1. 1
Kajian Partisipasi Perempuan dalam Musrembang di Nangroe Aceh Darussalam
KAJIAN PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM
MUSRENBANG
DI NANGROE ACEH DARUSSALAM
Disusun Oleh: Kalyanamitra
Jakarta, Juni 2010
2. 2
Kajian Partisipasi Perempuan dalam Musrembang di Nangroe Aceh Darussalam
NEGERI SERIBU MATAHARI
Negeri seribu matahari
Disinilah...
Tanah dimana langit begitu dekat, begitu bersahabat
Angin urung berhembus dan lahan subur serasa padang pasir
Disinilah....
Kami kesulitan
Menerjemahkan tiap peluh anak negeri
Karena terlalu rumit birokrasi
Disinilah.....
Usai laut murka
Hujan pun jadi mahal
Tanah rencong
Mari belajar merayu Tuhan
Setidaknya demikian ungkapan hati saya ketika seminggu berada di Aceh. Tidak ada
pegunungan yang mampu menahan kilau matahari. Yang ada hanya hamparan bukit. Dan itu
nampaknya tidak cukup. Adanya hutan yang diharapkan mampu menyerap air pun tidak
dapat berfungsi dengan sempurna. Larangan pemerintah untuk tidak lagi menjamah hutan
agaknya berdampak secara politis maupun ekologis. Nilai politisnya jelas berkaitan dengan
konflik bersenjata dengan GAM beberapa waktu lalu. Sementara itu, dalam hal ekologis
mengakibatkan penebangan liar berkurang drastis. Namun hal itu sebenarnya juga membawa
dampak lanjutan, warga yang peduli terhadap lingkungannya tidak lagi bisa menjangkau
hutan untuk menanam pohon yang ditebangi penebang liar, sehingga berkurangnya populasi
pepohonan pun mengangalami penurunan. Akibatnya, jika musim kemarau, warga sangat
kesulitan mendapatkan air. Baik untuk mengairi sawah maupun kebun. Lebih
mengenaskannya lagi air bersih sangat minim. Sehingga akhirnya warga pedesaan harus
mengkonsumsi air yang tak layak.
“Sumber air kami ya Cuma sungai ini. Sekarang keruh karena baru banjir. Soalnya dasar
sungai itu tanah liat Kak, kalau batu mungkin masih bisa bersih air. Sering juga kami dapat
limbah pabrik kelapa sawit Cot Girek. Kalau turun limbah, air hitam, ikan mati.” Ujar
Rosmawati (30 tahun), warga desa Menasah Tuha, Lhoksukon, Aceh Utara. Dan ketika
musim hujan datang, air pun menerjang alias banjir.
Air adalah permasalahan utama masyarakat di tiga kecamatan Aceh Utara. Tiga kecamatan
itu meliputi Lhoksukon, Langkahan dan Muara batu. Imum Mukim* daerah Muara Batu,
Amsidar Achmad pun mengeluhkan hal yang sama.
Masyarakat Aceh terbagi dalam beberapa matapencarian. Petani/pekebun yang menjadi
matapencarian mayoritas, nelayan dan pemecah/ penambang batu. Selain itu ada beberapa
yang kecil prosentasenya seperti pedagang, PNS, guru dan polisi.
Sepanjang mata saya memandang warung kupi, demikian orang aceh menyebutnya, tidak
putus-putusnya. Dan selalu ada pengunjung. Agaknya duduk, bicara dan minum kopi
membudaya di kalangan lelaki aceh. Apalagi kalau jam sudah menunjukan pukul 12.00 siang.
3. 3
Kajian Partisipasi Perempuan dalam Musrembang di Nangroe Aceh Darussalam
Kebanyakan perempuan Aceh memiliki fungsi ganda, selain harus melakukan pekerjaan
rumah tangga seperti memasak, membesarkan anak, mencuci, dsb, perempuan Aceh juga
harus membantu suami mereka di sawah. Dominasi pekerjaan perempuan di sawah terlihat
jelas. Biasanya fungsi lelaki hanya untuk mencangkul/ membajak sawah. Selanjunya dari
mulai proses menanam sampai memanen adalah pekerjaan si perempuan.
