IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Kejadian hipertensi di kota sukabumi fix
1. KEJADIAN HIPERTENSI DI KOTA SUKABUMI
(Diajukan untuk Memehuni Salah Satu Tugas Makalah Sistem Informasi
Kesehatan)
Disusun Oleh :
Kelas 4A Sarjana Keperawatan
1. ARDLYANSYA BAN A. NIM.C1AA16015
2. ERICK NIRWANA NIM.C1AA16029
3. MIRNAWATI NIM.C1AA16055
4. NENDEN HASANAH NIM.C1AA16071
5. RATU S. RAFIAH N. NIM.C1AA16079
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATA SUKABUMI
SARJANA KEPERAWATAN
2019
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya
yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Kami mengucapkan terikamasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi sehingga dapat terselesakannya
makalah ini dengan judul “Kejadian Hipertensi di Sukabumi”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang baik lagi.
Sukabumi, September 2019
Penyusun
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................................... 3
BAB I............................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 5
A. Latar Belakang................................................................................................... 5
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 6
C. Tujuan................................................................................................................. 6
BAB II ............................................................................................................................. 8
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................. 8
A. Pengertian Hipertensi........................................................................................ 8
B. Hipertensi Pada Lansia ..................................................................................... 8
C. Jenis Hipertensi................................................................................................ 10
D. Patofisiologi ...................................................................................................... 10
E. Manifestasi........................................................................................................ 12
F. Penatalaksanaan............................................................................................... 13
BAB III.......................................................................................................................... 20
DATA TABEaL DAN GRAFIK ................................................................................. 20
A. Hipertensi di Sukabumi................................................................................... 20
B. Tabel Data Jumlah Lansia dan Lansia dengan Hipertensi di Kota
Sukabumi Tahun 2018............................................................................................. 20
C. Diagram Data Lansia dengan Hipertensi di Kota Sukabumi Tahun 2018. 21
BAB IV.......................................................................................................................... 22
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 22
A. Berdasarkan Data Tabel ................................................................................. 22
B. Berdasarkan Data Diagram ............................................................................ 22
C. Analisa Opini.................................................................................................... 22
4. BAB V ........................................................................................................................... 24
KESIMPULAN ............................................................................................................ 24
A. Kesimpulan....................................................................................................... 24
B. Saran ................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 25
5. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah gangguan pada pembuluh
darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Hipertensi
merupakan gejala dari sebuah sindroma, kemudian akan memicu pengerasan
pembuluh darah sampai terjadi kerusakan target organ terkait. Secara umum,
hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, yang ditandai dengan
tekanan darah tinggi di dalam arteri sehingga menyebabkan peningkatan
risiko terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kardiovaskuler
seperti stroke, gagal ginjal, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Sudoyo,
2014).
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan tekanan darah meningkat antara
lain usia, keturunan, kebiasaan merokok, konsumsi garam berlebih,
kolesterol, stres, dan berat badan berlebih. Gejala yang utama pada penderita
hipertensi secara umum sering terjadi yaitu sakit kepala sampai ke tengkuk
bagian belakang dan tengkuk terasa pegal. Hipertensi ini dapat mengakibatkan
terjadinya komplikasi terutama pada sistem kardiovaskuler seperti stroke dan
gagal jantung. Perlu dilakukan usaha untuk menekannya dengan pengobatan
yang tepat sehingga tekanan darah dapat terkontrol ke tingkat yang normal
(Marisna, 2017).
Hasil penelitian Badan Penelitian dan Kementrian Kesehatan RI tahun
2018 menyatakan Jawa Barat merupakan propinsi yang memiliki prevalensi
tertinggi kedua dengan persentase (40.5%) setelah Kalimantan Timur
(39.5%), Jawa Tengah (38.5%) dan Kalimantan Barat (37.5%). Terbesar di
propinsi Kalimantan Selatan (44.1%), dan terendah pada propinsi Papua
(22.2%) Angka ini menunjukan bahwa di Jawa Barat angka kejadian
hipertensi masih tergolong tinggi (Riskesdas, 2018).
