SlideShare a Scribd company logo
1 of 48
PERATURAN DAN SUMBER LIMBAH BAHAN
BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)
Disusun Oleh:
Rindi Sulistyani (1513020)
Alamat: Jl. Letjen Suprapto 26, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, DKI
Jakarta. No. Telp: 021-42801783. Website: www.stmi.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang
Peraturan dan Sumber Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai peraturan dan sumber limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) yang baik. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Jakarta, Januari 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan
Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok
perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih
lengkap dibanding PP sebelumnya sbb:
1. Sanksi Lebih Berat dan Peraturannya Lebih Ketat
2. Bertambahnya Jenis Limbah Yang Dikategorikan Limbah B3
3. Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat
menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan
lingkungan hidup.
4. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3
dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan
pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola
Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten.
5. Dalam tuntutan hukum, Limbah B3 tergolong dalam tuntutan yang bersifat formal.
Artinya, seseorang atau perusahaan dapat dikenakan tuntutan perdata dan pidana
lingkungan karena cara mengelola Limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan,
tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya tersebut telah mencemari
lingkungan.
6. Pengetahuan tentang cara pengelolaan Limbah B3 yang memenuhi persyaratan
wajib diketahui oleh pihak-pihak yang terkait dengan Limbah B3 dan pihak ke 3
yang bekerjasama dengan perusahaan.
7. Di Bagian Ketentuan Umum
8. Bagian Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan,
dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat.
Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan
dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).
Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya
atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung,
dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan
manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya
dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa
proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus.
Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik
berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan
infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat
diketahui termasuk limbah B3.
Sumber-sumber utama limbah ini antara lain:
 Sumber yang tidak spesifik yaitu Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa,
tumpahan bahan kimia, bekas kemasan bahan kimia, dan buangan produk yang
tidak memenuhi spesifikasi.
 Limbah B3 yang umumnya bukan berasal dari proses uatamanya tetapi berasal
dari kegiatan pemeliharaan alat, pencuci, pencegah korosi, pelarut kerak dan
pengemas.
 Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses atau kegiatan yang
dapat ditentukan secara spesifik.
B. Rumusan Masalah
 Apa saja peraturan-peraturan berkaitan tentang B3?
 Apa pokok-pokok perubahan di PP 18/1999 Juncto PP 85/1999?
 Apa pokok-pokok perubahan di PP 74/2001?
 Apa pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014?
 Apa sumber-sumber limbah B3 berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan
B3?
 Apa sumber limbah yang dominan yang selama ini diketahui?
C. Tujuan
 Mengetahui peraturan-peraturan berkaitan tentang B3
 Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 18/1999 Juncto PP 85/1999
 Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 74/2001
 Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014
 Mengetahui sumber-sumber limbah B3 berdasarkan peraturan yang berkaitan
dengan B3
 Mengetahui sumber limbah yang dominan yang selama ini diketahui
BAB II
PEMBAHASAN
1. Peraturan-Peraturan Berkaitan Tentang B3
 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3;
 Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-Bapedal/68/05/1994 tentang Tata Cara
Memperoleh Izin Pengelolaan Limbah B3;
 Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-01/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman
Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3;
 Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-02/Bapedal/09/1995 tentang Dokumen
Limbah B3;
 Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman
Teknis Pengolahan Limbah B3;
 Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman
Teknis Penimbunan Limbah B3;
 Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-05/Bapedal/09/1995 tentang Simbol dan
Label Limbah B3;
 PengelolaanLimbah B3 dalam PP 18/1999 Juncto PP 85/1999
Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 %
dari limbah B3 yang dikelola berasal dari kegiatan industri dan 70 % diantaranya
berasal dari industri kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkategori
berbahaya, terutama karena sifat korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous
liquid waste. Walaupun limbah itu berasal dari kegiatan industri, namun tidak semua
berkategori Limbah B3. Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk mengkaji
kelayakan.
Pusat pengolah limbah B3 di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah
berbahaya di daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) pada tahun 1990
sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Selain itu, survai limbah B3 yang berasal
dari industri-industri di Otorita Batam menyimpulkan bahwa:
 Karakteristik limbah cair industri adalah : mudah terbakar (11,52 %), beracun
(2,50 %), korosif (8,44 %) dan non B3 (77,54 %).
 Karakteristik limbah padat industri adalah : mudah terbakar (0 %), beracun (0,90
%), korosif (1,52 %) dan non B3 (97,58 %).
 Limbah B3 (cair dan padat) dari industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah
industri yang dihasilkan.
Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip
dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan
perudang-undangan, khususnya Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 59 UU tersebut
menggariskan bahwa:
 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah
B3 yang dihasilkannya.
 Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,
pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
 Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
 Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya.
 Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi
pengelola limbah B3 dalam izin.
 Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
Secara spesifik pengelolaan limbah B3 telah diatur lebih lanjut dalam:
 Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (PP18/1999)
 Peraturan Pemerintah No 85 tah un 1999 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No. 18 tahun 1999 (PP85/1999)
PP 18/99 jo PP 85/99 merupakan pengganti PP 19/94 jo PP12/95. Peraturan-
peraturan lain yang mengatur masalah limbah B3 adalah Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dari No. 01/Bapedal/09/1995 sampai No.
05/Bapedal/09/1995 yang merupakan pengaturan lebih lanjut PP19/1994 dan
PP12/1995, dan tetap masih berlaku sebagai pengaturan lebih lanjut dari PP 18/99 jo
PP 85/99.
Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3
secara tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka,
Indonesia sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar
pulau di Indonesia, maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan-
peraturan yang langsung menangani lintas batas limbah adalah:
 Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The
Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,
 Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor
limbah B3 dan plastic
 Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur
tata niaga impornya
 Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor
limbah
Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali
dibutuhkan untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan
daur -ulang limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3
yang dapat diimpor adalah skrap timah hitam (aki bekas), sampai jangka waktu
terbatas.
Dapat dikatakan, sampai tahun 1960-an pengelolaan limbah industri di Amerika
Serikat masih belum memadai, misalnya hanya dibuang ke lahan landfill yang belum
dilapis secara kedap. Timbulnya gerakan lingkungan tahun 1960-an, memaksa
Kongres Amerika untuk memperhatikan masalah limbah industri ini lebih serius.
Pengelolaan Limbah B3 dalam PP 18/1999 Juncto PP 85/1999
Hal yang Diatur:
PP 18/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun terdiri dari 8 bab
yang dibagi lagi menjadi 42 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah:
 Bab I (pasal 1 sampai 5): Ketentuan umum
 Bab II (pasal 6 sampai 8): Identifikasi limbah B3
 Bab III (pasal 9 sampai 26): Pelaku pengelolaan
 Bab IV (pasal 27 sampai 39): Kegiatan pengelolaan
 Bab V (pasal 40 sampai 61): Tata laksana
 Bab VI (pasal 62 sampai 63): Sanksi
 Bab VII (pasal 64 sampai 65): Ketentuan peralihan
 Bab VIII (pasal 66): Ketentuan penutup.
Sedang PP 85/1999 yang merupakan perubahan dari PP 18/1999 hanya terdiri
dari 2 (dua) pasal. Pasal I berisi pasal-pasal dalam PP 18/1999 yang mengalami
perubahan, dan pasal II (Penutup). Dalam pasal I dijelaskan pasal-pasal dalam
PP18/1999 yang mengalami perubahan, yaitu sebanyak 3 pasal, yaitu: pasal 6, pasal
7, dan pasal 8.
Sumber, Karakteristk dan Proses Penentuan Limbah B3:
Pengertian pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup
reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah dan penimbunan limbah B3′ (pasal 1 angka 3). Sedangkan tujuan pengelolaan
tersebut adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali’ (pasal
2).
Sebelumnya PP 19/1994 mendefinisikan bahwa penghasil limbah B3 tidak hanya
mereka yang bergerak dalam kegiatan yang bersifat komersial tetapi termasuk juga
perorangan yang menyimpan limbahnya dalam lokasi kegiatannya sebelum limbah
tersebut ditangani lebih lanjut sesuai dengan peraturan yang ada. Kemudian PP
12/1995 membatasi, bahwa yang terkena definisi tersebut adalah badan usaha yang
menghasilkan limbah B3. PP18/99 mendefisikan bahwa penghasil limbah B3 adalah
orang yang usaha dan atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 seperti di tegaskan
dalam Ps 1(5). Pengertian ‘orang ’ yang sering muncul dalam PP 18/99 seperti
dijelaskan dalam Ps 1(18) adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang dan
atau badan hukum. Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga, seperti
batere bekas, serta kegiatan skala kecil tidak terkena peraturan ini, karena
pengaturannya akan ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggungan jawab,
seperti ditegaskan dalam Ps 9(6). Bila batasan penghasil limbah B3 diterapkan juga
pada kelompok tersebut, akan menimbulkan permasalahan, karena izin pengelolaan
limbah B3 membutuhkan prosedur administrasi yang tidak sederhana, yang hanya
bisa dilaksanakan oleh sebuah usaha komersial.
Pasal 1 angka 2 mendefinisikan limbah berbahaya dan beracun (disingkat B3)
adalah sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya yang dapat diidentifikasikan menurut sumber dan/atau uji karakteristik
dan atau uji toksikologi (PP85/99 Ps 6).
Sebuah limbah dinyatakan sebagai limbah B3, melalui beberapa langkah, yaitu:
 Langkah 1: mengidentifikasi limbah yang dihasilkan, dengan daftar limbah
(Lampiran 1 Tabel 1 dan 3) atau daftar kegiatan (Lampiran 1 Tabel 2) yang
tercantum dalam PP85/99, seperti diatur dalam Ps 7(1). Bila terdapat dalam
daftar, maka secara formal limbah tersebut adalah limbah B3. Bila tidak terdapat
dalam daftar tersebut, maka identifikasi harus dilanjutkan dengan Langkah
berikutnya.
 Langkah 2: melakukan uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam Ps 7(3)
PP85/99 seperti diuraikan berikut ini.
Pasal 7 (1) PP 85/99 menyebutkan bahwa jenis limbah B3 menurut
sumbernya meliputi:
 Limbah B3 dari sumber tidak spesifik (Lampiran I Tabel 1)
 Limbah B3 dari sumber spesifik (Lampiran I Tabel 2)
 Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Lampiran I Tabel 3)
Rincian dari masing -masing jenis kelompok tersebut terdapat pada Lampiran I
PP85/99, yaitu Tabel 1 (Sumber tidak spesifik), Tabel 2 (Sumber spesifik) dan Tabel
3 (limbah kimia kadaluarsa).
Pasal 7 (3) PP85/99 selanjutnya mendefinisikan uji karakteristik limbah B3
sebagai berikut:
 Mudah meledak
 Mudah terbakar
 Bersiafat reaktif
 Beracun
 Menyebabkan infeksi
 Bersifat korosif
 Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik.
Sumber limbah tidak spesifik adalah sumber limbah yang menghasilkan limbah
yang pada umumnya bukan berasal dari proses utamanya, tetapi berasal dari
kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarutan kerak,
pengemasan. Terdapat 43 jenis limbah yang termasuk kelompok ini.
Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah sisa proses suatu industri atau
kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah. Sumber
limbah ini terbagi dalam 51 jenis kegiatan yang termasuk kelompok penghasil limbah
B3.
Jenis kegiatan yang termasuk kelompok sumber spesifik adalah industri atau
kegiatan: pupuk, pestisida, proses kloro-alkali, resin adesif, polimer, petrokimia,
pengawetan kayu, peleburan -pengolahan besi dan baja, operasi penyempurnaan
baja, peleburan timah hitan (Pb), peleburan-pemurnian tembaga, tinta, tekstil,
manufaktur dan perakitan kendaraan-mesin, electroplating dan galvanis, cat, batere
sel kering, batere sel basah, komponen elektronik-peralatan elektronik, eksplorasi
dan produksi minyak-gas-panas bumi, kilang minyak dan gas bumi, pertambangan,
PLTU yang mengunakan bahan bakar batu-bara, penyamakan kulit, zat warna dan
pigmen, farmasi, rumah sakit, laboratorium riset dan komersial, fotografi, pengolahan
batu-bara dengan pirolisis, daur – ulang minyak pelumas bekas, sabun deterjen-
produk pembersih desinfektan-kosmetik, pengolahan lemak hewan/nabati dan
derivatnya, allumunium thermal metallurgyallumunium chemical conversion coating,
peleburan dan penyempurnaan seng, prosers logam non-ferro, metal hardening,
metal-plastic shaping, laundry dan dry cleaning, IPAL industri, pengoperasian
insinerator limbah, daur-ulang pelarut bekas, gas industri, gelas keramik/enamel,
seal-gasket-packing, produk kertas, chemical-industrial cleaning, foto- kop i, semua
jenis industri yang menghasilkan dan menggunakan listrik (untuk limbah PCB),
semua jenis industri konstruksi (untuk limbah asbestos), bengkel pemeliharaan
kendaraan.
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat
dimanfaatkan lagi. Terdapat 178 jenis bahan kimia yang termasuk kelompok limbah
B3.
Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan
tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui
reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan
suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak
lingkungan di sekitarnya (bandingkan dengan uraian pada
PP74/2001).
Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang mempunyai salah satu sifat:
 Berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24%-volume, dan atau pada
titik nyala ≤60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api,
percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg.
 Bukan berupa cairan yang pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah
menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau
perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan
kebakaran terus menerus.
 Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar
 Merupakan limbah pengoksidasi
Limbah yang bersifat reaktif pada air adalah limbah-limbah dengan salah satu
sifat:
 Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan
perubahan tanpa peledakan
 Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air
 Limbah yang bila bercampur dengan air (termasuk uap air) menimbulkan ledakan,
menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan
 Limbah sianida, sulfida atau amoniak yang pada pH antara 2 dan 12,5 dapat
menghasilkan gas, uap, atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan
 Limbah yang dengan mudah dapat meledak atau bereaksi pada suhu dan tekanan
standar
 Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau menerima oksigen
atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi
Limbah yang beracun adalah limbah yang mengandung
pencemar yang bersifat racun bagi manusia dan lignkungan yang
dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila
masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit dan mulut.
Indikator sifat racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity
Characteristics Leaching Procedure), seperti tercantum dalam lampiran II PP85/99,
yang merupakan batas ambang yang digunakan untuk indikasi B3. Pada dasarnya
sebetulnya, uji TCLP adalah uji yang dikembangkan oleh US-EPA, yang merupakan
simulasi terburuk kondisi landfill, yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada
air tanah, yang airnya digunakan secara rutin. Simulasi transportasi pencemar ini,
menghasilkan batas aman yang memperhitungkan probabilitas terjadinya toksisitas
kronik non-kanker maupun kanker. Namun dalam versi Indonesia, bila ambang batas
TCLP tidak terlampaui, penghasil limbah masih tetap diharuskan melakukan uji
toksisitas akut maupun kronis.
Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh
manusia yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang
terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya
yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini
berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti
hepatitis dan kolera, yang ditularkan pada pekerja, pembersih
jalan dan masyarakat lain di sekitar lokasi pembuangan limbah.
Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat:
 Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit
 Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja
standar SAE-1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35
mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.
 Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥
12,5 untuk B3 bersifat basa.
Pengelolaan limbah radioaktif tidak termasuk dalam peraturan ini (Ps 5 PP18/99),
dan kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sesuai
dengan UU no. 31 tahun 1994 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Limbah yang Dapat Dikeluarkan dari Daftar Lampiran I:
Menurut PP85/99, daftar limbah yang dapat dikecualikan adala h seperti terdapat
pada Lampiran I – Tabel 2, dengan kode:
 D220: limbah dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, gas dan panas bumi.
Asal limbahnya adalah slop minyak, drilling mud bekas, sludge minyak, karbon
aktif dan absorban bekas, sludge dari IPAL, cutting pemboran, residu dasar tanki.
 D221: limbah dari kegiatan kilang minyak dan gas bumi. Asal limbahnya adalah
sludge minyak, katalis bekas, karbon aktif bekas, sludge dari IPAL, filter bekas,
residu dasar tanki, limbah laboratorium, limbah PCB
 D223: PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara. Asal limbahnya adalah fly
ash, bottom ash, limbah PCB
Limbah tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai limbah B3 setelah dilakukan uji
karakteristik dan atau uji toksikologi. Namun pada kenyataannya di lapangan, semua
jenis limbah tersebut oleh yang berwenang dinyatakan sebagai limbah B3, tanpa
menunggu pembuktian terlebih dahulu.
Selanjutnya Pasal 8 mengatur bahwa limbah B3 yang tercantum dalam Lampiran I
Tabel 2 PP85/99 dapat dikeluarkan dari daftar setelah dapat dibuktikan bukan
limbah B3 berdasarkan prosedur pembuktian secara ilmiah, yaitu:
 Uji karakteristik limbah B3
 Uji toksikologi
 Hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan
pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan mahluk hidup
lainnya.
Kegiatan dan Pelaku Pengelolaan:
Berbeda dengan PP19/94 jo PP12/95, maka PP 18/99 jo PP85/99 mengarahkan
penanganan limbah B3 yang lebih berbasiskan pada cleaner production, artinya
mengutamakan upaya reduksi di sumber. Ps 9 (1) PP18/99 menegaskan bahwa
setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menggunakan B3 atau
menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi baik bahan maupun limbahnya,
dan melakukan pengolahan, dan/atau penimbunan bagi limbahnya. Bila kegiatan
reduksi tersebut masih menghasilkan limbah, dan masih limbahnya dapat
dimanfaatkan, maka limbah B3 tersebut dapat dimanfaatkan, baik dilakukan sendiri
atau menggunakan jasa fihak lain. Ps 27 (1) PP tersebut mengarahkan bahwa reduksi
limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya:
 Penyempurnaan penyimpanan bahan baku dalam proses house keeping,
 Substitusi bahan
 Modivikasi proses
 Serta upaya reduksi lainnya
Secara teknis operasional, maka pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/99 jo
PP85/99 merupakan suatu rangkaian kegiatan (Ps 1.3) dari terbentuknya limbah
oleh penghasil, kemudian upaya reduksi limbah (sebelum terbentuk) seperti
diuraikan di atas. Rangkaian mata rantai berikutnya adalah:
 Pemanfaatan limbah oleh pemanfaat,
 Pengumpulan limbah oleh pengumpul,
 Pengangkutan limbah oleh pengangkut, dan
 Pengolahan dan penimbunan limbah oleh pengolah
Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam
pengelolaan limbah B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan
pengaturan. Oleh karenanya, PP tersebut mengatur masalah perizinan bagi mereka
yang akan terlibat dalam bisnis kegiatan operasional tersebut. Aspek pengawasan
dan sanksi juga diatur dalam kedua PP tersebut. Badan yang mempunyai kewenangan
untuk mengawasi pengelolaan limbah B3 tersebut di Indonesia adalah sebuah
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
