MAKALAH
TEORI PEMBANGUNAN
PEMBANGUNAN DESA TERPADU
Disusun Oleh:
M.RESKI IKHWAN
1001156184
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan yang telah
diberikan kepada saya karena telah dapat menyelesaikan makalah ini pada waktu yang telah
ditentukan. Di makalah ini saya membahas tentang Pembangunan Desa Terpadu.saya
menyadari banyak tedapat kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Jadi, saya mohon
ma’af atas kekurangan tersebut. Semoga makalah telah saya buat ini berguna bagi penulis dan
pembaca sekalian. Dan juga bisa menambah wawasan kita semua. Atas partisipasi pembaca
sekalian, saya mengucapkan banyak terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ..ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Latar belakang....................................................................................................... ..1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
2.1 Permasalahan………………………………………………………………….......2
2.2 Analisis……………………………………………………………………………3
2.3 Strategi………………………………………………………………………...….5
BAB IIII PENUTUP...............................................................................................................6
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..…8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang
kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu – ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak
menempatkan kondisi Desa sebagai unsur Pemerintah terdepan. Struktur Pemerintahan
sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan Desa sebagai pilar utama
pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri,
sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa
yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa – bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di
masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya
segalanya ditentukan dari atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih
banyak menjadi “Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para
pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama
setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan
kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak
total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang
Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan
demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi
pemerintahan desa telah punah. Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama
pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta
implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat (
setiap departemen ) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor
yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak
dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan
program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata
sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah
sewajarnya difokuskan di ddesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama
ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di
kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa
dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka
menjadi persoalan besar di kota. Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan
secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang
usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah
dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk
merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
1
BAB I
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan
1. Sampai saat ini belum ada konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi solusi
secara optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa.
2. Pembangunan desa yang dilaksanakan bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan
solusi secara parsial juga dan dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada
jaminan kelangsungan program tersebut.
3. Sumberdaya manusia di desa, baik aparat maupun masyarakatnya memberikan kontribusi
besar terhadap melambatnya berbagai upaya pelaksanaan pembangunan desa itu sendiri.
4. Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa maupun dari Kabupaten, Provinsi dan
Nasional, merupakan faktor utama lain yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan
desa. Disisi lain Anggaran yang disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kbupaten,
Provinsi maupun dari Nasional, cenderung bersifat project, bahkan charity, bersifat sesaat dan
berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
5. Perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari
Musrenbang, Musrenbangda, (Kabupaten dan Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak
menujukan suatu streamline yang jelas serta tidak menujukan keterpaduan program
(commited programme). Bahkan pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa sejak
di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.
6. Sudut pandang dari semua pihak terhadap upaya pembangunan desa masih seperti dulu,
yaitu menempatkan desa sebagai suatu objek dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak
menjadi prioritas dan bersifat seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu
program yang bersifat charity, dianggap telah memberikan sesuatu manfaat yang sangat
besar.
7. Belum terlihat adanya suatu pemahaman yang menunjukan bahwa desa sebagai sumber
utama pembangunan Nasional, sehingga desa patut menjadi sasaran utama pembangunan dan
harus ditempatkan sebagai partner utama dalam sistem pembangunan Nasional.
8. Persoalan ketidak jelasan kewenangan yang ada di Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan
Nasional menyebabkan terdapatnya berbagai kesulitan dalam menyusun dan
mengimplementasi kebijakan Pemerintah Provinsi terhadap upaya Pembangunan desa.
2
2.2 ANALISIS
Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional Mosher (1969:91)
menyebutkan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor
pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam
pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana
pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk, Menurut Fellman & Getis
(2003:357), pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam
dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga berguna dalam produksi
barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat
produksi
barang
(
materi)
dan
konsumsi.
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi
berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan
keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut,
penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin (Jayadinata & Pramandika, 2006: 1), Sasaran
dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan
ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan
kebutuhan material dan spiritual
Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai
faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau
pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai
infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan
mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain
tata
ruang.
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan ( Musrenbang), musyawarah
perenacanaan pembangunan daerah ( Musrenbangda), dan musyawarah perencanaan
pembanguan kecamatan ( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang
perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat
formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah, Dengan
demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk
menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elite
birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat sebelumnya
dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam
kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Otonomi daerah yang berada di Kabupaten/Kota juga menyebabkan peran pemerintah
Provinsi menjadi tidak maksimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Barat, Dalam
hierarki perundang undangan, peran pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan saran
dan konsultasi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan
akses yang lebih bagi pemerintah Provinsi untuk dapat mengimplementasikan program
program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.
Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut
kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan
desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program
programnya dalam pembangunan desa bagi daerah.
3
Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga
keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen
terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu,
kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke
khasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau
penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan
pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan) Kebijakan pemerintah terkait
pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak
berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak
implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa,
mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama
pemerintah desa tidak optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya
menggantungkan (depen on) pada bantuan atau program dari pemerintah pusat, Provinsi
Kabupaten dan Kota. selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini
juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan
prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan
kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak
mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian
semata. Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan
kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi
tidak berkembang.
Secara umum, berdasarkan peraturan perundang undangan, sebenarnya desa dapat
membangun daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri
dari kepala desa dan perangkatnya serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai
legislatif Desa, Di sisi lain, sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil
berdasar perundang undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten /
Kota, dari penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.
Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa
seharusnya bersifat bottom up. Akan tetapi selama ini, baik perencanaan maupun
implementasi pembangunan desa selalu bersifat top down, dimana desa hanya menerima
program program pembangunan desa dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundang
undangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand design pembangunan sendiri (inisiatif
desa), jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya, maka desa
dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
atau kota. sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (Program
program) datang dari inisiatif desa sendiri. Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang
dilakukan oleh desa kepada pemerintah, terdapat klasifikasi program pembangunan desa,
misalnya untuk pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan
kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa
dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota,
misalnya untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain, desa
dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama dengan pihak
ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang tandus dan tidak bisa
dikembangkan.
4
Hingga, semua pengajuan program pembangunan desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan
pada kondisi eksisting dan tata ruang desa, Berdasarkan perundang hal tersebut dapat
dilakukan oleh desa, namun sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan
oleh pemerintah (top down) dan desa hanya melaksanakannya saja, Maka permasalahan yang
kemudian timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang
tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan programnya
sendiri.
Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, provinsi, kabupaten/ kota) seharusnya hanya
mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu
merencanakan pembangunan desanya, sehingga pemerintah pusat hanya melakukan
pembiayaan berbagai program pembangunan yang di ajukan oleh desa, Selama ini
permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki konsep dalam
merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi
pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan berbagai
programnya. Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan,
Untuk mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata mata
mengandalkan pada kebijakan ekonomi makro, tetapi juga diimbangi dengan kebijakan mikro
berupa terobosan yang secara langsung memberikan pengaruh pada peningkatan
produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan pembangunan desa
yang terintegrasi (Tjiptoherijanto, 1997: 57). Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan
ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan
memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan
sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu,
Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan
daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara
menyatu.
2.3 STRATEGI
Mencermati uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi, hanya
berbekal pengalaman ( experient base) dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu
strategi upaya pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan, Sebagai berikut :
1. Penyusunan tata ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya
pembangunan desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai
potensi yang ada, keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai,
sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa kebun,
desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa industri, desa tradisional dan lain
sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun rencana infrastruktur, site plan untuk
office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra(satu hamparan),
kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk maksimal),
lokasi pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun,
taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
5
2. Penetapan aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa,
didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya,
potensi pasar, minat dan kultur masyarakat.
3. Pembentukan lembaga lembaga masyarakat yang akan berperan sebagai stakeholders, dan
akan memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan desa.
4. Perumusan perencanaan pembangunan untuk satu masa jabatan Kepala Desa, serta
program pembangunan setiap tahunnya. Perumusan harus melibatkan harus melibatkan
seluruh komponen di desa, didasarkan kepada tata ruang yang telah disusun serta didasarkan
kepada kewajaran dan ketersediaan anggaran.
5. Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota dapat memberikan asistensi, masukan sesuai
dengan kebijakan, misi dan visi terhadap dokumen perencanaan yang disusun, serta
memberikan dukungan berupa pengalokasiandana dalam bentuk tugas pembantuan atau
bantuan yang diarahkan (specific grand ), Dengan demikian tidak ada lagi program charity,
baik dari Kabupaten / Kota, Provinsi maupun dari pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di
desa sudah terintegrasi programnya (commited program ) dan sudah terintegrasi juga alokasi
anggarannya (commited budget).
6. Untuk pembangunan pendidikan, terutama dalam menuntaskan program wajardikdas
sembilan tahun, di desa perlu di bangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama dalam
satu lokasi, ini dilakukan untuk mengefisiesikan biaya pembangunan dan pemeliharaan
sekolah, juga untuk meringankan beban orang tua murid yang besar, yaitu komponen
transport.
7. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan di desa perlu dibangun Puskesmas
Pembantu atau sejenis, dan untuk desa yang sangat terpencil dapat didukung dengan Unit
Pelayanan Kesehatan Keliling.
8. Untuk pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas
terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota, penguatan
Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen
sentra, Penetapan berbagai kerjasama dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian
(seperti terminal, pasar, koperasi, atau sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat,
serta pembentukan lembaga fasilitator, baik dari masyarakat Desa itu sendiri atau dari luar
dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
9. Untuk meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan
kegiatan yang telah berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota, efektivitas
program lomba desa dan peningkatan program Non Governtment (NGO).
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi oleh cara pandang level pemerintah,
baik pusat, provinsi maupun kabupaten / kota.
2. Pembangunan Desa pada hakekatnya merupakan pengakuan dan penghargaan dari semua
pihak terhadap pemerintahan dan masyarakat desa dalam upayanya mencapai harapan dengan
potensi, dan kekhasannya sendiri sehingga desa seyogyanya menjadi prioritas utama
pembangunan dari semua level pemerintahan.
3. Keberhasilan pembangunan desa akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
keberhasilan pembangunan secara nasional, provinsional dan kabupaten / kota.
4. Persoalan kemiskinan, baik diperkotaan maupun di pedesaan akan tereliminasi secara
signifikan, apabila tercapai pembangunan di desa desa.
5. Konsep Desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera, merupakan konsep integrasi perencanaan
dan implementasi, dikenal dengan commited programme dan commited budget, merupakan
konsep yang dilakukan secara gradual, terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku
kepentingan yang akan beraktivitas di desa.
6. Keberhasilan konsep ini sangat tergantung kepada political will para pengambilan
kebijakan dan peran serta seluruh pemangku kepentingan.
7