Kebanyakan penduduk desa menurun pendapatannya pada saat konflik dengan adanya DOM,
sampai sekarang. Jika sebelum DOM, para lelaki masih bisa mengambil hasil hutan, sejak
DOM itu tidak lagi terjadi. Gampong Menasah Tuha adalah gampong yang sebagian besar
penduduknya GAM.
Pengetahuan umum tenteng Musrenbang
Kegelisahan warga Aceh Utara tentang sulitnya pengairan dan air bersih di wilayah mereka
bukan tidak tersampaikan. Berkali-kali warga meminta sarana irigasi dan pompa air untuk
mengatasi persoalan, namun suara warga tidak pernah didengar. “Bosan kami Kak, ngapain
rapat-rapat terus, dikasih juga nggak.” Demikian Rosmawati, ibu 4 anak itu menggambarkan
kondisi partisipasi masyarakat Gampongnya(baca: kampung) dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan desa yang sering disingkat menjadi Musrenbangdes.
Proses Musrenbang sendiri ternyata sarat masalah. Menurut pengamatan saya, masalah utama
timbul dari minimnya informasi soal proses musrenbang. Sosialisasi yang tidak menyeluruh
mengakibatkan proses musrenbang makin simpang siur. Kebanyakan penduduk awam
(bukan perangkat desa), tidak paham soal musrenbang. Bagi mereka semua rapat desa adalah
musrenbang. Beberapa diantaranya bahkan tidak tahu kepanjangan Musrenbang itu sendiri.
Musrenbangdes biasanya diadakan di menasah-menasah**. Hal itu terjadi karena sangat
sedikit Geucik (kepala desa) yang mempunyai kantor/ balai desa. Kalaupun ada
kantor/balaidesa, biasanya merupakan swadaya masyarakat sendiri.
Masyarakat masih buta terhadap segala sesuatu yang menyangkut Musrenbang, bisa dibilang
tidak ada partisipasi aktif dari masyarakat. Bahkan musrenbangdes disama artikan dengan
musrenbang yang diadakan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
perdesaan atau yang biasa disingkat PNPM.
“Selama ini kan di desa tidak ada partisipasi aktif. Mereka paling didatangi oleh teman-teman
dari PNPM. 5 orang berkumpul aja sudah disebut Musrenbang. Padahal di PNPM sendiri
proses musrenbangdesnya beda dengan proses musrenbang des yang dibangun pemerintah.
Karena yang dilakukan temen-temen PNPM sendiri lebih pada proyek mereka. Yang
biasanya menyangkut simpan pinjam dan fisik. Itupun bentuk fisik yang belum tentu
dibutuhkan masyarakat desa. PNPM hanya mengusulkan usulan gampong yang sesuai
dengan program mereka.” Jelas Asma, Project Officer KPI Aceh.
Partisipasi perempuan dalam musrenbang
Sebelum 2010, hampir seluruh gampong tidak menyertakan perempuan dalam pengambilan
keputusan, proses apapun juga( tidak hanya musrenbang). Salah satu hal yang mempersulit
perempuan dalamm pelibatan aktif adalah waktu rapat yang biasanya diadakan malam hari,
diatas pukul 21.00. pemilihan waktu ini jelas tidak menguntungkan bagi perempuan, karena
waktu itu biasanya perempuan harus di dalam rumah.
4. 4
Kajian Partisipasi Perempuan dalam Musrembang di Nangroe Aceh Darussalam
Musrenbang tidak pernah efektif. Seperti yang saya katakan sebelumnya, proses
muusrenbang yang diadakan di desa hanyalah formalitas belaka yang sama sekali tidak
partisipan. Bunda(............), tokoh perempuan gampong Menasah Tuha menyampaikan bahwa
sebelum tahun 2010 proses Musrenbang sangat cepat. Maksimal satu minggu sebelum
Musrenbang kecamatan dilaksanakan, para utusan dari kecamatan membagikan form usulan,
yang seharusnya adalah sebuah kesepakatan dari masing-masing desa. Bahkan tak jarang
form tersebut dibagikan 2 hari sebelum pelaksanaan musrenbang kecamatan. Sehingga
praktis tidak ada kesempatan bagi para Geucik untuk membahas apalagi menganalisa
masalah apa yang paling utama dalam gampong mereka.
