1. ASIDI-ALKALIMETRI
TUJUAN
Memahami reaksi asidi-alkalimetri
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut.
Percobaan standarisasi larutan HCl
Titrasi ke-
Volume larutan standar yang diperlukan
1.
2.
3.
4,1 ml
3,3 ml
3,4 ml
Percobaan penetapan campuran NaOH dan Na₂CO₃
Titrasi saat menggunakan indikator PP
Titrasi ke-
Volume larutan standar yang diperlukan
1.
2.
3.
19 ml
18,3 ml
18 ml
Titrasi saat menggunakan indikator MO
Titrasi ke-
Volume larutan standar yang diperlukan
1.
2.
3.
9,9 ml
9,9 ml
10,6 ml
Percobaan menentukan amonia di dalam garam amonium
Titrasi ke-
Volume larutan standar yang diperlukan
1.
2.
3.
4,7 ml
4,6 ml
3 ml
PEMBAHASAN
Metode titrimeti merupakan suatu metode analisis kuantitatif di mana dengan mereaksi suatu larutan yang telah diketahui konsentrasinya ke dalam larutan yang ingin diketahui konsentrasinya. Pada percobaan ini lebih digunakan metode titrimeti untuk asidimetri. Hal ini dikarenakan larutan standar yang digunakan dalam percobaan ini yaitu
2. larutan HCl, di mana HCl bersifat asam. Telah diketahui bahwa proses titrasi yang menggunakan larutan standar berupa asam dikenal sebagai asidimetri. Pada percobaan pertama yakni percobaan standarisasi HCl. Larutan HCl inilah yang nantinya akan digunakan sebagai titran dalam percobaan-percobaan selanjutnya. Akan tetapi, larutan HCl harus distandarisasikan terlebih dahulu. HCl harus distandardisasi karena larutan ini mudah menguap dan mudah bereaksi dengan senyawa lain di udara. Dengan kata lain larutan HCl bersifat higrokopis, menyerap uap air, dan menyerap CO2 pada waktu proses penimbangannya, sehingga konsentrasinya dapat berubah degan cepat. Oleh karena itu, larutan HCl merupakan contoh dari larutan standar sekunder. Larutan standar sekunder merupakan larutan standar yang tidak dapat dibuat dan ditentukan konsentrasinya hanya dengan melarutkan padatannya dalam sebuah pelarut dikarenakan sifatnya yang mudah bereaksi dengan senyawa lain di udara, sehingga setiap kali ingin digunakan dalam proses titrasi maka harus distandarisasi terlebih dahulu. Pada larutan standar sekunder, konsentrasi pasti ditentukan dengan menitrasi larutan asam tersebut dengan suatu titran tertentu (titran harus berupa larutan standar primer) yang sudah diketahui konsentrasi pastinya. Pada percobaan ini, larutan HCl akan distandarisasi menggunakan larutan boraks. Boraks digunakan dalam standarisasi larutan HCl karena sifatnya yang mudah diperoleh dalam keadaan murni, cukup stabil, mudah dikeringkan, dan memiliki berat ekuivalen yang tinggi (dapat mengurangi konsekuensi akibat kesalahan dalam penimbangan). Boraks yang akan digunakan harus dilarutkan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan boraks berbentuk kristal sehingga tidak bisa dititrasi secara langsung. Reaksi yang terjadi pada saat pelarutan boraks dengan air adalah sebagai berikut. Na₂B₄O₇ + 2H₂O → 2NaOH + H₂B₄O₇ Standarisasi HCl dengan menggunakan Na₂B₄O₇ ini disebut metode acidimetri, di mana menggunakan larutan asam sebagai titrannya. Indikator yang digunakan pada percobaan ini yakni metil orange. Indikator metil orange ini memilike range pH dari 3,1 sampai 4,4. Warna larutan akan berubah menjadi warna merah pada pH dibawah 3.1 dan menjadi warna kuning pada pH diatas 4.4 jadi warna transisinya adalah orange. Indikator ini biasa digunakan dalam analisis larutan yang bersifat basa. Jingga metil adalah salah satu indikator yang banyak digunakan dalam titrasi.
