1. Pak Raden dan Buku Dongeng
Oleh:
Fandy Hutari
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Pak Raden dan Buku Dongeng / 7 Desember 2015
H a l a m a n 2 | 4
Pak Raden dan Buku Dongeng
oleh Fandy Hutari
Si bapak garang berkumis baplang juga produktif menulis buku dongeng.
SEORANG pendongeng membuat orang-orang berkumpul malam itu di galeri seni Ruang Rupa,
Tebet, Jakarta Selatan, 28 November 2015. Malam itu ulang tahunnya, usianya 83 tahun
sekarang. Namun, sebulan lalu ia telah berpulang. Pak Raden, pendongeng ikonik dengan kumis
tebal meliuk, merayakan hari lahirnya secara anumerta lewat potret-potret diri yang terpajang
dalam ruangan galeri itu.
Perkumpulan malam tersebut merupakan pembukaan pameran kecil yang diselenggarakan Ruang
Rupa bertajuk “Mengenang Gambar”. Tanggal lahir Pak Raden sengaja dipilih sebagai harinya.
Berlangsung selama dua hari, dua belas lukisan dan ilustrasi karya Pak Raden, sejumlah potret
diri buatan seniman lain, dan satu film pendek berjudul sama dengan pameran ini ditampilkan.
Karya yang cukup menyita perhatian pengunjung adalah lukisan berjudul “Anak-Anak Bermain
Egrang”. Lukisan itu karya terakhir Pak Raden, dibuat sembilan hari sebelum ia meninggal
dunia. Karya lainnya adalah sketsa buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dibuat pada 1974.
Pak Raden bagi kanak-kanak ’80 dan ’90-an adalah sosok lengkap penghibur. Ia pelukis,
ilustrator, animator, dalang, penulis buku anak, seniman boneka, serta pendongeng. Keahlian
yang terakhir datang dari hiburan rutin tiap sore kala ia kecil. “Sore setelah minum teh dan
mandi, ya dongeng sama Ibu,” kata Kartini, adik Pak Raden.
Dongeng memang begitu lekat dengan nama Pak Raden. Di hari yang sama dengan pembukaan
pameran “Mengenang Gambar”, Forum Dongeng Nasional menggelar deklarasi di Jakarta dan
banyak kota lain yang menyatakan 28 November, hari lahirnya, sebagai Hari Dongeng Nasional.
Selain aktif mendongeng, Pak Raden yang bernama asli Soejadi juga menulis buku cerita anak.
Menurut Prasodjo Chusnato, manajer dan penulis biografi Pak Raden, sejak 1969 Pak Raden
telah menulis buku. Hingga akhir hayatnya, ia telah mengeluarkan tiga puluh dua judul yang
cerita dan ilustrasinya digarap sendiri, serta lima belas judul yang dikerjakan bersama orang lain.
Ia juga pernah membuat buku kisah pewayangan untuk anak-anak karena khawatir orang tak lagi
mengenal pewayangan.
Prasodjo mengakui, banyak judul yang Pak Raden sendiri lupa. “Dan belum saya lacak di
sejumlah sumber-sumber pustaka lama. Data tadi disebutkan Pak Raden sedemikian.” Proses
pengerjaannya, kata Prasodjo, ada yang mencapai satu bulan, ada yang hingga delapan tahun.
Ada pula yang masih berupa draf karena ilustrasinya sudah selesai, tetapi ceritanya belum ada.
Bagi Prasodjo, memopulerkan kembali dongeng seharusnya dimulai dengan memperbanyak
buku dongeng alih-alih mendeklarasikan Hari Dongeng Nasional. Ia sendiri tidak terlibat dalam
deklarasi 28 November tersebut.
“Pak Raden membuat buku (dongeng) itu sebenarnya dalam rangka mendongeng setiap hari.”
3. PINDAI.ORG – Pak Raden dan Buku Dongeng / 7 Desember 2015
H a l a m a n 3 | 4
Sejak 2000 Prasodjo sudah mengikuti Pak Raden. Ketika ia menyatakan niat untuk menulis
biografi Pak Raden, lelaki tua itu menolak. Ia tak suka “diangkat-angkat”.
“Beliau tidak pernah butuh biografi, tidak pernah mau diwawancarai,” kenang Prasodjo. Baru
pada 2009 Pak Raden luluh dan mau diwawancarai untuk biografi.
Selain Prasodjo, ada Agung Dinarwan yang kerap mengikuti Pak Raden untuk
mendokumentasikan karya dan aktivitasnya. Ia diajak Prasodjo, mulanya karena kepentingan
penelitian kuliah Agung.
Hingga akhir hayatnya, Pak Raden masih hidup dari mendongeng. Sebelum sakit dan harus
memakai kursi roda, kisah Prasodjo, setidaknya dua kali dalam sebulan ia pergi mendongeng.