6. Berbagai data menunjukan bahwa hipertensi sebagian besar banyak
diderita oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh proses alamiah menjadi tua akan
mengakibatkan para lanjut usia mengalami perubahan fisik dan mental, yang
mempengaruhi kondisi kesehatan, ekonomi dan sosialnya (Komnas Lansia,
2018).
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ka atas,
berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia. Secara global populasi lansia di prediksi terus mengalami
peningkatan, UN, World Population Properties, The 2012 Revolution
menyebutkan bahwa proporsi lansia di tahun 2013 mencapai 13,4% penduduk
dunia, sedangkan untuk Indonesia proporsi lansia di tahun 2013 mencapai
8,9% dan prediksi terus mengalami peningkatan hingga tahun 2100. Struktur
(menurut destriana dkk, 2017).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data dan uraian di latar belakang banyak sekali penderita
hipertensi di dunia, maka kelompok akan menjelaskan tentang hipertensi dan
berapa presentase penderita hipertensi yang ada di Sukabumi.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
dari Mata Kuliah Sistem Informasi Kesehatan.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari pembuatan masyarakat ini adalah :
a. Mengidentifikasi gambaran tentang hipertensi
b. Mengidentifikasi gambaran tentang bagaimana penatalaksaannya
hipertensi
c. Mengidentifikasi gambaran tentang bagaimana hipertensi itu terjadi
8. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan kerusakan pada ginja, jantung, dan otak bila
tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai
(Kemenkes RI, 2013).
Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari
suatu periode. Hal ini terjadi bila arteriole-arteriole konstriksi. Konstriksi
arteriole membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan
dinding arteri (Udjianti, 2011).
Menurut WHO (World Health Organization), batas normal adalah
120-140 mmHg sistolik dan 80-90 mmHg diastolik. Jadi seseorang disebut
mengidap hipertensi jika tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 95 mmHg dan tekanan darah perbatasan bila tekanan darah
sistolik antara 140 mmHg- 160 mmHg dan tekanan darah diastolik antara
90 mmHg-95 mmHg.
B. Hipertensi Pada Lansia
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ka atas,
berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia. Secara global populasi lansia di prediksi terus mengalami
peningkatan, UN, World Population Properties, The 2012 Revolution
menyebutkan bahwa proporsi lansia di tahun 2013 mencapai 13,4%
penduduk dunia, sedangkan untuk Indonesia proporsi lansia di tahun 2013
9. mencapai 8,9% dan prediksi terus mengalami peningkatan hingga tahun
2100. Struktur (menurut destriana dkk, 2017).
Semakin bertambah tua umurnya, proporsi lansia yang mengalami
keluhan kesehatan semakin besar. Sebanyak 37,11 persen penduduk pra
lansia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir, meningkat
menjadi 48,39 persen pada lansia muda, meningkat lagi menjadi 57,65
persen pada lansia madya, dan proporsi tertinggi pada lansia tua yaitu
sebesar 64,01 persen. Pola yang sama juga terjadi baik menurut tipe daerah
maupun jenis kelamin (menurut destriana dkk, 2017).
Keluhan kesehatan tidak selalu mengakibatkan terganggunya aktivitas
sehari-hari, namun terjadinya keluhan kesehatan dan jenis keluhan yang
dialami oleh penduduk dapat menggambarkan tingkat / derajat kesehatan
secara kasar. Bertambahnya umur, fungsi fi siologis mengalami penurunan
akibat proses penuaan sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada
lanjut usia. Masalah degeneratif juga menurunkan daya tahan tubuh
sehingga lansia rentan terkena infeksi penyakit menular (menurut destriana
dkk, 2017).