Pada larutan yang bersifat basa, jingga metil berwarna kuning dan strukturnya adalah:
Larutan boraks dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan indikator metil orange 2 tetes. Larutan ini kemudian dititrasi dengan HCl. Semula larutan boraks bersifat basa, namun ketika dititrasi dengan larutan HCl akan berangsur-angsur menjadi asam yang mana ditandai dengan turunnya nilai pH. Penambahan larutan HCl akan menyebabkan ion hidrogen tertarik pada salah satu ion nitrogen pada ikatan rangkap nitrogen-nitrogen untuk
3. memberikan struktur yang dapat dituliskan seperti berikut ini:
Kesetimbangan terjadi saat warna larutan boraks berubah dari yang semula berwarna kuning menjadi merah keorangean. Di mana pada saat itu terjadi jumlah mol ion H+ yang ditambahkan ke larutan sama dengan jumlah mol ion OH- yang semula ada.
Reaksi yang terjadi saat penambahan larutan HCl ke dalam larutan boraks adalah sebagai berikut.
Na₂B₄O₇.10 H₂O + 2 HCl → 2NaCl + 4H₃BO₃ + 5 H₂O
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh volume larutan HCl yang digunakan dalam proses titrasi dengan larutan boraks dalam 3 kali perulangan yakni 4,1 ml, 3,3 ml, dan 3,4 ml. Apabila volume tersebut dirata-rata diperoleh hasil volume rata-rata titrasi yaitu 3,6 ml. Hasil volume ini yang digunakan untuk menghitung nilai normalitas larutan HCl. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai normalitas larutan HCl yakni 0,0927 N.
Pada percobaan kedua yaitu penetepan campuran NaOH dan Na₂CO₃. Percobaan ini dilakukan dengan menitrasi larutan tersebut dengan larutan HCl 0,1 N. Percobaan ini terdapat dua kali titrasi. Di mana pada dua kali titrasi ini akan menggunakan dua indikator yang berbeda (indikator campuran), yaitu indikator PP dan MO (metil orange). Indikator campuran adalah dua indikator yang berbeda range pHnya lalu dicampurkan, di mana pada indikator PP memiliki range pH antara 8,2-10 sementara pada indikator MO memiliki range pH antara 3,1-4,4. Alasan digunakannya dua indikator ini yakni karena larutan yang akan ditentukan yakni dalam bentuk campuran, sehingga dapat menentukan konsentrasi komponen-komponen dalam campuran. Selain itu, juga dapat memperkecil kesalahan titrasi dan dapat memperpendek range pH.
Pada waktu titrasi pertama penetapan campuran NaOH dan Na₂CO₃ dipakai indikator PP. Penggunaan indikator PP ini dikarenakan NaOH dan Na₂CO₃ mempunyai pH diatas 7, sedangkan diketahui bahwa indikator PP memiliki rentang pH antara 8,3 sampai 10,0. Sehingga dengan indikator tersebut dapat mengidentifikasi perubahan pH pada larutan campuran tersebut.
Larutan HCl 0,1 N digunakan sebagai larutan standar dalam percobaan ini. Warna awal larutan setelah ditambahkan indikator PP dan sebelum dititrasi yakni merah muda. Warna ini karena kondisi campuran larutan sebelumnya yakni dalam kondisi basa. Dengan adanya penambahan larutan asam HCl, perlahan kondisi larutan akan mengalami penurunan pH, di mana ditandai dengan perubahan warna menjadi bening. Kondisi inilah yang disebut ekivalen. Namun, titrasi harus dihentikan pada waktu sesaat sebelum warna jadi bening hal ini untuk menghindari kelebihan volume titran yang digunakan.
