1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan hak asasi manusia, manakala seseorang sakit maka ia akan
melakukan segala cara untuk memulihkan kesehatannya. Salah satu cara yang paling umum
di tempuh oleh penderita adalah menjalani pengobatan secara medis oleh dokter baik yang
melakukan pelayanan mandiri maupun yang bekerja di Rumah Sakit.
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan secara menyeluruh merupakan unit
pelayanan yang kompleks, padat modal, padat tenaga ahli dan padat teknologi. Bila dilihat
dari komponen-komponen yang mendukung pelayanan kesehatan secara berkesinambungan
maka peran Rumah Sakit dipengaruhi oleh beberapa hal :
1. Struktur organisasi pelayanan medik (dalam arti luas adalah pelayanan kesehatan) diatur
dalam UU 23 / 1992 tentang Kesehatan dan dijabarkan lebih lanjut dalam PP 32/1996
tentang Tenaga Kesehatan.
2. Perilaku sosial dan budaya, terutama yang berkaitan dengan pandangan dan praktek para
tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi masing-masing dalam upaya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Pasal 1 angka 3 UU 23 / 1992 menyatakan:
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sedangkan
jenis-jenis tenaga kesehatan diatur dalam pasal 2 PP 32/1996 sebagai berikut:
(1) Tenaga Kesehatan terdiri dari:
1. tenaga medis;
2. tenaga keperawatan;
3. tenaga kefarmasian;
4. tenaga kesehatan masyarakat;
5. tenaga gizi;
2. 2
6. tenaga keterapian fisik;
7. tenaga keteknisan medis.
(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidiologI kesehatan, etnomologi kesehatan,
mikrobiologi kesehatan, penyuluh kesehatan administrator kesehatan dan sanitarian
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, fefraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi tranfusi dan
perekam medik.
Upaya perawatan /pelayanan kesehatan bermula dari hubungan antara dokter dan
pasien dalam transaksi terapeutik yang didasarkan pada perjanjian yang bersifat inspanning
artinya perjanjian yang didasarkan pada usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan
terapi yang tepat dalam penyembuhan yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Bila
dilihat dari pengaturan tenaga kesehatan sebagaimana dalam Undang-undang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah maka secara implisit dapat dikatakan bahwa tenaga kefarmasian
memiliki pertanggungjawaban yang sama dengan tenaga kesehatan yang lain manakala
mereka bekerja tidak sesuai dengan standar profesi yang akibatnya dapat menimbulkan
kerugian pada pasien. Hal ini akan menjadi lebih penting untuk diperhatikan setelah
berlakunya UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang jangkauan berlakunya juga
meliputi pelayanan kesehatan.
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (PP no 51
tahun 2009).
Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan
layanan kesehatan kepada masyarakat. Salah satu yang berperan dalam pelayanan kesehatan
adalah pekerjaan kefarmasian.
Pekerjaan kefarmasian menurut PP RI nomor 51 Tahun 2009 : Pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
3. 3
pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Adapun tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah memberikan perlindungan
kepada pasien dalam memperoleh sediaan dan jasa kefarmasian, meningkatkan mutu
penyelenggaraannya yang sesuai peraturan perundang-undangan agar memberikan kepastian
hukum bagi pasien dan tenaga kefarmasian (PP 51 Tahun 2009 pasal 4).
I.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana ruang lingkup pekerjaan kefarmasian?
1.2.2 Undang –undang yang terkait dengan pekerjaan kefarmasian?
1.2.3 Bagaimana hubungan antara pekerjaan kefarmasian dan hak asasi manusia?
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Ruang Lingkup Pekerjaan Kefarmasian
Menurut UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 108 ayat (1) bahwa, praktek
kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 pasal 5
tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:
a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi, meliputi (pasal 6);
1. Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas
distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi.
2. Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan oleh Tenaga kefarmasian.
3. Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu,
manfaat dan khasiat Sediaan Farmasi.
b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi, meliputi (pasal 7);
1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki
Apoteker penanggung jawab.
2. Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.
Berdasarkan pasal 8 bahwa fasilitas produksi sediaan farmasi dapat berupa
industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik
kosmetika.
c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi,
meliputi (pasal 14):
1. Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat
harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
5. 5
2. Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi, meliputi (pasal 19):
a. Apotek
b. Instalasi
c. Instalasi farmasi rumah sakit;
d. Puskesmas;
e. Klinik;
f. Toko Obat; atau
g. Praktek bersama.
