Tafsir sufi dibagi menjadi 2 jenis yakni tafsir nazhari dan isyari. Tafsir nazhari sejalan dengan tasawuf nazhari sedangkan tafsir isyari sejalan dengan tasawuf isyari. Beberapa karya tafsir sufi antara lain Tafsir al-Qur'an al-'Adzim karya Sahl bin 'Abdillah at-Tustari yang membahas beberapa ayat secara terpisah, Haqaiq al-Tafsir karya Abu '
1. A. Latarbelakang Pembahasan
Kalau pada pertemuan sebelumnya telah dibahas tentang tafsir Fiqh yang
konsentrasinya pada hukum, kemudian Tafsir Kalami yang didalamnya dibahas seputar
‘aqidah. Pada kali ini akan dibahas Tafsir Sufi. Tafsir yang ditulis para sufiyyah. Dalam
pembagiannya tafsir ini terbagi menjadi dua macam, yakni: 1) Tafsir al-Shufi al-Nazhari
adalah tafsir yang sejalan dengan dengan al-tasawuf al-nazhari, yang bergelut dalam
tafsir ini seperti Imam Abû Su’ûd, al-Baidhawi, dan al-Nasafi. 2) Tafsir al-faidhi/Isyari
adalah tafsir yang sejalan dengan tafsir al-‘amali.1
Adapun yang menyelami tafsir ini
adalah Imam al-Alûsi, Ibn al-‘Arabi dan al-Naisâbûri.
Tafsir sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir Isyari, secara etomologis
berasal dari asal kata “asyara-yusyiru-isyaratan” yang berarti memberi isyarat atau
petunjuk. Jadi kata “Isyari” berfungsi sebagai keterangan sifat bagi lafal “tafsir” dengan
demikian “tafsir Isyari” berarti: “Sebuah penafsiran al-Qur’an yang berangkat dari isyarat
atau petunjuk. Artinya penafsiran diberikan sesuai dengan isyarat atau petunjuk yang
diterima oleh mufassirnya melalui ilham. Para ahli tasawuf inilah yang banyak
menafsirkan al-Qur’an melalui isyarat yang mereka terima. Itulah mengapa “Tafsir
Isyari” disebut juga dengan “tafsir sufi”.
Diantara pakar tafsir yang mengkonsentrasikan sufistik di dalamnya adalah: Imam
at-Tustari (W. 283 H) dengan Tafsir al-Qur’an al-Azhim, al-‘Allamah as-Sulami (W.
412) dengan Haqaqa’iq at-Tafsir, Imam asy-Syirazi (W. 283) Arais al-Bayan fi Haqa’iq
al-Qur’an. 2
B. Tafsiral-Qur’an al-‘Adzim karya Sahl bin Abdillah at-Tustari (283/896)
Abû Muhammad Sahl bin ‘Abdullâh bin Yûnus bin ‘Abdullah al-Tustari adalah
nama asli dari pengarang kitab berikut. Beliau lahir di wilayah Tustar, masih termasuk
wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon, al-Tustari adalah seorang yang sangat
wara’, takwa, dan tergolong kelompok orang-orang yang arif. Beliau pernah berjumpa
1
Kutipan Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya Sejarah & ‘Ulumul Qur’an, hal.180 dengan
merujuk pada kitab Fahd ibn ‘Abd al-Rahman ibn SUlaiman al-Rumi, Ittijah al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi
‘Asyar, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-SSa’udiyyah, 1986.
2
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 169
1 | P a g e
2. dengan Dzun Nun al-Mishri di Mekah. Kemudian ia pindah ke Bashrah dan menetap di
sana hingga wafat tahun 383 H.3
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhîm dicetak dalam satu jilid. al-Tustari membicarakan
beberapa ayat secara terpisah dari masing-masing surat. Karena memang beliau tidak
menafsirkan secara keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.4
Menurut al-Tustari, ayat per ayatnya dalam al-Qur’an terdiri atas empat makna
yang fundamen, yakni: zhahir, bathin, hadd, dan mathla’. Menurutnya lagi, pemahaman
umum tentang suatu ayat akan diperoleh melalui pengetahuan yang zhahir. Sedangkan
pemahaman yang dikehendaki oleh ayat--dalam hal ini Allah-- hanya akan diperoleh
melalui isyarat-isyarat yang bersifat bathini. Sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Al-
Nisâ’ ayat 78:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?”
