MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
Kartini Menulis dan Perjuangannya untuk Pendidikan Perempuan
1. Kartini Menulis
Iya aku tahu!
Akan ada pihak yang menggugat ketika aku goreskan nama ini. Kartini!
Mungkin kau, atau dia, juga mereka akan mengutuki Belanda sebagai biang kerok famous nya
Kartini dibanding perempuan lain di negeri ini, yang cucuran keringatnya bisa jadi jauh lebih
deras dari Kartini. Seperti Dewi Sartika dan Inggit Garnasih dari tanah Pasundan juga deretan
perempuan bergelar Cut dari tanah Rencong. Aku sendiri berpikir, hobi menulis Kartinilah yang
justru membuatnya lebih terkenal dibanding sosok perempuan lainnya. Kau tentu tahu buku
itu, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku itu terbit berkat ulah seorang Belanda yang rajin
mengumpulkan hasil korespondensi Kartini dengan rekan dan sahabatnya.
Selain diabadikan dalam buku dan lagu, nama Kartini akan tetap hidup dalamsalah satu tanggal
di kalender kita. 21 April, tanggal di mana dia lahir sebagai anak selir yang berbakat. Sebagai
keturunan darah biru, Kartini jelas mendapatkan pendidikan yang melampaui kaumnya kala itu.
Dia punya akses untuk berkawan dengan para intelektual. Kartini memang berbakat, di antara
saudara perempuannya, Kartini jauh lebih kritis. Seperti ketika mendapati ibu kandungnya tidak
diperbolehkan beraktifitas di hunian utama tempat dia tinggal.
Hobi membaca dan korespondensinya telah mendekatkan Kartini dengan keluarga Belanda
yang sempat mencoba menolongnya melanjutkan sekolah ke Belanda. Tapi ironisnya, sang Papa
pula yang menyarankannya untuk tetap tinggal di Jepara. Berdasarkan film biografinya, Kartini
mulai merintis sekolah putri pada tahun 1903 di lingkungan rumahnya. Rintisan ini bentuk
“balas dendam” Kartini atas kegagalannya melanjutkan sekolah. Kedua adik perempuannya
turut membantu mengajar. Tapi tak selang berapa lama, Bupati Rembang melamarnya.
“Tidak akan ada upacara berlutut dan mencium kaki mempelai, Romo. Tidak akan ada aturan
emboso terhadap suami dalam bicara sehari-hari. Tidak ada lagi kebiasaan garwo amphil atau
menyelir untuk Bupati Raden Mas Djoyoadiningrat. Dan, tidak ada yang tidak boleh untuk apa
saja yang saya kerjakan nanti, untuk cita-cita memperpandai bangsa.”
2. Peristiwa ini rupanya menjadi semacam titik balik perjuangan Kartini. Dengan mengajukan
syarat-syarat tertentu sebagai jawaban lamarannya. Ada sikap nyata yang disuarakan Kartini
dalam setiap syarat yang diajukannya kepada Sang Bupati. Sikap ini dia wariskan pada murid-
muridnya di sekolah kedua yang dirintisnya di Rembang.
“Seorang ningrat sejati, bukan cuma ningrat dalam gelar. Tapi lebih dari itu, adalah ningrat
dalam jiwa, budi, dan moral. Artinya, seorang ningrat yang tidak menghargai perempuan (cat.
Penulis) seperti ibu-ibu kamu semua, sesungguhnya di dalam jiwa dan budinya dia sama sekali
bukan ningrat”
Selain disimbolkan sebagai pejuang emansipasi, seharusnya Kartini menjadi simbol untuk hak
perempuan dalam urusan kesehatan. Ingat, di usianya yang baru genap 25 tahun, Kartini harus
pergi selamanya Karen mengalami perdarahan saat melahirkan. Sampai hari ini, 111 setelah
kepergian Kartini, kasus serupa masih mengancam eksistensi kaum perempuan di banyak
pelosok negeri. Ketika seharusnya mendapat jaminan maksimal ketika dia melahirkan generasi.
Di tengah euforia perjuangan Kartini yang berubah menjadi Hari Kebaya Nasional, kita bisa
sedikit mengingat tahun kepergian Kartini, tahun 1904. Abad sakral dalam sejarah pergerakan
nasional. Pada tahun-tahun itu, Tuan Samanhoedi mulai merintis cikal bakal Sarekat Islam di
Laweyan, Solo. Pada tahun-tahun itu pula, sekelompok remaja calon aktifis sedang asyik
masyuk mereguk ilmu di sekolah terkenal bernama STOVIA di Batavia. Ada Ki Hadjar Dewantara
dan Cipto Mangoenkoesoemo. Pada tahun-tahun itu, remaja-remaja yang baru balig mulai
menuntut ilmu pada Tuan Tjokro. Ada Sukarno dan Semaoen. Kini, nama Kartini sama besarnya
dengan mereka. Keranjingan pada surat menyuratlah yang membuat nama Kartini tidak beda
dengan tokoh-tokoh dari kaum lelaki. Gagasannya tentang pembebasan (perempuan priyayi)
abadi dalam lembaran-lembaran kertas lapuk yang ditulisnya di berbagai kesempatan.