1. MA didirikan untuk mendidik generasi Islam dengan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan untuk membangun bangsa.
2. Tradisi keilmuan dan kultural MA mulai meredup akibat menipisnya semangat perjuangan pemuda untuk meneruskan gerakan pendidikan dan dakwah.
3. MA harus mampu beradaptasi dengan situasi dan terus berperan merespon tantangan demi perubahan demi melawan kebangkrutan budaya.
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Ma dan Kebangkrutan Kultural
1. MATHLA’UL ANWAR (MA)DAN KEBANGKRUTAN KULTURAL**
Oleh: AAT ROYHATUDIN*
MA anti Kebangkrutan
MA pada awal sejarah perkembangannya menancapkan kearifan lokal dengan
kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan-gerakan keagamaan, ini dimanifestasikan dalam
bentuk pendidikan, dakwah dan kebudayaan. Pendidikan menciptakan generasi atau
kader yang semangat mencari ilmu, dakwah menanamkan kekuatan iman para kader
karena memiliki ghirah keilmuan, kebudayaan dengan kemunculannya menghadirkan
segala bentuk perubahan, pembaharuan pemikiran dari kejumudan menuju pemikiran
yang mencerahkan, salah satu roh yang ingin dilahirkan MA adalah melepaskan dari
keterpurukan, penindasan, kebodohan yang dirasakan oleh para kader, dan dialami
umat Islam secara keseluruhan, sebagai akibat lamanya MA dilanda krisis
multidimensional, seiring dengan terlalu keasyikan dalam lingkaran kekuasaan dan
jabatan. Berpegang teguh kepada kebudayaan lama (tradisional) yang cenderung
disalah artikan tidak mau menerima perubahan sehingga menjadi ekslusif dan tidak
rasional. Padahal kebudayaan tradsional bukan menutup keran perkembangan dan
kemodernan. Dikatakan oleh Harun Nasution, bukan kebudayaan yang menentang
perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, melainkan pertentangan paradigma
orang-orang berkebudayaan yang terbatas dengan pengetahuan.
Dengan latarbelakang dan munculnya pemikiran dan berdirinya MA adalah karena
tuntutan kebudayaan dan keagamaan di masa yang akan datang. Tuntutan keagamaan
inilah yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang selalu menekankan kekini-an
dan kedisini-an, yang berorientasi ke depan sebagai tindakan memenuhi kebutuhan
manusia kontemporer dan masa depan bergerak tanpa batas, sedangkan tuntutan
keagamaan dimulai dengan menguatkan keyakinan, menjalankan refleksi keimanan,
diakhiri dengan solidaritas dan kebersamaan..
2. Menangkap realitas historis dan persoalan yang berkembang, MA merupakan estafet
perjuanagan para ulama yang melahirkan pemikiran brilian untuk mengembalikan ruh
tradisi keilmuan islam yang memiliki kekuatan iman dan ihsan, karena MA dari
perspektif oraganisasi mampu menerjemahkan idealismenya menjadi suatu empiris,
yang tidak terhenti pada persoalan politik semata, melainkan bagaimana diharapkan
membangun bangsa dari himpitan-himpitan imperealisme dan kolonialisme dengan
semangat menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman.
MA seiring dengan dinamikanya mampu merespon terhadap berbagai peristiwa besar
dengan menempatkan diri dalam perspektif dan dalam peranan hak sebagai organisasi
perjuangan mulai dari menghadapi penjajahan kolonilaisme, pemerintahan status quo
(orde baru) sampai berhadapan dengan reformasi, ternayata titik nadir dari sebuah
penentuan, MA diuji dengan sikap adaptasi rasional, pragmatis, sehingga kualitas
kritik muncul dan hadir berbeda karena berhadapan dengan situasi yang berbeda.
Kebangkrutan kultural
Tradisi keislaman untuk keindonesiaan adalan ciri khas pendidikan, dakwah dan
sosial yang dimiliki MA. Karena tradisi keislaman- keindonesiaan adalah dua
variable yang relevansi dengan wacana intelektual dan tradisi kultural Islam dengan
realitas Negara bangsa Indonesia. Semangat keislaman di MA adalah bagian dari
dinamika sejarah tradisi dan budaya islam di Indonesia. Dari ide-idenya yang
dilahirkan dari MA memberikan sumbangsih terbesar melalui konsep-konsep
pemikiran yang masih abstrak, dituangkan berdasarkan fakta-fakta yang
teraktualisasikan secara konkrit dalam pelbagai aktivitas.
Sejatinya, perubahan atas nasib suatu umat dan bangsa, maka variable terpentingnya
adalah usaha ke arah terjadinya perubahan cara berpikir yang bertujuan menunjukkan
adanya kecenderungan membangun bangsa ke arah suatu konvergensi nasional, yaitu
adanya saling pengertian yang berakar dalam semangat kesediaan untuk saling
3. memberi dan menerima dalam kemantapan masing-masing kelompok, golongan
maupun agama.
Tujuan awal MA yang diinterpretasikan melalui pemikiran, ide dan sikap sebagai
embrio perjuangan pendidikan untuk mencerdaskan generasi Islam ke depan untuk
mengawal bangsa Indonesia yang memiliki identitas dan nilai-nilai, terutama nilai-
nilai kebangsaan dan keislaman. Gerakan dakwah melestarikan ghirah ulama dalam
menyebarkan keilmuan yang memunyai nilai toleransi dan kesadaran hidup
beragama. Sedangkan pelaksanaan hidup sosial sebagai upaya dan cara
mempersiapkan generasi terhindar dari sikap egoisme, sukuisme, lebih-lebih
menggerus kebodohan dan keterbelakangan. Gagasan inilah yang mesti dibuktikan
secara konkrit oleh penerus generasi muda islam, khususnya MA sebagai
sumbangsih terbesar dalam sejarah kultural.
Semangat kultural semestinya tidak ada kata berhenti. Dan merasa malu untuk tidak
melanjutkan, apalagi melanjutkan dengan banyak dan ada kepentingan. Namun
Mohammad Zen tokoh muda MA mengatakan, sudah waktunya ada perubahan sikap
dan karakter perjuangan MA dari semula perjuangan bersifat fight against “berjuang
melawan” akan tetapi perjuangan sekarang lebih menuntut kemampuan untuk fight
for “berjuang untuk”. Dipertegas lagi oleh beliau bahwa tradisi kultural MA bisa saja
menjadi redup bahkan raib seandainya dari para kader mengabaikan ruh khittah MA
bersemangat memperjuangkan pendekatan structural ketimbang memperjuangkan dan
menggerakkan tradisi kultural.
Macetnya reproduksi kultural diakibatkan menipisnya semangat perjuangan pemuda
dalam menghantarkan gerbang pendidikan, kritisisme gerakan dakwah dan sosial
yang dilakukan oleh para ulama tidak menjadi estafet bagi para pemuda dan kader,
merupakan indikasi adanya kebangkrutan kultural, yang bisa saja akan merambah dan
menggerogoti organisasi Islam, khususnya MA
4. Antikebangkrutan Kultural
MA adalah embrio ulama, memproduksi kaum terpelajar dengan gerakan kultural
mampu merespon masalah yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi. MA harus
mampu beradaptasi secara lentur, melengkapi diri dengan strategi dan taktik yang
tepat dan sesuai dengan situasi dalam menghadapi unsure-unsur yang tak terduga,
baik positif maupun negative. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang melemah,
dengan sendi-sendi kebangsaan yang merapuh dan tidak wajar, meskipun MA bukan
merupakan tujuan, hanya merupakan alat perjuangan, eksistensi harus tetap
dipertahankan sebagai sarana mencapai tujuan. MA akan tetap berperan untuk
merespon setiap tantangan dalam situasi kondisi yang bagaimanapun demi tejadinya
berbagai perubahan.
Semangat dan selamat ber Muktamar, jangan pernah abaikan pesan dari tradisi
kultural.
------------------------------------
**Tulisan ini telah dimuat di Radar banten edisi Agustus 2015
*Penulis adalah Anggota Mubes GEMMA (Generasi Muda Mathla’ul Anwar)