Menurut data WHO, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau
26,4% orang di seluruh dunia mengidap hipertensi, angka ini kemungkinan
akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap
hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara
berkembang, termasuk Indonesia (Yonata, 2016). Penyakit terbanyak pada
usia lanjut berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 adalah hipertensi.
dengan prevalensi 45,9% pada usia 55-64 tahun, 57,6% pada usia 65,74%
dan 63,8% pada usia ≥ 75 tahun (Infodatin Kemenkes RI, 2016).
Lanjut usia menurut UU RI no 13 tahun 1998 dalam Indriana dkk,
(2010) adalah mereka yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Jenis
hipertensi yang khas ditemukan pada lansia adalah isolated systolic
hypertension (ISH), dimana tekanan sistoliknya saja yang tinggi (diatas 140
mmHg), namun tekanan diastolik tetap normal (dibawah 90 mmHg) (Arif,
2013). Lansia sering terkena hipertensi disebabkan oleh kekakuan pada
10. arteri sehingga tekanan darah cenderung meningkat. Biasanya stres bukan
karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai kejiwaan. Akan tetapi bisa juga
karena pengaruh stress tersebut maka penyakit fisik bisa muncul akibat
lemah dan rendahnya daya tahan tubuh pada saat tersebut (Mardiana, 2014).
C. Jenis Hipertensi
Menurut julianti (2009) menyatakan bahwa hipertensi digolomngkan
menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Hipertensi primer atau esensial
Merupakan hipertensi yang belum diketahui penyebabnya. Dari
sejumlah penderita secara umum, 90% penderita hipertensi termasuk
golongan ini.
2. Hipertensi sekunder atau non esensial
Merupakan hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya. Dari total
jumlah penderita hipertensi, 10% dari golongan hipertensi sekunder.
Penyebab hipertensi sekunder yaitu gangguan pada endokrin (adrenal,
tiroid, hipofisis dan paratiroid), penyakit ginjal, kelainan hormonal,
obat oral kontrasepsi.
D. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output
(curah jantung) dengan total tahanan perifer. Cardiac output (curah jantung)
diperoleh dari perkalian antara stroke volume dengan heart rate (denyut
jantung). Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf
otonom dan sirkulasi hormon. Empat sistem kontrol yang berperan dalam
mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor arteri,
pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin dan autoregulasi
vaskular (Udjianti, 2011).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di vasomotor, pada medulla di otak. Pusat vasomotor ini bermula
jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari
11. kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang
bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Titik
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Padila, 2013).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Padila, 2013). Meski etiologi
hipertensi masih belum jelas, banyak faktor diduga memegang peranan
dalam genesis hiepertensi seperti yang sudah dijelaskan dan faktor psikis,
sistem saraf, ginjal, jantung pembuluh darah, kortikosteroid, katekolamin,
angiotensin, sodium, dan air (Syamsudin, 2011).
Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh
darah (Padila, 2013).
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua
faktor ini cendrung mencetuskan keadaan hipertensi (Padila, 2013).
12. E. Manifestasi
Hipertensi sulit dideteksi oleh seseorang sebab hipertensi tidak
memiliki tanda/gejala khusus. Gejala-gejala yang mudah untuk diamati
seperti terjadi pada gejala ringan yaitu pusing atau sakit kepala, cemas,
wajah tampak kemerahan, tengkuk terasa pegal, cepat marah, telinga
berdengung, sulit tidur, sesak napas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah,
mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah di hidung) (Fauzi, 2014
dalam Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017).
Selain itu, hipertensi memiliki tanda klinis yang dapat terjadi,
diantaranya adalah (Smeltzer, 2013):
1. Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi bahwa tidak ada abnormalitas lain
selain tekanan darah tinggi.
2. Perubahan yang terjadi pada retina disertai hemoragi, eksudat,
penyempitan arteriol, dan bintik katun-wol (cotton-wool spots)
(infarksio kecil), dan papiledema bisa terlihat pada penderita
hipertensi berat.
3. Gejala biasanya mengindikasikan kerusakan vaskular yang saling
berhubungan dengan sistem organ yang dialiri pembuluh darah yang
terganggu.