Sebelum dibubarkan beberapa tahun lalu, maka Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan, yang dikenal sebagai BAPEDAL, bertanggung jawab akan hal itu. Dengan
penyatuan institusi Bapedal dalam Kementerian Lingkungan Hidup, maka instansi
yang bertanggung sepertinya berada pada Kementerian ini.
Dengan adanya kedua PP tersebut, maka setiap penghasil limbah B3, tanpa kecuali,
dilarang membuang limbahnya secara langsung ke dalam media lingkungan hidup,
tanpa pengolahan terlebih dahulu (Ps3). Disamping itu, penanganan limbah B3
dengan jalan pengenceran sehingga konsentrasinya menjadi turun tidak
diperbolehkan dilakukan (Ps4), karena kegiatan ini tidak akan menurunkan beban
limbah yang dihasilkan.
Setiap kegiatan yang menghasilkan limbah B3, wajib mengolah limbahnya sesuai
dengan teknologi yang ada, dan bila tidak mampu diolah di dalam negeri dapat
diekspor ke negara yang mempunyai teknologi pengolahan yang sesuai (Ps9-3).
Pengaturan lintas batas limbah B3 dari dan keluar Indonesia diatur dalam Ps53. Bagi
mereka yang tidak mampu untuk menangani limbahnya sesuai peraturan yang ada,
maka penghasil limbah tersebut diperbolehkan menyerahkan penanganan limbahnya
kepada pemanfaat limbah (Ps9-2) atau pengolah atau penimbun limbah B3 (Ps9-4)
yang mempunyai kewenangan untuk itu. Namun penghasil limbah B3 tetap
bertanggung jawab atas limbah yang diolah tersebut, walaupun telah diserahkan
penanganannya pada fihak lain. Demikian juga upaya kegiatan pengumpulan dan
pengangkutan limbah B3 menuju lokasi pemerosesan berikutnya, dapat diserahkan
kepada fihak lain, sebagaimana diatur dalam Ps12 dan Ps15 PP18/99.
Batas waktu bagi penghasil limbah, atau pemanfaat limbah atau pengolah /
penimbun limbah untuk menyimpan limbahnya sebelum dikelola lebih lanjut tidak
lebih dari 90 hari (Ps10, Ps18 dan Ps23). Dengan demikian, penghasil limbah tidak
harus menyerahkan limbahnya setiap saat kepada pengumpul atau pengangkut atau
pengolah limbah. PP ini juga mengatur penghasil limbah yang dikatagorikan sedikit
menghasilkan limbah B3, yang dikenal sebagai Small Quantity Generator (SQG). Bila
limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 kg/hari, maka penghasil limbah tersebut
dapat menyimpan limbahnya lebih dari 90 hari, dengan syarat mendapat persetujuan
instansi yang bertanggung jawab (Ps10).
Selama penyimpanan tersebut, maka penghasil limbah dikenai kewajiban untuk
mematuhi tata cara penyimpanan bagi limbah B3 (Ps29), pemberian symbol dan label
untuk setiap kemasan yang digunakan yang menunjukkan karakteristik dan jenis
limbah B3 tersebut (Ps28). Kewajiban penghasil limbah adalah mendata limbahnya
secara baik, yang mencakup (Ps11-1):
 Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu, baik pada saat limbah dihasilkan, maupun
pada saat limbah tersebut diserahkan kepada pengelola berikutnya
 Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul,
pemanfaat atau pengolah/penimbun limbah B3
Catatan tersebut wajib dilaporkan sekurang-kurangya sekali dalam enam bulan
kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan tembusan kepada instansi lain
terkait, serta Bupati/Walikota yang bersangkutan. Informasi data tersebut akan
digunakan untuk bahan inventarisasi serta bahan evaluasi guna pengembangan
kebijakan pengelolaan limbah B3.
Rantai berikutnya dalam pengelolaan ini adalah pengumpulan limbah (Ps12, Ps13
dan Ps14). Pengumpulan ini bersifat sementara, dan limbah tersebut selanjutnya
harus diserahkan kepada pemanfaat, atau pengolah-penimbun limbah yang diakui
oleh yang berwenang. Sebagaimana pada penghasil limbah, maka limbah boleh
disimpan paling lama 90 hari sebelum diserahkan kepada rantai pengelola
berikutnya. Demikian pula pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah yang
diterimanya maksimum 90 hari sebelum dilakukan pengolahan. Kewajiban untuk
mendata limbah B3 yang dikelola, serta melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada
instansi yang berwenang, merupakan hal yang harus dilaksanakan.
Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut, wajib disertai dokumen limbah
B3 (Ps16). Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumennya
kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengola atau penimbun yang ditunjuk oleh
penghasil limbah B3 (Ps17). Sektor pengangkutan merupakan aktivitas yang beresiko
tinggi, dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan di jalan serta hal-hal lain yang
tidak diinginkan. Usaha ini membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri yang
mempunyai kewenangan di bidang perhubungan setelah mendapat pertimbangan
dari Menteri Lingkungan Hidup. Disamping itu, alat angkut yang digunakan harus
sesuai dengan peraturan tentang angkutan yang ada, yaitu : perkereta-apian (UU
13/1992), angkutan darat (UU 14/1992), penerbangan (UU 15/1992) dan pelayaran
(UU 21/1992). Penghasil limbahpun dapat bertindak sebagai pengangkut limbah,
dengan aturan- aturan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3. Selama dalam
perjalanannya, limbah tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen yang berasal
dari penghasil limbah maupun dari pengumpul limbah yang menjelaskan tentang
limbah tersebut, dan menyerahkan dokumen tersebut kepada pengolah limbah bila
limbah tersebut telah sampai di tujuan.
Rantai akhir dari sistem ini adalah pengolahan dan penyingkiran (disposal) limbah.
Pada dasarnya, pengolahan limbah bersasaran untuk merubah karakteristik dan
komposisi limbah tersebut agar menjadi tidak berbahaya lagi. Disamping itu,
pengolahan limbah bersasaran agar limbah tersebut dapat terdaur-ulang atau terdaur
– pakai. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sesuai,
seperti secara termal, stabilisasi dan solidifikas, pengolahan secara fisika, kimia dan
biologi (Ps34). Bila teknologi tersebut tidak dapat diterapkan, maka dibutuhkan
teknologi lain yang terbaik dan tersedia. Rantai pengeolaan yang paling akhir adalah
penimbunan imbah B3 dalam sebuah landfill limbah B3 dengan system pelapis dasar.
Mekanisme Cradle-to-Grave:
Dokumen limbah akan memegang peranan penting dalam pemantauan perjalanan
limbah B3 dari penghasil sampai ke pengolah limbah. Dokumen tersebut antara lain
berisi:
 Nama dan alamat penghasil limbah atau pengumpul yang menyerahkan limbah
 Tanggal peneyerahan limbah
 Nama dan alamat pengangkut limbah
 Tujuan pengangkutan
 Jenis, jumlah, komposisi, dan karakteristik limbah yang diserahkan.
Dokumen tersebut dibuat dalam rangkap 7 apabila pengangkutan hanya satu kali.
Apabila pengengkutan lebih dari satu kali (antar moda), maka dibutuhkan dokumen
11 rangkap, yang akan merupakan sarana permantauan yang serupa dengan
konsep cradle-to-grave yang diterapkan di Amerika Serikat.
Berdasarkan uraian dalam Penjelasan atas PP 18/99, rincian distribusi dokumen
limbah tersebut adalah sebagai berikut:
 Lembar ke 1 (asli): disimpan pengangkut setelah ditandatangani oleh pengirim
limbah
 Lembar ke 2: setelah ditandatangai oleh pengangkut limbah, kemudian dikirimkan
kepada instansi yang bertanggung jawab oleh pengirim limbah.
 Lembar ke 3: disimpan oleh penghasil setelah ditandatangani oleh pengangkut
 Lembar ke 4: setelah ditanda tangani oleh pengirim limbah, kemudian oleh
pengangkut diserahkan kepada penerima limbah
 Lembar ke 5: dikirimkan oleh penerima kepada instansi yang bertanggung jawab
setelah diterima oleh penerima limbah B3
 Lembar ke 6: dikirimkan oleh pengangkut kepada Bupati/Walikota yang
bersangkutan dengan pengirim, setelah ditandatangani oleh penerima limbah
 Lembar ke 7: setelah ditandatangani oleh penerima, maka oleh pengangkut
dikirimkan kepada pengirim limbah.
 Lembar ke 8 sampai ke 11 dikirim oleh pengangkut kepada pengirim limbah
setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada
pengangkut berikutnya (antar moda).
Mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya
Pengelolaan limbah B3 memungkin badan swasta untuk terlibat di dalamnya, baik
sebagai penyimpan, pemanfaat, pengumpul, pengangkut maupun sebagai pengolah
limbah tersebut. Untuk itu dibutuhkan izin operasi (Ps40), yaitu:
 dari Kepala instansi yang bertanggung jawab untuk kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pemanfataan, dan pengolahan-penimbunan,
 dari Menteri Perhubungan untuk kegiatan pengangkutan limbah B3, setelah
mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab,
Disamping mempunyai legalitas badan usaha, persyaratan lain untuk memperoleh
izin tersebut adalah adanya informasi yang menyangkut tentang:
 nama dan alamat yang jelas dari badan usaha tersebut,
 nama dan alamat penanggung jawab, lokasi tempat kegiatan,
 bentuk kegiatan yang akan dilakukan,
 bahan baku dan proses yang akan digunakan, spesifikasi alat pengolah limbah,
 jumlah dan karakteristik limbah yang akan ditangani,
 tata letak sarana dan prasarana,
 alat pencegahan pencemaran yang digunakan
Yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin lokasi pengolahan adalah
kepala kantor pertanahan kabupaten/kota (pasal 42) sesuai dengan rencana tata
ruang berdasarkan rekomendasi Kepala instansi yang bertanggung jawab. Disamping
itu, untuk melengkapi perizinan kegiatan pengolahan limbah tersebut, dibutuhkan
analisis dampak lingkungan terlebih dahulu, disertai dokumen-dokumen yang biasa
menyertainya. Dalam hal penghasil limbah bertindak pula sebagai pengolah limbah
dan kegiatan tersebut dilakukan pada lokasi yang sama, maka analisis dampak
lingkungannya dibuat teritegrasi dengan kegiatan utamanya dengan persyaratan
yang berlaku. Untuk itu, hanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana peman
tauan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi berwenang yang diajukan kepada
Instansi yang bertanggung jawab bersama persyaratan lainnya.
PP 18/99 tersebut juga mengatur perpindahan lintas batas limbah B3 dari dan ke
luar Indonesia (Ps53). Guna mencegah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai
tempat pembuangan limbah B3, maka limbah B3 dilarang masuk ke wilayah
Indonesia. Dalam hal pengangkutan limbah B3 antara negara yang melalui wilayah
Indonesia, maka dibutuhkan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada
pemerintah Republik Indonesia. Pengiriman limbah B3 ke luar Indonesia
membutuhkan persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan izin tertulis
dari pemerintah Indonesia.
Pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh Instansi yang
bertanggung jawab meliputi pemantauan penaatan persyaratan serta ketentuan
teknis dan administratif oleh fihak-fihak yang mengelola limbah B3. Pengawasan
tersebut mempunyai kewenangan untuk:
 memasuki area lokasi kegiatan,
 mengambil contoh limbah untuk dianalisa di laboratorium,
 meminta keterangan tentang pelaksanaan pengelolaan limbah,
 melakukan pemotretan untuk kelengkapan pengawan tersebut.
Kewajiban penghasil, pengumpul, pengangkut dan atau pengolah limbah adalah
membantu sepenuhnya aktivitas pengawasan yang dilakukan di daerah tanggung
jawabnya.
Hal lain yang mendapat perhatian dalam kedua PP tersebut adalah kesehatan dan
keselamatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan ini serta tanggung
jawab pengelola bila terjadi kecelakaan serta pencemaran. Pemeriksaan kesehatan
pekerja oleh instansi yang berwenang di bidang kesehatan tenaga kerja dilakukan
secara berkala agar sejak dini dapat diketahui terjadinya kontaminasi oleh zat -zat
berbahaya. Upaya ini merupakan kewajiban fihak pengelola untuk melaksanakannya.
Bila terjadi kecelakaan atau pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan
tersebut, maka fihak pengelola bertanggung jawab atas hal ini, dan fihak pengelola
diwajibkan untuk segera menaggulanginya. Bila fihak pengelola tidak dapat
menanggulanginya secara baik, maka Instansi yang bertanggung jawab akan
melakukan upaya penanggulangan, dan biaya kegiatan tersebut dibebankan pada
fihak pengelola.
 PengelolaanB3 dalam PP 74/2001
Pada dasarnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia
mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah
dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU-23/1997
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 (21) UU-32/2009
mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta
kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain.
Selanjutnya UU-32/2009 menggariskan dalam Ps 58 (1) bahwa setiap orang yang
memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan,
mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah,
dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Secara spesifik
pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2001
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah
merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang-undang No.19 tahun 2009 tentang
Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten
atau Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini
bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan
POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta
mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan.
Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan
kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur
masalah bahan berbahaya, yaitu:
 Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran,
penyimpanan dan penggunaan pestisida
 Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan
berbahaya
 Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan
bahan beracun dan berbahaya di lingkungan industry
 Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan
penggunaan pestisida EDB
 Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan
pestisida
Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional
(BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang
Dewan Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No.
82 Tahun 1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan
ketenaga atoman pada dasarnya diatur oleh Undang – undang No. 31 Tahun 1964
tentang Ketentuan – ketentuan pokok tenaga atom.
Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara lain:
 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap
radiasi
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif
dan atau sumber radiasi
 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif
Pengelolaan B3 Dalam PP 74/2001 PP 74/2001 tentang pengelolaan berbahaya
dan beracun terdiri dari 15 bab yang dibagi lagi menjadi 43 pasal. Kelima belas bab
tersebut adalah:
 Bab I (pasal 1 sampai 4) : Ketentuan Umum,
 Bab II (pasal 5): Klasifikasi B3,
 Bab III (pasal 6 sampai 20) : Tata Laksana dan Pengelolaan B3,
 Bab IV (pasal 21) : Komisi B3,
 Bab V (pasal 22 dan 23) : Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
 Bab VI (pasal 24 sampai 27) : Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat,
 Bab VII (pasal 28 sampai 31) : Pengawasan dan Pelaporan,
 Bab VIII (pasal 32 sampai 34): Peningkatan Kesadaran Masyarakat,
 Bab IX (pasal 35 dan 36) : Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat,
 Bab X (pasal 37) : Pembiayaan,
 Bab XI (pasal 38) : Sanksi Administrasi,
 Bab XII (pasal 39) : Ganti Kerugian,
 Bab XIII (pasal 40) : Ketentuan Pidana,
 Bab XIV (pasal 41 dan 42) : Ketentuan Peralihan,
 Bab XV (pasal 43) : Ketentuan Penutup.
Menurut PP 74/2001: ‘bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat
denganB3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan
atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya’ (pasal 1 angka
1). Sedangkan sasaran pengelolaan B3 adalah ‘untuk mencegah dan atau mengurangi
resiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan mahluk hidup
lainnya’ (pasal 2).
Pengertian pengelolaan B3 adalah ‘kegiatan yang menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3’ (pasal 1 angka 2).
Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam
pengelolaan B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan
pengaturan. Oleh karenanya, pasal-pasal berikutnya mengatur masalah kewajiban
dan perizinan bagi mereka yang akan memproduksi (menghasilkan), mengimpor,
mengeksport, mendistribusikan, men yimpan, menggunakan dan membuang bahan
tersebut bilamana tidak dapat digunakan kembali. Disamping aspek yang terkait
dengan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan dan atau kerusakan
lingkungan yang menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap fihak yang
terkait, maka aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta penanggulangan
kecelakaan dan keadaan darurat diatur dalam PP tersebut.
Tidak semua pengelolaan bahan yang berbahaya diatur oleh PP tersebut, antara
lain karena telah diatur dalam PP lain, atau telah diatur oleh instansi lain berdasarkan
konvesi internasional seperti bahan radioaktif. Bahan berbahaya yang tidak termasuk
yang diatur adalah (pasal 3):
 Bahan radioaktif
 Bahan peledak
 Hasil produksi tambang serta minyak gas dan gas bumi dan hasil olahannya
 Makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya
 Perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika
 Bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika dan prekursor lainnya
 Bahan aditif lainnya
 Senjata kimia dan senjata biologi
Untuk menentukan apakah sebuah bahan termasuk dalam kelompok B3, maka PP
tersebut mengklasifikasikan B3 dalam 8 kelompok, yaitu (pasal 5):
 Mudah meledak (explosisive)
 Pengoksidasi (oxidizing)
 Menyala:
 sangat mudah sekali menyala (extremely flammable)
 sangat mudah menyala (highly flammable)
 mudah menyala (flammable)
 Beracun:
 amat sangat beracun (extremely toxic)
 sangat beracun (highly toxic)
 beracun (moderately toxic)
 Berbahaya (harmful)
 Korosif (coorosive)
 Bersifat iritasi (irritant)
 Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)
 Toksik yang bersifat kronis:
 karsinogenik (carcinogenic)
 teratogenik (teratogenic)
 mutagenik (metagenic)
Untuk mempermudah menentukan B3 yang diatur dalam PP ini, maka berdasarkan
penggunaannya di lapangan, B3 dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (pasal 5):
 B3 yang dapat atau boleh dipergunakan di Indonesia (Lampiran I PP 74/2001)
 B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia (Lampiran II Tabel 1, PP 74/2001)
 B3 yang terbatas dipergunakan (Lampiran II Tabel 2, PP 74/2001)
Dengan demikian, bilamana sebuah bahan sudah terdapat dalam lampiran
tersebut, maka bahan tersebut termasuk B3, dan penggunaannya di Indonesia
disesuaikan dengan kelompok tabel yang berlaku, apakah diperbolehkan
dipergunakan, atau terbatas penggunaannya, atau sama sekali dilarang dipergunakan.
Lampiran I PP 74/2001 mencantumkan 209 buah bahan kimia yang tergolong B3
yang dapat digunakan di Indonesia, 74 diantaranya dibatasi penggunaannya sampai
tahun 2040, semuanya organik-berhalogen. Lampiran II – Tabel 1 mencantumkan 10
bahan B3 yang dilarang pengunaannya, dan Lampiran II -Tabel 2 mencantumkan 45
bahan B3 yang dibatasi pengunaannya di Indonesia. Setiap bahan kimia dalam daftar
tersebut, disertai keterangan:
 No. Reg. Chemical Abstract Sevice yang bersifat universal
 Nama bahan kimia
 Sinonim/nama dagang
 Rumus molekul
Setiap produsen yang menghasilkan B3 baru yang termasuk diatur dalam PP ini,
maka sebelum dipergunakan secara luas produsen tersebut harus mendaftarkan
terlebih dahulu kepada yang berwenang, dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup
(pasal 6). Sedang bahan berbahaya lain yang tidak diatur dalam PP ini, maka
registrasinya harus diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab, misalnya
Badan Tenaga Atom Nasional untuk bahan radioaktif. Demikian juga halnya unutk B3
yang diimport dari luar negeri, maka bahan tersebut terlebih dahulu harus
didaftarkan oleh importirnya untuk diregistrasi sebelum secara rutin diimport. Bahan
tersebut kemudian akan mendapat nomor registrasi sebagai alat kontrol terhadap
peredaran B3 di Indonesia, sehingga dengan mudah dilakukan pengawasan dan
pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan. Bila bahan yang akan
dimpor adalah termasuk dalam daftar B3 yang terbatas dipergunakan, maka fihak
otorita negara yang akan memasukkan bahan tersebut ke Indonesia terlebih dahulu
harus menyampaikan notifikasi kepada fihak yang bertanggung jawab di Indonesia
(pasal 8).
Contoh B3 (dapat digunakan) dalam Lampiran I PP 74/2001
No
No Reg Chemical
Abstract Service
Nama Bahan
Kimia
Sinonim/Nama Dagang
Rumus
Molekul
7 7664-41-7
Amoniak Ammonia
NH3
14 64-19-7
Asam Asetat Acetic acid; Aci-jel
CH3COO
H
16 7664-38-2
Asam Posfat
Phosphoric acid; Orthophosphoric
acid
H3PO4
17 7647-01-0
Asam Klorida
Hydrochloric acid; Hydrogen
chloride; Anhidrous hydrochloric
acid
HCl
23 74-90-8
Asam Sianida
Hydrogen cyanide; Hydrocyanic
acid; Blausaure; Prussic acid
HCN
24 7664-93-9
Asam Sulfat Sulfuric Acid; Oil of Vitriol
H2SO4
31 71-43-2
Benzena
Benzene; Benzol; Cyclo
hexatriene
C6H6
52 108-95-2
Fenol
Phenol; Carbolic acid; Phenic
acid; Phenilic acid; Phenyl
hydroxide; Hidroxybenzene;
Oxybenzene
C6H5OH
54 50-00-0 Formalin
(larutan)
Formadehyde solution; Formalin;
Formol; Morbicid; Veracur
CH2O
58 7783-06-4 Hidrogen
Sulfida
Hydrogen sulphide; Sulfurated
hydrogen; Hydrosulfuric acid
H2S
76 124-38-9 Karbon
dioxide
Carbonic acid gas
CO2
78 7440-44-0
Karbon hitam Amorphous
C
79 630-08-0 Karbonmonok
sida
Carbon monoxide
CO
80 7782-50-5
Klor Chlorine
Cl2
81 67-66-3
Kloform Chloroform; Trichlorometthane
CHCl3
85 7487-97 Merkuri
klorida
Mercuric chloride; Mercury
bichloride; Corrosive sublimate;
Mercury perchloride; Corrosive
mercury chloride
HgCl2
87 74-82-8
Methane -
CH4
98 1310-73-2 Natrium
Hidroksida
Sodium hydroxide; Caustic soda;
Soda lye; Sodium hydrate
NaOH
105 7727-37-9
Nitrogen Nitrogen
N2
106 10102-44-0 Nitrogen
Dioksida
Nitrogen dioxide
NO2
110 10028-15-6
Ozon Ozone; Triatomic oxygen
O3
112 87-86-5 Pentaklorofen
ol
Penta; PCP; Penchloraol;
Santhophene 20
C6HCl5O
114 7761-88-8
Perak nitrat –
AgNO3
122 7646-85-7
Seng Klorida Zinc chloride; Butter zinc
ZnCl2
127 7439-92-1 Timbal (timah
hitam)
Lead
Pb
209 –
CH2BrCl Bromochloroethane
–