Melalui ayat tersebut di atas, al-Tustari beranganggapan bahwa dalam tafsir al-
Qur’an bukan tafsir batin an sich di dalamnya. Oleh karena itu ia hanya mengatakan
bahwa makna-makna zhahir al-Qur’an yang bersifat umum dapat dipahami oleh siapa
saja yang memahami al-Qur’an secara gramatikal bahasanya. Sementara makna-makna
bathini adalah termasuk perkara-perkara yang khusus, yang hanya dipahami oleh orang-
orang tertentu yang telah mendapatkan pelajaran dari Allah swt.
Penafsiran al-Tustary yang lain dalam menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :
“ Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezki untukmu, karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
3
ibid
4
Ibid.
2 | P a g e
3. Kata (Andaadan) al-Tastary menafsirkannya dengan nafsu amarah
yang jelek. Jadi maksud ; andadan disini bukan hanya patung-patung, setan
atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal
yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya
dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.5
Maka ia menafsirkan kata أنندادا
(tandingan-tandingan) sebagai أضدادا (yang bertentangan) , menurut beliau tandingan yang
paling besar adalah nafsu ammarah bi al-Sû’ (nafsu yang selalu memerintahkan kepada
keburukan) meskipun secara zhahir ayatnya tidak berbicara tentang nafsu ammaroh
melainkan tandingan ataupun sekutu bagi Allah swt. yang disembah oleh orang-orang
musyrik.6
C. Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdirrahman al-Sulami (412/1021)
Nama asli pengarang kitab ini adalah Abû ‘Abdurrahman Muhammad bin Husain
bin al-As’ad al-Sulami, lahir pada tahun 330 H. Selain masyhur sebagai seorang syaikh
dan ulama sufi pada masanya beliau juga dikenal sebagai seorang muhaddits.7
Samahalnya al-Tustari, al-Sulami menafsirkan seluruh surat dalam al-Qur’an,
namun tidak berdasarkan ayat per ayat. Ia hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu yang
dianggap penting dalam pertimbangannya.
Yang menjadikan berbeda dengan al-Tustari adalah al-Sulami sama sekali
menafikan pembahasan makna-makna secara zhahir. Beliau menggunakan pemahaman
bathin secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an meski sejatinya al-Sulami
masih mengakui eksistensi makna-makna yang zhahir. Hanya saja, beliau lebih suka
menghimpun tafsir-tafsir ahli hakikat dalam kitab tersendiri.
Sebagian ulama mengecam keras atas tafsiran beliau karena hanya membatasi diri
pada makna-makna isyari semata dan sama sekali berpaling dari makna-makna zhahir
dalam menafsirkan suatu ayat. Bahkan, Imam al-Suyuthi menyebutnya sebagai ulama
yang mengada-ada (mufassir mubtadi’).8
Selaras dengan al-Suyuti Ibn Taimiyah
5
Jurnal UIN Sunan Kalijaga, edisi 13 April 2010
6
Sahl al-Tustari, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1329 H),
hal. 14
7
Ibid 271
8
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an, h. 264
3 | P a g e
4. menudingnya sebagai seorang pendusta yang mengatasnamakan Ja’far al-Shadiq sebagai
rujukan. Berikut contoh penafsirannya dalam Q.S. al-Rahman ayat 11:
“Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak
mayang.”
Dalam penafsirannya, Allah swt. telah menjadikan dalam hati para waliNya kebun
keakraban denganNya. Di dalamnya Allah swt. menanam pohon-pohon ma’rifah, yang
akarnya terhujam dalam rahasia-rahasia mereka, sementara cabang-cabangnya berdiri
tegak menghijau dalam penampakan-penampakan mereka. Mereka memetik buah
keakraban tersebut setiap saat.9
D. al-Futuhat al-Makiyyah karya Ibn al-‘Arabi (638/1240)
Nama aslinya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammadibn al-`Arabi al-Thai al-
Tamimi, mendapat julukan Muhyi al-Dîn dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus),
karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik.. Ibn Arabi
meninggal di Damaskus dan di makamkan disana tanggal 22 Rabi al-Tsani 638
H/Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun. Penisbatan kepada nama Ibn ‘Arabi dalam
buku tafsir ini sempat diragukan bahkan dipertanyakan keabsahannya oleh banyak
ulama.10
Jangan-jangan itu hanya rekayasa para pengikutnya agar seolah-olah karya
tersebut orisinil tulisan Ibn ‘Arabi. Karena karya terbesarnya ini terdiri atas 37 jilid, 560
bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio.
Ibn ‘Arabi adalah penggagas konsepsi paham wahdat al-wujud, yakni sebuah
paham yang meyakini tidak ada wujud selain wujud yang satu, wujûd al-haq lagi
mutlaq.11
Beliau membina tasawufnya atas dasar pandangan yang diyakininya dan berusaha
menerapkannya pada ayat-ayat al-Qur’an.