Namun, setelah sakit hanya menjadi sekali sebulan saja.
Pak Raden diakui sebagai pendongeng yang melampaui beberapa zaman. “Dia pendongeng
Indonesia yang sangat teruji waktu,” kata Ardea Rhema Sikhar, penulis yang turut dalam
Deklarasi Hari Dongeng Nasional di Kota Bandung. Ia menganggap Pak Raden inspirasinya.
Sosok Pak Raden sebagai paket lengkap penutur ceritalah yang membuat hari lahirnya
dideklarasikan sebagai Hari Dongeng Nasional.
“Saya mengusulkan ke teman-teman bahwa kita kehilangan seorang legenda dongeng (Pak
Raden). Seseorang yang bisa mendongengkan, menuliskan dongeng, seseorang yang membuat
ilustrasinya, dan menyanyikan dongengnya. Seseorang yang bisa segalanya. Bapak dongeng
Indonesia,” kata Mochamad Ariyo Faridh Zidni, akrab disapa Kak Aio, penggagas deklarasi
tersebut.
Hari Dongeng Nasional, kata Aio, bisa menjadi pengingat tidak hanya bagi pegiat dongeng, tapi
juga ke orang tua dan guru “bahwa dongeng itu penting dan baik bagi anak.” Aio mengenal Pak
Raden secara personal sejak 1999.
Aio melihat, budaya mendongeng di Indonesia sudah kuat sejak dahulu. Dengan menggunakan
buku, saat ini mendongeng juga digunakan untuk mendidik. Jumlah buku dongeng pun sudah
banyak. Yang kurang tinggal panduannya.
“Seperti ini buku dongeng untuk anak usia berapa. Yang juga kurang adalah jumlah
eksemplarnya dan penyebarannya. Masih terfokus di kota-kota besar,” katanya.
Busyra, anggota Bloger Buku Indonesia, sepakat bahwa buku dongeng sudah banyak. Sejak tiga
tahun lalu ia mengoleksi buku cerita anak-anak, mulai dari buku cerita bergambar, novel,
dongeng lokal, dan dongeng luar negeri.
Menurutnya, Deklarasi Hari Dongeng Nasional adalah sesuatu yang baik. Namun, jauh lebih
penting dari sekadar pencanangan itu ialah makna Hari Dongeng itu sendiri. “Saya berharap Hari
Dongeng Nasional bukan sekadar perayaan tahunan semata, tetapi sebagai simbol dari sesuatu
yang lebih besar, yaitu kesadaran akan pentingnya budaya mendongeng bagi masyarakat
Indonesia.”
4. PINDAI.ORG – Pak Raden dan Buku Dongeng / 7 Desember 2015
H a l a m a n 4 | 4
Pak Raden, menurutnya, adalah ikon dongeng yang paling berdedikasi, bahkan hingga menjelang
kepergiannya. “Karya-karyanya juga bisa saya katakan salah satu yang terbaik dari sedikit yang
bisa bertahan dari generasi ke generasi.”
Busyra mengaku banyak buku dongeng Indonesia setelah dibaca urung ia koleksi. Buku yang
sudah dibeli ia sumbangkan atau jual kembali. Alasannya, ia belum menemukan buku seri
dongeng yang “rapi” untuk dikoleksi. Juga masih banyak kekurangan dari segi isi maupun
penulisan. Ujung-ujungnya, ia memilih buku dongeng berdasarkan penulis yang sudah terkenal,
seperti yang baru-baru ini terbit dari Djokolelono berjudul Sepatu Sang Raja dan Dongeng Indah
Lainnya.
“Saya belum melihat ada buku dongeng yang melegenda, seperti milik Perrault, Andersen, atau
Grimms,” kata Busyra. Padahal, dari segi bahan Indonesia punya banyak sekali dongeng lisan
bagus. Buku dongeng juga tidak bergaung karena pembacanya tidak membagi pengalamannya ke
pembaca lain. Ia menilai, penerbit, penulis, orang tua, guru, dan pendongeng perlu bekerja sama
untuk menemukan komposisi dongeng yang bagus dan disukai.
Ketika malaikat akhirnya menjemput Pak Raden, sesungguhnya ia masih punya dua keinginan:
menyaksikan dua bukunya terbit. Buku pertama berjudul Suti, tentang pengenalan wayang orang
dan kulit bagi anak-anak. Kedua buku ilustrasi berjudul 210 tahun H. C. Andersen. Saat ini
keduanya sedang ditata letak.
Ars longa, vita brevis.[]
Fandy Hutari, wartawan dan penulis lepas. Tinggal di Jakarta. Bisa ditemui di @fandyhutari,
Facebook Fandy Hutari, dan blog fandyhutari.com. Menulis buku, artikel, cerpen, dan catatan
blog.