Contoh B3 (dibatasi) dalam Lampiran II – Tabel 2 PP 74/2001
No No Reg Chemical
Abstract Service
Nama Bahan
Kimia
Sinonim/Nama Dagang Rumus
Molekul
1 93-76-5 2,4,5-T Esterone 245; Trioxone;
Weedone
C8H5Cl3O3
2 2425 -98-3 Chlordimefor
m (CDM)
CDM; Ciba-8514; Schering
36,268: Spanon; Fundal;
Gulecton; Chlorophenamidine
C10H13ClN2
4 510-15-6 Chlorobenzilat
e
Compound 338; G23922;
Acarabene; Akar; Folbex; Ethyl
4,4-dichlorobenzilate; Ethyl 4,4-
hydroxy-2,2bis(4-
chlorophenil)acetate
C16H14Cl2O3
6 106-93-4 Ethylene
Dibromida
(EDB)
EDB; Dowfume WW85; 1,2-
dibromoethane; Ethylenebromide;
Sym-dibromoethane
C12H4Br2
9 58-89-9 Lindane - C6H6Cl6
10 - Senayawa
merkuri,
termasuk:-
Anorganik
merkuri -Alkyl
merkuri -
Alkyloxyalkyl
merkuri -Aryl
merkuri
– –
11 87-86-5 Pentaklorofen
ol*
Penta; PCP; Penchloraol;
Santhophene 20
C6HCl5O
21 7439-97-6 Mercury/Air
raksa
Liquid silver; Hydragyrum;
Quicksilver
Hg
26 75-69-4 CFC-11 Trichloromonofluoromethane;
Fluorotrichloromethane; Freo 11;
Frigen 11; Areton 11
CCl3
27 75-71-12 CFC-12 Dichlorodifluoromethane; Areton
12; Freon 12; Frigen 12; Genetron
12; Halon; Isotron 2
CCl2F2
29 - CFC-114 Dichlorotetrafluoroethane;
Cryfluorane; Freon 114; Frigen
114; Areton 114
C2Cl2F2
43 - Halon-2402 Dibromotetrafluoroethane C2Rbr2F4
45 74-83-9 Metil bromida Bromomethane;
Monobromomethane; Embafume
CH3Br
Jawaban boleh tidaknya barang tersebut masuk ke Indonesia harus diterima oleh
otorita negara pengekspor dalam waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal
diterimanya notifikasi tersebut. Prosedur ini adalah sesuai dengan Konvensi Basel
yang mengatur lintas batas bahan dan limbah B3 antar negara.
Prosedur yang sama diberlakukan bagi B3 yang akan dieksport ke luar negeri
(pasal 7). PP ini mewajibkan eksportir B3 tersebut untuk menyampaikan notivikasi
ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang
bertanggung jawab di Indonesia terlebih dahulu. Sebelum ada persetujuan dari
otoritas negara tujuan ekspor dan otoritas negara transit, serta dari instansi yang
berwenang, maka ekspor B3 tersebut belum boleh dilaksanakan.
Salah satu informasi penting yang selalu harus disertakan dalam produksi B3
adalah Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet – MSDS).
Informasi MSDS disamping harus tercantum pada produksi B3 (pasal 11), juga harus
muncul pada dokumen pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 (pasal 12),
dan juga pada kemasan bahan tersebut (pasal 14). Lembar MSDS paling tidak berisi:
 Merek dagang
 Rumus kimia B3
 Jenis B3
 Klasifikasi B3
 Teknik penyimpanan, dan
 Tata-cara penanganan bila terjadi kecelakaan
PP 74/2001 mengatur juga secara umum pengangkutan B3 (pasal 13),
pengemasan B3 (pasal 15), pemberian label dan simbol (pasal 17), penyimpanna B3
(pasal 18). Lokasi dan konstruksi tempat penyimpanan B3 membutuhkan pengaturan
tersendiri, agar tidak terjadi kecelakaan akibat kesalahan dalam penyimpanan
tersebut. Salah satu persyaratan kelengkapan pada tempat penyimpanan tersebut
adalah sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3 (pasal 19). B3 yang
dianggap kadaluwarsa, atau tidak memenuhi spesifikasi, atau bekas kemasan, yang
tidak dapat digunakan tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus dikelola
sebagai limbah B3 (pasal 20). B3 kadaluwarsa adalah bahan yang karena kesalahan
dalam penanganannya menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau
karakteristik sehingga bahan tersebut tidak sesuai lagi dengan spesifikasinya. Sedang
B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah bahan yang dalam proses produksinya
tidak sesuai dengan yang ditentukan.
PP 74/2001 mengatur juga masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi orang
yang bekerja di bidang ini, yang menjadi tanggung jawab bagi pengusaha. Salah satu
langkah yang wajib dilakukan adalah kewajiban uji kesehatan secara berkala bagi
pekerja, sekurang -kurangnya 1 kali dalam 1 tahun, denganmaksud untuk mengetahui
sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja
atau pengawas lokasi tersebut (pasal 23).
Salah satu kehawatiran utama dalam penanganan B3 adalah kemungkinan
terjadinya kecelakaan baik pada saat masih dalam penyimpanan maupun kecelakaan
pada saat dalam pengangkutannya. Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya
B3 ke lingkungan, yang memerlukan penanggulangan cepat dan tepat (pasal 24). Bila
terjadi kecelakaan, maka kondisi awalnya adalah berstatus keadaan darurat
(emergency). Langkah darurat yang harus dilakukan adalah (pasal 25):
 Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan
 Menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur standar penanggulangan
kecelakaan
 Melaporkan kecelakaan atau keadaan darurat tersebut kepada aparat
Kota/Kabupaten setempat
 Memberikan informasi, bantuan dan melakukan evakuasi masyarakat sekitar
lokasi kejadian.
Karakterisasi B3 Menurut PP 74/2001
Penjelasan PP 74/2001 menguraikan secara singkat klasifikasi B3 sebagai berikut:
1. Explosive (mudah meledak): adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar
(25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat
menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat
merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan
menggunakan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) atau Differential Thermal
Analysis (DTA), sedang 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida digunakan
sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut, akan diperoleh nilai
temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih
tinggi dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak.
2. Oxidizing (pengoksidasi): pengujian bahan padat dilakukan denganemtode uji
pembakaan menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedang
untuk bahan cair, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat.
Suatu bahan dinyatakan sebagai pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan
tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar.
3. Flammable (mudah menyala):
 Extremely flammable: padatan atau cairan yang memiliki titik nyala (flash
point)di bawah 0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 oC.
 Hghly flammable: padatan atau cairanyang memiliki titik nyala 0oC- 21oC.
 Flammable:
 Bila cairan: bahan yang mengandung alkohol kurang dari 24% -volume, dan
atau mempunyai titik nyala ≤ 60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak
dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg.
Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode Closed-up test.
 Bila padatan: bahan bukan cairan, pada temperatur dan tekanan standar dengan
mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap
air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat
menyebabkan kebakaran terus menerus dalam 10 detik. Pengujian dapat pula
dilakukan dengan Seta Closed -cup Flash Point Test,dengan titik nyala di bawah
40oC.
4. Toxic (beracun): akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila
masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
5. Harmful (berbahaya): padatan maupun cairan ataupun gas yang jika kontak atau
melalui inhalasi (pernafasan) atau melalui oral dapat menyebabkan bahaya
terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.
6. Corrosive (korosif): mempunyai sifat
 Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit
 Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan
laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.
 Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥ 12,5 untuk B3 bersifat
basa.
 Carcinogenic (karsinogen): sifat bahan penyebab sel kanker, yaitu sel liar yang
dapat merusak jaringan tubuh
 Teratogenic: sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan
pertumbuhan embrio
 Mutagenic: sifat bahan yang dapat menyebabkan perubahan kromosom yang
dapat merubah genetika.
7. Irritant (bersifat iritasi): padatan maupun cairan yang bila terjadi kontak secara
langsung, dan apabila terus menerus kontak dengan kulit atau selaput lendir dapat
menyebabkan peradangan
8. Dangerous to the Environment (berbahaya bagi lingkungan): seperti merusak
lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan
tersebut dapat merusak lingkungan.
9. Chronic toxic (toksik kronis)
 PP 101 Tahun 2014 tentang PengelolaanLimbah B3 Pengganti PP
18/1999 Jumto PP 85/1999
PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan
Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok
perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih
lengkap dibanding PP sebelumnya sbb:
1. Sanksi Lebih Berat dan Peraturannya Lebih Ketat
2. Bertambahnya Jenis Limbah Yang Dikategorikan Limbah B3
Hal ini bisa dilihat di lampiran PP 101 tahun 2014 banyak menambahkan jenis
limbah menjadi kategori limbah b3 yang baru.
3. Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat
menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan
lingkungan hidup.
4. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3
dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan
pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola
Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten.
5. Dalam tuntutan hukum, Limbah B3 tergolong dalam tuntutan yang bersifat formal.
Artinya, seseorang atau perusahaan dapat dikenakan tuntutan perdata dan pidana
lingkungan karena cara mengelola Limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan,
tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya tersebut telah mencemari
lingkungan.
6. Pengetahuan tentang cara pengelolaan Limbah B3 yang memenuhi persyaratan
wajib diketahui oleh pihak-pihak yang terkait dengan Limbah B3 dan pihak ke 3
yang bekerjasama dengan perusahaan.
7. Di Bagian Ketentuan Umum
PP 101 tahun 2014 menambahkan point-point di bawah ini yang dalam PP
sebelumnya tidak disebutkan seperti Ekspor Limbah B3, Notifikasi Ekspor Limbah
b3, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan PPLHD.
 Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,
energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain.
 Prosedur Pelindian Karakteristik Beracun (Toxicity Characteristic Leaching
Procedure) yang selanjutnya disingkat TCLP adalah prosedur laboratorium
untuk memprediksi potensi pelindian B3 dari suatu Limbah.
 Uji Toksikologi Lethal Dose-50 yang selanjutnya disebut Uji Toksikologi
LD50 adalah uji hayati untuk mengukur hubungan dosis-respon antara
Limbah B3 dengan kematian hewan uji yang menghasilkan 50% (lima puluh
persen) respon kematian pada populasi hewan uji.
 Ekspor Limbah B3 adalah kegiatan mengeluarkan Limbah B3 dari daerah
pabean Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Notifikasi Ekspor Limbah B3 adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari
otoritas negara eksportir kepada otoritas negara penerima sebelum
dilaksanakan perpindahan lintas batas Limbah B3.
 Dumping (Pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan/atau memasukkan Limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi,
waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan
hidup tertentu.
 Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
 Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
 Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup adalah cara atau proses untuk mengatasi Pencemaran
Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
 Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup adalah serangkaian kegiatan
penanganan lahan terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan
hidup yang disebabkan oleh Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau
Perusakan Lingkungan Hidup.
 Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPLH
adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang, kewajiban, dan
tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat
PPLHD adalah Pegawai Negeri Sipil di daerah yang diberi tugas, wewenang,
kewajiban, dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan
lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Bagian Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
Di PP 101 tahun 2014 ini lebih dirinci. Dalam Pasal 196 Di PP 101 tahun 2014 di
sebutkan:
Ayat (1) Dalam hal Limbah B3 akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk tujuan transit, Penghasil Limbah B3 atau
Pengangkut Limbah B3 melalui negara eksportir Limbah B3 harus mengajukan
permohonan notifikasi kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri.
Ayat (2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan dalam waktu paling singkat 60 (enam puluh) hari sebelum transit
dilakukan.
Ayat (3) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan keterangan paling sedikit mengenai:
1. identitas eksportir Limbah B3;
2. negara eksportir Limbah B3;
3. dokumen mengenai nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang
akan transit;
4. alat angkut Limbah B3 yang akan digunakan;
5. negara tujuan transit;
6. tanggal rencana pengangkutan, pelabuhan atau terminal tujuan transit,
waktu tinggal di setiap transit, dan pelabuhan atau terminal masuk dan
keluar;
7. dokumen mengenai asuransi;
8. dokumen mengenai pengemasan Limbah B3;
9. dokumen mengenai tata cara penanganan Limbah B3 yang akan diangkut;
dan
10. dokumen yang berisi pernyataan dari Penghasil Limbah B3 dan eksportir
Limbah B3 mengenai keabsahan dokumen yang disampaikan.
9. Ruang Lingkup PP 101 tahun 2014 diperluas dari PP sebelumnya karena juga
mengatur tentang:
1. Dumping (Pembuangan) Limbah B3;
2. pengecualian Limbah B3;
3. perpindahan lintas batas Limbah B3;
4. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup dan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup;
5. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3;
6. pembinaan;
7. pengawasan;
8. pembiayaan;
9. sanksi administratif.
2. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Alur terbentuknya B3
 Pengertian Limbah
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan atau beracun yang karena sifat, konsentrasinya, dan jumlahnya secara
langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan, merusak, dan dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lainnya. Pengelolaan Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang
mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan penimbunanlimbah B3. Pengelolaan Limbah B3 ini bertujuan untuk
mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, memulihkan
kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatan kemampuan dan fungsi kualitas
lingkungan.
Pengelolaan Limbah B3 ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19
tahun 1994 yang dibaharui dengan PP No. 12 tahun 1995 dan diperbaharui kembali
dengan PP No. 18 tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 yang dikuatkan lagi melalui
Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 tanggal 26 November 2001 tentang
Pengelolaan Limbah B3.
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa
suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun
yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup
dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta mahluk hidup lain.
 Sumber - Sumber Limbah Dominan
Dalam berbagai penelitian telah di simpulkan bahwasanya ada beberapa sumber
limbah dominan yang selama ini di ketahui...inilah 8 sumber limbah dominan yang
telah di simpulkan :
1. Industri Tekstil dan industri kulit Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil
adalah penggunaan zat warna. Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr,
seperti senyawa Na2Cr2O7 atau senyawa Na2Cr3o7. Industri batik menggunakan
senyawa Naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah
H2O2 yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik.
Beberapa tahap proses pada indusrti kulit yang mneghasilkan limbah B3 antara
lain washing, soaking, dehairing, lisneasplatting, bathing, pickling, dan degreasing.
Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving, dan polishing. Proses tersebut
menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan H2SO4. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan untuk memasukkan industrikulit dalam kategori penghasil limbah
B3.
2. Pabrik kertas dan percetakan Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas
berasal dari proses pengambilan kmebali (recovery) bahan kimia yang
memerlukan stabilisasi sebelum ditimbun. Sumber limbah lainnya ada pada
permesinan kertas, pada pembuangan (blow down) boiler dan proses pematangan
kertas yang menghasilkan residu beracun. Setelah residu tersebut diolah,
dihasilkan konsentrat lumpur beracun.
Produk samping proses percetakan yang dianggap berbahaya dan beracun adalah
dari limbah cair pencucian rol film, pembersihan mesin, dan pemrosesan film.
Proses ini menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume
limbah cair yang diolah. Industri persuratkabaran yang memiliki tiras jutaan
eksemplar ternyata memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3.
3. Industri kimia besar Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah
B3, yang antara lain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan
pengawet kayu, pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen,
dan sabun. Limbah cair pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur
beracun sebesar 3-5 persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan cat
menghasilkan beberapa lumpur cat beracun, baik air baku (water-base) maupun
zat pelarut (solvent-base). Sedangkan industri tinta menghasilkan limbah terbesar
dari dari pembersihan bejana-bejana produksi, baik cairan maupun lumpur pekat.
Sementara, timbulnya limbah beracun dari industri pestisida bergantung pada
jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah ia benar-benar membuat bahan
atau hanya memformulasikan saja.
4. Industri farmasi Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua sub-kelompok, yaitu
sub-kelompok pembuat bahan dasar obat dan sub-kelompok formulasi dan
pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah sub-kelompok kedua yang tidak
begitu membahayakan. Tapi, limbah industri farmasi yang memproduksi atibiotik
memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal
dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa.
5. Industri logam dasar Industri logam dasar nonbesi menghasilkan limbah padat
dari pengecoran, percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat
beracun sebesar 3 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam
untuk keperluan rumah tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak
dapat diolah di lokasi pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga
terdapat cairan pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnya masuk
kategori limbah B3.
6. Industri perakitan kendaraan bermotor. Kelompok ini meliputi perakitan
kendaraan bermotor seperti mesin, disel, dan pembuatan badan kendaraan
(karoseri). Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai
non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam (bondering) dan
pengecatan yang mengandung logam berat seperti Zn dan Cr.
7. Industri baterai kering dan aki Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya
berasal dari proses filtrasi. Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses
penyegelan. Industri aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena
menggunakan H2SO4 sebagai cairan elektrolit.
8. Rumah sakit Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair,
bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat-
obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah
cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia laboratorium dan
lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik bisa
mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan
bersifat radioaktif. Selama ini sangat sulit mengetahui secara persis, berapa jumlah
limbah B3 yang dihasilkan suatu industri, karena pihak industri enggan
melaporkan jumlah dan akrakter limbah yang sebenarnya. Padahal, kejujuran
pihak industri untuk melaporkan secara rutin jumlah dan karakter limbahnya
merupakan informasi berharga untuk menjaga keselamatan lingkungan bersama.
Keengganan mereka berawal dari biaya pengolahan limbah yang terlampau mahal,
sehingga yang terjadi adalah “kucing-kucingan” guna menghindari keharusan
melakukan pengolahan. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan yang tidak terlampau
menekan industri, agar industri terangsang untuk mengolah limbahnya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan
pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan
perudang-undangan, khususnya Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan
Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok
perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih lengkap
dibanding PP sebelumnya. Ruang Lingkup PP 101 tahun 2014 diperluas dari PP
sebelumnya karena juga mengatur tentang:
1. Dumping (Pembuangan) Limbah B3;
2. pengecualian Limbah B3;
3. perpindahan lintas batas Limbah B3;
4. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup dan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup;
5. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3;
6. pembinaan;
7. pengawasan;
8. pembiayaan;
9. sanksi administratif.
B.Saran
Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat menimbulkan
kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup.
Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3 dihasilkan
sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan pengelolaan secara
internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola Limbah B3 memenuhi
regulasi dan kompeten.
DAFTAR PUSTAKA
https://jujubandung.wordpress.com/2012/04/08/pengelolaan-limbah-b3-dalam-pp-
181999-juncto-pp-851999/
https://jujubandung.wordpress.com/2012/04/09/pengelolaan-b3-dalam-pp-742001/
http://www.limbahb3.com/pokok-pokok-perubahan-pp-101-tahun-2014-tentang-
pengelolaan-limbah-b3-pengganti-pp-181999-jumto-pp-851999/