Berdasarkan pasal 20, dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/
atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
II.2. Pelaku Pekerjaan kefarmasian dan Perizinan Tenaga Kefarmasian
II.2.1. Pelaku Pekerjaan Kefarmasian diatur dalam PP 51 Tahun 2009 pada pasal 33
yaitu:
1. Tenaga Kefarmasian terdiri atas:
a. Apoteker; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian.
2. Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi,
dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
II.2.2. Perizinan Tenaga Kefarmasian diatur dalam PP 51 Tahun 2009 pada
Pasal 39 disebutkan bahwa:
1. Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi.
2. Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperuntukkan bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.
Pada Pasal 40 disebutkan:
6. 6
1. Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan
sumpah/janji Apoteker;
d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari
dokter yang memiliki surat izin praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi.
Pada pasal 41 : STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).
Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian pada Pasal
47 wajib memenuhi persyaratan:
a. Memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktek;
c. Memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang
telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian
bekerja; dan
d. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika kefarmasian
STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (1) (Pasal 48).
Pada Pasal 49 disebutkan bahwa STRA, STRA Khusus, dan STRTTK
tidak berlaku karena:
a. Habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang
bersangkutan atau tidak memenuhi persyaratan untuk
diperpanjang;
b. Dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
7. 7
c. Permohonan yang bersangkutan;
d. Yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. Dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang.
Pada Pasal 52 disebutkan bahwa setiap Tenaga Kefarmasian yang
melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat
izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja. Surat izin sebagaimana
dimaksud pada ayat dapat berupa:
a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit;
b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian
sebagai Apoteker pendamping;
c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
fasilitas kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah
sakit; atau
d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian.
Pada pasal 53 disebutkan:
1. Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat
Pekerjaan Kefarmasian dilakukan.
2. Tata cara pemberian surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikeluarkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri.
II.3. Hubungan PP No 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Dengan UU No
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Hal PP 51 tahun 2009 UU 36 tahun 2009
Tenaga kesehatan Pasal 33, terdiri dari
Apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian
Pasal 1 no. 6, Tenaga
kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan
8. 8
dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya
kesehatan.
Pekerjaan
kefarmasian
Pasal 5
meliputi pengadaan,
produksi, distribusi, dan
pelayanan sediaan
farmasi.
Pasal 108
meliputi pembuatan,
termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan
pendistribusian obat hingga
pelayanan informasi obat
yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
Fasilitas
Kesehatan
Pasal 1 no.7
sarana yang digunakan
untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.
Pasal 1 no. 7
suatu alat dan/atau tempat
yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Sediaan farmasi obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetik
Sediaan Farmasi adalah
obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetik.
Tujuan pekerjaan
kefarmasian
Pasal 4 poin a:
Memberikan perlindungan
kepada pasien dan
masyarakat dalam
memperoleh dan/atau
menetapkan sediaan
farmasi dan jasa
kefarmasian;
Pasal 104 ayat 1:
Pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat dari
bahaya yang disebabkan
oleh penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan
yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau
khasiat/kemanfaatan.
Peraturan
Pemerintah
Pasal 2 ayat (1):
Peraturan Pemerintah ini
mengatur Pekerjaan
Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi,
distribusi atau penyaluran,
dan pelayanan sediaan
farmasi.
Pasal 98
Ayat (3) : Ketentuan
mengenai pengadaan,
penyimpanan,
pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi
dan
alat kesehatan harus
9. 9
memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang
ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Ayat (4): Pemerintah
berkewajiban membina,
mengatur, mengendalikan,
dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan
pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
II.4. Undang-undang yang Terkait dengan Pekerjaan Kefarmasian
1. UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
2. UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
3. UU No 32 Tahun 2004 tentang Regristasi Izin, Praktek Tenaga Kesehatan.
4. UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
5. UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
6. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
7. Permenkes 284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotik Rakyat.
8. Permenkes 1148/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF).
9. Permenkes 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Regristasi, Izin Praktek dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian.
