif’
maupun‘homonormatif’juga dibahas, sehingga
karya ini memiliki perspektif yang seimbang dan
dewasa. Pada akhirnya, Coming Out berhasil
mendekonstruksi segala bentuk pemupukan
stereotipe yang selama ini menjadi penghambat
penerimaan masyarakat terhadap indahnya dan
pentingnya perbedaan.
Lucky Kuswandi
Sutradara Selamat Pagi, malam dan Madam X
o u r c h o i c e
4. Mengurai
Stigma Atas Tubuh
Hari Jumat 13 Februari 2015, Auditorium Gedung X FIB penuh
dengan peserta seminar yang sudah tidak sabar untuk mengikuti
seminar Kebebasan dan Seksualitas yang diadakan oleh UI
Liberalism and Democracy Study Club (UILDSC) dan Support
Group and Resource Center on Sexuality Studies, Universitas
Indonesia (SGRC UI). Seminar yang berjudul Who Owns Your
Body? Mengurai Stigma Atas Tubuh mengundang Rocky Gerung
dan Zoya Amirin sebagai pembicara.
Seminar dibuka pertama-tama dengan kata sambutan dari
chairperson SGRC UI, Ferena Debineva dan opening statement dari moderator. Selanjutnya, Rocky Gerung
melanjutkan dengan pemaparan mengenai kebebasan.
Rocky Gerung memulai dengan menunjuk bahwa masalah utama dalam masyarakat Indonesia adalah seks
yang sangat di kaitkan dengan nilai nilai moral. Semua hal dikekang atas nama agama, moralitas, sopan
santun, dan sebagainya. Hal ini menurutnya tidak masuk akal dan kontra-produktif, dan menutup adanya
wacana seksualitas di Indonesia.
Sementara itu, Zoya Amirin, mengatakan bahwa mengekspresikan seksualitas tidak selalu berarti melakukan
hubungan seksual. Mengenakan jilbab adalah contoh bagaimana perempuan mengekspresikan seksualitas
mereka. Dia mengungkapkan kekecewaannya dalam kasus pelecehan seksual, di mana wanita bisa
disalahkan untuk memprovokasi serangan, menambahkan bahwa wanita di Indonesia diperlakukan sebagai
warga negara kelas dua.
Moderator pun menutup seminar dengan pernyataan yang manis dan tegas:
“Manusia memiliki pilihan, oleh karena itu jadilah bebas. Tubuh adalah milik kita, jadi hargailah.”
(Budi Larasati)
Tanggal Peristiwa
31 Maret 2015 Hari Ketampakan Transgender Internasional
22 Maret 2015 Paus Fransiskus makan malam bersama narapidana gay, lesbian, transgender dan positif HIV di
Naples, Itali.
17 Maret 2015 Gereja Presbyterian Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis.
13 Maret 2015 Tiga anak laki-laki dari Keluarga Torikin mengalami kelainan kromosom, dan ternyata berjenis kelamin
perempuan.
4 Maret 2015 Transgender Malaysia ditangkap di Batam karena menyatakan diri sebagai perempuan dalam doku-
men pasportnya.
28 Februari 2015 Tiga pria gay menikah di Thailand untuk pertama kalinya.
9 Februari 2015 Negara bagian Alabama melegalkan pernikahan sesama jenis, meskipun masih banyak kontroversi.
3 Februari 2015 Slovenia melegalkan pernikahan sesama jenis.
18 Januari 2015 Menteri Kesehatan Irlandia, Leo Varadkar come out di depan media.
14 Januari 2015 Pasangan homoseksual di Austria diperbolehkan mengadopsi anak.
1 Januari 2015 Pernikahan sesama jenis legal di Luxembourg.
Zoya Amirin (kiri) dan Rocky Gerung (kanan);
Narasumber Diskusi (Foto : Yatna/Suara kita)
ourvoice.lgbtiq@gmail.com Suara Kita @suarakita_ov
SuaraKita juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, puisi dan segala bentuk tulisan lainnya.Tulisan bisa dikirim ke E-mail redaksi SuaraKita:suarakitaredaksi@gmail.com.
OurFlashNews