More Related Content

What's hot

A. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbt
A. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbtA. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbt
A. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbtLona Thesa
 
limbah b3 dan prinsip pengelolaan
limbah b3 dan prinsip pengelolaanlimbah b3 dan prinsip pengelolaan
limbah b3 dan prinsip pengelolaannamakuguten
 
Definisi dan Istilah dalam Penanganan Sampah
Definisi dan Istilah dalam Penanganan SampahDefinisi dan Istilah dalam Penanganan Sampah
Definisi dan Istilah dalam Penanganan SampahJoy Irman
 
Sifat unsur transisi periode ke empat
Sifat unsur transisi periode ke empatSifat unsur transisi periode ke empat
Sifat unsur transisi periode ke empatWina Fajriatin
 
Gcms analisis
Gcms analisisGcms analisis
Gcms analisisMan Xp
 
Modul kelompok 5 (kd 3.5)
Modul kelompok 5 (kd 3.5)Modul kelompok 5 (kd 3.5)
Modul kelompok 5 (kd 3.5)Nais Adetya
 
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )Dwi Andriani
 
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) SampahRehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampahinfosanitasi
 
Logam transisi golongan 5
Logam transisi golongan 5Logam transisi golongan 5
Logam transisi golongan 5salmarubiani
 
Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]
Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]
Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]UIN Alauddin Makassar
 
Karbohidrat biokomia
Karbohidrat biokomiaKarbohidrat biokomia
Karbohidrat biokomiapure chems
 