10. Permenkes 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik.
11. Permenkes 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Industri Farmasi
12. Permenkes 161/Menkes/Per/I/2010 Tentang Regristrasi Tenaga Kesehatan
13. Permenkes No 35 tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotik
14. Permenkes No 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas
15. Permenkes nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit
II.5. Hubungan Antara Pekerjaan Kefarmasian dan Hak Asasi Manusia
Adanya pertanggungjawaban baik tanggung jawab profesi maupun tanggungjawab
hukum dalam suatu hubungan hukum mengemuka manakala salah satu pihak melakukan
perbuatan yang berakibat merugikan pihak lain. Tenaga kefarmasian yang lingkup
10. 10
pekerjaannya diatur dalam pasal 63 UU 23/1992 meliputi pengadaan, produksi, distribusi dan
pelayanan sediaan farmasi. Tenaga kefarmasian sebagai tenaga profesional yang memenuhi
syarat-syarat tertentu maka selain tunduk pada aturan perundangan juga tunduk pada standar
profesi sebagai acuan dalam menjalankan tugasnya. Permasalahan pertanggungjawaban
tenaga kefarmasian secara mutatis mutandis disamakan dengan dokter maka apabila
melakukan kelalaian ataupun kesalahan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum
perdata, pidana dan administrasi. Dasar pertanggungjawaban secara perdata berdasar pada
pasal 1365 , 1367 KUHPerdata serta Pasal 54 dan 55 UU 23/1999. Sedangkan
pertanggungjawaban pidana didasarkan pada pasal 386, 359 dan 360 KUHPidana. Khusus
untuk tenaga kefarmasian ada aturan yang lebih jelas sanksi pidana sebagai mana diatur
dalam:
Pasal 80 angka 4
b. barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope indonesia dan atau buku standar
lainnya diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta
rupiah;
Pasal 81 angka 2
c. barang siapa mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa ijin edar diancam
pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak 140 juta rupiah;
Pasal 82 angka 1
d. barangsiapa tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pekerjaan
kefarmasian diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta
rupiah.;
Pasal 82 angka 2
Barang siapa dengan sengaja:
b.memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak
memenuhi standar ;
c. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak
memenuhi standar ;
d. mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi standar;
e. memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak
memenuhi standar;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta
rupiah.
11. 11
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kefarmasiaan dapat
dipertanggungjawabkan menurut ketentuan hukum perdata dan pidana serta hukum
administrasi, manakala perbuatannya memenuhi rimusan dalam undang-undang tersebut.
UU 8 /1999 secara tegas mengatur tanggung jawab pelaku usaha sebagai berikut:
Pasal 19
Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan;
Selain itu undang-undang perlindungan konsumen menganut pembuktian terbalik atau beban
pembuktian adanya kesalahan dibebankan pada pelaku usaha sebagaimana dicantumkan
dalam pasal 22 dan 28 UU 8/1999. Filosofi yang mendasari ketentuan ini adalah adanya
anggapan bahwa kedudukan pelaku usaha lebih tinggi baik secara ekonomi maupun sosial
daripada konsumen, selain itu juga didasarkan pada asas bahwa pelaku usaha harus berhati-
hati terhadap keamanan barang atau jasa yang diperdagangkannya.
12. 12
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
1. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisionsal.
2. Pekerjaan kefarmasian terdiri dari apoteker yang harus memiliki STRA dan tenaga
teknis kefarmasian harus memiliki STRTTK.
3. Pemerintah mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi,
distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.
4. Tenaga kefarmasian , sama seperti profesi lainnya tidak kebal terhadap aturan-
aturan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana , perdata
maupun administrasi
5. Keberadaan undang-undang perlindungan konsumen seharusnya tidak dipandang
sebagai ancaman akan tetapi dipandang sebagai rambu-rambu yang akan
mengingatkan tenaga kefarmasian untuk selalu menjalankan tugasnya pada arah
yang benar.
III.2 SARAN
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini. Kami banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
13. 13
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
2. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
3. http://farmasetika.com/2016/08/29/permenkes-no-31-th-2016-terkait-perubahan-
registrasi-izin-praktik-dan-kerja-tenaga-kefarmasian/
4. Peraturan UU No.8 Tahun1999 mengatur hak dan kewajiban konsumen.