4. Pada proses titrasi kedua, digunakan indikator metil orange (MO). Indikator ini memiliki rentang pH antara 3,1 sampai 4,4. Penggunakan indikator MO ini karena pada reaksi yang ke 2 terjadi penurunan pH, sehingga pH lebih kecil dari 7, sehingga MO cocok dipakai sebagai indikator pada reaksi yang ke II. Warna awal larutan saat telah ditambahkan MO dan sebelum dititrasi dengan HCl 0,1 N yaitu kuning. Penambahan larutan HCl akan menyebabkan kenaikan pH, sehingga warna larutan akan berubah menjadi orange. Reaksi keseluruhan pada penetapan campuran NaOH dan Na2CO3 adalah sebagai berikut.
i.
ii.
Pada titik ekivalen I NaOH akan bereaksi sempurna dengan HCl membentuk NaCl dan H₂O. Sementara itu, Na₂CO₃ akan melepaskan satu ion Na⁺ dan diganti kedudukannya dengan atom H⁺ dari HCl dan membentuk NaHCO₃. Setelah itu, reaksi berlanjut dengan melepaskan Na⁺ dari NaHCO₃ kemudian digantikan kedudukannya dengan kelebihan HCl sehingga terbentuk H₂O, CO₂, dan NaCl. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh volume HCl yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen pada titrasi pertama yaitu 19 ml, 18,3 ml, dan 18 ml. Sementara itu, volume HCl yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen pada titrasi kedua yaitu 9,9 ml, 9,9 ml, dan 10,6 ml. Dengan hasil volume tersebut, maka dapat diketahui massa NaOH dan massa Na₂CO₃ dalam campuran tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh hasil bahwa massa NaOH dalam campuran yitu 33,198 ml, sedangkan massa Na₂CO₃ dalam campuran yaitu 214,734 mg. Percobaan terakhir yakni menentukan amonia di dalam garam amonuim. Sama dengan percobaan sebelumnya, pada percobaan ini juga menggunakan larutan HCl 0,1 N sebagai larutan standarnya. Percobaan ini dilakukan dengan mencampurnkan sampel garam ammonium dengan larutan NaOH 0,1 M. Larutan ini kemudian dididihkan. Tujuan dari mendidihkan campuran larutan ini yaitu untuk menguapkan ammonia. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
Titrasi baru dilakukan sesudah larutan mendidih dan bau ammonia hilang. Sehingga setelah larutan mendidih perlu didiamkan beberapa saat dahulu (± 5 menitan). Pada percobaan ini digunakan indikator MO, sehingga warna larutan sebelum dititrasi yakni kuning. Titrasi baru dihentikan ketika terjadi perubahan menjadi orange (jingga).
Pada saat melakukan percobaan ini, diusahakan rentang waktu antara titrasi tidak terlalu lama. Hal ini dikarenakan larutan sebelumnya didihkan harus didiamkan dahulu. Pendiaman ini akan menyebabkan penurunan suhu. Apabila saat dilakukan titrasi terdapat
5. perbedaan suhu yang mencolok antara titrasi pertama dan seterusnya, maka akan menyebabkan pengaruh yang cukup besar terhadap hasil. Hal ini karena ketika titrasi dilakukan pada waktu larutan masih panas volume titran yang diperlukan lebih sedikit sedangkan ketika titrasi dilakukan pada keadaan yang lebih dingin volume titran yang dipakai lebih banyak. Kejadian ini dapat disebabkan karena adanya faktor panas/suhu. Seperti yang telah diketahui bahwa kecepatan/laju reaksi dipengaruhi oleh suhu, sehingga reaksi akan berjalan lebih cepat saat suhu tinggi demikian sebaliknya.
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh volume larutan HCl yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen yakni 4,7 ml, 4,6 ml, dan 3 ml. Dengan hasil volume tersebut dapat digunakan untuk menghitung massa amonia yang terkandung dalam sampel garam ammonium. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh massa amonia yaitu 10,048 mg.
Setiap percobaan titrasi dilakukan sebanyak 3 kali. Percobaan yang di lakukan 3 kali ini bertujuan agar diketahui hasil titrasi yang relatif dekat dengan hasil volume yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalennya (lebih akurat).