4. Dampak yang sering terjadi yaitu penyakit arteri koroner dengan
angina atau infark miokardium.
5. Terjadi Hipertrofi ventrikel kiri dan selanjutnya akan terjadi gagal
jantung.
6. Perubahan patologis bisa terjadi di ginjal (nokturia, peningkatan BUN,
serta kadar kreatinin).
7. Terjadi gangguan serebrovaskular (stroke atau serangan iskemik
transien [TIA] yaitu perubahan yang terjadi pada penglihatan atau
kemampuan bicara, pening, kelemahan, jatuh mendadak atau
hemiplegia transien atau permanen).
13. F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada hipertensi bertujuan mengurangi morbiditas dan
mortalitas dan mengontrol tekanan darah dalam pengobatan hipertensi. Ada
dua cara yaitu pengobatan non-farmakologi (perubahan gaya hidup) dan
pengobatan farmakologi (Pudiastusti, 2011). Berikut ini algoritma
pengobatan hipertensi menurut Amin Huda & Hardhi Kusuma (2016).
3. Terapi Non Farmakologi
a. Pengurangan Berat Badan
Penderita hipertensi yang obesitas dianjurkan untuk menurunkan
berat badan membatasi asupan kalori dan peningkatan pemakaian
kalori (Pudiastuti, 2011). Syamsudin (2011) menambahkan untuk
perbanyak buah dan sayuran yang masih segar dalam konsumsi
harian.
b. Menghentikan Kebiasaan Merokok
Merokok berhubungan langsung dengan hipertensi tetapi merupakan
faktor utama penyebab kardiovaskuler. Penderita hipertensi
sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok (Pudiastuti, 2011).
c. Menghindari Alkohol
Alkohol dapat meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan
resistensi terhadap obat antihipertensi. Penderita yang meminum
alkohol sebaiknya membatasi asupan etanol sekitar 1 ons sehari
(Pudiastuti, 2011).
d. Membatasi Asupan Garam
Kurangi asupan garam sampai kurang dari 100 mmol per hari atau
kurang dari 2,3 gram natrium atau kurang dari 6 gram NaCl.
Penderita hipertensi dianjurkan juga untuk menjaga asupan kalsium
dan magnesium.
e. Melakukan Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik salah satunya bisa dilakukan dengan olahraga.
Olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan
endapan kolesterol pada pembuluh darah nadi. Olahraga yang
14. dimaksud adalah latihan menggerakkan semua nadi dan otot tubuh
seperti gerak jalan berenang naik sepeda aerobik. Oleh karena itu
olahraga secara teratur dapat menghindari terjadinya komplikasi
hipertensi (Corwin, 2009).
f. Penurunan Stres
Stres menstimulasi sistem saraf simpatis, meningkatkan
vasokontriksi, resistensi vaskular sistemik, curah jantung, dan
tekanan darah. Teknik relaksasi salah satunya seperti masase untuk
mengembalikan dan memperlancar simpul saraf dapat dilakukakan
untuk menurunkan tekanan darah (Sukadiyanto, 2010).
4. Terapi Farmakologi (Dipiro et al, 2015)
Ada sembilan kelas obat antihipertensi. Lima diantaranya
merupakan agen primer (pilihan pertama), yaitu Diuretik, β blocker,
ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor), ARB (Angiotensin
Reseptor II Blocker), dan CCB (Calcium Channel Blocker). Sedangkan
4 lainnya merupakan alternatif yang dapat digunakan setelah penderita
mendapatkan obat pilihan pertama, yaitu α blocker, agonis α-2 sentral,
inhibitor adrenergik, dan vasodilator.
Pemilihan obat pada terapi hipertensi tergantung pada derajat
peningkatan tekanan darah dan ada tidaknya komplikasi.
a. Diuretik
Bekerja dengan cara menyebabkan diuresis, meningkatkan ekskresi
Na, Cl, dan air sehingga volume plasma berkurang dan terjadi
penurunan curah jantung (cardiac output) yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan tekanan darah. Obat-obatan diuretik
diberikan pada pagi hari untuk single dose, atau pada pagi dan sore
hari untuk 2 kali pemberian. Hal ini untuk mencegah terjadinya
nokturia diuresis.