Padahal, setiap warga desa punya hak yang sama untuk duduk dalam musrenbangdes yang
seyogyanya membahas masalah sehari-hari mereka. Umumnya pemimpin musrenbang adalah
laki-laki.
Pasca pendampingan, beberapa desa sudah mulai mengadakan rapat di sore hari. Namun yang
masih terlihat sangat kurang adalah pengetahuan perempuan desa atas kebutuhan mereka.
Model usulan yang biasa diajukan kader perempuan desa biasanya seputar masalah
pelaminan, seperti simpan pinjam piring gelas dkk. Beberapa diantaranya sudah cukup maju
dengan mengajukan usulan seperti pengadaan puskesmas bantu(pustu), bidan desa(bides),
alat-alat penunjang ketrampilan seperti mesin jahit dan mixer, sampai pengadaan guru dan
pembangunan TK.. Namun masih berupa bangunan fisik. Belum ada perempuan yang
mngajukan usul non fisik seperti pelatihan pemberdayaan perempuan, pendidikan bagi
perempuan, pemperantasan buta huruf, dsb.
Pembangunan fisik yang memikirkan kepentingan perempuan pun masih sangat minim. Hal
ini dapat terlihat dari minimnya fasilitas umu untuk perempuan seperti toilet perempuan di
menasah-menasah. Toilet yang di bangun adalah toilet berdiri dan tidak ada penutupnya.
Faisal Fahmi, Anggota DPRK, mengatakan bahwa belum ada usulan non fisik dari beberapa
musrenbang yang pernah diikutinya. Anggota FPKS komisi pemerintahan, hukum dan
pertanahan ini menegaskan bahwa pembangunan non fisik mungkin juga baru pertama kali
didengarnya saat kami tanyakan.
Demikianlah pembangunan infrastuktur menjadi usulan paling dominan, pun dalam
musrenbang kecamatan. Pembangunan jalan, jembatan, irigasi, tempat-tempat ibadah,
rehabilitasi SD/ yang setngkat, serta puskesmas bantu/ polindes. Beberapa diantaranya juga
pelayanan dasar seperti kesehatan ibu dan anak, pendidikan TPA, TPQ dan
PAUD(pendidikan anak usia dini). Selain itu ada usulan pelayanan air dan pembangunan
sanitasi. Ini adalah klasifikasi usulan hasil musrenbangdes yang diberikan ke kecamatan.
Sejak adanya pendampingan dari LSM-LSM yang tergabung dalam program RHV(raising
her voice) inilah partisipasi aktif masyarakat sudah mencapai titik terang. Tiga kecamatan
hasil pendampingan RHV(KPI, ADF dan GERAK) yaitu Lhoksukon, Langkahan dan Muara
batu mengalami peningkatan partisipan yang cukup tajam, bahkan kenaikan partisipan
perempuan mencapai angka 75%.
Hasil temuan kami di lapangan menyebutkan bahwwa banyak masyarakat yang belum sadar
dan paham apa yang harus mereka minta dalam Musrenbang. Beberapa responden malah
5. 5
Kajian Partisipasi Perempuan dalam Musrembang di Nangroe Aceh Darussalam
menyebutkan sering terjadi tumpang tindih keputusan, serta keputusan yang tidak tepat
sasaran. “ada kejadian kalau di beberapa daerah muncul usulan bahwa jalan A perlu diaspal,
tiba-tiba yang terjadi justru jalan B yang diaspal. Padahal tidak banyak orang yang lewat
situ.” Sahut Asma, “Ada juga yang jalan baru dibangun, setahun kemudia sudah diperbaiki.
Padahal gak rusak.” Sambung Al Annas, Tuhapeut Muara batu.
Geucik sebagai kepala gampong memimpin rapat musrenbangdes jauh sebelum musrenbang
tingkat kecamatan diadakan. Warga yang datang secara prosentase sudah mewakili warga
gampong. Pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah. Perempuan memang
dilibatkan, namun peran sertanya masih terlihat kaku. Biasanya hanya perempuan yang punya
posisi bicaralah yang bicara, seperti ketua PKK atau tokoh perempuan lain.
“Disini banyak juga yang tak mau ikut. Biar jadi urusan suami, kata mereka, atau bosan, usul
ga pernah dikasih. Yah kalau buat manasah kami biasanya kumpul uang Kak, satu KK Rp
5000,-. Dikutip(diambil) setiap tanggal 1 per bulan.” Lanjut Farida, Kader perempuan dari
Menasah Tuha, Lhoksukon.