Pengolahan Sampah
Pengolahan SampahPengolahan Sampah
Pengolahan SampahFKMAP13
 

What's hot (20)

Waste management
Waste managementWaste management
Waste management
 
A. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbt
A. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbtA. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbt
A. sop penanganan tumpahan merkuri pkm rbt
 
limbah b3 dan prinsip pengelolaan
limbah b3 dan prinsip pengelolaanlimbah b3 dan prinsip pengelolaan
limbah b3 dan prinsip pengelolaan
 
Definisi dan Istilah dalam Penanganan Sampah
Definisi dan Istilah dalam Penanganan SampahDefinisi dan Istilah dalam Penanganan Sampah
Definisi dan Istilah dalam Penanganan Sampah
 
Kadmium
KadmiumKadmium
Kadmium
 
Makalah Perancangan APAR
Makalah Perancangan APAR Makalah Perancangan APAR
Makalah Perancangan APAR
 
Sifat unsur transisi periode ke empat
Sifat unsur transisi periode ke empatSifat unsur transisi periode ke empat
Sifat unsur transisi periode ke empat
 
lipid
lipidlipid
lipid
 
Kromatografi
KromatografiKromatografi
Kromatografi
 
Gcms analisis
Gcms analisisGcms analisis
Gcms analisis
 
Modul kelompok 5 (kd 3.5)
Modul kelompok 5 (kd 3.5)Modul kelompok 5 (kd 3.5)
Modul kelompok 5 (kd 3.5)
 
Lemak (thp tep)
Lemak (thp tep)Lemak (thp tep)
Lemak (thp tep)
 
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
 
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) SampahRehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
 
form MSDS
form MSDSform MSDS
form MSDS
 
Logam transisi golongan 5
Logam transisi golongan 5Logam transisi golongan 5
Logam transisi golongan 5
 
Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]
Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]
Sintesis kristal tunggal besar [k al.(so4)2.12 h2o]
 
Karbohidrat biokomia
Karbohidrat biokomiaKarbohidrat biokomia
Karbohidrat biokomia
 
Pengolahan Sampah
Pengolahan SampahPengolahan Sampah
Pengolahan Sampah
 
Ikatan kimia
Ikatan kimiaIkatan kimia
Ikatan kimia
 

Viewers also liked

Petunjuk teknis dekon proper 2014
Petunjuk teknis dekon proper 2014Petunjuk teknis dekon proper 2014
Petunjuk teknis dekon proper 2014Al Marson
 
Jadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3, MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGAN
Jadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3,  MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGANJadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3,  MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGAN
Jadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3, MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGANEni PT BENEFITA
 
Interpretasi Kriteria Audit SMK3
Interpretasi Kriteria Audit SMK3Interpretasi Kriteria Audit SMK3
Interpretasi Kriteria Audit SMK3Al Marson
 
Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...
Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...
Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...Rizki Darmawan
 
JCI Internal Audit Checklist By-Dr.Mahboob Khan Phd
JCI Internal Audit Checklist  By-Dr.Mahboob Khan Phd JCI Internal Audit Checklist  By-Dr.Mahboob Khan Phd
JCI Internal Audit Checklist By-Dr.Mahboob Khan Phd Healthcare consultant
 

Viewers also liked (6)

Petunjuk teknis dekon proper 2014
Petunjuk teknis dekon proper 2014Petunjuk teknis dekon proper 2014
Petunjuk teknis dekon proper 2014
 
Jadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3, MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGAN
Jadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3,  MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGANJadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3,  MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGAN
Jadwal AMDAL, EPCM: MPPA dan PPPU), LIMBAH B3, MSDS, IPAL,AUDIT LINGKUNGAN
 
Interpretasi Kriteria Audit SMK3
Interpretasi Kriteria Audit SMK3Interpretasi Kriteria Audit SMK3
Interpretasi Kriteria Audit SMK3
 
Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...
Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...
Permen lhk no. 56 2015 ttg tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan lb3 fa...
 
AUDIT 3 PENILAIAN
AUDIT 3 PENILAIANAUDIT 3 PENILAIAN
AUDIT 3 PENILAIAN
 
JCI Internal Audit Checklist By-Dr.Mahboob Khan Phd
JCI Internal Audit Checklist  By-Dr.Mahboob Khan Phd JCI Internal Audit Checklist  By-Dr.Mahboob Khan Phd
JCI Internal Audit Checklist By-Dr.Mahboob Khan Phd
 

Similar to peraturan dan sumber limbah b3

2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...
2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...
2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...helmut simamora
 
390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx
390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx
390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptxaeroX4
 
567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf
567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf
567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdfIshak523878
 
PENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdf
PENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdfPENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdf
PENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdfAhmadFadhli38
 
05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdf05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdfAhmadAryadi4
 
05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdf05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdfAhmadAryadi4
 
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...Dianora Didi
 
Peraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdf
Peraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdfPeraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdf
Peraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdfAnggiesClara
 
Pp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
Pp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracunPp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
Pp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracunUlfah Hanum
 
Permen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdf
Permen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdfPermen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdf
Permen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdfmeppriyantom
 
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...Fransiscus Xaverius
 
Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase
Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainaseKebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase
Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainaseOswar Mungkasa
 
Materi Webinar SIRAJA.pdf
Materi Webinar SIRAJA.pdfMateri Webinar SIRAJA.pdf
Materi Webinar SIRAJA.pdfFirmanSubekti3
 
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi Dickdick Maulana
 
Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3
Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3
Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3sitialimahromadhoni
 

Similar to peraturan dan sumber limbah b3 (20)

2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...
2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...
2. peraturan pemerintah nomor 85 tahun 1999 jo peraturan pemerintah nomor 18 ...
 
390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx
390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx
390232429-Materi-Training-Pengelolaan-B3-Dan-Limbah-B3-Di-Tempat-Kerja.pptx
 
567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf
567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf
567135433a94d9999e9b96b51049f4b9.pdf
 
PENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdf
PENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdfPENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdf
PENGELOLAAN-LB3-INDUSTRI-SALATIGA.pdf
 
05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdf05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdf
 
05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdf05.2 bab 2 (1).pdf
05.2 bab 2 (1).pdf
 
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
 
LB3.pptx
LB3.pptxLB3.pptx
LB3.pptx
 
Limbah b3
Limbah b3Limbah b3
Limbah b3
 
Peraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdf
Peraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdfPeraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdf
Peraturan Menteri LHK No. 6 tahun 2021.pdf
 
Pp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
Pp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracunPp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
Pp no 101_2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
 
Permen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdf
Permen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdfPermen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdf
Permen LHK 56 tahun 2015 fasyankes.pdf
 
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P...
 
Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase
Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainaseKebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase
Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase
 
Hazardous waste management
Hazardous waste managementHazardous waste management
Hazardous waste management
 
Materi Webinar SIRAJA.pdf
Materi Webinar SIRAJA.pdfMateri Webinar SIRAJA.pdf
Materi Webinar SIRAJA.pdf
 
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi
 
Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3
Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3
Kesehatan dan keselamatan kerja penanganan limbah b3
 
2_Perpem.ppt
2_Perpem.ppt2_Perpem.ppt
2_Perpem.ppt
 
Hazardous Material Handling
Hazardous Material HandlingHazardous Material Handling
Hazardous Material Handling
 

Recently uploaded

MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxssuser0239c1
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPAnaNoorAfdilla
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasHardaminOde2
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdfsandi625870
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfWahyudinST
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdfMMeizaFachri
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 

Recently uploaded (20)

MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 

peraturan dan sumber limbah b3

  • 1. PERATURAN DAN SUMBER LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) Disusun Oleh: Rindi Sulistyani (1513020) Alamat: Jl. Letjen Suprapto 26, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. No. Telp: 021-42801783. Website: www.stmi.ac.id
  • 2. KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Peraturan dan Sumber Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai peraturan dan sumber limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang baik. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan. Jakarta, Januari 2016 Penyusun
  • 3. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih lengkap dibanding PP sebelumnya sbb: 1. Sanksi Lebih Berat dan Peraturannya Lebih Ketat 2. Bertambahnya Jenis Limbah Yang Dikategorikan Limbah B3 3. Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup. 4. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3 dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten. 5. Dalam tuntutan hukum, Limbah B3 tergolong dalam tuntutan yang bersifat formal. Artinya, seseorang atau perusahaan dapat dikenakan tuntutan perdata dan pidana lingkungan karena cara mengelola Limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan, tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya tersebut telah mencemari lingkungan. 6. Pengetahuan tentang cara pengelolaan Limbah B3 yang memenuhi persyaratan wajib diketahui oleh pihak-pihak yang terkait dengan Limbah B3 dan pihak ke 3 yang bekerjasama dengan perusahaan. 7. Di Bagian Ketentuan Umum 8. Bagian Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
  • 4. Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3. Sumber-sumber utama limbah ini antara lain:  Sumber yang tidak spesifik yaitu Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan bahan kimia, bekas kemasan bahan kimia, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.  Limbah B3 yang umumnya bukan berasal dari proses uatamanya tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencuci, pencegah korosi, pelarut kerak dan pengemas.  Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses atau kegiatan yang dapat ditentukan secara spesifik.
  • 5. B. Rumusan Masalah  Apa saja peraturan-peraturan berkaitan tentang B3?  Apa pokok-pokok perubahan di PP 18/1999 Juncto PP 85/1999?  Apa pokok-pokok perubahan di PP 74/2001?  Apa pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014?  Apa sumber-sumber limbah B3 berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan B3?  Apa sumber limbah yang dominan yang selama ini diketahui? C. Tujuan  Mengetahui peraturan-peraturan berkaitan tentang B3  Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 18/1999 Juncto PP 85/1999  Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 74/2001  Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014  Mengetahui sumber-sumber limbah B3 berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan B3  Mengetahui sumber limbah yang dominan yang selama ini diketahui
  • 6. BAB II PEMBAHASAN 1. Peraturan-Peraturan Berkaitan Tentang B3  Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;  Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3;  Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-Bapedal/68/05/1994 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Pengelolaan Limbah B3;  Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-01/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3;  Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-02/Bapedal/09/1995 tentang Dokumen Limbah B3;  Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman Teknis Pengolahan Limbah B3;  Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman Teknis Penimbunan Limbah B3;  Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-05/Bapedal/09/1995 tentang Simbol dan Label Limbah B3;
  • 7.  PengelolaanLimbah B3 dalam PP 18/1999 Juncto PP 85/1999 Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 % dari limbah B3 yang dikelola berasal dari kegiatan industri dan 70 % diantaranya berasal dari industri kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkategori berbahaya, terutama karena sifat korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous liquid waste. Walaupun limbah itu berasal dari kegiatan industri, namun tidak semua berkategori Limbah B3. Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk mengkaji kelayakan. Pusat pengolah limbah B3 di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah berbahaya di daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) pada tahun 1990 sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Selain itu, survai limbah B3 yang berasal dari industri-industri di Otorita Batam menyimpulkan bahwa:  Karakteristik limbah cair industri adalah : mudah terbakar (11,52 %), beracun (2,50 %), korosif (8,44 %) dan non B3 (77,54 %).  Karakteristik limbah padat industri adalah : mudah terbakar (0 %), beracun (0,90 %), korosif (1,52 %) dan non B3 (97,58 %).  Limbah B3 (cair dan padat) dari industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah industri yang dihasilkan. Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan perudang-undangan, khususnya Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 59 UU tersebut menggariskan bahwa:  Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.  Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
  • 8.  Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.  Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.  Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.  Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. Secara spesifik pengelolaan limbah B3 telah diatur lebih lanjut dalam:  Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP18/1999)  Peraturan Pemerintah No 85 tah un 1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 (PP85/1999) PP 18/99 jo PP 85/99 merupakan pengganti PP 19/94 jo PP12/95. Peraturan- peraturan lain yang mengatur masalah limbah B3 adalah Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dari No. 01/Bapedal/09/1995 sampai No. 05/Bapedal/09/1995 yang merupakan pengaturan lebih lanjut PP19/1994 dan PP12/1995, dan tetap masih berlaku sebagai pengaturan lebih lanjut dari PP 18/99 jo PP 85/99. Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka, Indonesia sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar pulau di Indonesia, maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan- peraturan yang langsung menangani lintas batas limbah adalah:
  • 9.  Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,  Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor limbah B3 dan plastic  Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur tata niaga impornya  Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor limbah Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali dibutuhkan untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan daur -ulang limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3 yang dapat diimpor adalah skrap timah hitam (aki bekas), sampai jangka waktu terbatas. Dapat dikatakan, sampai tahun 1960-an pengelolaan limbah industri di Amerika Serikat masih belum memadai, misalnya hanya dibuang ke lahan landfill yang belum dilapis secara kedap. Timbulnya gerakan lingkungan tahun 1960-an, memaksa Kongres Amerika untuk memperhatikan masalah limbah industri ini lebih serius. Pengelolaan Limbah B3 dalam PP 18/1999 Juncto PP 85/1999 Hal yang Diatur: PP 18/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun terdiri dari 8 bab yang dibagi lagi menjadi 42 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah:  Bab I (pasal 1 sampai 5): Ketentuan umum  Bab II (pasal 6 sampai 8): Identifikasi limbah B3  Bab III (pasal 9 sampai 26): Pelaku pengelolaan  Bab IV (pasal 27 sampai 39): Kegiatan pengelolaan
  • 10.  Bab V (pasal 40 sampai 61): Tata laksana  Bab VI (pasal 62 sampai 63): Sanksi  Bab VII (pasal 64 sampai 65): Ketentuan peralihan  Bab VIII (pasal 66): Ketentuan penutup. Sedang PP 85/1999 yang merupakan perubahan dari PP 18/1999 hanya terdiri dari 2 (dua) pasal. Pasal I berisi pasal-pasal dalam PP 18/1999 yang mengalami perubahan, dan pasal II (Penutup). Dalam pasal I dijelaskan pasal-pasal dalam PP18/1999 yang mengalami perubahan, yaitu sebanyak 3 pasal, yaitu: pasal 6, pasal 7, dan pasal 8. Sumber, Karakteristk dan Proses Penentuan Limbah B3: Pengertian pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah dan penimbunan limbah B3′ (pasal 1 angka 3). Sedangkan tujuan pengelolaan tersebut adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali’ (pasal 2). Sebelumnya PP 19/1994 mendefinisikan bahwa penghasil limbah B3 tidak hanya mereka yang bergerak dalam kegiatan yang bersifat komersial tetapi termasuk juga perorangan yang menyimpan limbahnya dalam lokasi kegiatannya sebelum limbah tersebut ditangani lebih lanjut sesuai dengan peraturan yang ada. Kemudian PP 12/1995 membatasi, bahwa yang terkena definisi tersebut adalah badan usaha yang menghasilkan limbah B3. PP18/99 mendefisikan bahwa penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 seperti di tegaskan dalam Ps 1(5). Pengertian ‘orang ’ yang sering muncul dalam PP 18/99 seperti dijelaskan dalam Ps 1(18) adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang dan atau badan hukum. Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga, seperti
  • 11. batere bekas, serta kegiatan skala kecil tidak terkena peraturan ini, karena pengaturannya akan ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggungan jawab, seperti ditegaskan dalam Ps 9(6). Bila batasan penghasil limbah B3 diterapkan juga pada kelompok tersebut, akan menimbulkan permasalahan, karena izin pengelolaan limbah B3 membutuhkan prosedur administrasi yang tidak sederhana, yang hanya bisa dilaksanakan oleh sebuah usaha komersial. Pasal 1 angka 2 mendefinisikan limbah berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya yang dapat diidentifikasikan menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan atau uji toksikologi (PP85/99 Ps 6). Sebuah limbah dinyatakan sebagai limbah B3, melalui beberapa langkah, yaitu:  Langkah 1: mengidentifikasi limbah yang dihasilkan, dengan daftar limbah (Lampiran 1 Tabel 1 dan 3) atau daftar kegiatan (Lampiran 1 Tabel 2) yang tercantum dalam PP85/99, seperti diatur dalam Ps 7(1). Bila terdapat dalam daftar, maka secara formal limbah tersebut adalah limbah B3. Bila tidak terdapat dalam daftar tersebut, maka identifikasi harus dilanjutkan dengan Langkah berikutnya.  Langkah 2: melakukan uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam Ps 7(3) PP85/99 seperti diuraikan berikut ini. Pasal 7 (1) PP 85/99 menyebutkan bahwa jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi:  Limbah B3 dari sumber tidak spesifik (Lampiran I Tabel 1)  Limbah B3 dari sumber spesifik (Lampiran I Tabel 2)  Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Lampiran I Tabel 3)
  • 12. Rincian dari masing -masing jenis kelompok tersebut terdapat pada Lampiran I PP85/99, yaitu Tabel 1 (Sumber tidak spesifik), Tabel 2 (Sumber spesifik) dan Tabel 3 (limbah kimia kadaluarsa). Pasal 7 (3) PP85/99 selanjutnya mendefinisikan uji karakteristik limbah B3 sebagai berikut:  Mudah meledak  Mudah terbakar  Bersiafat reaktif  Beracun  Menyebabkan infeksi  Bersifat korosif  Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik. Sumber limbah tidak spesifik adalah sumber limbah yang menghasilkan limbah yang pada umumnya bukan berasal dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarutan kerak, pengemasan. Terdapat 43 jenis limbah yang termasuk kelompok ini. Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah. Sumber limbah ini terbagi dalam 51 jenis kegiatan yang termasuk kelompok penghasil limbah B3. Jenis kegiatan yang termasuk kelompok sumber spesifik adalah industri atau kegiatan: pupuk, pestisida, proses kloro-alkali, resin adesif, polimer, petrokimia, pengawetan kayu, peleburan -pengolahan besi dan baja, operasi penyempurnaan baja, peleburan timah hitan (Pb), peleburan-pemurnian tembaga, tinta, tekstil, manufaktur dan perakitan kendaraan-mesin, electroplating dan galvanis, cat, batere sel kering, batere sel basah, komponen elektronik-peralatan elektronik, eksplorasi
  • 13. dan produksi minyak-gas-panas bumi, kilang minyak dan gas bumi, pertambangan, PLTU yang mengunakan bahan bakar batu-bara, penyamakan kulit, zat warna dan pigmen, farmasi, rumah sakit, laboratorium riset dan komersial, fotografi, pengolahan batu-bara dengan pirolisis, daur – ulang minyak pelumas bekas, sabun deterjen- produk pembersih desinfektan-kosmetik, pengolahan lemak hewan/nabati dan derivatnya, allumunium thermal metallurgyallumunium chemical conversion coating, peleburan dan penyempurnaan seng, prosers logam non-ferro, metal hardening, metal-plastic shaping, laundry dan dry cleaning, IPAL industri, pengoperasian insinerator limbah, daur-ulang pelarut bekas, gas industri, gelas keramik/enamel, seal-gasket-packing, produk kertas, chemical-industrial cleaning, foto- kop i, semua jenis industri yang menghasilkan dan menggunakan listrik (untuk limbah PCB), semua jenis industri konstruksi (untuk limbah asbestos), bengkel pemeliharaan kendaraan. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan lagi. Terdapat 178 jenis bahan kimia yang termasuk kelompok limbah B3. Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya (bandingkan dengan uraian pada PP74/2001). Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang mempunyai salah satu sifat:  Berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24%-volume, dan atau pada titik nyala ≤60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg.
  • 14.  Bukan berupa cairan yang pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran terus menerus.  Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar  Merupakan limbah pengoksidasi Limbah yang bersifat reaktif pada air adalah limbah-limbah dengan salah satu sifat:  Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan  Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air  Limbah yang bila bercampur dengan air (termasuk uap air) menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan  Limbah sianida, sulfida atau amoniak yang pada pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan gas, uap, atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan  Limbah yang dengan mudah dapat meledak atau bereaksi pada suhu dan tekanan standar  Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi
  • 15. Limbah yang beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat racun bagi manusia dan lignkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit dan mulut. Indikator sifat racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity Characteristics Leaching Procedure), seperti tercantum dalam lampiran II PP85/99, yang merupakan batas ambang yang digunakan untuk indikasi B3. Pada dasarnya sebetulnya, uji TCLP adalah uji yang dikembangkan oleh US-EPA, yang merupakan simulasi terburuk kondisi landfill, yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada air tanah, yang airnya digunakan secara rutin. Simulasi transportasi pencemar ini, menghasilkan batas aman yang memperhitungkan probabilitas terjadinya toksisitas kronik non-kanker maupun kanker. Namun dalam versi Indonesia, bila ambang batas TCLP tidak terlampaui, penghasil limbah masih tetap diharuskan melakukan uji toksisitas akut maupun kronis. Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera, yang ditularkan pada pekerja, pembersih jalan dan masyarakat lain di sekitar lokasi pembuangan limbah.
  • 16. Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat:  Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit  Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.  Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥ 12,5 untuk B3 bersifat basa. Pengelolaan limbah radioaktif tidak termasuk dalam peraturan ini (Ps 5 PP18/99), dan kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sesuai dengan UU no. 31 tahun 1994 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Limbah yang Dapat Dikeluarkan dari Daftar Lampiran I: Menurut PP85/99, daftar limbah yang dapat dikecualikan adala h seperti terdapat pada Lampiran I – Tabel 2, dengan kode:  D220: limbah dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, gas dan panas bumi. Asal limbahnya adalah slop minyak, drilling mud bekas, sludge minyak, karbon aktif dan absorban bekas, sludge dari IPAL, cutting pemboran, residu dasar tanki.  D221: limbah dari kegiatan kilang minyak dan gas bumi. Asal limbahnya adalah sludge minyak, katalis bekas, karbon aktif bekas, sludge dari IPAL, filter bekas, residu dasar tanki, limbah laboratorium, limbah PCB  D223: PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara. Asal limbahnya adalah fly ash, bottom ash, limbah PCB Limbah tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan atau uji toksikologi. Namun pada kenyataannya di lapangan, semua
  • 17. jenis limbah tersebut oleh yang berwenang dinyatakan sebagai limbah B3, tanpa menunggu pembuktian terlebih dahulu. Selanjutnya Pasal 8 mengatur bahwa limbah B3 yang tercantum dalam Lampiran I Tabel 2 PP85/99 dapat dikeluarkan dari daftar setelah dapat dibuktikan bukan limbah B3 berdasarkan prosedur pembuktian secara ilmiah, yaitu:  Uji karakteristik limbah B3  Uji toksikologi  Hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan mahluk hidup lainnya. Kegiatan dan Pelaku Pengelolaan: Berbeda dengan PP19/94 jo PP12/95, maka PP 18/99 jo PP85/99 mengarahkan penanganan limbah B3 yang lebih berbasiskan pada cleaner production, artinya mengutamakan upaya reduksi di sumber. Ps 9 (1) PP18/99 menegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi baik bahan maupun limbahnya, dan melakukan pengolahan, dan/atau penimbunan bagi limbahnya. Bila kegiatan reduksi tersebut masih menghasilkan limbah, dan masih limbahnya dapat dimanfaatkan, maka limbah B3 tersebut dapat dimanfaatkan, baik dilakukan sendiri atau menggunakan jasa fihak lain. Ps 27 (1) PP tersebut mengarahkan bahwa reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya:  Penyempurnaan penyimpanan bahan baku dalam proses house keeping,  Substitusi bahan  Modivikasi proses  Serta upaya reduksi lainnya
  • 18. Secara teknis operasional, maka pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/99 jo PP85/99 merupakan suatu rangkaian kegiatan (Ps 1.3) dari terbentuknya limbah oleh penghasil, kemudian upaya reduksi limbah (sebelum terbentuk) seperti diuraikan di atas. Rangkaian mata rantai berikutnya adalah:  Pemanfaatan limbah oleh pemanfaat,  Pengumpulan limbah oleh pengumpul,  Pengangkutan limbah oleh pengangkut, dan  Pengolahan dan penimbunan limbah oleh pengolah Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan limbah B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan pengaturan. Oleh karenanya, PP tersebut mengatur masalah perizinan bagi mereka yang akan terlibat dalam bisnis kegiatan operasional tersebut. Aspek pengawasan dan sanksi juga diatur dalam kedua PP tersebut. Badan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi pengelolaan limbah B3 tersebut di Indonesia adalah sebuah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sebelum dibubarkan beberapa tahun lalu, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, yang dikenal sebagai BAPEDAL, bertanggung jawab akan hal itu. Dengan penyatuan institusi Bapedal dalam Kementerian Lingkungan Hidup, maka instansi yang bertanggung sepertinya berada pada Kementerian ini. Dengan adanya kedua PP tersebut, maka setiap penghasil limbah B3, tanpa kecuali, dilarang membuang limbahnya secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu (Ps3). Disamping itu, penanganan limbah B3 dengan jalan pengenceran sehingga konsentrasinya menjadi turun tidak diperbolehkan dilakukan (Ps4), karena kegiatan ini tidak akan menurunkan beban limbah yang dihasilkan. Setiap kegiatan yang menghasilkan limbah B3, wajib mengolah limbahnya sesuai dengan teknologi yang ada, dan bila tidak mampu diolah di dalam negeri dapat