9
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 380
10
Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfan, h. 74
11
Sejarah & ‘Ulumul Qur’an. Dr. Azyumardi Azra, hal 181. Namun, menurut Kautsar Azhari
Noer, Beliau bukan penggagas secara formal, melainkan Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M).
4 | P a g e
5. Contoh penafsirannya pada awal surat al-Nisâ’ dalam kalimat “ربكككم ,”اتقككوا
ditafsirkan dengan “bertakwalah kepada Tuhanmu, jadikanlah yang zhahir dari dirimu
sebagai penjagaan bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian yang batin dari dirimu sebagai
—yang tiada lain adalah Tuhan—sebagai penjaga bagi dirimu, karena perkaranya adalah
perkara celaan dan pujian.
Dalam kitab al-Fututhat al-Makiyah dan dalam teks-teks hukum serta dalam kitab
tafsir yang dinisbatkan kepada beliau kita d apati Ibn Arobi mempunyai pandangan-
pandangan dalam kitab tafsir yang diasaskan atas teorinya tentang wihdatul wujud.
Antaranya ialah tafsiran beliau akan firman Allah pada ayat al-Isro 23.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia.
Beliau menyebutkan dalam Al-futuhat jilid 3 hlm. 117 “Ulama-ulama zahir
mengandaikan perkataan ‘qodho’ kepada maksud ‘suruhan’ sedangkan aku dengan ulama
kasyaf lainnya mengandaikan pada maksud ‘hukum’. Sesungguhnya praduga mereka
dengan tidak menyembah perkara-perkara itu kecuali untuk menghampirkan diri mereka
kepada Allah , lalu Allah menurunkan kepada mereka kedudukan pengganti yang zahir
dengan rupa benda yang dia gantikan untuk mereka. Di sana tidak ada rupa kecuali
ketuhanan lalu mereka menisbatkan ketuhanan itu kepada mereka. Karena inilah al-quran
menunaikan hajat-hajat mereka apabila mereka bertawasul dengan gambaran-gambaran
itu sebagai kemahuan daripadanya agar tidak melakukan penisbatan namun mereka tidak
tersalah pada maqom (ketuhanan)”12
12
Aliran yang menyeleweng dalam penafsiran Alquran, Dr. Muhammad Hussain Pustka ilmi,
Selangor. Hal. 115
5 | P a g e
6. E. Kelebihan
E. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Sufi
Tafsir sufi termasuk dalam kategori tafsir Ilmy. Oleh karenanya, pemakalah
mengambil kelebihan dan kekurangan dari tafsir Ilmy agar mencakup keseluruhannya:
1. Kelebihan:
a. Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk
luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y
dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing
mufassir.
b. Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang luas
kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-
Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang
terpendam dalam bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya.
F. Kesimpulan
Bicara tafsir sufi dengan pemahaman masyarakat kebanyakan perlu kehati-hatian
dan toleransi ilmiah. Bukan wilayah akal masyarakat awam untuk menyampaikan
pemahaman ahlu al-sufah, sebab untuk mempertemukan keduanya ini sama sekali
bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, sebagai sebuah wacana, fenomena
penafsiran ala sufi yang bukan lagi representative ini harus diapresiasi secara acungan
jempol.
Bagaimanapun tafsir sufi merupakan bagian dari sejarah dan menjadi warisan
intelektual yang tidak kurang mahal harganya. Hemat pemalakah tafsir sufi masih
merupakan bagian dari penafsiran yang turut serta menambah khazanah keilmuan dan
akan tetap hidup seiring dengan kehidupan dunia yang semakin edan.
Corak tafsir sufi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya
dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh
mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir,
6 | P a g e
7. sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya
untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.13
Jadi Penafsiran
sufistik melakukan penafsiran dengan bercorak kerohanian/tasawuf.
Tafsir sufi masih tetap diakui sebagai sebuah metodologi, meski masih dalam
koridor pertentangan epistemologis. Serangan-serangan dari sebagian ulama tidak berarti
menafikan kehadirannya, namun kita perlu melirik argumentasi-argumentasi yang
dikemukakan mereka dengan pendukungnya.
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Wallahu a’lam bi al-Shawâb.
13
Ahmad Asy-Syirbasi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Cet. IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 7.
7 | P a g e
8. DAFTAR PUSTAKA
• Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Dr. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-
Kutub al-Hadîtsah, 1976
• Al-Tustari, Sahl. Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm. Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah,
1329 H
• Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân.
Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001
• Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2005.
• Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metode
Tafsir. Terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid. Bandung: Penerbit Pustaka,
1987
8 | P a g e