Hal ini sebenarnya meresahkan Bunda, menurutnya masyarakat gampong memang terlihat
sangat aktif jika menyangkut pembangunan menasah gampong. Padahal rumah warga banyak
yang tidak layak, berikut sanitasinya. “kalau mereka juga bisa sisihkan Rp 5000,- per bulan
untuk kepentingan kesehatan dan pendidikan, kayaknya itu lebih baik. Bukan Bunda bilang
pembangunan menasah tidak baik lho...” kata perempuan yang puluhan tahun menjabat
sebagai kepala sekolah SD di Aceh Utara itu.
Akuntabilitas dan transparansi anggaran Musrenbang
Warga gampong memang patut merasa bosan. Semua usulan hasil musrenbangdes, baik yang
prosedural maupun yang tidak, jarang sekali terealisasi. 9 Geucik yang menghadiri Training
Musrenbang mengamini bahwa ketika usulan dipenuhi, berarti ada proses lobi yang terkait
dengan kedekatan gampong dan para wakilnya di kecamatan, kabupaten atau bahkan DPRK.
Selain itu, jangan harap usulan bisa sampai ke musrenbang kecamatan dan kabupaten.
Para Geucik sepakat kalau masalah utama dari musrenbang ada di kecamatan. Karena sampai
di kecamatan, banyak usulan yang hilang.
Dilan, Geucik Seureke, Langkahan mengutarakan “Ada usulan-usulan yang kami buat dalam
musrembang, akan tetapi ada hal2 atau kbthn yg ada dikampung kami yg tidak sama dengan
desa kami, karena penduduk kami saja sangat bnyak sktr 851 KK dan sampai saat ini kami
msh mempertanyakan bagaimana hasil yg telah diproses dari musrembang, kecamatan
hingga kabupaten, kami tidak tahu sama sekali apa usulan2 yagn diterima atau tidak,
setidaknya ada konfirmasi balik karena mungkin masih harus dialokasikan kedaerah lain.
Dari usulan 2009 untuk 2010 tdk ada konfirmasi samasekali dan untuk tahun 2010 kami tdk
tahu sama sekali apa yg diusulkan, supaya kami bisa merasa apa yg kami usulkan menjdai
berarti”.
Hal ini juga disampaikan Asmah. “masalahnya, kami antarkan hasil musrenbang desa
bersama para geucik. Setelah itu dibawa ke kecamatan. Diserahkan ke kecamatan. Saya
melihat sampai ada bukti penyerahan. Setelah itu, pada saat musrenbang kecamatan, hampir
semua yang diusulkan di desa tidak muncul. Yang muncul justru kepentingan-kepentingan
proyek.” Ujarnya.
6. 6
Kajian Partisipasi Perempuan dalam Musrembang di Nangroe Aceh Darussalam
Tidak ada transparansi ataupun sosialisasi atas hasil musrenbang tingkat kecamatan dan
kabupaten menjadi titik sentral keresahan masyarakat. Apapun bentuknya, bahkan yang
minimal sekalipun tidak pernah tersampaikan di warga. Sehingga warga juga tidak dapat
melakukan evaluasi terhadap hasil musrenbangdes.
Sebagian besar warga gampong terutama para kader perempuan dan perempuan desa tidak
tahu apa itu tranparansi. Mereka sama sekali tidak paham makna transparansi, apalagi alur
transparansi yang seharusnya berjalan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Imum mukim adalah jabatan adat. Beberapa responden menyebutkan, tingkat pemerintahan
gampong Aceh adalah Kepala Dusun, Kepala Lorong lalu Geucik, baru Imum Mukim.
Seperti halnya RT, RW, Lurah dst. Imum Mukim membawahi beberapa desa. Besaran
wilayahnya tidak sama antara satu dengan yang lain. Ada yang membawahi 11 desa, ada
yang 35 desa.
**menasah adalah sebutan untuk mushola.
*** Laporan ini nantinya akan disertai berbagai lampiran antara lain:
Anggaran
Proses musrenbang seharusnya
Database responden (sementara ini kami sudahtitipkan di Sdri. Ika)
Transkrip
Foto