  • 19. diekspor ke negara yang mempunyai teknologi pengolahan yang sesuai (Ps9-3). Pengaturan lintas batas limbah B3 dari dan keluar Indonesia diatur dalam Ps53. Bagi mereka yang tidak mampu untuk menangani limbahnya sesuai peraturan yang ada, maka penghasil limbah tersebut diperbolehkan menyerahkan penanganan limbahnya kepada pemanfaat limbah (Ps9-2) atau pengolah atau penimbun limbah B3 (Ps9-4) yang mempunyai kewenangan untuk itu. Namun penghasil limbah B3 tetap bertanggung jawab atas limbah yang diolah tersebut, walaupun telah diserahkan penanganannya pada fihak lain. Demikian juga upaya kegiatan pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 menuju lokasi pemerosesan berikutnya, dapat diserahkan kepada fihak lain, sebagaimana diatur dalam Ps12 dan Ps15 PP18/99. Batas waktu bagi penghasil limbah, atau pemanfaat limbah atau pengolah / penimbun limbah untuk menyimpan limbahnya sebelum dikelola lebih lanjut tidak lebih dari 90 hari (Ps10, Ps18 dan Ps23). Dengan demikian, penghasil limbah tidak harus menyerahkan limbahnya setiap saat kepada pengumpul atau pengangkut atau pengolah limbah. PP ini juga mengatur penghasil limbah yang dikatagorikan sedikit menghasilkan limbah B3, yang dikenal sebagai Small Quantity Generator (SQG). Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 kg/hari, maka penghasil limbah tersebut dapat menyimpan limbahnya lebih dari 90 hari, dengan syarat mendapat persetujuan instansi yang bertanggung jawab (Ps10). Selama penyimpanan tersebut, maka penghasil limbah dikenai kewajiban untuk mematuhi tata cara penyimpanan bagi limbah B3 (Ps29), pemberian symbol dan label untuk setiap kemasan yang digunakan yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3 tersebut (Ps28). Kewajiban penghasil limbah adalah mendata limbahnya secara baik, yang mencakup (Ps11-1):  Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu, baik pada saat limbah dihasilkan, maupun pada saat limbah tersebut diserahkan kepada pengelola berikutnya  Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul, pemanfaat atau pengolah/penimbun limbah B3
  • 20. Catatan tersebut wajib dilaporkan sekurang-kurangya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan tembusan kepada instansi lain terkait, serta Bupati/Walikota yang bersangkutan. Informasi data tersebut akan digunakan untuk bahan inventarisasi serta bahan evaluasi guna pengembangan kebijakan pengelolaan limbah B3. Rantai berikutnya dalam pengelolaan ini adalah pengumpulan limbah (Ps12, Ps13 dan Ps14). Pengumpulan ini bersifat sementara, dan limbah tersebut selanjutnya harus diserahkan kepada pemanfaat, atau pengolah-penimbun limbah yang diakui oleh yang berwenang. Sebagaimana pada penghasil limbah, maka limbah boleh disimpan paling lama 90 hari sebelum diserahkan kepada rantai pengelola berikutnya. Demikian pula pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah yang diterimanya maksimum 90 hari sebelum dilakukan pengolahan. Kewajiban untuk mendata limbah B3 yang dikelola, serta melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada instansi yang berwenang, merupakan hal yang harus dilaksanakan. Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut, wajib disertai dokumen limbah B3 (Ps16). Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumennya kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengola atau penimbun yang ditunjuk oleh penghasil limbah B3 (Ps17). Sektor pengangkutan merupakan aktivitas yang beresiko tinggi, dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan di jalan serta hal-hal lain yang tidak diinginkan. Usaha ini membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri yang mempunyai kewenangan di bidang perhubungan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Lingkungan Hidup. Disamping itu, alat angkut yang digunakan harus sesuai dengan peraturan tentang angkutan yang ada, yaitu : perkereta-apian (UU 13/1992), angkutan darat (UU 14/1992), penerbangan (UU 15/1992) dan pelayaran (UU 21/1992). Penghasil limbahpun dapat bertindak sebagai pengangkut limbah, dengan aturan- aturan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3. Selama dalam perjalanannya, limbah tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen yang berasal dari penghasil limbah maupun dari pengumpul limbah yang menjelaskan tentang
  • 21. limbah tersebut, dan menyerahkan dokumen tersebut kepada pengolah limbah bila limbah tersebut telah sampai di tujuan. Rantai akhir dari sistem ini adalah pengolahan dan penyingkiran (disposal) limbah. Pada dasarnya, pengolahan limbah bersasaran untuk merubah karakteristik dan komposisi limbah tersebut agar menjadi tidak berbahaya lagi. Disamping itu, pengolahan limbah bersasaran agar limbah tersebut dapat terdaur-ulang atau terdaur – pakai. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sesuai, seperti secara termal, stabilisasi dan solidifikas, pengolahan secara fisika, kimia dan biologi (Ps34). Bila teknologi tersebut tidak dapat diterapkan, maka dibutuhkan teknologi lain yang terbaik dan tersedia. Rantai pengeolaan yang paling akhir adalah penimbunan imbah B3 dalam sebuah landfill limbah B3 dengan system pelapis dasar. Mekanisme Cradle-to-Grave: Dokumen limbah akan memegang peranan penting dalam pemantauan perjalanan limbah B3 dari penghasil sampai ke pengolah limbah. Dokumen tersebut antara lain berisi:  Nama dan alamat penghasil limbah atau pengumpul yang menyerahkan limbah  Tanggal peneyerahan limbah  Nama dan alamat pengangkut limbah  Tujuan pengangkutan  Jenis, jumlah, komposisi, dan karakteristik limbah yang diserahkan. Dokumen tersebut dibuat dalam rangkap 7 apabila pengangkutan hanya satu kali. Apabila pengengkutan lebih dari satu kali (antar moda), maka dibutuhkan dokumen 11 rangkap, yang akan merupakan sarana permantauan yang serupa dengan konsep cradle-to-grave yang diterapkan di Amerika Serikat.
  • 22. Berdasarkan uraian dalam Penjelasan atas PP 18/99, rincian distribusi dokumen limbah tersebut adalah sebagai berikut:  Lembar ke 1 (asli): disimpan pengangkut setelah ditandatangani oleh pengirim limbah  Lembar ke 2: setelah ditandatangai oleh pengangkut limbah, kemudian dikirimkan kepada instansi yang bertanggung jawab oleh pengirim limbah.  Lembar ke 3: disimpan oleh penghasil setelah ditandatangani oleh pengangkut  Lembar ke 4: setelah ditanda tangani oleh pengirim limbah, kemudian oleh pengangkut diserahkan kepada penerima limbah  Lembar ke 5: dikirimkan oleh penerima kepada instansi yang bertanggung jawab setelah diterima oleh penerima limbah B3  Lembar ke 6: dikirimkan oleh pengangkut kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan pengirim, setelah ditandatangani oleh penerima limbah  Lembar ke 7: setelah ditandatangani oleh penerima, maka oleh pengangkut dikirimkan kepada pengirim limbah.  Lembar ke 8 sampai ke 11 dikirim oleh pengangkut kepada pengirim limbah setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya (antar moda). Mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya
  • 23. Pengelolaan limbah B3 memungkin badan swasta untuk terlibat di dalamnya, baik sebagai penyimpan, pemanfaat, pengumpul, pengangkut maupun sebagai pengolah limbah tersebut. Untuk itu dibutuhkan izin operasi (Ps40), yaitu:  dari Kepala instansi yang bertanggung jawab untuk kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfataan, dan pengolahan-penimbunan,  dari Menteri Perhubungan untuk kegiatan pengangkutan limbah B3, setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab, Disamping mempunyai legalitas badan usaha, persyaratan lain untuk memperoleh izin tersebut adalah adanya informasi yang menyangkut tentang:  nama dan alamat yang jelas dari badan usaha tersebut,  nama dan alamat penanggung jawab, lokasi tempat kegiatan,  bentuk kegiatan yang akan dilakukan,  bahan baku dan proses yang akan digunakan, spesifikasi alat pengolah limbah,  jumlah dan karakteristik limbah yang akan ditangani,  tata letak sarana dan prasarana,  alat pencegahan pencemaran yang digunakan Yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin lokasi pengolahan adalah kepala kantor pertanahan kabupaten/kota (pasal 42) sesuai dengan rencana tata ruang berdasarkan rekomendasi Kepala instansi yang bertanggung jawab. Disamping itu, untuk melengkapi perizinan kegiatan pengolahan limbah tersebut, dibutuhkan analisis dampak lingkungan terlebih dahulu, disertai dokumen-dokumen yang biasa menyertainya. Dalam hal penghasil limbah bertindak pula sebagai pengolah limbah dan kegiatan tersebut dilakukan pada lokasi yang sama, maka analisis dampak lingkungannya dibuat teritegrasi dengan kegiatan utamanya dengan persyaratan yang berlaku. Untuk itu, hanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana peman tauan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi berwenang yang diajukan kepada Instansi yang bertanggung jawab bersama persyaratan lainnya.
  • 24. PP 18/99 tersebut juga mengatur perpindahan lintas batas limbah B3 dari dan ke luar Indonesia (Ps53). Guna mencegah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah B3, maka limbah B3 dilarang masuk ke wilayah Indonesia. Dalam hal pengangkutan limbah B3 antara negara yang melalui wilayah Indonesia, maka dibutuhkan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada pemerintah Republik Indonesia. Pengiriman limbah B3 ke luar Indonesia membutuhkan persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan izin tertulis dari pemerintah Indonesia. Pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab meliputi pemantauan penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh fihak-fihak yang mengelola limbah B3. Pengawasan tersebut mempunyai kewenangan untuk:  memasuki area lokasi kegiatan,  mengambil contoh limbah untuk dianalisa di laboratorium,  meminta keterangan tentang pelaksanaan pengelolaan limbah,  melakukan pemotretan untuk kelengkapan pengawan tersebut. Kewajiban penghasil, pengumpul, pengangkut dan atau pengolah limbah adalah membantu sepenuhnya aktivitas pengawasan yang dilakukan di daerah tanggung jawabnya. Hal lain yang mendapat perhatian dalam kedua PP tersebut adalah kesehatan dan keselamatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan ini serta tanggung jawab pengelola bila terjadi kecelakaan serta pencemaran. Pemeriksaan kesehatan pekerja oleh instansi yang berwenang di bidang kesehatan tenaga kerja dilakukan secara berkala agar sejak dini dapat diketahui terjadinya kontaminasi oleh zat -zat berbahaya. Upaya ini merupakan kewajiban fihak pengelola untuk melaksanakannya. Bila terjadi kecelakaan atau pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan tersebut, maka fihak pengelola bertanggung jawab atas hal ini, dan fihak pengelola
  • 25. diwajibkan untuk segera menaggulanginya. Bila fihak pengelola tidak dapat menanggulanginya secara baik, maka Instansi yang bertanggung jawab akan melakukan upaya penanggulangan, dan biaya kegiatan tersebut dibebankan pada fihak pengelola.  PengelolaanB3 dalam PP 74/2001 Pada dasarnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU-23/1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 (21) UU-32/2009 mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain. Selanjutnya UU-32/2009 menggariskan dalam Ps 58 (1) bahwa setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang-undang No.19 tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten atau Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan.
  • 26. Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur masalah bahan berbahaya, yaitu:  Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida  Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya  Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan bahan beracun dan berbahaya di lingkungan industry  Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan penggunaan pestisida EDB  Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan pestisida Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang Dewan Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan ketenaga atoman pada dasarnya diatur oleh Undang – undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan – ketentuan pokok tenaga atom. Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara lain:  Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap radiasi  Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi  Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif
  • 27. Pengelolaan B3 Dalam PP 74/2001 PP 74/2001 tentang pengelolaan berbahaya dan beracun terdiri dari 15 bab yang dibagi lagi menjadi 43 pasal. Kelima belas bab tersebut adalah:  Bab I (pasal 1 sampai 4) : Ketentuan Umum,  Bab II (pasal 5): Klasifikasi B3,  Bab III (pasal 6 sampai 20) : Tata Laksana dan Pengelolaan B3,  Bab IV (pasal 21) : Komisi B3,  Bab V (pasal 22 dan 23) : Keselamatan dan Kesehatan Kerja,  Bab VI (pasal 24 sampai 27) : Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat,  Bab VII (pasal 28 sampai 31) : Pengawasan dan Pelaporan,  Bab VIII (pasal 32 sampai 34): Peningkatan Kesadaran Masyarakat,  Bab IX (pasal 35 dan 36) : Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat,  Bab X (pasal 37) : Pembiayaan,  Bab XI (pasal 38) : Sanksi Administrasi,  Bab XII (pasal 39) : Ganti Kerugian,  Bab XIII (pasal 40) : Ketentuan Pidana,  Bab XIV (pasal 41 dan 42) : Ketentuan Peralihan,  Bab XV (pasal 43) : Ketentuan Penutup. Menurut PP 74/2001: ‘bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat denganB3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya’ (pasal 1 angka 1). Sedangkan sasaran pengelolaan B3 adalah ‘untuk mencegah dan atau mengurangi resiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya’ (pasal 2). Pengertian pengelolaan B3 adalah ‘kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3’ (pasal 1 angka 2).
  • 28. Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan pengaturan. Oleh karenanya, pasal-pasal berikutnya mengatur masalah kewajiban dan perizinan bagi mereka yang akan memproduksi (menghasilkan), mengimpor, mengeksport, mendistribusikan, men yimpan, menggunakan dan membuang bahan tersebut bilamana tidak dapat digunakan kembali. Disamping aspek yang terkait dengan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan yang menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap fihak yang terkait, maka aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat diatur dalam PP tersebut. Tidak semua pengelolaan bahan yang berbahaya diatur oleh PP tersebut, antara lain karena telah diatur dalam PP lain, atau telah diatur oleh instansi lain berdasarkan konvesi internasional seperti bahan radioaktif. Bahan berbahaya yang tidak termasuk yang diatur adalah (pasal 3):  Bahan radioaktif  Bahan peledak  Hasil produksi tambang serta minyak gas dan gas bumi dan hasil olahannya  Makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya  Perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika  Bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika dan prekursor lainnya  Bahan aditif lainnya  Senjata kimia dan senjata biologi Untuk menentukan apakah sebuah bahan termasuk dalam kelompok B3, maka PP tersebut mengklasifikasikan B3 dalam 8 kelompok, yaitu (pasal 5):  Mudah meledak (explosisive)  Pengoksidasi (oxidizing)  Menyala:
  • 29.  sangat mudah sekali menyala (extremely flammable)  sangat mudah menyala (highly flammable)  mudah menyala (flammable)  Beracun:  amat sangat beracun (extremely toxic)  sangat beracun (highly toxic)  beracun (moderately toxic)  Berbahaya (harmful)  Korosif (coorosive)  Bersifat iritasi (irritant)  Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)  Toksik yang bersifat kronis:  karsinogenik (carcinogenic)  teratogenik (teratogenic)  mutagenik (metagenic) Untuk mempermudah menentukan B3 yang diatur dalam PP ini, maka berdasarkan penggunaannya di lapangan, B3 dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (pasal 5):  B3 yang dapat atau boleh dipergunakan di Indonesia (Lampiran I PP 74/2001)  B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia (Lampiran II Tabel 1, PP 74/2001)  B3 yang terbatas dipergunakan (Lampiran II Tabel 2, PP 74/2001) Dengan demikian, bilamana sebuah bahan sudah terdapat dalam lampiran tersebut, maka bahan tersebut termasuk B3, dan penggunaannya di Indonesia disesuaikan dengan kelompok tabel yang berlaku, apakah diperbolehkan dipergunakan, atau terbatas penggunaannya, atau sama sekali dilarang dipergunakan. Lampiran I PP 74/2001 mencantumkan 209 buah bahan kimia yang tergolong B3 yang dapat digunakan di Indonesia, 74 diantaranya dibatasi penggunaannya sampai tahun 2040, semuanya organik-berhalogen. Lampiran II – Tabel 1 mencantumkan 10
  • 30. bahan B3 yang dilarang pengunaannya, dan Lampiran II -Tabel 2 mencantumkan 45 bahan B3 yang dibatasi pengunaannya di Indonesia. Setiap bahan kimia dalam daftar tersebut, disertai keterangan:  No. Reg. Chemical Abstract Sevice yang bersifat universal  Nama bahan kimia  Sinonim/nama dagang  Rumus molekul Setiap produsen yang menghasilkan B3 baru yang termasuk diatur dalam PP ini, maka sebelum dipergunakan secara luas produsen tersebut harus mendaftarkan terlebih dahulu kepada yang berwenang, dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup (pasal 6). Sedang bahan berbahaya lain yang tidak diatur dalam PP ini, maka registrasinya harus diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab, misalnya Badan Tenaga Atom Nasional untuk bahan radioaktif. Demikian juga halnya unutk B3 yang diimport dari luar negeri, maka bahan tersebut terlebih dahulu harus didaftarkan oleh importirnya untuk diregistrasi sebelum secara rutin diimport. Bahan tersebut kemudian akan mendapat nomor registrasi sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia, sehingga dengan mudah dilakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan. Bila bahan yang akan dimpor adalah termasuk dalam daftar B3 yang terbatas dipergunakan, maka fihak otorita negara yang akan memasukkan bahan tersebut ke Indonesia terlebih dahulu harus menyampaikan notifikasi kepada fihak yang bertanggung jawab di Indonesia (pasal 8).
  • 31. Contoh B3 (dapat digunakan) dalam Lampiran I PP 74/2001 No No Reg Chemical Abstract Service Nama Bahan Kimia Sinonim/Nama Dagang Rumus Molekul 7 7664-41-7 Amoniak Ammonia NH3 14 64-19-7 Asam Asetat Acetic acid; Aci-jel CH3COO H 16 7664-38-2 Asam Posfat Phosphoric acid; Orthophosphoric acid H3PO4 17 7647-01-0 Asam Klorida Hydrochloric acid; Hydrogen chloride; Anhidrous hydrochloric acid HCl 23 74-90-8 Asam Sianida Hydrogen cyanide; Hydrocyanic acid; Blausaure; Prussic acid HCN 24 7664-93-9 Asam Sulfat Sulfuric Acid; Oil of Vitriol H2SO4 31 71-43-2 Benzena Benzene; Benzol; Cyclo hexatriene C6H6 52 108-95-2 Fenol Phenol; Carbolic acid; Phenic acid; Phenilic acid; Phenyl hydroxide; Hidroxybenzene; Oxybenzene C6H5OH 54 50-00-0 Formalin (larutan) Formadehyde solution; Formalin; Formol; Morbicid; Veracur CH2O