Ada 4 kelompok diuretik, yaitu:
1) Diuretik Tiazid : HCT (hidroklorotiazid), Klortalidon,
Indapamid, dan Metolazone.
15. 2) Loop diuretik : Furosemide, Bumetanide, dan Torsemide.
3) Diuretik hemat kalium : Amilorid, Triamteren. Dapat
menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien penyakit
ginjal kronik, diabetes dan terapi kombinasi dengan ACEI, ARB,
AINS, atau suplemen kalium.
4) Antagonis Aldosteron, juga termasuk diuretik hemat kalium:
Spironolakton, Eplerenone. Spironolakton dapat menyebabkan
ginekomastia pada 10% pasien.
b. β blocker
Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi dapat melibatkan
menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek
inotropik jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal. β blocker
dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan sifatnya, yaitu:
1) Kardioselektif, bekerja selektif pada reseptor β1 di jantung:
Atenolol, Bisoprolol, Metoprolol, dan Betaxolol.
2) Nonselektif, bekerja pada reseptor β1 dan β2 : Nadolol,
Propanolol, Timolol, dan Sotalol. Tidak boleh digunakan pada
pasien asma atau bronkhitis.
3) Memiliki Aktivitas Simpatomimetik Intrinsik: Acebutolol,
Carteolol, Penbutolol, dan Pindolol.
4) Campuran α dan β blocker : Karvedilol, Labetolol.
Efek samping blokade reseptor β pada miokardium adalah
bradikardi, ketidaknormalan konduksi atrioventrikular (AV), dan
gagal jantung akut. Penghentian β blocker secara cepat dapat
menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan
kematian pada pasien-pasien dengan resiko tinggi penyakit
koroner. Karena itu dosis harus diturunkan perlahan-lahan selama
1-2 minggu sebelum penghentian.
c. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)
16. ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokronstrikstor poten
yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEI juga memblok
degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang
menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan
prostasiklin. Yang termasuk dalam kelompok ACEI adalah:
Kaptopril, Benazepril, Delapril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril,
Perindopril, Kuainapril, Ramipril, dan Ilazapril. Penggunaan
kaptopril sebaiknya pada saat perut kosong, karena absorbsinya
dapat berkurang 30-40% jika diberikan bersama makanan.
Efek samping pada penggunaan ACEI yaitu :batuk kering
(pada 20% pasien), hiperkalemia (monitoring), neutropenia,
agranulosit, glomerulonefritis, proteinuria, dan gangguan fungsi
ginjal. ACEI dikontaindikasikan pada wanita hamil dan pasien
dengan riwayat angioedema.
d. ARB (Angiotensin Reseptor II Blocker)
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe
1 (ATI) yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui
pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi
simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol dari
glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensin II tipe 2
(AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulus AT2 (seperti
vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan
sel) tetap utuh dengan menggunakan ARB.
Yang termasuk kelompok ARB adalah: Kandesartan,
Eprosartan, Irbesartan, Losartan, Olmesartan, Telmisartan, dan
Valsartan.
Efek sampingnnya adalah insufisiensi ginjal, hiperkalemia,
dan hipotensi ortostatik. ARB tidak menyebabkan batuk seperti
ACEI, karena tidak mencegah pemecahan bradikinin. Tidak boleh
digunakan pada wanita hamil.
17. e. CCB (Calcium Channel Blocker)
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang
membran sel. Ada dua tipe kanal kalsium: high voltage channel (tipe
L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya
menghambat kanal tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner
dan perifer.
Ada dua subkelas CCB, yaitu:
1) Dihidropiridin: Amlopidin, Felopidin, Isradipin, Lekardipin,
Nicardipin, Nifedipin, dan Nisolpidin. Efek samping dari
dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, hiperplasia
gusi, edema perifer, perubahan mood, dan gangguan
gastrointestinal. Nifedipin dapat meningkatkan resiko
kardiovaskular.
2) Non dihidropiridin: Diltiazem dan Verapamil. Menurunkan
denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal
atriventrikular. Efek sampingnya adalah anorexia, nausea,
edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan
konstipasi pada 7% pasien.
f. α blocker
Yang termasuk α blocker adalah Doxazosin, Prazosin, dan
Terazosin. Bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat
pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan
vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah.
Efek samping berat yang mungkin terjadi adalah fenomena
dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan,
palpitasi, dan bahkan sinkope 1-3 jam setelah dosis pertama. Untuk
mengatasinya, dilakukan pemberian dosis awal dan peningkatan
dosis saat mau tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut
dengan pemberian terus-menerus. α blocker melewati sawar darah-
otak dan dapat menyebabkan efek samping pada CNS seperti
kehilangan tanaga, letih, dan depresi. Penggunaan dosis tinggi atau
18. penggunaan kronik dosis rendah dapat meretensi air dan natrium,
sehingga lebih efektif jika digunakan bersama diuretik.
Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lansia.
g. Agonis α-2 sentral
Klonidin dan Metildopa menurunkan tekanan darah terutama
dengan merangsang reseptor adrenergik di otak. Perangsangan ini
menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan
meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik,
bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat
menurunkan denyut jantung, cardiac output, total peripheral
resistance, aktivitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor.
Efek sampingnya adalah sedasi dan mulut kering. Penggunaan
kronis dapat menyebabkan retensi natrium.
Penghentian agonis α-2 sentral secara tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan
oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin
diberhentikan tiba-tiba.
h. Inhibitor adrenergic
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan
norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan
norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga
mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium,
mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung.
Efek sampingnya adalah depresi (pada dosis > 0,25 mg/hari),
hidung tersumbat, meningkatnya sekresi asam lambung, diare, dan
bradikardi. Dapat menyebabkan resistensi natrium yang signifikan
sehingga harus dikombinasi dengan diuretik tiazid.
i. Vasodilator
Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan
oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak
menyebabkan vasodilatasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga
19. menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang
mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor
menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga
meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
Akibatnya terjadi takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan
pemakaian seterusnya. Efek ini dapat diatasi dengan penggunaan
bersama β blocker atau diuretic.
20. BAB III
DATA TABEL DAN GRAFIK
A. Hipertensi di Sukabumi
Kota Sukabumi merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang
memiliki penderita hipertensi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota Sukabumi jumlah lansia dan lansia dengan hipertensi tahun
2018 dapat dilihat pada tabel berikut :
B. Tabel Data Jumlah Lansia dan Lansia dengan Hipertensi di Kota
Sukabumi Tahun 2018
No. Puskesmas
Lansia dengan
%
Orang Hipertensi
1 Baros 1793 1161 64.7
2 Cipelang 1792 879 49.0
3 Selabatu 1866 912 48.8
4 Sukakarya 1463 712 48.6
5 Tipar 1758 850 48.3
6 Naggleng 1542 732 47.4
7 Gedong Panjang 1721 809 47.0
8 Pabuaran 1316 612 46.5
9 Limusnunggal 1737 809 46.5
10 Cikundul 2055 933 45.4
11 Ciberem Hilir 2131 833 39.0
12 Sukabumi 4076 1529 37.5
13 Karang Tengah 2699 1008 37.3
14 Lembursitu 1866 912 36.0
s15 Benteng 2700 520 19.2
Total 30291 12891 42.5
21. Sumber : Dinas Kesehatan Kota Sukabumi, 2018
C. Diagram Data Lansia dengan Hipertensi di Kota Sukabumi Tahun
2018
7%
7%
6%
7%
6%
7%
5%7%8%
7%
13%
8%
8% 4%
cipelang
selabatu
sukakarya
tipar
nanggleng
gedong panjang
pabuaran
limus nunggal
cikundul
ciberem hilir
sukabumi
karang tengah
22. BAB IV
PEMBAHASAN
A. Berdasarkan Data Tabel
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa Puskesmas Baros
merupakan Puskesmas dengan kejadian lansia hipertensi terbanyak yaitu
sebesar 67.7% atau 1.161 kejadian lansia dengan hipertensi dari total 1.793
jiwa.
B. Berdasarkan Data Diagram
Dan jika dilihat dari diagram lingkaran diatas dari total 12.891 jiwa
yang menderita hipertensi terbanyak yaitu berada di Kabupten Sukabumi
dengan jumlah 13% atau sekitar 1.529 jiwa.
C. Analisa Opini
Dari data yang sudah kami ambil dapat disimpulkan bahwa masih
tingginya angka kejadian hipertensi di Kota Sukabumi yaitu sebesar 42.5%
atau sebesar 12.891 jiwa dari total lansia di Kota Sukabumi sebesar 30.291
jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pelayanan puskesmas di Sukabumi
cukup baik karena angka harapan hidup lansia tinggi dan angka kejadian
hipertensi di Kota Sukabumi tidak melewati angka harapan hidup lansia.
Penyebab hipertensi biasanya terjadi karena factor usia dan gejala
utama pada penderita hipertensi secara umum sering terjadi yaitu sakit
kepala sampai ke tengkuk bagian belakang dan tengkuk terasa pegal.
Hipertensi ini dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi terutama pada
sistem kardiovaskuler seperti stroke dan gagal jantung. Perlu dilakukan
usaha untuk menekannya dengan pengobatan yang tepat sehingga tekanan
darah dapat terkontrol ke tingkat yang normal.
23. Salah satu upaya pencegahan hipertensi yaitu : menjaga berat badan
ideal, berolah raga secara rutin biasanya untuk lansia bisa berjalan 2-3 jam
setiap minggu, konsumsi makanan rendah lemak dan kaya serat contohnya
roti dari biji-bijian utuh, beras merah serta bua dan sayuran. Kurangi garam,
kurangi alcohol dan berhenti merokok.
24. BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari penjabaran diatas kita bisa menyimpulkan bahwa banyak sekali
penderita hipertensi didunia terutama di sukabumi, dari permasalah tersebut
salah satu penyebab semakin tingginya pengidap hipertensi adalah
pengetahuan dari sumber daya manusianya. Kita sebagai mahasiswa
sekaligus generasi akademisi tentunya harus tau tentang hiperensi tersebut.
Maka kami menyusun makalah ini, supaya generasi muda lebih mengetahui
mengenai hipertensi. Diharapkan generasi muda ini bisa mengambil ilmu
dan sekaligus mengaplikasikannya dikehidupannya serta memberikan
informasi terhadap tetangga, orang tua, teman dan sebagainya.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangannya, maka dari itu kami mohon kritik dan sarannya yang
membangun agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.
25. DAFTAR PUSTAKA
Infodatin. 2014. Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI Indonesia
Kemenkes RI. 2013. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Seke, P. A., Bidjuni, H. J., & Lolong, J. (2016). Hubungan Kejadian Stres
Dengan Penyakit Hipertensi Pada Lansia Di Balai Penyantunan Lanjut
Usia Senjah Cerah Kecamatan Mapanget Kota Manado. e-journal
Keperawatan(e-Kp) , Volume 4 Nomor 2.
Zaenurrohmah, D. H., & Rachmayanti, R. D. (2017). Hubungan Pengetahuan
Dan Riwayat Hipertensi Dengan Tindakan Pengendalian Tekanan Darah
Pada Lansia. Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 2, Mei
2017, hlm. 174-184.
Riskesdas. 2018. Prevelensi Hipertensi. Jakata: Riset Kesehatan Dasar
WHO. 2018. Prevalensi hipertensi di Negara maju. Jenewa: Word Healt
Organization