  • 32. 58 7783-06-4 Hidrogen Sulfida Hydrogen sulphide; Sulfurated hydrogen; Hydrosulfuric acid H2S 76 124-38-9 Karbon dioxide Carbonic acid gas CO2 78 7440-44-0 Karbon hitam Amorphous C 79 630-08-0 Karbonmonok sida Carbon monoxide CO 80 7782-50-5 Klor Chlorine Cl2 81 67-66-3 Kloform Chloroform; Trichlorometthane CHCl3 85 7487-97 Merkuri klorida Mercuric chloride; Mercury bichloride; Corrosive sublimate; Mercury perchloride; Corrosive mercury chloride HgCl2 87 74-82-8 Methane - CH4 98 1310-73-2 Natrium Hidroksida Sodium hydroxide; Caustic soda; Soda lye; Sodium hydrate NaOH 105 7727-37-9 Nitrogen Nitrogen N2 106 10102-44-0 Nitrogen Dioksida Nitrogen dioxide NO2 110 10028-15-6 Ozon Ozone; Triatomic oxygen O3 112 87-86-5 Pentaklorofen ol Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20 C6HCl5O
  • 33. 114 7761-88-8 Perak nitrat – AgNO3 122 7646-85-7 Seng Klorida Zinc chloride; Butter zinc ZnCl2 127 7439-92-1 Timbal (timah hitam) Lead Pb 209 – CH2BrCl Bromochloroethane – Contoh B3 (dibatasi) dalam Lampiran II – Tabel 2 PP 74/2001 No No Reg Chemical Abstract Service Nama Bahan Kimia Sinonim/Nama Dagang Rumus Molekul 1 93-76-5 2,4,5-T Esterone 245; Trioxone; Weedone C8H5Cl3O3 2 2425 -98-3 Chlordimefor m (CDM) CDM; Ciba-8514; Schering 36,268: Spanon; Fundal; Gulecton; Chlorophenamidine C10H13ClN2 4 510-15-6 Chlorobenzilat e Compound 338; G23922; Acarabene; Akar; Folbex; Ethyl 4,4-dichlorobenzilate; Ethyl 4,4- hydroxy-2,2bis(4- chlorophenil)acetate C16H14Cl2O3 6 106-93-4 Ethylene Dibromida (EDB) EDB; Dowfume WW85; 1,2- dibromoethane; Ethylenebromide; Sym-dibromoethane C12H4Br2
  • 34. 9 58-89-9 Lindane - C6H6Cl6 10 - Senayawa merkuri, termasuk:- Anorganik merkuri -Alkyl merkuri - Alkyloxyalkyl merkuri -Aryl merkuri – – 11 87-86-5 Pentaklorofen ol* Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20 C6HCl5O 21 7439-97-6 Mercury/Air raksa Liquid silver; Hydragyrum; Quicksilver Hg 26 75-69-4 CFC-11 Trichloromonofluoromethane; Fluorotrichloromethane; Freo 11; Frigen 11; Areton 11 CCl3 27 75-71-12 CFC-12 Dichlorodifluoromethane; Areton 12; Freon 12; Frigen 12; Genetron 12; Halon; Isotron 2 CCl2F2 29 - CFC-114 Dichlorotetrafluoroethane; Cryfluorane; Freon 114; Frigen 114; Areton 114 C2Cl2F2 43 - Halon-2402 Dibromotetrafluoroethane C2Rbr2F4
  • 35. 45 74-83-9 Metil bromida Bromomethane; Monobromomethane; Embafume CH3Br Jawaban boleh tidaknya barang tersebut masuk ke Indonesia harus diterima oleh otorita negara pengekspor dalam waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal diterimanya notifikasi tersebut. Prosedur ini adalah sesuai dengan Konvensi Basel yang mengatur lintas batas bahan dan limbah B3 antar negara. Prosedur yang sama diberlakukan bagi B3 yang akan dieksport ke luar negeri (pasal 7). PP ini mewajibkan eksportir B3 tersebut untuk menyampaikan notivikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab di Indonesia terlebih dahulu. Sebelum ada persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor dan otoritas negara transit, serta dari instansi yang berwenang, maka ekspor B3 tersebut belum boleh dilaksanakan. Salah satu informasi penting yang selalu harus disertakan dalam produksi B3 adalah Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet – MSDS). Informasi MSDS disamping harus tercantum pada produksi B3 (pasal 11), juga harus muncul pada dokumen pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 (pasal 12), dan juga pada kemasan bahan tersebut (pasal 14). Lembar MSDS paling tidak berisi:  Merek dagang  Rumus kimia B3  Jenis B3  Klasifikasi B3  Teknik penyimpanan, dan  Tata-cara penanganan bila terjadi kecelakaan PP 74/2001 mengatur juga secara umum pengangkutan B3 (pasal 13), pengemasan B3 (pasal 15), pemberian label dan simbol (pasal 17), penyimpanna B3 (pasal 18). Lokasi dan konstruksi tempat penyimpanan B3 membutuhkan pengaturan
  • 36. tersendiri, agar tidak terjadi kecelakaan akibat kesalahan dalam penyimpanan tersebut. Salah satu persyaratan kelengkapan pada tempat penyimpanan tersebut adalah sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3 (pasal 19). B3 yang dianggap kadaluwarsa, atau tidak memenuhi spesifikasi, atau bekas kemasan, yang tidak dapat digunakan tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus dikelola sebagai limbah B3 (pasal 20). B3 kadaluwarsa adalah bahan yang karena kesalahan dalam penanganannya menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau karakteristik sehingga bahan tersebut tidak sesuai lagi dengan spesifikasinya. Sedang B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah bahan yang dalam proses produksinya tidak sesuai dengan yang ditentukan. PP 74/2001 mengatur juga masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi orang yang bekerja di bidang ini, yang menjadi tanggung jawab bagi pengusaha. Salah satu langkah yang wajib dilakukan adalah kewajiban uji kesehatan secara berkala bagi pekerja, sekurang -kurangnya 1 kali dalam 1 tahun, denganmaksud untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja atau pengawas lokasi tersebut (pasal 23). Salah satu kehawatiran utama dalam penanganan B3 adalah kemungkinan terjadinya kecelakaan baik pada saat masih dalam penyimpanan maupun kecelakaan pada saat dalam pengangkutannya. Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya B3 ke lingkungan, yang memerlukan penanggulangan cepat dan tepat (pasal 24). Bila terjadi kecelakaan, maka kondisi awalnya adalah berstatus keadaan darurat (emergency). Langkah darurat yang harus dilakukan adalah (pasal 25):  Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan  Menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur standar penanggulangan kecelakaan  Melaporkan kecelakaan atau keadaan darurat tersebut kepada aparat Kota/Kabupaten setempat
  • 37.  Memberikan informasi, bantuan dan melakukan evakuasi masyarakat sekitar lokasi kejadian. Karakterisasi B3 Menurut PP 74/2001 Penjelasan PP 74/2001 menguraikan secara singkat klasifikasi B3 sebagai berikut: 1. Explosive (mudah meledak): adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), sedang 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida digunakan sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut, akan diperoleh nilai temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih tinggi dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak. 2. Oxidizing (pengoksidasi): pengujian bahan padat dilakukan denganemtode uji pembakaan menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedang untuk bahan cair, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Suatu bahan dinyatakan sebagai pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar. 3. Flammable (mudah menyala):  Extremely flammable: padatan atau cairan yang memiliki titik nyala (flash point)di bawah 0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 oC.  Hghly flammable: padatan atau cairanyang memiliki titik nyala 0oC- 21oC.  Flammable:  Bila cairan: bahan yang mengandung alkohol kurang dari 24% -volume, dan atau mempunyai titik nyala ≤ 60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode Closed-up test.
  • 38.  Bila padatan: bahan bukan cairan, pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran terus menerus dalam 10 detik. Pengujian dapat pula dilakukan dengan Seta Closed -cup Flash Point Test,dengan titik nyala di bawah 40oC. 4. Toxic (beracun): akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut. 5. Harmful (berbahaya): padatan maupun cairan ataupun gas yang jika kontak atau melalui inhalasi (pernafasan) atau melalui oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu. 6. Corrosive (korosif): mempunyai sifat  Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit  Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.  Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥ 12,5 untuk B3 bersifat basa.  Carcinogenic (karsinogen): sifat bahan penyebab sel kanker, yaitu sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh  Teratogenic: sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio  Mutagenic: sifat bahan yang dapat menyebabkan perubahan kromosom yang dapat merubah genetika. 7. Irritant (bersifat iritasi): padatan maupun cairan yang bila terjadi kontak secara langsung, dan apabila terus menerus kontak dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan
  • 39. 8. Dangerous to the Environment (berbahaya bagi lingkungan): seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan. 9. Chronic toxic (toksik kronis)  PP 101 Tahun 2014 tentang PengelolaanLimbah B3 Pengganti PP 18/1999 Jumto PP 85/1999 PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih lengkap dibanding PP sebelumnya sbb: 1. Sanksi Lebih Berat dan Peraturannya Lebih Ketat 2. Bertambahnya Jenis Limbah Yang Dikategorikan Limbah B3 Hal ini bisa dilihat di lampiran PP 101 tahun 2014 banyak menambahkan jenis limbah menjadi kategori limbah b3 yang baru. 3. Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup. 4. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3 dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten. 5. Dalam tuntutan hukum, Limbah B3 tergolong dalam tuntutan yang bersifat formal. Artinya, seseorang atau perusahaan dapat dikenakan tuntutan perdata dan pidana lingkungan karena cara mengelola Limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan, tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya tersebut telah mencemari lingkungan.
  • 40. 6. Pengetahuan tentang cara pengelolaan Limbah B3 yang memenuhi persyaratan wajib diketahui oleh pihak-pihak yang terkait dengan Limbah B3 dan pihak ke 3 yang bekerjasama dengan perusahaan. 7. Di Bagian Ketentuan Umum PP 101 tahun 2014 menambahkan point-point di bawah ini yang dalam PP sebelumnya tidak disebutkan seperti Ekspor Limbah B3, Notifikasi Ekspor Limbah b3, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan PPLHD.  Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.  Prosedur Pelindian Karakteristik Beracun (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) yang selanjutnya disingkat TCLP adalah prosedur laboratorium untuk memprediksi potensi pelindian B3 dari suatu Limbah.  Uji Toksikologi Lethal Dose-50 yang selanjutnya disebut Uji Toksikologi LD50 adalah uji hayati untuk mengukur hubungan dosis-respon antara Limbah B3 dengan kematian hewan uji yang menghasilkan 50% (lima puluh persen) respon kematian pada populasi hewan uji.  Ekspor Limbah B3 adalah kegiatan mengeluarkan Limbah B3 dari daerah pabean Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Notifikasi Ekspor Limbah B3 adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara eksportir kepada otoritas negara penerima sebelum dilaksanakan perpindahan lintas batas Limbah B3.  Dumping (Pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan Limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
  • 41.  Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.  Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.  Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup adalah cara atau proses untuk mengatasi Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.  Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup adalah serangkaian kegiatan penanganan lahan terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup yang disebabkan oleh Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.  Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPLH adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat PPLHD adalah Pegawai Negeri Sipil di daerah yang diberi tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Bagian Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di PP 101 tahun 2014 ini lebih dirinci. Dalam Pasal 196 Di PP 101 tahun 2014 di sebutkan: Ayat (1) Dalam hal Limbah B3 akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tujuan transit, Penghasil Limbah B3 atau Pengangkut Limbah B3 melalui negara eksportir Limbah B3 harus mengajukan permohonan notifikasi kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri.
  • 42. Ayat (2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam waktu paling singkat 60 (enam puluh) hari sebelum transit dilakukan. Ayat (3) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan keterangan paling sedikit mengenai: 1. identitas eksportir Limbah B3; 2. negara eksportir Limbah B3; 3. dokumen mengenai nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang akan transit; 4. alat angkut Limbah B3 yang akan digunakan; 5. negara tujuan transit; 6. tanggal rencana pengangkutan, pelabuhan atau terminal tujuan transit, waktu tinggal di setiap transit, dan pelabuhan atau terminal masuk dan keluar; 7. dokumen mengenai asuransi; 8. dokumen mengenai pengemasan Limbah B3; 9. dokumen mengenai tata cara penanganan Limbah B3 yang akan diangkut; dan 10. dokumen yang berisi pernyataan dari Penghasil Limbah B3 dan eksportir Limbah B3 mengenai keabsahan dokumen yang disampaikan. 9. Ruang Lingkup PP 101 tahun 2014 diperluas dari PP sebelumnya karena juga mengatur tentang: 1. Dumping (Pembuangan) Limbah B3; 2. pengecualian Limbah B3; 3. perpindahan lintas batas Limbah B3; 4. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup; 5. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3; 6. pembinaan;
  • 43. 7. pengawasan; 8. pembiayaan; 9. sanksi administratif. 2. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Alur terbentuknya B3  Pengertian Limbah Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat, konsentrasinya, dan jumlahnya secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan, merusak, dan dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengelolaan Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunanlimbah B3. Pengelolaan Limbah B3 ini bertujuan untuk mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, memulihkan kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatan kemampuan dan fungsi kualitas lingkungan.
  • 44. Pengelolaan Limbah B3 ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 1994 yang dibaharui dengan PP No. 12 tahun 1995 dan diperbaharui kembali dengan PP No. 18 tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 yang dikuatkan lagi melalui Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 tanggal 26 November 2001 tentang Pengelolaan Limbah B3. Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.  Sumber - Sumber Limbah Dominan Dalam berbagai penelitian telah di simpulkan bahwasanya ada beberapa sumber limbah dominan yang selama ini di ketahui...inilah 8 sumber limbah dominan yang telah di simpulkan : 1. Industri Tekstil dan industri kulit Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil adalah penggunaan zat warna. Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr, seperti senyawa Na2Cr2O7 atau senyawa Na2Cr3o7. Industri batik menggunakan senyawa Naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah H2O2 yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik. Beberapa tahap proses pada indusrti kulit yang mneghasilkan limbah B3 antara lain washing, soaking, dehairing, lisneasplatting, bathing, pickling, dan degreasing. Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving, dan polishing. Proses tersebut menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan H2SO4. Hal inilah yang menjadi pertimbangan untuk memasukkan industrikulit dalam kategori penghasil limbah B3. 2. Pabrik kertas dan percetakan Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas berasal dari proses pengambilan kmebali (recovery) bahan kimia yang memerlukan stabilisasi sebelum ditimbun. Sumber limbah lainnya ada pada
  • 45. permesinan kertas, pada pembuangan (blow down) boiler dan proses pematangan kertas yang menghasilkan residu beracun. Setelah residu tersebut diolah, dihasilkan konsentrat lumpur beracun. Produk samping proses percetakan yang dianggap berbahaya dan beracun adalah dari limbah cair pencucian rol film, pembersihan mesin, dan pemrosesan film. Proses ini menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri persuratkabaran yang memiliki tiras jutaan eksemplar ternyata memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3. 3. Industri kimia besar Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah B3, yang antara lain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan pengawet kayu, pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen, dan sabun. Limbah cair pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur beracun sebesar 3-5 persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan cat menghasilkan beberapa lumpur cat beracun, baik air baku (water-base) maupun zat pelarut (solvent-base). Sedangkan industri tinta menghasilkan limbah terbesar dari dari pembersihan bejana-bejana produksi, baik cairan maupun lumpur pekat. Sementara, timbulnya limbah beracun dari industri pestisida bergantung pada jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah ia benar-benar membuat bahan atau hanya memformulasikan saja. 4. Industri farmasi Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua sub-kelompok, yaitu sub-kelompok pembuat bahan dasar obat dan sub-kelompok formulasi dan pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah sub-kelompok kedua yang tidak begitu membahayakan. Tapi, limbah industri farmasi yang memproduksi atibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa. 5. Industri logam dasar Industri logam dasar nonbesi menghasilkan limbah padat dari pengecoran, percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat beracun sebesar 3 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam untuk keperluan rumah tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak dapat diolah di lokasi pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga
  • 46. terdapat cairan pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnya masuk kategori limbah B3. 6. Industri perakitan kendaraan bermotor. Kelompok ini meliputi perakitan kendaraan bermotor seperti mesin, disel, dan pembuatan badan kendaraan (karoseri). Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam (bondering) dan pengecatan yang mengandung logam berat seperti Zn dan Cr. 7. Industri baterai kering dan aki Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya berasal dari proses filtrasi. Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses penyegelan. Industri aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena menggunakan H2SO4 sebagai cairan elektrolit. 8. Rumah sakit Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair, bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat- obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik bisa mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan bersifat radioaktif. Selama ini sangat sulit mengetahui secara persis, berapa jumlah limbah B3 yang dihasilkan suatu industri, karena pihak industri enggan melaporkan jumlah dan akrakter limbah yang sebenarnya. Padahal, kejujuran pihak industri untuk melaporkan secara rutin jumlah dan karakter limbahnya merupakan informasi berharga untuk menjaga keselamatan lingkungan bersama. Keengganan mereka berawal dari biaya pengolahan limbah yang terlampau mahal, sehingga yang terjadi adalah “kucing-kucingan” guna menghindari keharusan melakukan pengolahan. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan yang tidak terlampau menekan industri, agar industri terangsang untuk mengolah limbahnya sendiri.
  • 47. BAB III PENUTUP A.Kesimpulan Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan perudang-undangan, khususnya Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih lengkap dibanding PP sebelumnya. Ruang Lingkup PP 101 tahun 2014 diperluas dari PP sebelumnya karena juga mengatur tentang: 1. Dumping (Pembuangan) Limbah B3; 2. pengecualian Limbah B3; 3. perpindahan lintas batas Limbah B3; 4. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup; 5. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3; 6. pembinaan; 7. pengawasan; 8. pembiayaan; 9. sanksi administratif. B.Saran Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3 dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten.